A. Lahan Perjebunan PT Kuala Gunung Diduduki Petani
Lahan Perjebunan PT Kuala Gunung Diduduki Petani demikian judul Berita Malam Metro TV yang ditayangkan pada Headline News Sabtu, 24/06/2006 pukul 22:05.
Ratusan petani dari dua desa di Kabupaten Simalungun, Sumatra Utara, menduduki lahan perkebunan milik PT Kuala Gunung secara paksa. Mereka mengaku pendudukan lahan tersebut atas perintah Bupati Simalungun, Zulkarnain Damanik. Menurut warga, lahan seluas 678,5 hektare itu telah dicaplok PT Kuala Gunung sejak 1999.
Pendudukan lahan ini berjalan mulus tanpa perlawanan, namun dengan pengawalan aparat Kepolisian Resor Simalungun berpakaian preman. Aksi ini ditandai dengan pemasangan puluhan papan tanda hak milik warga yang tergabung dalam Forum Petani Nagori Mariah Hombang. Para petani juga menanam sejumlah bibit pohon pisang.
Pendudukan paksa lahan ini sebagai upaya terakhir para petani. Berbagai upaya yang mereka lakukan sebelumnya tidak membuahkan hasil. Berulang kali mereka telah berunjuk rasa menghadap Bupati dan DPRD Simalungun.
B. Asal-Muasal Sengketa Tanah
Sebagaimana sejarah tanah mariah Hombang yang berhasil dihimpun oleh Serikat Tani Nasional menyebutkan bahwa semenjak tahun 1916, Raja Tanah Jawa memberikan tanah dan membuka kawasan hutan kepada rakyat perantauan dari TOBA yang berada di wilayah simalungun.
Pada tahun 1957 takkala terjadi pemberontakan PRRI-PERMESTA terhadap pihak pemerintahan RI, rakyat ketakutan akibat diteror oleh kedua belah pihak yang bertikai, dan terpaksa harus meninggalkan lahan tersebut. Namun pada 1974, masyarakat kembali ke lahan karena situasi yang relatif aman, dan mulai mengelola lahan mereka kembali.
Dinas kehutanan di tahun 1977 meminjam lahan kepada masyarakat untuk program penghijauan, guna menambah debit air di areal tanah yang di usahai masyarakat, selama satu musim tanaman pinus. Namun setelah lewat satu musim tanam pinus, pihak Dinas Kehutanan tak kunjung melakukan upaya pengembalian tanah tersebut. Hingga 1991 masuklah perusahaan, PT. KUALA GUNUNG (PT.KG), PT.KG difasilitasi oleh Jabanten Damanik, Bupati Simalungun pada masa itu. Dengan sedikit memaksa Jabanten Damanik mengatakan hal ini
"Baris-baris ni gajah, dirurah pangaloan molo marsuruh Raja Dae so oloan, molo so ni oloan tubu hamagoan, molo ni oloan ro ma pangolu-ngoluan". [Kalau raja meminta rakyat harus memberinya, dan kalau rakyat tidak mau menerima uang pago-pago (ganti rugi) maka rakyat akan tetap kehilangan haknya atas tanah tersebut].
Ucapan tersebut membuat rakyat ketakutan dan akhirnya menerima tawaran tersebut yang diwakili oleh beberapa tokoh masyarakat. dan lahan tersebut diklaim telah dikuasai oleh PT.KG. Namun, hingga sekarang tidak pernah dikelola oleh perusahaan tersebut.
Adalah Tualam Gultom dan Daulak Gultom pada tahun 1998 mulai mengusahi lahan tersebut. Mereka berdua mengaku mendapat mandat dari PT.KG. Masyarakat yang merasa memiliki lahan tersebut marah dan terjadi pertempuran antara Tualam Gultom dan Daulak Gultom melawan masyarakat. Yang pada akhirnya Daulak Gultom ditangkap dan divonis 2 tahun penjara oleh aparat penegak hukum.
Pada tahun 2005 terjadilah penjual-belian lahan tersebut seluas 687.5 Ha oleh oknum yang mengaku pemiliki kuasa dari PT.KG, Timbul Jhonson Situmorang, kepada berbagai pihak. Diantara pembelinya adalah BARITA DOLOK SARIBU, pengusaha lokal, marga Pardede (Oknum BPN Simalungun) dan TUALAM GULTOM tuan tanah yang sering menggunakan preman untuk menakut-nakuti masyarakat.
