Saturday, December 29, 2007

Akhir Tahun KPA Atas Dinamika Politik Agraria Tahun 2007 dan Proyeksi Tahun 2008 ”Reforma Agraria: Antara Harapan dan Hambatan”

Berikut ini adalah catatan kritis akhir tahun 2007 yang disusun oleh Konsorsium Pembaruan Agraria. Data dan informasi perjuangan petani dan agraria yang digunakan sebagai basis penyusunan dokumen ini berasal dari kalangan organisasi tani, termasuk Serikat Tani Nasional dan jaringannya.

1. Pendahuluan

Salah satu agenda nasional yang layak mendapatkan catatan di penghujung tahun 2007 ini ialah rencana pemerintah yang dipimpin Presiden SBY mulai pelaksanaan reforma agraria dengan prinsip tanah untuk keadilan dan kesejahteraan rakyat (31 Januari 2007). Sebelumnya (28 September 2006) Presiden telah memanggil Menteri Kehutanan, Menteri Pertanian, dan Kepala BPN RI yang menetapkan 8,15 juta ha hutan produksi konversi dialokasikan bagi program reforma agraria untuk mengatasi kemiskinan dan pengangguran.

Dasar hukum bagi reforma agraria, pemerintah tetap berpegang kepada UU Pokok Agraria No.5/1960. Setelah mengalami pergulatan sengit, pemerintah bersama DPR RI akhirnya sampai pada kesepakatan untuk mempertahankan UUPA (29 Januari 2007). UUPA dinilai bukan saja relevan, tapi urgen untuk dijalankan, tinggal dibuat aturan operasionalnya.

Hasil rapat kabinet mengenai reforma agraria (22 Mei 2007), Presiden RI berencana menerbitkan Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Reforma Agraria; akan diadakan pertemuan presiden dengan gubernur, bupati/walikota, serta; launching PPAN oleh presiden. Rencana ini, tampaknya masih butuh waktu hingga adanya kebulatan tekad di istana.
Di penghujung 2007, reforma agraria ibarat di persimpangan jalan. Di satu sisi, niat politik pemerintah menunjukkan tanda-tanda kemajuan berarti yang menerbitkan harapan di benak publik. Tapi di lain sisi, muncul gejala stagnasi dalam realisasi praktisnya di lapangan. Menutup tahun 2007, aneka harapan dan hambatan pun berbaur menjadi satu.

2. Potret konflik dan legislasi

Jika pemerintah serius mau menjalankan reforma agraria maka perlu dikerahkan aneka sumberdaya yang ada di dalam tubuh negara. Ketulusan dan kepeloporan presiden jadi kunci keberhasilan. Presiden tak usah terlalu memikirkan kelanggengan kekuasaannya, karena hati rakyat tak pernah tidur. Sepanjang 2007, catatan kritis dapat kita berikan bagi dua hambatan terpenting, yakni: (1) Konflik agraria di lapangan, dan (2) Legislasi peraturan perundang-undangan terkait agraria dan sumberdaya alam.

Berbagai kasus muncul dalam skala dan dampak yang mengkhawatirkan. Contoh, kita tak akan mudah melupakan penembakan aparat negara terhadap petani Alas Tlogo Pasuruan, Jatim (30 Mei 2007) dan meruyaknya sengketa tanah di Meruya Jakarta telah mengguratkan catatan tentang masih kisruhnya administrasi pertanahan.

Sepanjang 2007, KPA mencatat peningkatan kekerasan terhadap petani. Setidaknya ada 80 kasus konflik agraria struktural di seluruh Indonesia. Mayoritas konflik agraria ini terjadi di sektor perkebunan dan kehutanan. Tanah yang dipersengketakan 163.714,6 hektare yang melibatkan 36.656 KK, dan 10.958 KK diantaranya dipaksa keluar dari lahan sengketa. Akibat konflik agraria sepanjang 2007 ini, tercatat 9 orang kehilangan nyawa; 1 polisi, 2 satpam dan 6 warga. Selain itu, sebanyak 255 orang ditahan polisi, yang 129 di antaranya disiksa dan beberapa mengalami cacat, serta 208 rumah rakyat dibakar –lihat lampiran.

Sementara kasus lama masih menumpuk. Dari 1.753 kasus yang direkam KPA (1970-2001) tersebar di 2.834 desa/kelurahan, 1.355 kecamatan di 286 daerah (Kabupaten/Kota), dengan luas tanah yang disengketakan tak kurang dari 10.892.203 ha dan mengorbankan 1.189.482 KK. Mengacu data statistik permasalahan pertanahan yang ditangani BPN RI, setelah validasi bulan Agustus 2007, diketahui terdapat 7.491 kasus, dengan rincian sengketa pertanahan 4.581 kasus, konflik pertanahan 858 kasus, dan perkara pertanahan 2.052 kasus.

Untuk menangani sengketa pertanahan yang bernuansa pidana, BPN RI dengan Kepolisian Republik Indonesia (POLRI) telah membuat kesepakatan bersama, melalui Surat Kesepakatan Bersama, Nomor: 3/SKB/BPN/2007, No.Pol. B/576/III/2007 (14 Maret 2007). Implikasi –yang mungkin tak terbayangkan pembuatnya, ternyata SKB ini memicu keresahan di kalangan kaum tani yang sedang memperjuangkan haknya atas tanah. SKB ini telah dijadikan alat legitimasi baru oleh aparat di lapangan untuk memanggili, mengintimidasi dan mengkriminalkan petani --di Kendal Jateng 17 orang; di Batang 7 orang termasuk ibu-ibu; di Mojokerto Jatim 5 orang; di Aceh 4 pegiat LBH Banda Aceh, dan; di Ogan Komering Ilir Sumsel petani dipanggili dengan dalih adanya SKB BPN-POLRI ini.

Tak tertangani penyelesaian konflik agraria secara sistematis, membuat kita layak khawatir karena bukan saja rakyat yang jadi korban langsung yang menderita, tapi bangsa ini terus terganjal untuk menikmati keadilan agraria sebagai salah satu wujud keadilan sosial yang dicita-citakan. Keamanan nasional dan ketahanan bangsa pun potensial terganggu oleh maraknya konflik agraria di Tanah Air.

Dalam konteks legislasi, pada tahun 2007 juga bermunculan UU pengganjal reforma agraria. Salah satunya adalah UU No. 25/2007 tentang Penanaman Modal. Menurut UU ini, Hak Guna Usaha untuk perkebunan (asing maupun domestik) bisa diberikan selama 95 tahun! Pemberian HGU 95 tahun, Hak Guna Bangunan 80 tahun, serta Hak Pakai 70 tahun menjadi pertanda masuknya kita ke era penjajahan baru. Bahkan, hukum agraria kolonial Belanda sekalipun hanya memberi izin 75 tahun bagi penanam modal.

UUPM menyediakan kemewahan bagi penanam modal, seperti: keringanan berbagai bentuk pajak, pemberian izin HGU selama 95 tahun, bebas memindahkan modalnya kapan saja, hingga terbebas dari nasionalisasi. UUPM kini sedang digugat di MK. Beberapa pasal UUPM yang diindikasikan melanggar UUD: Pasal 2, Pasal 3 ayat (2), Pasal 4 ayat (2), bertentangan dengan Pasal 33 ayat (2), Pasal 27 ayat (2), dan Pasal 28C UUD 1945.

Selain itu, pada tahun 2007 lahir UU No. 26/2007 tentang Penataan Ruang yang menenggelamkan posisi UUPA sebagai payung hukum bagi penataan “ruang” nasional. Sementara UU No. 27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil sebagai produk hukum yang potensial melanggengkan sektoralisme sebagai penyakit akut dalam kebijakan agraria/sumberdaya alam. Pada saat yang sama, Departemen Pertanian dan Badan Legislasi DPR RI berinisiatif menyusun RUU tentang Lahan Pertanian Pangan Abadi yang belum jelas betul kaitannya dengan reforma agraria.

Belum lagi penerapan UU Perkebunan, UU Sumberdaya Air, UU Kehutanan, dan UU Pertambangan, serta Perpres 36/2005 (direvisi Perpres 65/2006) jadi alas legal yang mengakibatkan kekerasan terhadap rakyat yang tanahnya dirampas. Pendek kata, konflik agraria yang berlanjut dan menderasnya legislasi pengganjal reforma agraria akan menjadikan medan realisasi reforma agraria jadi kian rumit dan cenderung kontradiktif.

3. Proyeksi 2008

Memasuki tahun 2008, pemerintah harus lebih terang mempraktekkan reforma agraria. Optimismisme harus ditebarkan, kesempatan emas mencetak kebaikan bagi rakyat jangan menguap dan harapan rakyat harus dirawat. Di tengah persimpangan, segeralah ambil arah jelas, lalu jalan lurus dan tancap gas untuk membebaskan rakyat dari jerat kemiskinan.
Sektor-sektor keagrariaan yang memiliki posisi dan peran strategis dalam pelaksanaan reforma agraria –seperti pertanahan, kehutanan, pertanian, perkebunan dan pertambangan, pesisir dan kelautan—mesti dipastikan bergerak dalam satu kerangka strategis untuk mensukseskan agenda besar bangsa agraris ini.

Untuk menyambungkan harapan dengan kenyataan serta guna memajukan persiapan pelaksanaan reforma agraria pada tahun 2008, KPA mengajukan beberapa masukan:

  1. Perlu ketegasan arah yang digariskan oleh Presiden agar semua unsur pemerintahan mensukseskan pelaksanaan reforma agraria. Perlu kesatuan konsep dan kebijakan antar instansi terkait agraria. Dephut, Deptan, BPN RI, dll harus duduk satu meja dan membuat kesepakatan bergerak dalam satu nafas reforma agraria lintas sektor.
  2. Agar kordinasi lancar, maka ego-sektoral semua pejabat dan aparat dari instansi yang terkait tanah dan kekayaan alam harus dikikis habis. Sebagai landasan legal, semua pihak harus memegang teguh semangat, prinsip dan isi konstitusi (Pasal 33, Ayat 3) dan UU Pokok Agraria No.5/1960, dengan tetap mengingat Tap MPR IX/2001.
  3. Untuk menangani konflik agraria/sengketa tanah, pemerintah mesti menempuh langkah-langkah luar biasa agar tidak terus jatuh korban di pihak rakyat, dengan segera dibuatnya mekanisme/kelembagaan alternatif. Secara utuh, perlu dibentuk Departemen Agraria, Peradilan Agraria, dan Komisi Nasional untuk Penyelesaian Konflik Agraria.
  4. Agar pelaksanaan reforma agraria berjalan sinergi dengan denyut nadi kehidupan rakyat, maka kerja-kerja pembentukan dan penguatan organisasi rakyat (petani, buruh, nelayan, masyarakat adat, dan kaum miskin lainnya) perlu diperluas dan dimantapkan.

Jakarta, 27 Desember 2007
Sekretaris Jenderal KPA,

Usep Setiawan
(Alamat KPA: Jl. Zeni No. 10 Mampang Prapatan Jakarta Selatan 12790, Tlp/Fax: 021- 79191644. Email: kpa@kpa.or.id dan usepsetia@yahoo.com, HP: 0818-613667).

Monday, December 24, 2007

Pandangan STR Terhadap Kondisi Agraria di Riau

Serikat Tani Riau memandang bahwa kenyataan-kenyataan ekonomi negara kita masih terbelenggu oleh ketergantungan yang sangat besar dari pemodal asing. Secara kasat mata bisa kita lihat bersama penguasaan seluruh aset kekayaan alam negara kita – terutama di sektor tambang - oleh perusahaan-perusahaan asing yang berkepentingan mengeruk keuntungan dari kekayaan alam INDONESIA.

Lahan Luas untuk Pemilik Modal dan Konflik Agraria di Riau

Di Riau, rezim Orde Baru membangun jaringan kekuasaan ekonominya di bawah kangkangan kapitalisme global dengan memberikan + 580.000 ha (Separuhnya diperuntukkan bagi HPH/TI PT. Arara Abadi, seluas hampir 300.000 ha) perkebunan pulp kepada 2 perusahaan dan diperkirakan memboyong 20 juta meter kubik kayu per tahunnya, atau setara dengan 91% dari total penebangan semua industri berbasis kayu di Indonesia.

