Friday, March 28, 2008

Serikat Tani Menuntut Perlindungan Hutan Sebagai Sumber Penghidupan

BERITA KEGIATAN SERIKAT TANI KABUPATEN SAMOSIR (STKS)
DAN KELOMPOK STUDI DAN PENGEMBANGAN PRAKARSA MASYARAKAT (KSPPM)

Pangururan, Selasa 25 Maret 2008

Puluhan utusan Serikat Tani Kabupaten Samosir (STKS) yang didampingi Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat (KSPPM) mendatangi DPRD Samosir. Utusan STKS dan KSPPM disambut oleh Ketua yang didampingi beberapa anggota DPRD lainnya, (Selasa, 25/03/08).

Kedatangan utusan STKS dan KSPPM ini bertujuan untuk menyampaikan penolakan penggundulan hutan di Hariara Pintu, Desa Partungkot Naginjang, Kec. Harian, Kab. Samosir. Dalam tuntutannya, STKS dan KSPPM juga mendesak Pemerintah dan Pemda Samosir untuk membatalkan segala rupa ijin pengelolaan hutan kepada PT. EJS Agro Mulia Lestari dan PT. Sumber Rejeki Tele. Tuntutan ini dibacakan oleh Pengurus Serikat Tani Kabupaten Samosir, dan diterima langsung oleh Ketua DPRD Samosir.

“kami yang hadir di sini hanya 5 orang, oleh karena itu kami tidak dapat mengambil keputusan, tapi kami berjanji untuk menindak lanjutinya, kata Jhoni Naibaho, Ketua DPRD Samosir.

Saat ini ada pembahasan MoU antara Pemda Samosir dengan Pimpinan PT. EJS Agro Mulia Lestari, jadi sebagai dukungan awal dari kami, maka kami bersedia mendampingi bapak-bapak dan ibu-ibu untuk menghadiri pertemuan tersebut, tambah Marlon Sihotang, anggota DPRD Samosir.

Utusan STKS dan KSPPM ini berangkat bersama anggota DPRD menuju Kantor Bupati Samosir. Pertemuan yang berlangsung di Aula Pertemuan Kantor Bupati Samosir dihadiri Sekda, Assisten I, Pimpinan PT. EJS Agro Mulia Lestari dan Komisi II DPRD Samosir.

Pada saat itu utusan STKS yang didampingi KSPPM diberikan kesempatan untuk membacakan dan menyampaikan aspirasinya. Dalam tuntutannya, STKS yang didampingi KSPPM kembali menegaskan penolakannya terhadap PT. EJS Agro Mulia Lestari terkait rencana penggundulan hutan seluas 2.250 Ha untuk digantikan menjadi tanaman bunga hias dan holtikultura dan mendesak pemerintah dan pemda untuk mencabut dan membatalkan segala rupa ijin pengelolaan hutan kepada PT. EJS Agro Mulia Lestari.

Dalam menyampaikan aspirasi, Esbon Siringo-ringo, Sektretaris STKS, mengatakan bahwa masyarakat samosir yang pada umumnya petani sangat membutuhkan air dan perlindungan pemerintah terhadap petani, kami tidak membutuhkan tanaman bunga.

Hal sedana juga dikatakan Nova Gurusinga, staf KSPPM Wil. Samosir, hutan yang direncanakan akan digunduli oleh PT. EJS Agro Mulia Lestari merupakan Daerah Tanggapan Air (DTA) dan Daerah Aliran Sungai (DAS), sehingga jika hutan ini tetap gunduli maka bencana kekeringan dan pencamaran tidak mungkin dapat dihindari. Selain kekeringan, bencana lonsongsor juga tidak mungkin dapat dihindari mengingat topografi daerah tersebut merupakan daerah curaman yang dibawahnya terdapat persawahan dan perkampungan masyarakat kecamatan Harian, Sianjur Mula-Mula dan Sitio-tio. Hal ini juga akan sangat berdampak terhadap danau toba yang menjadi salah satu andalan kabupaten ini.

