PERSPEKTIF BARU Edisi 392 - 13 September 2003
Perspektif Baru:
Asalamu’alaikum Warrahmullahi Wabarakatuh, kita bertemu kembali dalam Perspektif Baru. Alam, beberap hari belakangan ini, belahan Jawa dan sebagian wilayah Indonesia lainnya sudah merasakan hujan kembali. Tapi ini adalah merupakan hujan pertama setelah sekian bulan lamanya kita mengalami kekeringan. Tentu anda menebak-nebak kenapa saya berbicara mengenai hujan, persoalannya adalah selama hujan belum turun maka kekeringan yang terjadi menyebabkan petani-petani kita mengalami keresahan.
Di beberapa wilayah di Jawa Tengah, Jawa Timur atau beberapa daerah di Indonesia itu betul-betul mengalami kekurangan air. Panen menjadi gagal kemudian proses pertanian menjadi sangat terganggu. Sayang, perhatian pemerintah untuk persoalan ini sangat kecil. Persoalan ini merupakan salah satu dari sekian banyak persoalan yang dihadapi oleh para petani Indonesia. Padahal kita tahu bahwa petani kesulitan untuk memperoleh bibit, pupuk, akses terhadap pasar, dan kemampuan teknologi yang rendah. Belum lagi keberpihakan terhadap petani, misalnya pemberian subsidi dan kebijakan ekonomi secara umum, yang belum terlihat.
Donny, saya ingin memulai dengan pertanyaan yang sangat mendasar. Apa persoalan utama dari sekian banyak persoalan yang ada di pertanian kita?
Ya menarik memang, karena kebijakan pembangunan sejak jaman orde baru seperti itu. Tidak menyandarkan dan tidak melandaskan kepada pembangunan pertanian. Okelah, kalau beberapa waktu yang lalu kita sempat baca tentang tujuan Repelita I sampai V dimana tertulis disitu bahwa pokok pembangunannya adalah sektor pertanian. Tetapi dalam kenyataan lapangan, tidak terjadi. Tidak pernah ada manifestasi terhadap kebijakan-kebijakan itu. Semuanya selalu berputar, termasuk modal dan teknologi, di kota besar. Apalagi soal kepemilikan lahan. Paska orde baru ada persoalan baru yang sedemikian eksesif, dalam arti bahwa kepemilikan lahan yang selama ini dikuasai oleh masyarakat atau rakyat banyak dicaplok, disita, diambil alih oleh negara demi pembangunan. Tapi justru kemudian hasil-hasil pengolahan lahan produktif tersebut tidak pernah untuk rakyat sekitarnya, Justru masuk ke segelintir kalangan elit dan masyarakat perkotaan belaka.
Masalah lahan atau tanah rupanya begitu rumit dan begitu sulit. Saya juga masih ingat persis ketika kita belajar tentang Repelita dimana berbicara tentang titik pokok pembangunan adalah pada sektor pertanian. Juga kemudian menitikberatkan pada swasembada. Saya ingin mengkonfirmasikan kepada anda, benarkan Indonesia pernah mengalami swasembada pangan?
Ya memang pada awal-awal Soeharto atau rezim orde baru mengenalkan tentang revolusi hijau. Dalam hal ini manifestasi dan implementasi di lapangan dilakukan dalam bentuk intensifikasi pertanian. Bagaimana memaksimalkan produksi pertanian pada lahan-lahan sempit, misalkan dengan cara intensif memberikan pupuk, memberikan bibit- bibit hibrida, pengembangan teknologi pada beberapa macam varietas-varietas tahan hama atau wereng.
Pada 1-2 tahun cukup berhasil memang. Bahkan tahun 80-an Indonesia pernah dianugerahi oleh FAO sebagai negara yang cukup sukses dalam swasembada pangan, tetapi dampak dan implikasi revolusi hijau baru akan dirasakan 10 kemudian. Lahan menjadi tidak efektif dan jenuh terhadap kecenderungan pupuk dan lainnya. Pupuk yang dipakai pupuk kimia bukan organik. Kandungan unsur hara tanah makin lama makin turun. Akhirnya , dosis penggunaan pupuk semakin lama semakin meningkat dan varietas tahan hama atau tahan wereng semakin lama harus semakin diperbaharui. Karena resistensi hama penyakit setelah dibasmi pestisida semakin lama semakin kuat, karena berevolusi. Tahun-tahun pasca revolusi hijau sangat merugikan perani. Biaya yang dikeluarkan petani untuk pengelolaan menjadi lebih besar, hasil yang mereka dapatkan juga tidak setimpal. Ini membuktikan skenario revolusi hijau sangat tidak populis baik pada masyarakat pedesaan secara umum ataupun dalam konsepsi ekologi (lingkungan). Konsepsi pertanian yang mempertahankan dan melanjutkan lingkungan secara alami.
