Monday, December 22, 2008

Kecaman Atas Tindak Kekerasan Terhadap Masyarakat Suluk Bongkal

JAKARTA. Komite Pimpinan Pusat Serikat Tani Nasional yang dipimpin Donny Pradana WR dan Isti Komah, S, Fil menyatakan kecaman atas aksi kekerasan politik oleh pihak kepolisian terhadap masyarakat yang menduduki Dusun Suluk Bongkal Desa Beringin Kec, Pinggir, Bengkalis, Riau.

Perjuangan landreform masyarakat Dusun Suluk Bongkal dalam konflik agraria dengan PT. Arara Abadi patut diapresiasi sebagai bentuk anti-tesa terhadap praktek monopoli tanah yang berlangsung di Indonesia, negeri setengah jajahan setengah feodal.

Berani berjuang, berani menang!

---

http://www.riauterkini.com/lingkungan.php?arr=22158

Sabtu, 20 Desember 2008 20:07

Kapolda Dituntut Mundur
Kontras Medan Kunjungi STR yang Ditahan

Bentrok STR dengan Polisi yang memberangus 300-an rumah warga Desa Beringin Dusun Teluk Bongkal berbuntut tuntutan mundur untuk Kapolda Riau.

Riauterkini-PEKANBARU-Hari ini sabtu (20/12), sejumlah aktivis sedang menuju ke Bengkalis. Mereka hendak menjumpai seratusan anggota STR yang juga warga Dusun Teluk Bongkal yang ditahan Polres Bengkalis pasca bentrok masal dengan kepolisian. Jhoni Setiawan Mundung (Direktur Walhi Riau), Rinaldi (Koordinator SEGERA), Suryadi (Direktur LBH Pekanbaru), Diah Susilowati (Kontras Medan) saat ini sedang menuju Polres Bengkalis.

Kata Mundung, pihaknya sudah melakukan konfirmasi dengan Komisi Nasional Hak Azasi Manusia (Komnas HSM) terkait dengan bentrok yang berujung dengan larinya warga ke dalam hutan untuk bersembunyi. Selasa (23/12) lusa, tambahnya, Komnas HAM Jakarta akan turun untuk menyikapi dan melihat secara langsung kondisi masyarakat pasca bentrok STR dengan Polisi. Sementara terkait anak-anak yang menjadi korban,m KPAID Riau akan membahas permasalahan tersebut.

Karena, tambah Mundung, temen-temen dari aktivis LSM seperti Walhi Riau, KBH, LBH, KAR, LKHD, JIKALAHARI dan lain-lain mengutuk keras aksi kekerasan pihak aparat keamanan dalam menghadapi masyarakat. “Pokoknya, kita mengutuk keras aksi kekerasan yang ditunjukkan oleh aparat keamanan (dalam hal ini kepolisian) yang sudah mengintimidasi warga Dusun Teluk Bongkal Desa Beringin. Dan kami meminta Kapolda Riau untuk mundur dari jabatannya,” terangnya.

Menurut Mundung, kondisi terakhir warga Dusun Teluk Bongkal Desa Beringin mengenaskan. 1 warga yang masih anak-anak tewas dalam sumur. Diduga panik akibat kerusuhan yang berujung bentrok antara STR dengan pihak kepolisian. 300 rumah warga habis dibakar oleh anggota Samapta Polda, Pam Swakarsa PT AA dan Satpol PP.

Pasca bentrokan dengan polisi saat pengosongan lahan PT Arara Abadi (PT AA), kini sekitar 400 warga Serikat Tani Rakyat (STR) yang umumnya wanita dan anak-anak bersembunyi di hutan. Mereka kini dalam kondisi memprihatinkan dan terancam kelaparan. Para wanita dan anak-anak yang bersembunyi di hutan itu terancam kelaparan karena mereka tidak memiliki stok makanan. Mereka enggan keluar dari hutan karena takut ditangkap.