Selesai berdialog, pengurus STKS menyerahkan tuntutan tersebut dan diterima Sekda Kabupaten Samosir di hadapan Pimpinan PT. EJS Agro Mulia Lestari dan Komis II DPRD Samosir. Kemudia STKS dan KSPPM meninggalkan kantor bupati.
Salam dari kami,

Nova Gurusinga dan Guntur Simamora
Staf KSPPM Wil Samosir

Catatan :
Guntur Simamora adalah aktivis KSPPM Wil Samosir dan salah seorang jaringan Komite Pimpinan Pusat Serikat Tani Nasional di Propinsi Sumatera Utara.

Wednesday, March 26, 2008

Nagori Mariah Hombang, Potret Konflik Agraria yang Tak Kunjung Padam

GAMBAR yang diambil pada Kamis, 19 April 2007. Saat terjadinya tindak kekerasan terhadap puluhan anggota Forum Petani Nagori Mariah Hombang oleh tuan tanah lokal dan kepolisian dari Polres Simalungun, Sumut. Empat belas petani divonis empat bulan penjara karena didakwa melawan petugas.

-------

Mariah Hombang adalah sebuah nagori (desa) yang terletak di kecamatan Hutabayu Raja, Kabupaten Simalungun. Sebuah desa yang mayoritas mata pencahariannya adalah bertani. Di sana terhampar persawahan dan juga permadani kelapa sawit yang dimiliki oleh masyarakat maupun perkebunan negara. Sekilas kita mungkin melihat kedamaian dan ketulusan kaum petani dalam bekerja. Namun sejatinya tersimpan persekongkolan kuat kekuasaan yang mengganggu kelangsungan hidup para petani dan menjerumuskan masyarakat ke jurang kemiskinan.

Persoalan ini bermula dari tahun 1983 yakni kedatangan dinas kehutanan yang hendak melaksanakan proyek dengan meminjam tanah rakyat seluas 687’5 ha di Perladangan masyarakat. Program tersebut bernama inliving yang dimaksud untuk memperbesar debit air dan penghijauan, untuk petani.Masyarakat pun dengan segala kearifan serta keluguan yang dimilikinya memberikan kesempatan pada dinas kehutan dalam melaksanakan proyek tersebut. Saat itu dinas kehutanan kabupaten simalungun pun membangun kesepakatan bahwa masyarakat bersedia memberikan tanah tersebut untuk dijadikan proyek oleh dinas kehutanan. Dinas kehutanan memberikan pago-pago berupa perlengkapan alat kampung seperti, talam dan perlengkapan memasak serikat Desa di Mariah Hombang dan lahan tersebut hanya bisa dipergunakan dalam satu musim dan selanjutnya masyarakat dapat mengolola tanah tesebut dengan cara tumpang sari.

Namun naas bagi rakyat, program tersebut gagal karena pinus yang mereka tanam di areal tersebut tidak tumbuh kembang dengan baik.Namun dinas kehutanan tidak mengembalikan lahan tersebut pada masyarakat. Dinas Kehutanan malah menjual tanah tersebut ke Perusahan Swasta yang bernama PT. Kwala Gunung. Permasalahan itu mulai dari tahun 1989 , ketika PT. KWALA GUNUNG menginginkan tanah seluas 2000 ha. Sesuai ijin lokasi yang dikeluarkan oleh Gubernur Sumatera Utara pada 27 April 1989 Sesuai SK Gubernur Kepala Daerah Tingkat I SUMATERA UTARA Nomor : 593 / 41 / 2757 / K /TAHUN 1989 Tentang Ijin lokasi/Penyediaan Tanah Untuk Keperluan Usaha Perluasan Perkebunan Kelapa sawit PT KWALA GUNUNG. Isinya adalah,

MEMUTUSKAN/MENETAPKAN :

PERTAMA : Memberikan Ijin lokasi / Penyediaan tanah untuk usaha perkebunan kelapa sawit kepada PT.KWALA GUNUNG seluas lebih kurang 1.312,50 ha di Desa Bosar Galugur/Mariah
Hombang Kecamatan Tanah jawa Kabupaten Simalungun, sebagaimana Peta petunjuk lokasi /situasi terlampir pada surat keputusan ini sebagai bagian yang tak terpisahkan.