Masyarakat, melalui Forum Petani Nagori Mariah Hombang melakukan pengaduan ke DPRD Tkt II Kab. Simalungun dalam bentuk audiensi di bulan April, 2006. Namun hal ini tidak mendapati respons yang serius.
Lalu pada hari Sabtu, 22 April 2006 unjuk rasa pertama dilakukan dengan sasaran aksi DPRD Kab. Simalungun dan PEMKAB Simalungun. Salah satu hasil unjuk rasa adalah janji kesediaan pihak DPRD untuk membuka ruang dialog antara rakyat, PT.KG, Dinas Kehutanan, BPN Kab.Simalungun, Camat, dan Kepala Desa.
Jumat, 28 April 2006 berlangsungkah pertemuan yang dihadiri oleh Tata Pembangunan Kab. Simalungun, BPN Kab.Simalungu, Dinas Kehutanan Kab. Simalungun, Kepala Desa Mariah Hombang. Pihak camat tidak dapat menghadiri pertemuan tersebut.
Kesepakatan yang dicapai bahwa DPRD akan membentuk PANSUS Pengembalian tanah rakyat. Menurut salah seorang anggota dewan [?] bahwa ijin yang dimiliki oleh PT.KG telah gugur demi hukum. Hal ini diperkuat oleh pernytaan dari Dinas Kehutanan bahwa lahan tersebut tidak termasuk ke dalam kawasan hutan negara. Sementara menurut BPN bahwa HGU untuk PT.KG tidak ada.
Senin, 08 Mei 2006 Masyarakat kembali berunjuk rasa ke PEMKAB Simalungun untuk menuntut segera pengembalian tanah kepada rakyat. Dialog antara masyarakat dan PEMKAB yang diwakili oleh assisten I Tata Praja Pembangunan serta Komisi I DPRD Kab. Simalungun menghasilkan jadwal pertemuan yang difasilitasi oleh pemkab antara rakyat, dprd, dan pihak PT.KG satu bulan kedepan.
Dialog multipihak diadakan pada hari Selasa, 06 Juni 2006. Pemkab Simalungun yang diwakili oleh assisten I Tata Praja Pembangunan membuka ruang dialog penyelesaian kasus tanah tersebut. Namun pihak PT.KG tidak hadir melainkan digantikan oleh PT. DITA FUMINDO yang tidak diketahui asal usul dan keterlibatannya terhadap kasus tersebut. Anggota Komisi I DPRD Kab. Simalungun, Sabar Maruli Simarmata, mengusir perwakilan PT.DITA FUMINDO dan mengecam Assisten I yang tidak konsisten dengan janjinya untuk menghadirkan pihak-pihak yang terkait kasus tersebut.
Menurut informasi yang dihimpun Forum Petani Nagori Mariah Hombang, PT Dita Fumindo mengantongi ijin prinsip lokasi seluas 2000 Ha di areal tanah rakyat mariah hombang dan sekitarnya dari Pemkab Simalungun bulan September 2005. Izin tersebut yang ditandatangani oleh Bupati Simalungun Peridode 2000-2005, Jhon Hugo Silalahi.
Kamis, 15 Juni 2006 paling sedikit 5 [lima] buah truk yang diisi masyarakat melakukan unjuk rasa yang di dampingi oleh Anggota Komisi A DPRD Tkt. I Propinsi Sumut, SYAMSUL HILAL dari fraksi PDIP, menuju gedung DPRD dan PEMKAB Simalungun. Rakyat berhasil memaksa DPRD untuk menghadirkan Drs. Zulkarnain Damanik selaku Bupati Simalungun. Bupati berhasil dipertemukan dengan rakyat dan menyerahkan kepada rakyat untuk menduduki lahan tersebut sampai proses pengembalian tanah tersebut selesai. Aksi kali ini mendapat sokongan dari Komite Persiapan Wilayah Serikat Tani Nasional Sumatera Utara dan LSM Jagat Tanah Rakyat.