Sementara itu, menurut laporan Human Rigth Wacth tahun 2003 lalu, untuk PT. Caltex Pasifix Indonesia (CPI) atau PT. Chevron Pasific Indonesia (CPI) saja mendapatkan jatah seluas + 3,2 juta ha atau sekitar 32.000 KM. Lalu, 6 juta ha HPH di Riau merupakan milik kaum elit di luar Riau. Jika ditotalkan keseluruhannya, maka peruntukan lahan bagi perkebunan/industri kehutanan skala besar di Riau seluas 9,5 juta ha.

Kebijakan inilah kemudian yang ditengarai menyebabkan bencana dimana-mana, mulai dari bencana asap, banjir, konflik tanah, kemiskinan, dan lain sebagainya.

Bencana asap misalnya, menurut Walhi Riau bersama LSM lingkungan lainnya bahwa periode Juli-Agustus 2006 telah teridentifikasi bahwa kebakaran terjadi di kawasan Hutan Tanaman Industri (HTI), Hutan Produksi (HPH), dan perkebunan Sawit di seluruh Riau, dengan rincian luasan terbakar HTI 47.186 ha, perkebunan Sawit 42.094 ha, HPH 39.055 ha, kawasan Gambut 91.198 ha, dan kawasan non-Gambut 82.503 ha. Inilah kemudian yang menjadi indikasi penyebab 12.000 orang terkena ISPA (Infeksi Saluran Pernafasan), 3.000 orang terkena iritasi mata, 10.000 orang terkena diare dan mencret (Catatan Akhir Tahun 2006 JIKALAHARI).

Ini tentunya belum termasuk kepada kerugian yang diderita oleh rakyat akibat banjir – diantaranya disebebkan oleh terlampau luasnya tanaman monokultur skala besar - yang menurut buku hitam WALHI Riau, pada tahun 2003 saja sebesar Rp. 793,3 milyar. Dan di tahun 2006, menurut Riau Pos dari akibat banjir yang melanda 3 kecamatan di kabupaten Kampar; Tambang, Tapung Hilir, dan Kampar Kiri mendera 3.000 jiwa lebih dan sedikitnya 50 orang meninggal dunia. Sementara itu belum lagi tanaman rakyat yang rusak. Ini tentunya tidak termasuk data kerugian akibat banjir yang menjarahi daerah Rokan Hulu, Pekanbaru, Kuansing, Bengkalis, dan lain-lain

Kendati Kondisi Hutan Alam Riau sudah dalam keadaan kritis tahun 2004, namun ternyata eksploitasi hutan alam tetap berlangsung pesat sepanjang tahun 2005, baik yang dilakukan oleh Penebang liar (Illegal Logging) maupun oleh pemegang izin konsesi (Legal Logging). Keduanya sama-sama memberikan andil besar terhadap hilangnya tutupan hutan alam di Riau yang mengakibatkan Bencana Banjir dan Kabut Asap terjadi secara rutin pada tahun 2005. Pada akhir Tahun 2004 JIKALAHARI mencatat tutupan hutan alam Riau hanya tersisa seluas 3,21 juta hektar atau 35 % dari 8,98 juta hektar total luas daratan Provinsi Riau. Penurunan Luas Hutan Alam di Riau terjadi secara Drastis dari tahun 1984 ke tahun 2005 yaitu seluas 3 juta hektar, penurunan tertinggi terjadi antara tahun 1999 ke tahun 2000 yaitu seluas 840 ribu hektar. Berarti jika dirata-ratakan per tahun hutan alam Riau hilang seluas 150 ribu hektar.

Aktifitas Eksploitasi ini dipastikan akan terus berlanjut sepanjang tahun 2006 karena di atas Hutan Alam yang tersisa sebagian besar sudah dikuasai Perusahaan besar swasta bidang Perkebunan dan Hutan Tanaman Industri (HTI). Hasil analisis JIKALAHARI menemukan bahwa seluas 789.703 hektar dari Hutan Alam yang tersisa tahun 2004 sudah dikuasai untuk dieksplotasi oleh 2 group Perusahaan Bubur Kertas Riau yaitu APRIL (Asia Pacific Resources International Ltd.) Induk PT. RAPP (Riau Andalan Pulp and Paper) seluas 278.371 hektar dan APP (Asia Pulp And Paper) Induk PT. IKPP (Indah Kiat Pulp and Paper) seluas 511.331 hektar beserta Perusahaan mitranya, dan seluas 390.471 hektar telah dikuasai oleh Perusahaan Perkebunan. Ini belum termasuk 19 Perusahaan HPH yang sekarang masih menguasai 834.249 hektar Hutan Alam dan Aktifitas Penebangan Liar yang sudah masuk dalam Kawasan Lindung

Pada tanggal 14 Juni 2005 Pemerintah Pusat melalui Menteri Kehutanan M.S. Ka’ban telah membuat target pembangunan Hutan Tanaman Industri (HTI) di Indonesia hingga mencapai 5 Juta hektar HTI pada tahun 2009. Sementara hingga saat ini telah ada seluas 2,16 juta Hektar HTI yang sudah dibangun, berarti masih akan ada seluas 2,84 juta Hektar lagi HTI yang akan dibangun hingga tahun 2009. Untuk kontek Riau, Kebijakan ini patut dipertanyakan signifikansinya terhadap upaya penyelamatan Hutan Alam yang tersisa, karena keberadaan 2 Pabrik bubur Kertas (APRIL/RAPP dan APP/IKPP Group) di Riau yang mempunyai kapasitas produksi 4 Juta Ton per tahun dalam prakteknya tidak pernah serius menanam HTI untuk memenuhi kebutuhan Bahan Baku yang telah mencapai 18 juta meter kubik per tahun. Saat ini saja kedua Perusahaan Bubur Kertas dan mitranya telah mengantongi izin seluas masing-masing 1.137.028 Hektar untuk APP dan 681.778 Hektar untuk APRIL, sementara operasional kedua perusahaan ini sudah begitu lama (23 tahun IKPP dan 12 tahun RAPP) namun anehnya HTI yang berhasil mereka bangun baru mampu 30 % dari total kebutuhan kapasitas Industri terpasangnya 4 juta ton per tahun. Hal ini berarti kedua perusahaan ini bisa dikatakan gagal/tidak serius, dan hanya mau mengeksploitasi Hutan Alam untuk memenuhi kebutuhan bahan bakunya. Tidak hanya itu, kedua perusahaan ini juga kerap menghalalkan segala cara untuk mendapatkan kayu alam, dan terus mengajukan izin perluasan konsesi di atas Hutan Alam. APRIL misalnya, saat ini masih terus giat melobby Pemerintah untuk dapat menguasai Hutan Alam Gambut Dalam di Semenanjung Kampar dan Pulau Padang seluas 215.790 ha untuk dieksploitasi Kayu Alamnya.

Menurut JIKALAHARI pada tahun 2001-2003 APP dan APRIL juga memanfaatkan secara maksimal kewenangan Kepala Daerah dalam mengeluarkan izin HTI atau IUPHHK-HT dengan menggunakan mitra-mitranya untuk mendapatkan izin eksploitasi Hutan Alam. Bahkan hingga dicabutnya kewenangan Kepala Daerah pada awal 2002 melalui Kepmenhut 541/KPTS-II/2002 tanggal 21 Februari dan diperkuat dengan PP 34 tahun 2002 tanggal 8 juni 2002, mitra-mitra APP dan APRIL tetap mendapatkan izin-izin baru di atas Hutan Alam. JIKALAHARI mencatat ada 34 IUPHHK-HT yang masih dikeluarkan 4 bupati (Inhil, Inhu, Siak dan Pelalawan) dan Gubernur Riau sampai awal 2003. Izin ini jelas telah cacat Hukum, namun baik APP dan APRIL yang menerima kayunya maupun Kepala Daerah yang mengeluarkan Izin seolah-olah tutup mata, penebangan kayu alam terus berlanjut. Hingga pada tanggal 15 Januari 2005 Menteri Kehutanan M.S. Ka’ban mengeluarkan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.03/Menhut-II/2005 dan diteruskan dengan surat edaran ke Gubernur se Indonesia tanggal 25 Februari 2005 yang pada intinya menegaskan bahwa semua IPHHK-HT yang pernah dikeluarkan Kepala Daerah akan dilakukan Verifikasi mengingat kewenangan Kepala Daerah telah dicabut. Menjelang akhir tahun 2005 tim verifikasi bentukan Menteri Kehutanan ini dikabarkan telah turun ke kabupaten Pelalawan, namun apakah hasil verifikasinya menyatakan 21 IUPHHK-HT cacat hukum atau tidak hingga kini belum jelas.

Secara logis, sempitnya lahan produksi, yang mengakibatkan rakyat tidak sanggup lagi mempertahankan hidup secara layak. Rakyat Sialang Rimbun misalnya, hanya mampu mengonsumsi Ubi untuk makanan sehari-harinya, dan sedikit saja dari mereka yang sanggup membeli beras. Inilah hasil dari istilah Pembangunanisme kapitalisme-neoliberal yang dikoar-koarkan pemerintahan SBY-Kalla serta ditindaklanjuti oleh Rusli Zainal. Program-program palsu, lips servis, entah apalagi namanya. Pembangunan yang bisa dikatakan tidak mampu mengaliri sebagian desa di kecamatan Pinggir dengan listrik.

Sempitnya lahan pertanian yang mengakibatkan rendahnya pendapatan rakyat, seperti yang sudah kami tegaskan diatas, adalah hasil perasan dari kebijakan pemberian izin pengelolaan hutan/perkebunan secara besar-besaran, seperti PT. Arara Abadi, yang dalam catatan Human Rigth Wacth sudah banyak memakan korban. Mulai di kabupaten Pelalawan, Kampar, Siak, hingga Bengkalis.

Inilah kemudian yang melahirkan bentuk-bentuk perlawanan rakyat petani berbagai tempat di Riau. Untuk kasus PT. Arara abadi misalnya, sudah banyak korban yang berjatuhan seperti bentrokan antara rakyat angkasa, Balam Merah di Kabupaten Pelalawan dengan perusahaan yang merupakan bagian dari Sinar Mas Group (SMG) itu tahun 2001, kasus Mandiangin (Kab. Siak) tahun 2003, kasus kec. Pinggir (kab. Bengkalis) tahun 2005-2006, kasus Tapung (kab. Kampar) 2006, terbaru adalah kasus di Pinang Sebatang dan sei. Mandau (Akhir tahun 2006). Hal yang paling memiriskan dari kesimpulan pemerintahan di propinsi Riau adalah, selalu mengambil kebijakan stanvas bagi setiap kasus yang ada, bukan malah mengumpulkan data-data tersebut bagi alasan pencabutan SK Gubernur yang pernah dikeluarkan pada 9 Februari 1990.

Dan kemudian, tahun 1996 Menteri Kehutanan pada tanggal 25 November 1996 mengeluarkan surat Pemberian Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri seluas 299.975 ha di Riau kepada PT. Arara Abadi. Surat tersebut bernomor 743/kpts-II/1996 - di Jakarta, isinya menyebutkan bahwa, surat tersebut merupakan surat balasan perusahaan tersebut mengenai permohonan penyediaan lahan untuk perkebunan yang dikirimkan kepada Gubernur Riau pada 7 Oktober 1989 bernomor 57/AIP/UM/-DL/X/89. Hal inilah kemudian yang menjadi dasar konflik agraria antara rakyat dengan perusahaan. Konflik yang memakan tanah adat, ulayat, perkebunan rakyat, bahkan hingga kepada samarnya batas desa, kampong, pekuburan, dan lain sebagainya.