KEDUA : Mewajibkan kepada PT.KWALA GUNUNG untuk :
  1. Menyelesaikan dengan Musyawarah dan mufakat pemberian ganti rugi atas tanah garapan/tanaman yang ada di atasnya.
  2. Mengajukan permohonan pengukuran kepada kantor wilayah badan pertanahan nasional Propinsi Sumatra Utara guna menentukan letak batas dan luas secara defenitif.
  3. Mengurus dan menyelesaikan Hak Guna Usaha pada Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Propinsi Sumatera Utara.
  4. Melaporkan kegiatan yang telah dilaksanakan secara berkala yaitu setiap 6 (enam) bulan sekali kepada Gubernus Kepala Daerah Tingkat I Sumatera Utara melalui Pemda Tingkat II Simalungun.
KETIGA : IJIN LOKASI /Penyediaan tanah ini berlaku untuk 1 (satu) tahun sejak ditetapkan. Apabila tidak mengadakan aktifitas untuk memenuhi syarat – syarat tersebut diatas dan usaha–usaha pengolahan tanah di lapangan, maka penatapan ijin lokasi/penyediaan tanah ini akan ditinjau kembali.

KEEMPAT : Keputusan ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dan apabila ternyata dikemudian hari terdapat kekeliruan, akan ditinjau kembali.

Untuk memenuhi ijin tesebut , Perusahaan tersebut memakai Bupati, Camat, Kepala Desa serta Masyarakat luar yang diduga kuat menjadi kaki tangannya untuk mendapatkan lahan dengan mempengaruhi, mengintimidasi, teror dan lain-lain.

Dari hasil Upaya yang mereka lakukan, ternyata semua persaratan yang diberikan oleh Gubernur Sumatra Utara tidak Maksimal di jalankan oleh PT. KWALA GUNUNG. Sehingga sampai dengan hari ini Perusahaan tersebut belum memiliki HAK GUNA USAHA dari Badan Pertanahan Nasional Propinsin Sumatera Utara. dan PT KWALA GUNUNG tidak mendapatkan lahan seluas 2000 ha.

Ketidak maksimalan persyaratan yang tidak di jalankan oleh PT. KWALA GUNUNG antara lain sbb :
  1. Tanah yang masyarakat yang hendak diganti rugi ternyata salah alamat , dalam artian bahwa
  2. masyarakat yang menerima ganti rugi tersebut bukan termasuk Penggarap tanah yang sebenarnya.
  3. Nominal harga yang disepakati senilai Rp. 500.000 /ha ternyata tidak sesuai dengan nominal harga yang diterima olah masyarakat dari Para Birokarasi yang di percayai saat pemberian tolak cangkul tersebut, sebagian masyarakat mendapat Rp.200.000 /ha, bahkan ada diantara masyarakat yang hanya mendapatkan Rp. 70.000.
  4. Jumlah ganti rugi yang diberikan, tidak disesuaikan dengan ukuran luas tanah yang digarap oleh masing- masing masyarakat.
  5. Penyerahan ganti rugi/pago – pago.tidak disertai dengan Batas – batas tanah garapan masyarakat.
  6. Pemberian ganti rugi bersifat yuridis (tumpang tindih).
Berangkat dari kesalahan yang dilakukan oleh Pihak Perusahan yang saat itu menggunakan birokrasi dan masyarakat luar yang telah melakukan intimidasi terhadap masyarakat. Sampaidengan hari ini persoalan ini belum terselesaikan oleh pemerintah Propinsi Sumatera Utara dan Pemda tingkat Kabupaten Simalungun.

Kami tegaskan bahwa Sejak SK diterbittkan Perusahaan tidak pernah melakukan aktifitas apapun di areal tersebut dalam artian bahwa perusahan tersebut telah MENELANTARKAN TANAH tersebut.

Kesadaran rakyat pun timbul bahwa ternyata mereka telah ditipu selama ini oleh Pemerintah dan pihak Pengusaha.Merekapun membentuk organisasi bernama, Forum Petani Nagori Mariah Hombang (FPNMH) sebagai alat perjuangan untuk mengambil kembali tanahnya yang sudah dirampas. Namun dalam perjalanannya kemudian, mereka selalu mendapat tekanan setiap birokrasi di Pemerintahan Simalungun.