Jawabannya hanya satu, bahwa segera dibangun organisasi-organisasi petani, atau secara lebih luas adalah dewan masyarakat lokal. Apakah dewan masyarakat desa A, atau desa B yang semuanya mempunyai fungsi-fungsi eksekutif dan legislatif secara ekonomi politik di teritorialnya masing-masing. Legislatif untuk mengakomodasi partisipasi warga, misalnya dalam pengambilan suatu kebijakan atau keputusan di daerah tersebut. Eksekutif dalam makna mereka tidak hanya berpikir tentang bagaimana membuat aturan-aturan di desa atau di teritori tersebut. Tapi juga bersama-sama melibatkan seluruh masyarakat mewujudkan dan mengemban manivestasi dan implementasi dari kebijakan-kebijakan tersebut. Pemikir sekaligus pelaku. Dewan masyarakat harus berfungsi seperti itu. Maka mulai dari teknologi, modal, sumber daya semuanya dikelola secara bagus oleh dewan masyarakat desa ini, demi mencapai kemajuan bersama masyarakat desa. Sebenarnya konsepsi ini tidak semua baru, sudah berpuluh-puluh tahun yang lalu dikembangkan oleh nenek moyang kita atau masyarakat adat di beberapa propinsi seperti Sulawesi Tengah atau di Papua. Konsepsi-konsepsi dewan masyarakat adat ini sebenarnya tidak berbeda jauh dengan dewan masyarakat desa, bahwa kemudian pengelolaan suatu sumber daya di satu teritorial wilayah desa, kampung atau apapun, dibicarakan secara bersama-sama rembukan, atau ririungan. Musyawarah desa menghasilkan suatu keputusan konstruktif demi perkembangan dan kemajuan desa.
Yang pertama harus ada good will dari pemerintah. Betul-betul menempatkan pembangunan bidang pertanian ini sebagai prioritas utama Indonesia untuk keluar dari krisis. Saya pikir itu yang sampai sekarang belum tercetus dan belum ada pada skenario pemerintah. Ternyata ide pembangunan untuk pertanian hanya sebatas lip service. Sebatas tertulis pada perundangan atau rencana-rencana pembangunan jangka panjang dan tidak termanifestasikan dalam bentuk yang konkrit. Bentuk kontriknya adalah semaksimal mungkin pemerintah harus menjadi fasilitator untuk masuknya teknologi pada masyarakat desa, masuknya modal kepada masyarakat desa dan ini harus punya akuntabilitas publik harus bertanggungjawab pada publik. Dihindari proses korupsi, kolusi dan nepotisme tentunya.
Saya ingin coba gali kembali tentang ide redistribusi tanah. Karena tanah secara administratif maupun secara teknis sangat sulit. Kita tahu kasus sengketa tanah, kepemilikan ganda dan lainnya. Secara administratif ini bagaimana caranya, mekanisme cara apa yang bisa dilakukan dengan biaya yang sedikit tapi hasil yang efektif?
Sekali lagi ini seharusnya menjadi tanggungjawab pemerintah. Melaksanakan apa yang sering disebut aktivis petani soal land reform. Land reform sendiri sudah mempunyai landasan hukum sejak tahun 1960 tentang Undang-undang Pokok Agraria, dimana antara pasal 1 sampai pasal 13 sebenarnya disebutkan tanah harus mempunyai fungsi sosial. Tanah tidak bisa dimiliki, atau katakanlah, tanah tidak bisa berfungsi sebagai komoditas, tapi harus berfungsi sebagai fungsi sosial dengan memperhatikan kehidupan objektif masyarakat sekitar. Seharusnya harus berpijak pada landasan hukum tersebut (Undang-undang pokok agraria tahun 1960). Tetapi kami rasa, pasca orde baru sampai sekarang tidak pernah ada niatan pemerintah untuk betul-betul melaksanakan Undang-undang tersebut.