Konflik Antara Masyarakat Riau di beberapa Kabupaten dengan PT. Arara Abadi; Sebuah Catatan Penting

Menurut data yang disampaikan oleh Human Rigth Watch pada 20 Februari 2001 lalu, bahwa Asia Pulp & Paper dari Sinar Mas Group telah memimpin pertumbuhan yang luar biasa ini sebagai produsen terbesar di Indonesia, menghasilkan setengah dari seluruh produksi pulp dan seperempat dari kertas di negara ini. Dengan total kapasitas pulp saat ini sebesar 2,3 juta metrik ton dan kapasitas pengemasan sebesar 5,7 juta metrik ton, Indonesia menempati urutan pertama di antara negara-negara Asia selain Jepang, dan urutan kesepuluh dalam produksi dunia, setelah raksasa-raksasa seperti International Paper, Enso, Georgia Pacific dan UPM Kymmene. Berkantor pusat di Singapura, saat ini APP memiliki 16 fasilitas pabrik di Indonesia dan Cina dan memasarkan produknya di lebih dari 65 negara di enam benua. Pabrik APP Indah Kiat di Perawang, Riau, adalah salah satu dari dua pabrik kertas terbesar di dunia. Indah Kiat sendiri memiliki kapasitas produksi sebesar 2 juta ton pulp dan 1,5 juta ton kertas per tahun, yang telah meningkat pesat dari hanya 120.000 ton pada tahun 1989.

Serat kayu untuk pabrik Indah Kiat dipasok oleh Arara Abadi, yang adalah anak perusahaan Sinar Mas Group, konglomerat yang memiliki APP. Arara Abadi adalah salah satu perkebunan kayu pulp terbesar di Indonesia, yang menguasai konsesi 300.000 hektar di Riau. Peralihan hak atas lahan masyarakat tanpa proses seharusnya atau tanpa ganti rugi yang adil dan tepat waktu merupakan faktor utama yang mendorong perselisihan dan kekerasan antara Arara Abadi dan masyarakat sekitarnya.

Peraturan pemerintah provinsi yang dibuat bahkan pada saat awal pengembangan konsesi perkebunan mengharuskan lahan yang digunakan untuk usahatani masyarakat dan produksi karet dikeluarkan dari areal kerja HTI. Tahun lalu, sebuah survei telah dilaksanakan di kecamatan Bunut (Kabupaten Pelalawan, di mana desa Betung, Angkasa dan Belam Merah berada. Lihat Peta B) oleh tim gabungan yang terdiri dari berbagai pihak yang berkepentingan, termasuk perwakilan dari pemerintah lokal, berbagai LSM, para pemimpin masyarakat lokal, dan Arara Abadi, untuk menentukan luas lahan di dalam kawasan HTI yang diklaim oleh masyarakat lokal. Meskipun areal yang diteliti hanya sebagian kecil saja dari kawasan milik Arara Abadi, survei tersebut menemukan kira-kira 20.000 hektar lahan yang diklaim oleh masyarakat. Fakta bahwa survei kepemilikan lahan secara sistematis dan menyeluruh belum pernah dilakukan merupakan indikasi kegagalan pemerintah dalam menegakkan hak-hak asasi: hukum Indonesia mengharuskan lahan yang diklaim pihak ketiga dikeluarkan dari konsesi hutan.

Catatan Arara Abadi menunjukkan bahwa 113.595 hektar lahan konsesinya telah dikalim oleh masyarakat lokal. Walaupun perusahaan ini menegaskan bahwa setengah dari kasus-kasus ini telah diselesaikan, mereka mengakui bahwa 57.000 hektar masih dalam sengketa. Akan tetapi, perusahaan ini tidak memberi rincian yang terkait dengan penyelesaian yang dilakukan atau lokasi lahan yang dituntut, sehingga tidak mungkin melakukan pemeriksaan silang tentang kemungkinan klaim-klaim ini saling tumpang tindih dengan yang ditemukan oleh tim gabungan tersebut.

Seperti polisi provinsi, para pejabat APP bersikeras bahwa Arara Abadi telah menerima konsesi yang sah dari pemerintah Indonesia. Selain itu karena penduduk lokal tidak memiliki surat kepemilikan resmi atas lahan tersebut, maka mereka tidak mempunyai hak yang sah. Direktur Arara Abadi mengakui bahwa hampir semua masalah keamanan mereka bukan bersumber dari "penebangan liar" seperti yang berulang-ulang ditegaskan oleh berbagai perwakilan, tetapi dari berbagai tuntutan hak atas lahan tradisional oleh masyarakat lokal.

Sebenarnya, hampir semua masalah keamanan kami berasal dari masyarakat lokal. Mereka memiliki hak ulayat. Reformasi telah membangkitkan rasa kepemilikan dan keberanian masyarakat dalam mengajukan tuntutan meskipun mereka tidak mempunyai dokumen resmi. Kadang-kadang pemerintah mengirim seorang penengah (mediator), tetapi ganti ruginya sering terlalu mahal.

Komentar ini mengungkapkan beberapa hal. Pertama, mereka menjelaskan bahwa istilah "penebangan liar" yang tidak tepat sering digunakan untuk mengaburkan tuntutan hak atas lahan masyarakat dan membuat keluhan-keluhan sah dan perlu dinegoisasikan menjadi seperti kegiatan kriminal. Hal ini merupakan faktor yang mendorong konflik-konflik di Angkasa/Belam Merah dan Mandiangin yang diuraikan di bawa. Kedua, pengamatan bahwa reformasi telah membuat masyarakat menjadi "lebih berani" dalam mendesakkan tuntutan mereka merupakan tanda betapa besarnya rasa takut masyarakat akibat diintimidasi di masa lampau. Ketiga, komentar pejabat tersebut menegaskan status kelas dua hak masyarakat asli, meskipun diakui oleh undang-undang. Pejabat Arara Abadi tersebut jelas menyadari bahwa masyarakat mempunyai hak ulayat, tetapi secara tidak langsung menyatakan bahwa akhirnya biaya ganti rugilah yang menentukan apakah hak-hak ini akan diakui atau tidak.

Walaupun Indonesia mengakui hak ulayat dalam undang-undangnya, proses resmi bagi masyarakat lokal untuk mengajukan tuntutan atas lahan belum ada. Berhadapan dengan staf perusahaan dan pegawai pemerintahan lokal yang tidak responsif dan tidak dapat diminta pertanggung gugatannya, masyarakat mungkin mencoba mengajukan kasusnya ke pengadilan. Namuan praktik korupsi dan penyuapan yang harus dilakukan menyebabkan cara ini menjadi tidak praktis bagi masyarakat lokal yang miskin dalam usaha mencari keadilan. Bahkan, perusahaan-perusahaan mengeluh bahwa pengadilan yang korup kadang-kadang meminta mereka memberi ganti rugi kepada penuntut yang tidak sah. Dalam ulasannya pada bulan Juni tahun 2002 mengenai sistem pengadilan di Indonesia, seorang Utusan Khusus tentang Kemandirian Hakim dan Pengacara (Special Rapporteur on the Independence of Judges and Lawyers) dengan terkejut menyimpulkan bahwa ia "tidak menyadari betapa korupsi sudah sedemikian merasuk ke semua sendi." Penilaian ini dikuatkan oleh laporan penelitian yang rinci tentang sistem pengadilan yang disusun oleh Indonesian Corruption Watch. LSM independen ini mendokumentasikan korupsi dan penerimaan suap di semua tingkat proses pengadilan

Karena tidak memperoleh surat kepemilikan dan sistem peradilan yang ada tidak menolong mereka, masyarakat lokal mempunyai beberapa cara untuk membuat pengaduan mereka didengar, dan pengaduan secara informal yang disampaikan ke para pejabat lokal sering dibubarkan oleh pihak yang berwajib, sehingga masyarakat lokal menjadi lebih tersingkir. Seperti yang dikatakan secara terbuka oleh pejabat polisi provinsi,

Ya, mungkin kadang-kadang lahan disita tanpa diberi ganti rugi. Tetapi jika mereka tidak mempunyai surat-surat bukti kepemilikan, maka mereka tidak mempunyai hak sama sekali. Kebanyakan mereka tidak mempunyai surat bukti kepemilikan. Apa bukti tuntutan mereka? Jadi mereka tidak berhak atas apapun.

Lahan Arara Abadi yang luas tidak saja dirampas dari penguasaan lokal. Hutan alamnya juga dibabat habis, yang sebelumnya digunakan secara tradisional oleh masyarakat sekitar untuk usahatani lokal dan pengumpulan hasil hutan, termasuk pohon madu yang berharga secara ekonomi dan budaya yang terdapat di hutan alam, yang kepemilikannya diwariskan dari generasi ke generasi. Kebun buah-buahan dan pohon karet masyarakat juga dibabat. Lahan luas yang dikuasai untuk HTI pulp, digabung dengan konsesi-konsesi yang luas milik perkebunan pulp terbesar kedua di Indonesia, ditambah dengan konsesi-konsesi penebangan dan perkebunan kelapa sawit-menyisakan sedikit lahan yang dapat digunakan untuk memperoleh sumber penghidupan tradisional yang bergantung pada hutan (Peta B menunjukkan seluruh wilayah konsesi).

Peraturan pemerintah mengharuskan semua lokasi dan ladang desa dihilangkan dari wilayah kerja HTI, dan penanaman tidak diizinkan dalam jarak 1,5 km dari desa-desa atau jalan. Namun demikian, pohon-pohon akasia sudah biasa ditanam hingga ke pinggir jalan, dan di beberapa desa, hingga ke pintu dapur rumah-rumah penduduk desa. Seorang pria mengeluh, "Kalau kami ingin membangun kakus, kami harus menebang pohon akasia."

Kenyataannya, perluasan APP/Sinar Mas Group yang dibiayai dari hutang telah menghasilkan pasokan serat kayu yang melampaui pasokan kayu dari perkebunan akasia dan hutan alam yang tersedia dalam konsesi Arara Abadi. Akibatnya APP/SMG harus membeli dari hutan alam tebang habis di luar wilayah konsesinya yang sudah sangat luas. APP/SMG mengakui ketergantungannya pada pembukaan hutan alam untuk memenuhi kebutuhan pabrik: angka-angka yang dilaporkan APP/SMG kepada Human Rights Watch menunjukkan bahwa saat ini pabrik APP, PT Indah Kiat, di Perawang mengunakan kayu seperti itu untuk memenuhi 65 persen dari kebutuhan kayunya-dari total 9,8 juta ton per tahun-saat ini, dari jumlah itu, 25 persen berasal dari luar wilayah konsesinya (meskipun kritikus menyatakan angka itu mendekati 50 persen).

Saat ini, konsesi Arara Abadi meliputi 6 kabupaten. Pada saat dikeluarkan di akhir tahun 1980-an, HTI ini merupakan salah satu yang terbesar di Indonesia. Akan tetapi, pada bulan Oktober tahun 2001, Arara Abadi mengumumkan keinginannya untuk memperluas areal operasinya sebesar dua-pertiga, yang berarti tambahan penebangan seluas 190.000 hektar hutan alam dalam lima tahun berikutnya untuk memasok kapasitas pabrik Indah Kiat Riau yang diperbesar. Perluasan ini akan dilaksanakan melalui "usaha bersama" dengan rekan-rekan yang tidak ditentukan dan di bawah persyaratan yang tidak ditentukan. Lagipula, untuk memenuhi peningkatan kebutuhan akibat peningkatan kapasitas produksi, APP/Sinar Mas Group berencana untuk melipatduakan luas hutan alam yang akan dibabat dalam lima tahun mendatang.

Sekarang ini, insentif ekonomi menjadi tidak layak bagi APP dan pabrik-pabrik pulp di seluruh Indonesia untuk melanjutkan perluasan kapasitas yang berlebihan dan ketergantungan terhadap pembabatan hutan alam, dan tekanan keuangan yang kuat akibat biaya pabrik yang sangat besar dan hutang yang berasal dari kelompok kreditor (saat ini sebagian di antaranya menuntut APP untuk membayar kembali melalui proses litigasi) untuk melanjutkan penghematan dan meningkatkan produksi, tanpa memperhatikan konsekuensi terhadap hak-hak asasi dan lingkungan. Insentif seperti ini, terutama di saat peraturan yang efektif masih tetap tidak ada, akan tetap mengancam hak-hak asasi anggota masyarakat lokal. (untuk lebih jelas mengenai data-data sementara sengketa agraria antara rakyat dengan PT. Arara Abadi, silahkan melihat bundle yang telah kami siapkan. Bahan ini terdapat pada daerah Siak, Bengkalis, dan Kampar).