Kandidat DPD Riau ini menyatakan bahwa tindakan yang dilakukan oleh aparat keamanan negara, aparat keamanan PT AA dan aparat keamanan Pemda itu karena warga dinilai melanggar UU Kehutanan. Padahal masyarakat sudah serngkali melaporkan ke pihak kepolisian (Polsek Mandau dan Polres Bengkalis. Namun laporan tersebut dianggap angin lalu oleh pihak kepolisian.

“Yang pasti, tindakan yang dilakukan oleh pihak aparat keamanan negara, pemda dan swasta itu sudah melanggar HAM warga. Karena informasi yang kami dapatkan adalah dalam kerusuhan yang berujung bentrok itu, rumah warga di bom dengan menggunakan helikopter,” terangnya. ***(H-we)

Thursday, December 18, 2008

Perhutani Memaksa Menanam

FOTO eblek [bahasa Sunda = plang dari seng] yang dibuat oleh Perhutani bertuliskan Dilarang mengerjakan dan atau menggunakan atau menduduki kawasan hutan secara tidak sah – UU RI no. 41 Tahun 1999.

-----

KARAWANG. Sebelumnya tak sebatangpun tanaman keras yang diproduksi Perhutani tumbuh di areal blok 39 yang dikenal petani penggarap sebagai wilayah Tegal Datar, Kutatandingan. Atan Nurmana Jaya [39], aktifis Serikat Tani Nasional setempat, menuturkan bahwa Perhutani telah menelantarkan tanah di kawasan tersebut setelah memanen kayu jati di tahun 1996 yang lalu.

“Kami kelola tanah terlantar ini untuk ditanamai padi gogo, kacang-kacangan dan pisang. Untuk menyuburkan tanah, kami juga tanami dengan kayu seperti jeunjing/sengon, kapuk randu dan bambu . Karena kami sudah tak punya tanah lagi di desa asal”, tambah Kang Atan. Ia dan puluhan petani lainnya memilih menggarap di kawasan hutan terlantar tersebut demi menghidupi keluarga.

Kini musim hujan telah tiba. Di tengah Kang Atan dan kawan-kawan bersiap untuk mengolah lahan tiba-tiba pihak Perhutani juga bersiap-siap mananami lokasi tersebut dengan jeunjing/sengon. “Ini adalah implementasi dari kebijakan Pengelolaan hutan Bersama Masyarakat [PHBM]”, kata Rahmat [47] selaku kepala BKPH Telukjambe Perum Perhutani KPH Purwakarta yang mengampu wilayah hutan terlantar tersebut. Progam tersebut diselenggarakan bekerjasama dengan Lembaga Masyarakat Desa Hutan [LMDH] Desa Parung Mulya Kec. Ciampel, Karawang. “Jadi kami sudah berkoordinasi dengan pihak masyarakat”, aku Rahmat.

Benarkah demikian? Ternyata tidak menurut para petani penggarap hutan.

“Tiba-tiba pada hari Minggu, 16 November lalu kami dikumpulkan oleh Mantri dan Mandor [aparatus Resort Pemangkuan Hutan. Red] setempat. Lalu mereka bicara bahwa akhir bulan mau menanam pokok jeunjing/sengon di sin”, jelas Enting [42] salah satu anggota kelompok tani penggarap. Dalam acara tersebut juga hadri para pengurus LMDH dan para tokoh masyarakat.

Para petani penggarap jelas tidak setuju atas rencana tersebut. Mengingat jarak tanam 2x3 m antar pokok jeunjing/sengon yang sangat rapat dan tak memungkinkan tumbuh kembangnya tanaman milik petani secara baik. Di sisi lain, bagi hasil atas panen tanaman pokok tersebut dinilai jauh dari rasa keadilan oleh kalangan petani penggarap yakni 80% untuk Perhutani dan 20% untuk masyarakat. “Dua puluh persen dari bagi hasil panen itu sudah cukup sebagai tanda terima kasih kami kepada petani”, sambung salah seorang mandor Perhutani bernama Abrakjagat [37].