Kalau mau ditelaah lebih lanjut, persoalan agraria ini tidak selalu persoalan pertanian dan tanah, juga menyangkut tentang kehutanan, sumber daya mineral yang dikandung di dalam tanah dan menyangkut juga sumber air, jadi sangat luas. Dalam satu hal, tuntutan yang selalu kita desakkan pada pemerintah adalah segera kembali pada undang-undang pokok agraria. Segera kembali pada land reform yang sejati. Kita belajar pada tahun 40 - 50an bahwa waktu itu pelaksanaan land reform bisa dilakukan karena pemerintah punya itikad baik untuk mendirikan Panitia Land Reform Daerah. Pemilik-pemilik tanah yang mempunyai tanah tapi tidak punya fungsi sosial dan kepekaan sosial, dengan aturan panitia land reform daerah, lalu diredistribusi supaya tanah tersebut bisa berdaya guna bagi kesejahteraan masyarakat yang lebih luas.
Waktu itu, secara kesejarahan cukup banyak hal yang menghambat dalam pelaksanaan land reform. Di satu sisi dianggap sebagai upaya Partai Komunis Indonesia, tapi di satu sisi adalah keharusan sejarah. Karena dimanapun negara-negara Eropa ataupun Asia, bahkan Amerika dan Australia selalu berangkat dari land reform. Selalu berangkat dari redistribusi tanah yang adil dan merata bagi masyarakatnya. Pengalaman Jepang pasca tahun 1945 setelah dikalahkan sekutu, pemerintahan harus membangun kembali Jepang, untuk melaksanakan land reform harus dikawal tentara sekutu. Oleh karena itu tidak bisa dibuat suatu dikotomi bahwa land reform adalah produknya komunis atau sosialis. Kapitalisme juga berkepentingan pada land reform. Justru, dengan pembangunan basis industri yang lebih maju di desa maupun dikota harus dilandasi dengan pelaksanaan land reform lebih dahulu.
Agak sulit jika berbicara pada tingkat kebijakan. Kita tidak tahu pemerintah agendanya apa dan selama ini keperdulian terhadap petani juga kurang sekali. Yang ingin saya minta pada Danny untuk memberikan suatu pemahaman pemberdayaan pada masyarakat diluar dari kebijakan. Karena merubah suatu kebijakan butuh perjuangan yang luar biasa. Meskipun secara umum kebijkannya belum menguntungkan, tapi minimal untuk menjadikan petani kita lebih produktif.
Saran saya, bangunlah kemandirian ekonomi petani. Dalam arti beberapa hal yang sudah kita coba ujikan dibeberapa basis atau beberapa konstituen kami adalah mencoba menghubungkan secara langsung antara petani dan konsumennya. Misalkan petani bisa memproduksi sayur mayur dengan prasyarat setelah ada kelompok tani atau organisasi petani, dimana selain mengkritisi soal kebijakan tapi juga pada devisi dana usahanya membangun koperasi. Lalu koperasi ini menjadi sentral distribusi sayur mayur, misalnya dari petani setempat kemudian didistribusikan pada konsumen langsung. Kita memanfaatkan jaringan sendiri, baik itu dengan jaringan teman-teman petani atau NGO diperkotaan atau yang berbasis konstituen buruh . Di perkampungan buruh mereka juga memiliki divisi dana usaha yang serupa dan kita lansgung hubungkan antara apa yang dihasilkan petani dengan pemenuhi kebutuhan konsumsi masyarakat perkotaan.
BOX KETERANGAN RUTIN
PERSPEKTIF BARU khusus untuk media cetak dan Radio (Global FM Bali, Prima FM Banda Aceh, dan Jaringan Radio KBR 68 H, Maya Pesona FM Mataram, Andika FM Kediri, DPFM Palembang, Pahla Budi Sakti Serang, Gita Lestari Bitung, Poliyama FM Gorontalo, Mustika FM Banjarmasin, Bravo FM Palangkaraya, Gemaya FM Balikpapan, Lesitta FM Bengkulu, Zoo FM Batam, Star Radio Tangerang, Gema Mahasiswa FM Purwokerto, Andalas FM Lampung)
Produk lain : Live Talk Show di panggung, Talk Show Radio.TV, buku, merchandise
PERSPEKTIF ONLINE http://www.perspektif.net.E-mail:perspektif@attglobal.net dan Yayasan@perspektif.net
Hak cipta pada InterMatrix, fax. (021) 722-9994, telp. (021) 727-900-28/29/30/31
PO. Box 4320, KBY JKT 12042