Dari itu, upaya penangan konflik agrarian yang Serikat Tani Riau mendesak perjuangan untuk :

  1. Ukur ulang seluruh areal HPH/TI, HGU milik perusahaan swasta/pemerintah yang berkonflik dengan rakyat. Pengukuran ulang ini mesti melibatkan masyarakat korban konflik. Untuk Riau, pada tanggal 1 Mei 2007 lalu, Pemerintahan Riau melalui asistennya – Nasrun Efendi – telah mengatakan menganggarkan dana 9 Milyar Rupiah untuk pelaksanaan pengukuran ulang tersebut dan berjanji akan menyeleaikannya hingga akhir tahun 2007.
  2. Cabut – minimal tinjau ulang – Izin HPH/TI, HGU bagi perusahaan yang melakkan pelanggaran (seperti illegal loging, tidak menepati batas waktu inclaving, dl). Karena ditengarai, hal inilah yang menyebabkan konflik berkepanjangan. Misalnya saja, PT. Arara Abdi menurut SK Menhut 743/kpts-II/1996 diberikan waktu untuk melakuakan penyelesaian inclaving 2 tahun setelah SK dikeluarkan. Namun hingga sekarang masih diindikasikan banyak wilayah yang belum mereka inclav, sehinga menyebabkan terjadinya sengketa agraria.
  3. Pemerintah Daerah segera membuat Perda tentang Hak Ulayat dan Adat di Riau. Hal ini dikarekan masyarakat Riau mengakui Lembaga Adat Melayu Riau sebagai sandaran adat di Bumi Lancang Kuning ini.
  4. Tunda Revisi RTRWP Riau sebelum konflik agraria diselesaikan
Catatan :

Pandangan Serikat Tani Riau ini disarikan dari surat yang ditujukan untuk Panitia Ad Hoc II Dewan Perwakilan Daerah RI [PAH II DPD RI] dalam pertemuan pada 26 September 2007 lalu di Ruang Kenanga Kantor Gubernur Riau. Adapun pokok pembahasannya adalah seputar konflik agraria dan illegal loging di Riau.

Sunday, December 23, 2007

Pertanyakan Alokasi Penyelesaian Konflik Rp 9 Miliar, STR Deadline Pemprov Berikan Solusi Hingga Pertengahan Januari 2008

http://www.riauterkini.com/hukum.php?arr=16974

Sabtu, 15 Desember 2007 18:43

Kendati sudah dialokasikan dana untuk penyelesaian konflik senilai Rp 9 miliar di APBD Riau 2007, namun konflik STR-PT Arara Abadi tak kunjung selesai. Pemprov dideadline berikan solusi hingga pertengahan Januari 2008.

Riauterkini-PEKANBARU-Sejak Mei 2007 lalu, saat warga 3 kabupaten melakukan demo besar-besaran dengan massa sebanyak 2000 orang, pemprov Riau berjanji segera menyelesaikan konflik antara warga dengan PT AA. Namun hingga kini, konflik tetap berjalan dan perebutan lahan terus berlangsung dan semakin meluas.

Untuk itu, Ketua Umum Komite Pengurus Pusat Serikat Tani Riau, Riza Suhelmi kepada Riauterkini sabtu (15/12) memberikan waktu (deadline) kepada Pemprov Riau untuk segera menyelesaikan konflik hingga pertengahan Januari 2008 mendatang.

"Kita memberikan batas waktu kepada pemprov Riau hingga pertengahan januari 2008 untuk menyelesaikan konflik. Jika tidak juga dapat diselesaikan kendati sudah dialokasikan Rp 9 miliar untuk membentuk tim penyelesaian konflik, kami akan melakukan class action sekaligus akan memogilisasi massa secara besar-besaran untuk mendesak penyelesaian konflik," ungkapnya.

Ia juga mempertanyakan alokasi dana anggaran penyelesaian konflik sebesar Rp 9 miliar. Menurutnya, dana tersebut disebutkan oleh Nasrun Effendi dan Herliyan Saleh saat menemui 2000 warga yang mendemo kantor gubernur Mei lalu.

"Waktu menemui warga, Nasrun Effendi dan Herliyan Saleh berjanji mengalokasikan anggaran APBD 2007 sebesar Rp 9 miliar untuk membentuk tim guna menyelesaikan konflik warga-Arara Abadi Mei 2007 lalu dihadapan 2000 warga 3 kabupaten (Kampar, Bengkalis dan Siak). Namun kenyataannya hingga kini tidak ada solusi bagi penyelesaian konflik. Lantas uangnya digunakan untuk apa," ungkap Riza mempertanyakan.

Kalau memang alokasi anggaran utu digunakan sebaik-baiknya untuk penyeleaian konflik, pasti saat ini masalahnya selesai. Karena dengan anggaran itu pemerintah sudah menurunkan tim untuk melakukan pemetaan dalam penentuan tapal batas antara lahan milik warga dengan lahan milik PT AA. Namun menurutnya, kondisi di lapangan semakin parah. Warga sudah ingin mengelola lahan ulayat. Sementara PT AA sendiri tidak mau melepas.

Jika PT AA memiliki SK Menhut no.743/1996, Riza menyatakan bahwa dasar warga sangat kuat. Karena selain terdapat pekampungan di kawasan perijinan PT AA, warga memiliki surat dari kerajaan Siak untuk masyarakat Sakai. Kemudian juga ada surat dari pihak PT Chevron Pacifik Indonesia bahwa di kawasan perijinannya, PT CPI memberikan hak kepada warga mengelola lahan di permukaan. Karena CPI sendiri lebih fokus ke sumber daya minyak bumi di bawah permukaan tanah.

Selain itu, tambah Riza, warga juga memiliki SKGR tahun 1980-an dan sudah menetap di kawasan areal perijinan PT AA sejak tahun 1940-an. Jadi menurutnya, warga jelas memiliki hak atas tanah ulayat yang masuk di kawasan HTI-nya PT AA.

"Dalam SK Menhut No.743 itu disebutkan bahwa paling lambat 2 tahun pemegang ijin harus menginclafkan kawasan perkampungan, ladang dan kebun masyarakat dari kawasan HTI pemegang perijinan. Namun mengapa PT AA tidak memiliki itikad baik untuk inclafing lahan warga hingga berlarut-larut selama satu dasawarsa," ungkapnya.***(H-we)

Jalan Panjang Suku Anak Dalam (SAD) Merebut Hak Atas Tanah yang Dikuasai oleh PT Asiatik Persada


Pernyataan Kasus SETARA Jambi dan Suku Anak Dalam 113

Melalui Hak Guna Usaha nomor : 1 tahun 1986, PT BDU (Kini PT Asiatik Persada) beroperasi diwilayah desa Tiang Tunggang Bungku. Sertifikat HGU diterbitkan oleh BPN Kabupaten Batanghari propinsi Jambi Tgl 20 Mei 1987 dengan luas kebun seluas 20.000 Ha yang akan dibangun perkebunan kelapa sawit dan coklat. Sertifikat ini tidak memiliki gambar tanah dan penjelasan.

Selain beberapa perladangan dan kebun masyarakat local, beberapa dusun yang ditempati oleh warga asli yang menyebut dirinya dengan Suku Anak Dalam (SAD) tergusur dengan kehadiran perusahaan yang kini dimiliki oleh pengusaha asal Nias Medan yang memiliki group fonemenal sepanjang akhir tahun 2000 yaitu Wilmar Group. Beberapa dusun itu adalah dusun Padang Salak, Dusun Tanahmenang, dan Dusun Pinang Tinggi.

Bukti dari masuknya dusun ini dalam areal konsesi adalah terlihat dari anak-anak sungai.

Ada Dusun Padangsalak dengan mewarisi beberapa anak sungai seperti Sungai Suban, Sungai Cermin, Sungai Padang Salak, Sungai laman Minang, Sungai Suban Ayomati, Sungai bayan Temen, Sungai Durian makan Mangku, Sungai Lubuk Burung, Sungai Ulu Suban Ayomati.

Dusun Pinang Tinggi yang mewarisi beberapa sungai seperti Sungai Tunggul Udang, Sungai Durian Dibalai, Sungai Empang Rambai, Sungai Nuaran Banyak, Sungai Pematang Tapus, Sungai Nyalim, Sungai Jalan Kudo, Sungai Durian Diguguk, Sungai Patah Bubung, Sungai Durian Diriring, Sungai Bayan Kralis, Sungai Durian pangulatan, Sungai Durian nenek Perda, Sungai Durian Tunggul Meranti, Sungai Mantilingan, Sungai lais, Sungai Sangkrubung, Sungai Durian Jerjak Ui, Sungai Tunggul Meranti, Sungai Tunggul Enaw.

Sedangkan Dusun Tanah Menang mewarisi beberapa sungai yaitu Sungai Limus, Sungai Dahan Petaling, Sungai Langgar Tuan, Sungai Pagar, SungaiKlutum, Sungai Lesung Tigo, Sungai Lamban Bemban, Sungai Tertap, Sungai Nyalim, Sungai Temidai, Sungai Sialang Meranti, Sungai Dahan Setungau, Sungai Ulu Kelabau, Sungai Marung Tengah, SungaiBindu, Sungai Nuaran Banyak, Sungai Semio, Sungai Klabau, Sungai Arang paro.

Kesemua anak sungai tersebut masuk dalam areal perkebunan milik PT Asiatik Persada. Walaupun kini banyak anak sungai yang berubah kondisinya karena ditimbun oleh pihak perusahaan untuk diratakan menjadi kebun sawit, tapi warga SAD masih bisa mengingat dengan baik tempat dan lokasi sungai tersebut.

Beberapa peta dusun yang dibuat oleh warga secara bersama-sama, membuktikan bahwa mereka sangat mengerti dan bahkan hafal dengan lokasi-lokasi pedusunan yang kini sudah berubah menjadi kebun sawit. Bukti bahwa lokasi perkebunan kelapa sawit milik PT Asiatic yang dulunya berada dibawah naungan group lokal Asiatik Mas Coorporation terlihat pada Surat izin prinsip yang dikeluarkan oleh badan Inventarisasi dan Tata Guna hutan Jakarta No. 393/VII-4/1987 tanggal 11 Juli 1987 point 5 bahwa pada lokasi ini terdapat pemukiman penduduk, perkebunan, perladangan, hutan dan belukar milik masyarakat.

Izin prinsip pelepasan kawasan tertera bahwa dari sekitar 27.150 Ha sekitar 23.000 Ha lokasi yang masih berhutan, dan 1.400 Ha belukar, 2.100 Ha perladangan, dan 50 Ha pemukiman penduduk. Persoalan bermula ketika perusahaan ini tidak segera menyelesaikan ganti rugi sebagaimana yang diamanatkan dan disyaratkan untuk memperoleh izin prinsip perkebunan.

Beberapa dokumen sebagai pembukti bahwa Warga Suku Anak Dalam memiliki hak diwilyah perkebunan PT Asiatik Persada.

  1. Surat peninggalan dari Depati Kelek Depati Dusun Pinang Tinggi di tahun 1940 yang ditemukan di Kantor De Controleur Van Moeara Tembesi tertanggal 20 November 1940. pada surat ini tertulis bahwa benar ada pedusunan diwilayah dengan batas-batas ulu sungai bahar berbatas dengan sungai Jentik, wilayah dusun Sungai Jentik dan wilayah ini adalah wilayah Dusun Depati Djentik. Hilirnya Sungai Bahar berbatas dengan Muaro Sungai Markanding dan Markanding. Kiri mudik sungai Bahar berbatasan dengan Sungai Bungin-Sungai Kandang,-Sumatera Selatan. Kanan mudin sungai Bahar berbatasan dengan sungai Bulian-sungai Jernih Pangkal Tigo.
  2. Surat dikeluarkan oleh Pasirah Kepala Marga Batin V Marmio di buat tanggal 4 maret 1978
  3. Surat peninggalan nenek mamak suku kubu 113 menuntut PT BDU (sekarang Asiatik Persada) ditahun 1986.
  4. Daftar lokasi dan jumlah kuburan warga masyarakat Suku Anak Dalam yang berjumlah 259 perkuburan yang terkena penggusuran akibat pembukaan lahan perkebunan kelapa sawit dan coklat ditahun 1985.