Jaka [45] selaku ketua LMDH manyatakan bahwa penanaman harus terus dilanjutkan, khususnya di petak 39 Tegal Datar. “Surat Perintah Kerja dari KPH Purwakarta sudah turun dan tak mungkin dibatalkan”, sergahnya menanggapi keberatan petani. Menurutnya, Perhutani sudah berbaik hati membolehkan petani menggarap di kawasan hutan dan sudah seharusnya petani menghargai dengan merawat tanaman pokoknya. Para tetua masyarkatpun setali tiga uang dengan pendapat Jaka. “Memang mereka lebih berpihak pada perhutani daripada masyarakat”, sambung Enting lirih.

LMDH yang ada tidak terbentuk dari partisipasi petani penggarap hutan. Tak heran, perannya pun hampir tak terdengar dalam melayani kepentingan masyarakat yang diampunya. Namun ia cenderung memiliki kekuatan pemaksa bagi petani alih-alih legitimasi yang dimilikinya. Bahkan Kang Atan menyampaikan temuan yang menyebutkan maraknya keterlibatan pegiat lembaga tersebut memungut sejumlah uang tak resmi pada petani penggarap hutan. [Baca Pemungut Pajak Di kutatandingan].

Kini Perhutani telah memulai penanaman tersebut. Kurang lebih sebanyak seribu batang pokok jeunjing/sengon telah ditancapkan. Anehnya, justru kebun milik Kang Atan dan Enting-lah yang pertama kali mereka tanami.

“Kami tidak akan surut. Jarak tanam harus diperlebar dan bagi hasil yang adil bagi petani penggarap”, tandas Kang Atan. Kini ia dan kawan-kawannya tengah menggalang konsolidasi luas untuk memperjuangkannya.

Kang Atan dan kawan-kawannya adalah golongan petani yang bekerja di atas sebidang tanah untuk memenuhi kepentingan subsistennya. Akan tetapi mereka dipaksa memeliharan tanaman pokok Perhutani dengan upah 20% hasil panen pada 6-7 tahun mendatang. Dalam periode itulah jeunjing/sengon baru memasuki masa panen.

Hal ini tak ubahnya menyerahkan sebagian hasil kerja dan tenaganya untuk merawat jeunjing/sengon dengan upah yang tak layak. Tidaklah keliru bila disebut PHBM adalah salah satu bentuk perampasan kerja kaum tani penggarap yang dilakukan Perhutani selaku tuan tanah tipe baru. Keadaan ini menjelaskan secara nyata bentuk kekuasaan klas tuan-tanah dalam hubungan produksi feodalisme. Dan apa yang menimpa Kang Atan dan kawan-kawannya tak ubahnya nasib kaum tani hamba pada abad pertengahan yang lampau.

Kawasan kutatandingan termasuk areal hutan warisan kolonial Belanda di masa lalu. Tujuan pendiriannya jelas-jelas bermaksud melakukan produksi besar-besaran kayu jati/tekwood untuk pasar Eropa. Bahkan sejak masa kemerdekaan hingga 1996, negara RI melalui perhutani tetap menjadikan kayu jati/teakwood sebagai primadona ke pasar internasional. Di sinilah peran negara RI selaku pemasok bahan mentah bagi kepentingan imperialisme, sekaligus pasar potensial atas barang-barang komoditasnya.

Kini Kutandingan tak lagi memiliki jati/teakwood. Tapi tanaman cepat tumbuh seperti jeunjing/sengon, akasia dan mindi tengah dikembangkan oleh Perhutani di kawasan ini. Jenis tersebut di arahkan memenuhi kepentingan bahan baku industri pulp & paper untuk pasar dunia. Dengan demikian makin teranglah kepentingan imperialisme atas kawasan Kutatandingan lewat pertalian yang erat dengan tuan tanah tipe baru dan para penyelenggara negara.