Kedudukan berbagai pihak yang mengklaim diri sebagai Suku Anak Dalam

Ada dua kriteria Suku Asli diwilayah ini, yaitu:

  1. Suku Anak Dalam Batanghari Sembilan (Sub Bagian Dari Suku Kubu Lalan Anak Sungai Musi) adalah suku pedalaman yang mendiami kawasan antara sungai Batanghari dan Sungai Musi, dan khususnya mereka disisi perbatasan Propinsi Jambi yang hidup disepanjang anak dari sungai Musi yang mengarah ke Propinsi Jambi. Suku Batin Sembilan berada dan pernah hidup secara tradisional di kawasan sisi perbatasan Sumatera Selatan. Menurut tetua adat disuku Batin ini, bahwa mereka merupakan keturunan dari moyang Nikat Air Hitam Penukal Musi Banyu Asin Palembang, kemudian menyebar dan merambah ke arah jambi melewati daerah Bakal Petas dan kemudian hidup didesa Tanjung Lebar, Pelempang, Nyogan dan Tanjung Pauh, jumlah mereka sekitar 597 KK atau sekitar 2.337 jiwa. Mereka sudah mendiami wilayah sejak puluhan tahun lalu. Sebenarnya mereka punya wilayah tersendiri yaitu di selatan daerah yang namanya Bakal Petas (Batas) yang masuk ke propinsi Sumsel. Di Bakal Petas ini terdapat tanaman yang khas yaitu barisan pohon yang membelah memanjang (sampai sekarang batas alam ini masih tersisa walaupun tidak utuh lagi akibat adanya HPH). Ketika mereka merambah kearah jambi dan melewati daerah Bakal Petas maka mereka melakukan perjanjian dengan tuo-tuo tengganai dari Suku Anak Dalam Sungai Bahar untuk menumpang hidup diwilayah suku Anak Dalam Sungai Bahar yang lebih dulu ada diwilayah ini, adapun isi perjanjian itu pada intinya adalah tanaman tua untuk Suku Anak Dalam Sungai Bahar dan tanaman muda untuk Suku Batanghari IX sebagai pendatang.
  2. Suku Anak Dalam Sungai Bahar (sejak tahun 1999 mereka menyebut dirinya Suku Kubu Bahar Kelompok 113 hal ini untuk menjadi simbol identitas mereka dan membedakan dengan kelompok lainnya) adalah masyarakat asli yang mendiami wilayah ini jauh sebelum kedatangan beberapa kelompok suku asli diatas. Dan berhak atas tanah dan kebun yang tergusur akibat kedatangan perusahaan perkebunan PT Asiatik Persada. Mereka merambah dari arah Muarajangga Tembesi dan akhirnya mendiami Hulu Sungai Bahar. Sungai Bahar merupakan anak dari sungai Musi Sumsel dimana bagian ilirnya merupakan hak Masyarakat Asli Sumsel dan bagian Hulunya merupakan hak Masyarakat Asli Jambi, adapun batasnya adalah tanda alam yaitu daerah Bakal Petas. Perbatasan ini telah diakui oleh nenek moyang dari kedua masyarakat asli diatas. Dan berdasarkan surat pada zaman Belanda tahun 1940 ternyata dusun mereka telah diakui oleh Pemerintah Belanda dan dijadikan dusun khusus Suku Anak Dalam.

Usaha yang sudah dilakukan oleh Suku Anak Dalam kelompok 113

Pertemuan dengan pihak DPRD Batanghari tanggal 10 Maret 2003, yang membahas tentang penggusuran rumah warga kelompok 113. pertemuan ini akhirnya tidak menghasilkan apa-apa, karena pihak DPRD menunggu respon dari pihak perusahaan

  1. Pertemuan kembali dengan pihak DPRD Batanghari tanggal 29 April 2003, kali ini dengan komisi A DPRD dan pihak Komisi A menjanjikan akan mempertemukan masyarakat dengan pihak perusahaan. Dan hasilnya akan ada pertemuan kembali yang akan menghadirkan pihak perusahaan.
  2. Pertemuan dengan pihak DPRD Batanghari dan dihadiri oleh masyarakat sebanyak 113 orang, dan pihak perusahaan hadir Direktur Asiatik Persada Sean Marron. Pada pertemuan ini disepakati bahwa pihak perusahaan akan membangun kebun sawit dan perumahan untuk masyarakat suku kubu asal masyarakat mau dan bersedia menyerahkan lahan dan kebunnya kepada pihak perusahaan. Tapi ternyata janji tinggallah janji.

Sudah hampir 20 tahun warga suku Anak Dalam kelompok 113 ini berjuang untuk mempertahankan tanah warisan nenek moyang, tapi tak kunjung menemukan titik penyelesaian. Dari perusahaan ini dikelola oleh keluarga Senangsyah (1985-2000), kemudian beralih ke perusahaan PMA yaitu CDC-Pacrim/PRPOL (2000-2005), kemudian beralih lagi perusahaan Amerika yaitu CARGILL (2005-2006) dan sekarang dibawah managemen perusahaan besar yang berbasis di Malaisia yaitu Wilmar Group (2006- sekarang). Walaupun kepemilikan perusahaan ini terus berganti, tapi kami dari warga suku Anak Dalam kelompok 113 menuntut :

PERUSAHAAN PT BDU atau PT ASIATIK PERSADA SEGERA MENGEMBALIKAN DUSUN KAMI YAITU DUSUN TANAH MENANG, DUSUN PADANG SALAK DAN DUSUN PINANG TINGGI DAN JUGA MENGEMBALIKAN ANAK-ANAK SUNGAI BERJUMLAH 50 KEPADA KAMI WARGA SUKU ANAK DALAM KELOMPOK 113.

Catatan :

Pernyataan kasus ini dirangkum oleh LSM SETARA Jambi yang mendukung perjuangan SAD bersama dengan Komite Pimpinan Pusat Serikat Tani Nasional.

Tentang Rencana Pengadaan Lahan Pertanian Abadi oleh Pemerintah RI

Saat ini pemerintah melalui Departemen Pertanian (Deptan) tengah menggodok RUU Pengelolaan Lahan Pertanian abadi. Konsultasi publik di beberapa wilayah sedang dilakukan. Sejalan dengan hal ini, DPR RI juga telah memprioritaskan RUU ini kedalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas).Dalam RUU ini pemerintah berangkat pada pemahaman bahwa konversi tanah pertanian telah mencapai tahap yang mengkhawatirkan bahkan telah mencapai 150.000 ha/tahun (Soehartanto: 2005). Konversi ini utamanya disebabkan oleh sistem ekonomi nasional kita yang mendudukan posisi ekonomi pertanian pangan kita yang tidak menguntungkan jika dibandingkan sektor ekonomi lainnya seperti perdagangan, industri dan perumahan.

Dengan titik tolak pandangan seperti ini tentusaja sangat penting dan logis untuk segera melindungi lahan-lahan pertanian pangan kita melalui penetapan kawasan lahan pertanian pangan abadi yang dilarang untuk dikonversi. Penetapan areal lahan abadi pertanian pangan ini akan disesuaikan pada rencana tata ruang wilayah di tingkat provinsi dan kabupaten. Sementara, bagi para pemilik lahan ini akan diberikan berbagai kemudahan insentif fiskal berupa penghapusan pajak, sertifikasi gratis, dan serangkaian insentif lainnya (Pasal 15).

Serikat Tani Nasional berpandangan bahwa,

Penetapan lahan abadi pertanian oleh pemerintah selaras dengan dijalankannya program pembaruan agraria. Subjek utama pengelola lahan abadi pertanian adalah kalangan buruh tani tak bertanah dan petani miskin, bukan golongan investor korporasi pertanian pangan. Hal ini dikandung maksud agar penetapan lahan abadi pertanian membuka jalan bagi buruh tani dan petani miskin memperoleh lahan pertanian dengan luasan lahan yang secara ekonomis dapat menguntungkan sebagai basis mengurangi peningkatan kesejahteraan.

Usaha pertanian yang diselenggarakan di lahan abadi pertanian sebaiknya dikelola melalui badan usaha bersama milik petani dan badan usaha bersama milik desa yang diwadahi dalam bentuk ekonomi koperasi. Hal ini dimaksudkan demi meningkatkan produksi pangan dan kapasitas petani dalam menghadapi pasar agar kelak di kemudian hari mampu ditumbuhkan indutralisasi pertanian verkelanjutan yang dimiliki petani sejak dari benih hingga pemasaran. Patut disertakan menjadi bagian penting bahwa negara/pemerintah perlu :

  1. Menjaminkan adanya kredit usaha [modal produksi], sarana produksi pertanian [pupuk, bibit, penanggulangan hama terpadu, irigasi/pengairan] yang murah, tersedia dan tidak merusak lingkungan serta mengadakan penyuluhan-penyuluhan pertanian untuk membantu para petani memecahkan masalah-masalah teknis yang dihadapinya.
  2. Melindungi perdagangan hasil produksi agar tercipta pasar adil dengan menjauhkan para tengkulak dari kaum tani, menghapuskan sistem riba/ijon/tebas dan sistem sewa tanah dalam usaha pertanian di lahan abad abadi pertanian tersebut.

Lahan pertanian abadi dilarang dikonversi untuk tujuan apapun. Larangan konversi termasuk larangan peralihan lahan dari petani korporasi pertanian pangan, kecuali kepada badan usaha koperasi yang benar-benar dimiliki oleh kalangan petani dan desa.

Yang terakhir, RUU ini mestilah mengaitkan diri dengan semangat yang ada dalam UUPA 1960, UU Penetepan Batas Minimum dan Maksimum Luas Tanah Pertanian yang disesuaikan dengan keadaan sekarang, dan tentu saja UU Pokok Bagi Hasil.

Jakarta, 04 Oktober 2007

Insiden Helikopter, STR dan PT. AA Saling Klaim Jadi Korban Penyerangan

http://www.riauterkini.com/hukum.php?arr=17034

Sabtu, 22 Desember 2007 20:08

Perseteruan Serikat Tani Riau (STR) dan PT. Arara Abadi (AA) terus berlanjut. Terkait insiden helikopter di Suluk Bongkal, kedua pihak saling mengaku sebagai pihak yang diserang.

Riauterkini-PINGGIR- Serikat Tani Riau (STR) mengklaim telah terjadi penyerangan terhadap massa STR di Suluk Bongkal KM 42 Desa Muara Basung, kecamatan Pinggir, Kabupaten Bengkalis, Sabtu (22/12) sekitar pukul 8.30 WIB. STR menuding PT. Arara Abadi (AA) menyerang dengan menggunakan sebuah helikopter terhadap puluhan bendeng yang digunakan massa STR menduduki lahan konsesi HTI PT. AA sejak awal Desember silam. Penyerangan dilakukan dengan menggunakan lemparan batu dan penyiaran cairan berwarna kekuning-kuningan dari helikopter.

"Saya mendapat informasi dari teman-teman lapangan, kalau telah terjadi penyerangan dengan menggunakan helikopter oleh PT. Arara terhadap anggota kami di Suluk Bongkal KM 42," ujar Ketua Umum Komite Pemimpin Pusat (KPP) STR Riza Zulfahmi kepada riauterkini yang menghubungi pagi tadi.

Hanya saja ketika ditanya mengenai kepastian penyerangan yang terjadi di lapangan, Riza belum berani memastikan kebenarannya, karena ia belum turun ke lapangan. Baru setelah dihubungi petang tadi, Riza berani memastikan telah terjadi penyerangan terhadap massa STR di Suluk Bongkal. "Saya sudah mendapat laporan dari Polsek Pinggir, katanya mereka telahmelakukan pengambilan data di lapangan," ujarnya saat hubungi riauterkin kembali pada petang tadi.

Lantas Riza memaparkan, bahwa ia telah mendapat informasi dari dua personil Polsek Pinggir, bernama Jaka dan Yusril, mengenai situasi lapangan. "Polisi mengamankan tiga butir batu sebesar lengan dan mendata kerusakan akibat kerusakan tersebut," ujarnya.

Ketika ditanya mengenai rincian kerugian dan dampak kerusakan akibat penyerangan tersebut, lagi-lagi Riza mengaku belum mengetahui secara detail. Informasi yang disampaikan baru sebatas data dari kepolisian dan dari aktifis STR di lapangan. Ia belum turun lapangan untuk melihat langsung. "Nantilah saya cek lagi," janjinya.