Inilah tipikal indonesia, negeri setengah jajahan setengah feodal.

Mengabdi Dan Melayani Siapa?

FOTO sebagian persawahan di Desa Sukamulya, Kertajati, Majalengka yang akan dijadikan kawasan pembangunan Bandara Internasional Jawa Barat. Rencananya sebanyak lima ribu hektar sawah akan dibebaskan.

-----

SUKAMULYA. Pada awalnya warga Desa Sukamulya, Kertajati, Majalengka benar-benar larut dalam sukacita. Wajah gembira terpancar dari raut kaum tua dan muda. Tak henti-hentinya mereka membanggakan diri sebagai penentu kemenangan bagi yang mereka dukung.

Apa pasal ini semua? “Kami senang karena Sutrisno dan Karna Sobahi menang”, jelas Abah Herry [62]. Keduanya adalah pasangan calon bupati dan wakil bupati yang memperoleh suara terbanyak dalam pemilihan kepala daerah pada Oktober 2008 lalu. Yang makin membuat Abah Herry dan para anggota Forum Komunikasi Rakyat Bersatu [FKRB] bersemangat ialah kesediaan pasangan kepala daerah tersebut untuk menolak kehadiran Bandara Internasional Jawa Barat [BIJB] di Desa Sukamulya.

Namun tidak demikian yang terjadi pada 12 Desember 2008. Pemerintah provinsi Jawa Barat tetap bermaksud menyelesaikan pembebasan lahan untuk BIJB di Kecamatan Kertajati pada 2009 [Baca artikel dalam Koran Seputar Indonesia 12 Desember 2008 berjudul Tahun Depan Pembebasan Lahan Tuntas].

Sudah barang tentu pemberitaan tersebut mencederai kepercayaan warga Sukamulya dan FKRB.

Pada awal Agustus silam, Abah Herry mengemukakan adanya pemotretan udara di atas Sukamulya yang diduga kuat sebagai bahan penyusunan rancangan BIJB. “Kamipun memperoleh informasi bahwa telah disiapkan kucuran dana untuk pembebasan lahan”, tambahnya. Selang beberapa minggu kemudian datanglah beberapa orang yang mengaku dari Dinas Lingkungan Hidup Provonsi Jawa Barat. Mereka juga bermaksud melakukan penelitian berkenaan akan dibangunnya BIJB. Namun pihak Kuwu/kepala Desa Sukamulya dan anggota FKRB menolaknya.

Kini saatnya pasangan Bupati Sutrisno – Wakil Bupati Karna Sobahi diuji dalam kenyataan politik pembangunan BIJB. Melayani kehendak rakyat atau takluk pada perintah Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan?

Secara lengkap, kebijakan, BIJB merupakan implementasi pengembangan wilayah Jawa Barat (Wilayah Ciayu Majakuning), sesuai dengan konsep pengembangan secara nasional dan Rencana Tata Ruang Jawa Barat. Dengan adanya kebijakan tersebut, maka diharapkan tercipta beberapa kondisi seperti pertama, terjadinya percepatan pertumbuhan investasi yang akan berdampak pada pertumbuhan ekonomi di Jawa Barat. Kedua, kebijakan tersebut merespon kebutuhan masyarakat dan dunia usaha dalam pemanfaatan outlet udara. Ketiga, meningkatkan indeks pembangunan manusia (IPM) Jawa Barat. Keempat, peningkatan pelayanan jemaah haji asal Jawa Barat dan sekitarnya dan pariwisata Jawa Barat [Baca Rencana Pembangunan Bandara].

Komite Pimpinan Pusat Serikat Tani Nasional [KPP STN] berpandangan bahwa pembangunan BIJP berpotensi mengancam ketersediaan pangan keluarga petani yang menjadi korban. Lebih lanjut, BIJB sangat bertujuan pada kepentingan kalangan pemilik modal dibandingkan golongan rakyat yang lainnya. Karena bandara tersebut diperuntukkan sebagai penarik bagi investor dalam negeri maupun luar negeri dengan jalan memberikan fasilitas infrastruktur transportasi dan perhubungan.

Pelayanan tersebut sekaligus mengorbankan sekurangnya lima ribu hektar persawahan produktif yang telah lama dikelola. Pada akhirnya, perampasan tanah atas nama pembangunan dan pertumbuhan ekonomi Jawa Barat justru makin meminggirkan kaum tani. Golongan rakyat tak bertanah akan semakin bertambah besar hingga pada akhirnya kemiskinan semakin merajalela di pedesaan.

Sekiranya yang patut dilayani adalah sarana yang menunjang langsung proses produksi rakyat. Dalam kasus Sukamulya, kepentingan kaum tani miskin dan buruh tanilah yang menjadi perhatian utamanya. Mengingat luasnya areal persawahan yang ada masih menyisakan hubungan produksi feudal maka tepat kiranya bila upah buruh tani dinaikkan setara dengan penghidupan layak dan harga sewa tanah diturunkan sesuai dengan dayabeli tani miskin. Hal ini dimaksudkan agar kaum tani miskin dan buruh tani dapat berperan lebih nyata dalam proses produksi pertanian yang adil. Di sisi lain, akan jauh lebih baik apabila negara juga mengikutsertakan layanan pengembangan usaha rakyat yang berbentuk koperasi pertanian sebagai dasar untuk mempertinggi produksi nasional dan pendapatan nasional.

Namun kiranya hal tersebut tidaklah mungkin terjadi. Karena dalam lapangan ekonomi politik, Negara Republik Indonesia hari ini adalah pelayan bagi kepentingan pemodal sebagaimana ditunjukkan dengan pendirian BIJB.

Sekali lagi inilah salah satu fragmen kusam di negeri setengah jajahan dan setengah feudal. Dan FKRB bersama KPP STN serta kalangan aktifis pemuda progresif di Majalengka tengah menggalang konsolidasi luas untuk menyelenggarakan perjuangan massa berkait perkembangan BIJB terakhir ini.

-----

http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/195288/

Tahun Depan Pembebasan Lahan Tuntas

Friday, 12 December 2008

MAJALENGKA (SINDO) – Pemerintah Provinsi Jawa Barat berjanji menyelesaikan pembebasan lahan untuk Bandara Internasional Jawa Barat (BIJB) di Kecamatan Kertajati pada 2009.

Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan mengungkapkan, rencana pembangunan BIJB di Kecamatan Kertajati akan terus dilanjutkan.Pembangunan BIJB merupakan program pemerintah dalam rangka meningkatkan ekonomi. Dia berjanji akan melanjutkan rencana pembangunan BIJB itu.

”Kami akan lanjutkan pembangunan BIJB. Itu proyek pemerintah yang sudah jelas peraturannya,” ungkap Heryawan seusai melantik Bupati Sutrisno dan Wakil Bupati Karna Sobahi di Pendopo Majalengka,Jalan A Yani,kemarin.

Dia menyebutkan, Pemprov Jabar telah mengalokasikan anggaran sebesar Rp400 miliar untuk pembebasan lahan BIJB di Kecamatan Kertajati.Menunggu pembebasan,dia mengaku terus mencari investor untuk mega proyek Jawa Barat tersebut.

Bupati Majalengka Sutrisno meminta Gubernur Jawa Barat selaku penanggungjawab rencana mega proyek itu secepatnya memberikan kepastian kepada masyarakat di Kabupaten Majalengka.

Menurutnya, rakyat Majalengka tidak menolak rencana tersebut namun rakyat meminta lokasi pemindahan penduduk tidak dipindahkan dari Kertajati. ”Ada konflik, khususnya penolakan warga.Warga yang menolak itu karena mereka tidak diberi kepastian atas lokasi pemindahan dari desa asalnya,”jelas Sutrisno. (taofik hidayat)