Mengenai laporan kepada kepolisian atas insiden tersebut, Riza memastikan STR belum membuat laporan. "Kami belum membuat laporan resmi kepada polisi atas penyerangan tersebut," ujarnya.

Sementara itu tudingan STR langsung dibantah pihak PT. AA. Justru perusahan pemegang konsesi lahan HTI ratusan ribu hektar itu balik menuding kalau helikopternya menjadi sasaran serangan dengan ketepel dan lemparan batu oleh massa STR. "Helikopter kami yang malah menjadi sasaran serangan massa STR. Heli itu diserang dengan lemparan batu dan ketepel. Lemparan itu ada yang kena dan membuat salah satu baling-baling helikopter rusak," ujar Humas PT. AA Nurul Huda kepada riauterkini yang menghubunginya, Sabtu (22/12).

Nurul lantas menjelaskan, bahwa helikopter berpenumpang lima orang termasuk pilot pagi tadi melakukan penerbangan rutin untuk memantauan titik api. Kerena itu yang diangkut helikopter itu para petugas pemadam kebakaran. "Itu penerbangan rutin, untuk melakukan pemantauan lapangan agar jika ada titik api bisa cepat dipadamkan. Selain itu, penerbangan tersebut juga memantau kondisi lahan yang diduduki massa STR," paparnya.

Ketika barada di sekitar bedeng-bedeng massa STR, lanjut Nurul, helikopter sempat berbutar beberapa kali untuk memastikan situasi lapangan, ketika itulah helikopter diserang dengan lemparan batu dan ketepel. "Jadi tidak benar kalau kami yang menyerang. Justru kami yang diserang," tegas Nurul.

Terhadap aksi pendudukan dan perusakan fasilitasn perusahaan oleh STR, PT.AA mengambil sikap pasif, meskipun selain tanaman egalitusnya dibabat sekitar 120 hektar dan sebuah pos keamanan dibakar, namun tidak ada reaksi balasan. "Kalau kami mau menyerang balik, tentu saat tanaman kami dibabat atau saat pos keamanan kami dibakar," demikian penjelasan Nurul.***(mad)

Catatan :

Hingga hari ini, para anggota Serikat Tani Riau jaringan Serikat Tani Nasional terus mempertahankan tanah yang telah diduduki dengan mendirikan sejumlah besar pos-pos pengamanan swakarsa.

Sementara di Jakarta, KomitePimpinan Pusat Serikat Tani Nasional tengah menggalang dukungan dari berbagai pihak untuk mendesak percepatan penyelesaian konflik dan meluluskan tuntutan perjuangan Serikat Tani Riau kepada pihak Menteri Kehutanan RI.

Gambar diambil dari http://www.riauterkini.com/photo.php?arr=1570

Saturday, December 22, 2007

Tradisi Besale, Bertahan Bersama Suku Anak Dalam

http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0712/19/daerah/4090527.htm

Nusantara
Rabu, 19 Desember 2007

Tanah Air

Irma Tambunan

Udara dalam rumah panggung milik Hasan terasa sesak. Asap kemenyan berpendar memenuhi ruangan, sementara sebagian orang terus menyanyi, menari, sambil mengelilingi Susi yang menggendong bayinya, Mima (3). Selama tiga malam berturut-turut, pesta adat digelar untuk memohon kesembuhan Mima.

Masyarakat suku anak dalam atau orang rimba menyebut tradisi ini besale, ritual pengobatan tradisional yang dipimpin dukun, untuk mengusir roh jahat yang dipercaya bisa menyebabkan orang jatuh sakit.

Mima, bayi yang mereka kasihi itu, sudah sebulan sakit parah. Ia menderita diare dan muntah-muntah, bahkan sempat pingsan selama satu minggu. Orangtuanya kebingungan untuk menyembuhkan si anak bungsu karena obat-obatan yang selama ini mereka gunakan, yaitu air rebusan pasak bumi, tidak mempan menyembuhkannya.

Amid, kepala adat yang juga kakek Mima, berembuk dengan sejumlah warga. Mereka sepakat melaksanakan tradisi besale. Hanya selang dua hari, besale digelar dalam sebuah rumah panggung yang baru selesai dibangun bersama.

Cukup rumit persiapannya. Sembilan rumah-rumahan dari bambu berisi berbagai jenis makanan disiapkan lengkap dengan kemenyan dan bunga-bungaan, yang dipasang di langit-langit rumah milik Hasan, paman Mima. Ini menjadi sesaji, selain lilin lebah, ketan, berondong padi, telur, ayam, dan dupa.

Ruangan itu sangat ramai dan sedikit sesak. Sekitar 50 orang memenuhinya sejak pukul 23.00. Mereka tidak beranjak pulang sampai seluruh prosesi besale selesai esok paginya, sekitar pukul 06.00.

Di luar dari berbagai persiapannya dibutuhkan setidaknya tujuh jam untuk satu kali pelaksanaan besale. Dalam kunjungan ke komunitas orang rimba di Sungai Bahar, Batanghari, Jambi, awal November lalu, Kompas merekam ada lima prosesi doa, yang kemudian berakhir dengan makan bersama pada sekitar pukul 06.00.

Besale dimulai dengan tari-tarian mengelilingi Mima yang berada dalam dekapan Susi. Mereka berdua duduk di tengah-tengah ruangan. Persis di atas mereka tergantung sebuah rumah-rumahan atau balai dari bambu berisikan makan-makanan.

Tiga pemimpin besale atau disebut datuk alias dukun mengawali tarian sambil mengelilingi Mima. Mereka mengucapkan doa-doa dalam bahasa rimba yang sulit diikuti, maupun dimengerti, sesekali mereka menyentuh dan mencium anak itu untuk menunjukkan rasa sayangnya.

"Doa-doa ini hanya dapat dinyanyikan serius, tidak bisa begitu saja diucapkan. Namun, artinya dapat saya katakan, kami sedang mengundang nenek moyang hadir di sini untuk membantu kesembuhan cucu kami," ujar Amid.

Sebagian besar tradisi orang rimba ini memang sangat dekat dengan mistik. Pada prosesi awal, misalnya, selama dua jam lebih mereka mengundang kehadiran roh nenek moyang dengan nyanyi-nyanyian dan tari-tarian. Alat musik tabuhan terus mengiringi lantunan suara nyaring mereka.

Suasana riuh ini baru mereda setelah tiga datuk berkain dan bersorban putih duduk bersila. Mereka membeberkan sumber penyakit yang dialami Mima. Salah satu datuk mengatakan, Mima sakit karena selama ini kurang mendapat perlakuan baik dari orangtuanya. Makanan yang diberikan kepadanya sangat tidak memadai. Kondisi yang tidak berpihak kepada Mima ini berlangsung cukup lama sehingga menyebabkan Mima sakit.

Prosesi kemudian dilanjutkan kembali oleh tarian-tarian, dengan lilin menyala di sekeliling mereka. Padi yang telah dibakar disebarkan ke semua orang. Sejumlah balai berisi makanan, seperti balai kurung, balai mun, balai angin, balai pengasuh, dan balai pengadapan, diturunkan dari ikatannya di langit-langit ruangan.

Riuh kembali ditutup oleh keheningan. Datuk pun membeberkan bahwa Mima dapat sembuh, tetapi ada syaratnya. Satu minggu setelah Mima sembuh, semua warga rimba setempat harus menggelar pesta sebagai tanda syukur, sedangkan sembilan balai berisi makanan yang digantung di langit-langit rumah harus dinikmati bersama oleh semua warga. Dan yang terakhir, kedua orangtua wajib merawat Mima dengan sebaik-baiknya, tanpa perlakuan yang kasar.

Tak terasa, sang fajar mulai datang. Mereka menutup seluruh prosesi itu dengan ucapan syukur, makan bersama.

Tidak mudah

Masyarakat rimba di Sungai Bahar adalah kaum yang terusir dari hutan yang selama ini mereka sebut "rumah". Seingat Amid yang kini berusia sekitar 70 tahun, sejak tahun 1990-an ia dan rombongannya sudah tiga kali bermigrasi yang disebabkan oleh pembukaan hutan menjadi kebun sawit. Amid awalnya tinggal di hutan daerah Markanding. Lalu, karena wilayah itu akan dibangun kebun sawit oleh PT Perkebunan Negara, mereka ditawari program transmigrasi sosial ke Dusun Sungai Dayoh. Mereka akan dipekerjakan sebagai buruh plasma.

"Kami menolak tawaran itu karena kami ini orang-orang yang tinggal dalam hutan, bukan di dusun," tuturnya.

Dari situlah keberadaan Amid dan masyarakat rimba semakin terimpit. Ketika PT Asiatic membuka lahan sawit baru, Amid dan warganya terpaksa kembali terusir, dan mencari hunian lain yang masih berupa hutan.

Tak terasa hutan mereka terus ditebangi pohon-pohonnya oleh para pembalak liar. Perambahan juga kian meluas. Ini mengakibatkan sumber-sumber makanan orang rimba kian sulit didapat. "Kalau dulu kami makan ayam atau rusa, tidak susah. Ada banyak rusa dalam rimba. Tapi sekarang, makanan sulit didapat. Kami sering kelaparan," tuturnya.

Perubahan alam akibat ulah manusia membuat kehidupan orang rimba kian sulit. Menurut Amid, orang rimba mati karena sakit dan kelaparan sudah kerap terjadi. "Dokter keliling tidak pernah kemari. Kami pun takut dicucuk jarum suntik. Kami lebih pilih obat akar-akaran atau daun-daun pahit dari hutan," tuturnya.

Ketika obat-obatan tradisional tidak mempan menyembuhkan penyakit, orang rimba masih memiliki pengharapan terakhir, yaitu besale. Mereka percaya bahwa alam semesta memiliki banyak jenis roh yang melindungi manusia. Untuk itu, manusia harus menghormati roh, dan tidak merusak unsur-unsur alam, seperti hutan, sungai, dan bumi.

Gelisah

Akan tetapi juga muncul kegelisahan, bahwa tradisi yang telah mengakar sepanjang hidup mereka kini menjadi tradisi yang makin sulit dilaksanakan. Pasalnya, untuk menjalankan tradisi ini, dibutuhkan berbagai sesaji yang kini semuanya tak mudah didapatkan di dalam hutan. Orang rimba harus mengeluarkan uang yang mereka sendiri sulit mendapatkannya, untuk belanja di pasar.

"Untung saja masih ada keluarga yang mau menolong, memberikan kami uang untuk beli sesaji. Kalau tidak, susah payah betul untuk melaksanakan besale ini," tutur Susi, ibu Mima.

Entah sampai kapan tradisi ini dapat bertahan, di tengah keterimpitan hidup orang rimba.

Catatan :

Masyarakat Suku Anak Dalam di Sungai Bahar tengah berjuang bersama Komite Pimpinan Pusat Serikat Tani Nasional dan LSM SETARA di Jambi untuk mendapatkan kembali hak atas tanah mereka seluas 2000 - an hektar yang hingga dewasa ini diusahai oleh PT. Asiatic Persada, anak perusahaan WILMAR Groups Malaysia.

Pihak Kantor Wilayah Badan pertanahan Nasional Propinsi Jambi tengah mengadakan penelitian guna menyimpulkan keberadaan hak atas tanah di lokasi tersebut.

Ratusan Petani Labuhanbatu Unjuk Rasa Tuntut PT Sipef Kembalikan Lahan 662 Ha

http://hariansib.com/2007/12/19/ratusan-petani-labuhanbatu-unjuk-rasa-tuntut-pt-sipef-kembalikan-lahan-662-ha/

Labuhanbatu (SIB)

Ratusan massa petani yang tergabung dalam Kelompok Tani Tiga Maju (KTTM) Kecamatan Pangkatan, Labuhanbatu, berunjukrasa ke DPRD setempat, Senin (17/12), menuntut agar lahan seluas 662 hektar yang kini dikuasai PT Sipef Pangkatan, dikembalikan kepada masyarakat sebagai pemilik lahan. Termasuk di dalamnya, Dusun Tiga Maju Bulu Sari, Desa Sido Rukun yang turut dikuasai perusahaan perkebunan kelapa sawit itu.

Dalam aksi damai itu, massa yang diterima Komisi A, juga membawa alat peraga yang menggambarkan ketertindasan masyarakat oleh PT Sipef. Alat peraga itu berupa tabung berbentuk pabrik dengan pelataran rumah dinas PT Sipef. Alat peraga itu dipikul warga dalam aksi itu, yang menggambarkan beban berat yang diterima warga terhadap kehadiran perusahaan itu.

Melalui sidang konsultatif dengan DPRD, disepakati akan ditindaklanjuti pasca tahun baru mendatang. Direncanakan, DPRD akan mengundang pihak PT Sipef, BPN, Tim Verifikasi Tanah Pemkab Labuhanbatu dan unsur lainnya yag dianggap perlu.

Kepada wartawan, penasihat KTTM, Tirman, menyebutkan sengketa lahan dimaksud mulai tahun 1970 -1980 lalu. Luas lahan yang disengketakan itu dikuasai PT Sipef Pangkatan.

Dalam pernyataan sikap massa juga diterangkan, lahan tersebut sebelumnya telah diusahai masyarakat sejak lama. Di masa orde baru, masyarakat diusir dari lahan itu dengan tuduhan anggota Barisan Tani Indonesia (BTI) yang merupakan barisan Partai Komunis Indonesia (PKI). Termasuk warga yang bermukim di Dusun Tiga Maju Bulu Sari.

Dengan berkedok penanaman modal asing (PMA), massa menuding PT Sipef berperan besar dalam penggusuran yang dilakukan dengan berbagai intimidasi itu. Untuk itu, massa menuntut agar Pemkab Labuhanbatu meninjau ulang hak guna usaha (HGU) PT Sipef Pangkatan. Mengeluarkan serta mengembalikan lahan seluas 662 hektar dari HGU PT Sipef, kepada masyarakat. Mengembalikan Dusun Tiga Maju Bulu Sari yang kini sudah berubah menjadi lahan perkebunan perusahaan itu.

Sejauh ini, sudah dua Kelompok Tani (Poktan) yang bersengketa dengan PT Sipef dalam kasus yang sama. Selain KTTM, juga ada Kelompok Tani Bersatu (KTB) Desa Menanti, Kecamatan Bilah Hilir.

KTTM mempersengketakan lahan seluas 662 hektar di Kecamatan Pangkatan, KTB justru mencapai 700 hektar di Kecamatan Bilah Hilir. Hingga saat ini, kedua kelompok tani sama-sama berjuang dalam mendapatkan lahan yang diklaim miliknya yang dirampas PT Sipef. (S25/y)

Catatan :

Kelompok Tani Tiga Maju dan Kelompok Tani Bersatu adalah jaringan Komite Pimpinan Pusat Serikat Tani Nasional di Propinsi Sumatera Utara.

Tuesday, December 11, 2007

Merebut dan Menduduki Kembali Tanah Rakyat

Dalam rangka menyambut perayaan hari HAM Internasional, sejak Kamis [06/12] hingga Senin [10/12] Serikat Tani Riau selaku jaringan Serikat Tani Nasional menyelenggarakan serangkaian perjuangan massa dengan merebut dan menduduki 8000 Ha areal PT. Arara Abadi. Perusahaan ini adalah pemegang hak pengusahaan hutan tanaman industri untuk bahan pulp and paper.

Serikat Tani Riau berpandangan bahwa areal konflik tersebut patut direbut oleh kaum tani miskin dan tak bertanah yang berasal dari kalangan masyarakat adat sakai dan golongan yang lainnya. Mengingat, pemberian hak pengusahaan kepada PT. Arara Abadi oleh pemerintah telah meminggirkan masyarakat dari penghidupannya yang bersandar pada hutan dan wilayah kelolanya.

Disamping itu, tindakan kelompok pengamanan swakarsa 911 PT. Arara Abadi seringkali melakukan tindak kekerasan terhadap masyarakat, baik secara fisik maupun perkataan yang intimidatif.

Keadaan tersebut menunjukkan kelemahan negara melindungi hak-hak konstitusional rakyatnya, khususnya dalam bidang sosial-ekonomi dan budaya. ini adaah pelanggaran HAM.

-----

http://www.riauterkini.com/hukum.php?arr=16903

Senin, 10 Desember 2007 21:10
Massa STR Sandera Lima Karyawan PT. AA di Kampar

Perseteruan massa STR dengan PT. Arara Abadi meluas ke Kampar. Puluhan massa STR menyandera lima karyawan dan sebuah alat berat di Kecamatan Tapung.

Riauterkini-PEKANBARU- Puluhan massa Serikat Tani Riau (STR) melakukan penyanderaan terhadap lima karyawan PT. Arara Abadi dan sebuah alat berat di Desa Pantai Cermin, Kecamatan Tapung, Kabupaten Kampar, Senin (10/12). Penyanderaan terjadi sebagai buntut dari sengketa lahan 30 hektar antara warga dengan perusahaan.

Penyanderaan terjadi mulai dari pukul 11.00 WIB, hingga pukul 16.00 WIB. Selama disandera, kelima karyawan tidak boleh pergi daerah lokasi tempat penahanan alat berat.

Ketua Umum Komiter Pimpinan Pusat (KPP) STR Reza menilai yang dilakukan anggotanya di Tapung bukan penyanderaan. "Kita bukan menyandera, melainkan menahan mereka agar tidak melakukan aktifitas di lahan yang masih sengketa. Sudah kita lepas lagi, kok," ujarnya saat dihubungi riauterkini, Senin malam.

Sementara itu, Humas PT. AA Nurul Huda menyatakan telah melaporkan secara resmi tindak penyanderaan yang dilakukan massa STR terhadap lima karyawannya dan sebuah alat berat. "Kita sudah laporkan ke Polsek setempat dan saya yakin polisi akan memprosesnya," ujar Nurul kepada riauterkini lewat telephon.

Kapolsek Tapung AKP Yulian Effendi membenarkan kalau pihaknya telah menerima pengaduan resmi dari PT. AA. "Kita memang telah menerima laporan dari perusahaan atas terjadinya penyanderaan terhadap lima karyawan dan sebuah alat berat oleh massa STR. Kita akan proses sesuai ketentuan yang berlaku," ujarnya melalui telephon.***(mad)

-----

http://www.riauterkini.com/hukum.php?arr=16902

Senin, 10 Desember 2007 20:27
STR: Polisi Status Quokan 8.000 Lahan Konsesi PT. Arara Abadi

Aksi pendudukan massa STR atas ratusan hektar lahan konsesi HTI PT. Arara Abadi sementara dihentikan. STR mengklaim Polda Riau telah menetapkan status quo atas lahan tersebut.

Riauterkini-PEKANBARU- Setelah memenuhi panggilan Kapolda Riau Brigjen Pol Sutjiptadi di Mapolda Riau, Senin (10/12) tadi siang, Ketua Umum Komite Pimpinan Pusat Serikat Tani Riau (KPP STR) Reza menyampaikan informasi bahwa Polda Riau telah menetapkan lahan seluas 8.000 hektar yang menjadi obyek sengketa PT. Arara Abadi (AA) dengan STR dalam status quo.

"Kami tadi telah bertemu dengan Kapolda Riau, setelah beliau mengundang kami ke kantornya. Dari pertemuan tersebut, Kapolda menyatakan bahwa lahan sengketa antara kami dengan PT.Arara Abadi dinyatakan dalam status quo," ujar Reza kepada riauterkini yang menghubungi telephon genggamnya.

Hanya saja ketika ditanya dalam bentuk apa keputusan Polda tersebut, Reza tak bisa merincikan, tetapi yang jelas tidak dalam bentuk surat tertulis. "Tidak ada surat tertulis, beliau hanya mengatakan status quo saja," tukasnya.

Namun kepastian kebenaran penepatan status quo tersebut belum ada. Polda sendiri belum memberikan keterangan resmi mengenai hal itu.

Sementara Humas PT.AA Nurul Huda mengaku belum mengetahui adanya penetapan status quo oleh Polda, jikapun ada, Nurul menilai keputusan Polda tersebut tidak tepat, sebab tidak ada kewenangan Polda menetapkan status quo. "Setahu saya yang berhak menetapkan status quo bukan polisi, melainkan pengadilan," ujarnya saat dihubungi riauterkini.***(mad)

-----

http://www.riauterkini.com/hukum.php?arr=16890

Senin, 10 Desember 2007 16:43

Akui Bakar Pos Sekuriti, Dua Pengurus STR Penuhi Panggilan Polda Riau

STR secara terus terang mengakui membakar pos sekuriti PT.AA. Sementara itu dua pengurusnya tadi memenuhi panggilan Polda Riau untuk dimintai keterangan.

Riautrkini-PEKANBARU- Koordinator lapangan Serikat Tani Riau (STR) Tongah secara terus terang mengakui kalau pembakaran pos sekuriti PT. Arara Abadi (AA) kemarin petang, Ahad (9/12) dilakukan anggotanya.

"Memang kami yang melakukan pembakaran pos keamanan itu. Kami membakarnya untuk membalas dendam," ujar Tongah saat dihubungi riauterkini melalui telephon genggam, Senin (10/12).

Dijelaskan Tongah, balas dendam yang dimaksud adalah prilaku sekuriti PT. AA yang telah membakar beberapa kamp STR pada pertengahan Bulan Ramadhan lalu. "Dulu waktu tanggal 18 Puasa itu mereka membakar bedeng kami dan mengusir kami keluar. Mereka bilang, cepat keluar dari areal ini, anjing-anjing kami sudah lapar. Itulah yang membuat kami dendam," tegasnya.

Selain mengakui terlibat dalam pembakaran pos sekuriti, Tongah juga mengatakan kalau dirinya bari kembali di Polda Riau untuk menjalani pemeriksaan. "Saya dipanggil lewat telephon untuk datang ke Polda Riau. Saya datang dan memberi keterangan serta surat-surat bukti kepemilikan tanah kami," ujarnya.

Setelah memberi keterangan dan menyerahkan surat tanah, Tongah yang didampingi seorang pengurus kelompok tani Seluk Bongkal Rasyid langsung pulang.***(mad)

-----

http://www.riauterkini.com/sosial.php?arr=16870

Sabtu, 8 Desember 2007 11:48
Lahannya Dirusak dan Diduduki, PT. AA Siap Melepas, Jika Diputuskan Pemerintah

Terkait aksi perusakan dan pendudukan ratusan hektar lahan HTI-nya, PT. Arara Abadi menyatakan tidak keberatan melepas kawasan tersebut, asal pemerintah memutuskan demikian.

Riauterkini-PEKANBARU- Meskipun sejak Kamis (6/12) lalu seribuan orang yang tergabung dalam Seritat Tani Riau (STR) telah melakukan aksi perusakan dan pendudukan ratusan lahan Hutan Tanaman Industri (HTI) milik PT.Arara Abadi, namun pihak perusahaan belum bereaksi untuk melakukan pembebasan kawasan tersebut. Bahkan pihak security diintruksikan untuk tidak mengambil tindakan apapun di lapangan. Kebijakan ini diambil untuk menghindari bentrok dengan massa.

"Sejauh ini, PT AA tidak menurunkan tim security dari 911 untuk mengamankan lokasi. Keputusan tersebut merupakan kebijakan manajemen dengan tujuan tidak memperkeruh suasana di TKP yang memang sudah memanas. Kalau ada bus yang mengangkut para anggota security 911, itu hanyalah pergantian sift kerja mereka di pos-pos tertentu. Paling banter, 1 bus berisi 30-an anggota saja," ungkap Humas PT. AA Nurul Huda kepada riauterkini melalui telephon, Sabtu (8/12).

Disinggung tentang ribuan hektar lahan yang diklaim dan dituntut warga, Nurul menyatakan bahwa perusahaan bersedia menginclaf atau melepas lahan itu untuk warga. Namun demikian, itu harus menjadi keputusan pemerintah sebagai dasar hukumnya jelas.

"Sebagai pemegang hak konsensi, kami bukan pemilik. Pemilik lahan adalah pemerintah. Kalau pemerintah memutuskan itu harus diinclaf, kita ikut saja," demikian penjelasan Nurul Huda.***(mad)

-----

http://www.riauterkini.com/sosial.php?arr=16869

Sabtu, 8 Desember 2007 10:58
Polisis Didesak Tegas Menindak, Aksi Perusakan dan Pendudukan Areal HTI PT. Arara Abadi Berlanjut

Seribuan massa Serikat Tani Riau (STR) sudah tiga hari melakukan aksi perusakan dan pendudukan ratusan hektar areal HTI PT. Arara Abadi. Pihak perusahaan mendesak polisi bertindak tegas menindak.

Riauterkini-MANDAU- Setelah sehari sebelumnya seribuan massa yang tergabung dalam Serikat Tani Riau (STR) membabat puluhan hektar tanaman akasia di areal Hutan Tanaman Industri (HTI) PT. Arara Abadi (AA), pada Jumat (7/12) kemarin, aksi tersebut berlanjut. Sampai Jumat sore, kebun akasia yang telah dibabat kemudian diduduki warga sekitar 210 hektar. Aksi ini dilakukan warga yang berasal dari 6 desa di Kecamatan Mandau dan Pinggir, Kabupaten Bengkalis tersebut merupakan kelanjutan aksi serupa pada Juli silam. Mereka mengklaim ribuan haktar kawasan HTI PT. AA merupakan tanah ulayat mereka dan harus dikembalikan.

Kawasan HTI PT Arara Abadi yang sempat dirusak warga adalah di Muara Bungkal (40 Ha), Melibur (40 Ha), Tasik Serai Timur (40 Ha), Umar Kasil (80 Ha), Raso Kuning (25 Ha) dan Mandi Angin (80 Ha). Kawasan yang dirusak warga diklaim sebagai tanah ulayat.

Tokoh Masyarakat Desa Tasik Serai Timur, Walianto kepada Riauterkini Jum'at (7/12) menyatakan bahwa setidaknya, 200 warga desa Tasik Serai Timur sejak pagi sudah berkumpul di Km 70 pinggiran desa Tasik Serai Timur. Mereka bermaksud untuk membabat tanaman akasia di pinggiran desa.

Hingga tengah hari dari pihak manajemen PT AA tak kunjung mendatangi massa warga, akhirnya warga benar-benar membabat akasia di kawasan tersebut. Hasilnya, puluhan hektar akasia (Eucalyptus) yang baru tumbung setinggi 1 - 1,5 meter habis dibabat massa warga Tasik Serai Timur. Bahkan papan peringatan larangan beraktivitas di kawasan HTI ditumbangkan warga.

Aksi itu turut pengakuan Walianto, warga asli Jawa kelahiran Sumatera Utara dan tinggal di Tasik Serai Timur sejak tahun 1992 itu, dipicu penanaman akasia oleh perusahaan. Padahal setelah dibentuknya tim 9 oleh Pemkab Bengkalis dan kawasan tersebut dinyatakan sebagai status quo. Namun menruutnya, Kendati status lahan adalah status quo, pihak perusahaan masih melakukan penanaman pohon akasia.

"Seharusnya pihak perusahaan menunggu hingga keputusan pemerintah keluar yang menyatakan lahan itu hak siapa yang mengelolanya. Bukan lantas keputusan belum keluar namun masih terus menanami dengan akasia," ungkap Walianto.

Sementara itu, kanit Intel Polsek Pinggir, Bripka Novrianto yang masih berjaga-jaga di Tempat Kejadian Perkara (TKP) menyatakan bahwa untuk menjaga segala kemungkinan, pihaknya menurunkan 25 personil dari Polsek Pinggir. Jumlah tersebut ditambah 5 personil intel yang di BKO-kan dari Polres Bengkalis.

"Kami hanya berjaga-jaga di TKP agar tidak terjadi bentrok dan ricuh antara pihak keamanan perusahaan (911) dengan warga. Karena dalam kondisi meradang kedua belah pihak bisa saja tersulut untuk terjadi bentrokan. Karena sebelumnya sudah sempat terjadi bentrokan antara kedua belah pihak hingga memakan korban jiwa," ungkapnya.

Menurutnya, sebenarnya sejak 2 tahun terakhir ini sudah dibentuk tim 9 yang terdiri dari beberapa instansi untuk menyelesaikan permasalahan tersebut. Namun hingga kini permasalahan tak kunjung selesai. Sementara upaya tim 9 hingga kini tidak nampak hasilnya. Padahal menurutnya, warga sudah ingin menyelesaikan permasalahan tersebut.

"Sebab lahan yang menjadi perijinan PT AA adalah lahan negara yang 'dipinjamkan' kepada PT AA untuk dikelola selama kurun waktu tertentu. Jika pihak PT AA menanaminya dengan komoditi perkebunan, maka pihak perusahaan yang akan menerima sanksi dari pemerintah," ungkapnya.

Sementara itu pihak PT. AA melalui Humasnya Nurul Huda mendesak aparat kepolisian mengambil tindakan tegas terhadap para perusak kebun HTI perusahaannya. "Semestinya polisi bertindak tegas, karena yang mereka lakukan jelas-jelas pelanggaran hukum. Merusak dan menghancurkan milik orang lain. Apa lagi ini merupakan kejadian ulangan, dan kita sudah melaporkan ini secara resmi ke Polsek Pinggir," ujarnya kepada wartawan.

Dikatakan Nurul, kemarin, Kamis (6/12) pihak perusahaan langsung membuat laporan resmi begitu mendapatkan kepastian telah terjadi pembabatan tanaman akasia. Sayangnya hingga saat ini belum ada tindakan tegas yang diambil polisi terhadap aksi massa tersebut.

Kapolsek Pinggi AKP Widi H mengakui adanya laporan dari pihak perusahaan, namun ia mengatakan tidak mungkin melakukan penangkapan terhadap massa dalam jumlah seribuan seperti itu. ***(H-we)

-----

http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0712/07/daerah/4051692.htm

Nusantara

Jumat, 07 Desember 2007
Konflik Lahan. Warga Tebangi Ekaliptus PT Arara Abadi

Pekanbaru, Kompas - Ratusan warga dari Desa Suluk Bongkal, Desa Tasik Serai Timur, dan Desa Melibur, Kecamatan Pinggir, Kabupaten Bengkalis, Riau, menduduki kawasan hutan yang masuk dalam konsesi perusahaan hutan tanaman industri PT Arara Abadi. Warga juga menebang ribuan pohon ekaliptus di areal tersebut.

Ketegangan muncul setelah puluhan petugas keamanan PT Arara Abadi (AA) mulai berjaga-jaga di areal yang disengketakan pada Kamis (6/12) petang. Meski demikian, sampai kemarin belum ada kontak fisik.

"Warga hanya mengambil tanah ulayat milik petani yang diambil oleh PT Arara Abadi. Aksi ini kami lakukan karena tidak ada penyelesaian dari pihak perusahaan. Perusahaan masuk terlalu jauh dari lokasi konsesinya," ujar Antoni Fitra, salah seorang koordinator aksi dari Serikat Tani Rakyat, yang dihubungi lewat telepon di Kecamatan Pinggir, Kamis.

Menurut Antoni, aksi akan berlangsung sampai tanggal 10 Desember. Sejak kemarin, warga sudah mendirikan kamp dan posko di areal yang diduduki. "Dua hari pertama ini, fokus pekerjaan kami menebang |pohon ekaliptus yang ditanam PT Arara Abadi di lahan kami. Selanjutnya, kami akan menanam tanaman pertanian di areal itu," katanya.

Antoni menyatakan, PT AA telah menyerobot areal kebun milik warga sekitar 8.000 hektar.

Humas PT AA, Nurul Huda, mengatakan, kasus areal yang disengketakan itu pernah dimediasi oleh Pemerintah Kabupaten Siak dan Pemkab Bengkalis. Kesimpulan mediasi, lahan sengketa merupakan kawasan hutan negara yang hak konsesinya diberikan kepada PT AA.

"Bersama Dinas Kehutanan, kami sudah memetakan ulang. Kesimpulannya, areal sengketa itu memang kawasan hutan, bukan lahan pertanian milik masyarakat. Warga tidak mampu menunjukkan surat-surat yang mendukung kepemilikan tanah. Mereka juga mempersoalkan tanah setelah kami menanam ekaliptus," kata Nurul.

Nurul menyatakan, persoalan sudah diserahkan kepada kepolisian. Namun, Kepala Kepolisian Sektor Pinggir AKP Widi Hardianto, yang dihubungi secara terpisah, mengatakan belum menerima laporan dari pihak perusahaan. Dalam aksi pendudukan lahan itu, Widi mengaku tidak diberi tahu oleh warga.

"Kami hanya melakukan pemantauan dan sampai saat ini situasi masih kondusif," kata Widi. (SAH)

Ratusan Petani Geruduk Kantor BPN

http://www.suaramerdeka.com/

Rabu, 05 Desember 2007 SEMARANG

UNGARAN - Ratusan petani Ngoho, Desa Kemitir, Kecamatan Sumowono, Kabupaten Semarang, mendatangi kantor Badan Pertanahan Nasional (BPN) setempat, Selasa (4/ 12). Mereka yang mengatasnamakan Komite Pimpinan Desa Serikat Tani Nasional ''Setyo Manunggal'' Desa Kemitir mengajukan sejumlah tuntutan soal sengketa kebun Kaligintung. Kawasan Kaligintung ini terhampar di dua wilayah perbatasan antara Kabupaten Semarang dan Temanggung.

''Kami meminta pencabutan hak guna usaha (HGU) PT RSM/ kebun Kaligintung sebagai wujud pertanggungjawaban negara terhadap rakyatnya,'' kata Suryono, salah satu tokoh serikat tani, kemarin.

Para pengunjuk rasa juga secara tegas menolak surat penghentian penggarapan lahan yang diterbitkan PT RSM kepada para petani penggarap, yang membuka lahan di atas tanah sengketa. Sekitar dua ratus orang pendemo tersebut meminta pendistribusian tanah yang disengketakan kepada para petani penggarap, secepatnya.

Asyari warga Ngoho, Kemitir, mengatakan selama ini dia mengalami penderitaan karena merasa ditindas oleh sekelompok orang tertentu. ''Saya berharap persoalan PT RSM sebagai pemegang HGU ini harus segera diselesaikan,'' tegasnya. Dikatakan warga lainnya, di saat para petani penggarap menanam jagung, lahan tersebut ditanami teh oleh perusahaan itu.

Dalam selebaran tuntutan yang dibawa para petani disebutkan, pada 25 Januari 2006 ratusan petani berbondong-bondong ke kantor Gubernur Jateng dengan tuntutan tentang konflik agraria antara petani dengan PT RSM. Sudah hampir dua tahun berlalu, belum ada proses yang signifikan hingga munculnya isu tentang rencana Perpres tentang Program Pembaruan Agraria Nasional (PPAN).

Melarang Petani

Keresahan petani penggarap bertambah, karena pada 13 September 2007 muncul surat dari PT RSM yang isinya melarang petani menggarap lahan sengketa di kawasan Kaligintung. Keresahan petani tersebut cukup beralasan karena saat ini musim tanam telah tiba.

''Kami resah karena ragu-ragu mau menanam. Padahal kami menggantungkan hidup di lahan tersebut,'' ucap seorang petani Darno.

Mereka juga mendapat informasi bahwa pihak perkebunan mendapat kesempatan kedua dari pemerintah dalam hal ini BPN untuk melakukan rehabilitasi penelantaran lahan selama dua tahun terhitung sejak 2007. Hal ini dinilai sebagai bentuk ketidakadilan, karena petani yang lebih produktif justru diabaikan pemerintah.

Dwi Purnomo SH Kasi Hak Tanah dan Pendaftaran Tanah BPN Kabupaten Semarang kepada wartawan menjelaskan, pihaknya akan memfasilitasi masalah ini. Sebab menurutnya yang berwenang menyelesaikan persoalan ini adalah Kanwil BPN Jateng, sebab lahan tersebut melibatkan dua wilayah, Kabupaten Semarang dan Temanggung.

''Unsur mediasi akan dikedepankan. Kami berharap sama-sama ikhtiar untuk mediasi yang difasilitasi Kanwil agar lebih terfokus,'' ucap Dwi yang menerima perwakilan petani penggarap.

Pihaknya, mengaku belum mengetahui secara detil persoalan ini sehingga terkesan bingung. BPN setempat kemarin membuat laporan ke Kanwil BPN Jateng tentang permasalahan ini. (H14-16)