Namun mereka tetap menuntut dengan aksi massa. Pada 15 juni 2006 Bupati pernah menyatakan “Silahkan duduki tanah itu,jangan mau pergi walaupun ada yang mengusir, sampai penyelesaian”. Pernyataan tersebut disambut baik masayarakat. Ironisnya ketika masyarakat
menduduki tanah tersebut malah masyarakat di adukan dengan tuduhan melakukan pengerusakan .

Pengaduan tersebut keluar berdasarkan pengaduan yang dibuat oleh pengusaha lokal yang sejauh sepengetahuan masyarakat ia sama sekali tidak berhak atas tanah garapan tersebut.

Ternyata tanpa sepengetahuan masyarakat, bahwa Perusahaan tersebut telah memperjual – belikan tanah garapan tersebut ke Pengusaha lokal yang difasilitasi oleh kepala desa.

Hal ini membuat Konflik Horijontal yang berkepanjangan antara Forum Petani Nagori Maria hHombang dengan Pihak Pengusaha dan PT. KWALA GUNUNG dan Pemerintah tidak berani mengambil Kejaksanaan dalam menyikapi persoalan ini. Pemerintahan Kabupaten Simalungun lebih cenderung membiarkan konflik ini dan berpihak terhadap Pemilik modal tersebut.

Hingga pada 19 April 2007 yang lalu, terjadi insiden yang membuat tekanan psikologis masyarakat. Pengusaha lokal melakukan penganiayaan terhadap Liongsan Sianturi (Petani Mariah Hombang) beserta masyarakat lainnya. Saat insiden tersebut,17 orang petani Mariah Hombang ditangkap dan divonis selama 4 (empat) bulan dengan tuduhan melawan petugas Kepolisian Resort Simalungun.

Tindakan kejahatan Penganiayaan yang dilakukan oleh pengusaha telah dilaporkan kepada Kepolisian resos simalungun, Sesuai surat laporan polisi No : Pol. LP / 309 / IV / SIMAL tertanggal 29 April 2007. Namun sampai hari ini, respon kepolisian terhadap pengaduan
tersebut belum ditindak lanjuti oleh Kepolisian Daerah Sumatera Utara melalui Polres Simalungun. Selama sebelas bulan lamanya pengaduan tersebut di terlantarkan oleh Kepolisian
Resor Simalungun dan membiarkan pelaku kejahatan tersebut bebas berkeliaran..

Aksi Unjuk rasa yang dilakukan para petani dengan organisasi masyarakat pada 21 Januari 2007 telah mendapat respon yang positif dari DPRD Simalungun. Sesuai Rekomendasi yang dikeluarkan oleh DPRD Simalungun dengan No. 332 / 186 / DPRD / tertanggal 22 Januari 2008 kepada Bupati Simalungun.Adapun isi Rekomendasi tersebut adalah sbb :
  1. Menyurati PT.KWALA GUNUNG untuk mengadakan pertemuan dengan masyarakat Mariah Hombang dan Bosar Galugur guna mendapatkan solusi penyelesaian sengketa tanah antara masyarakat Mariah Hombang kecamatan hutabayu raja dan kecamatan tanah jawa dengan PT.KWALA GUNUNG.
  2. Menyurati PT.KWALA GUNUNG untuk tidak melakukan aktifitas di lokasi yang di persengketakan sebelum ada perijinan sesuai perundang – undangan yang berlaku.
  3. Menjembatani sekaligus menyurati Kapolres Simalungun untuk dapat menangguhkan penahanan atas tiga orang warga Mariah Hombang/Bosar Galugur yang ditahan. Mereka adalah Vinsensius Sinaga, Mangisara Butar Butar dan Hisar Butar Butar.
  4. Mengkoordinasikan dengan Kepala Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Simalungun untuk tidak memperkenankan melakukan kegiatan atau melakukan kegiatan atau aktifitas apapun di lokasi yang di sengketakan sebelum melaksanakan kordinasi dengan Bupati Simalungun dan Komisi I DPRD Kabupaten Simalungun.
  5. Agar Dinas Kehutanan yang di dampingi satpol PP melakukan pengawasan terhadap penebangan kayu dan seluruh aktifitas di areal yang di persengketakan sebelum ada kepastian hukum/perundang undangan yang berkekuatan hukum.
Sangat disesalkan , rekomendasi yang di keluarkan oleh DPRD Simalungun sama sekali tidak di respon oleh instansi yang seharusnya berkompeten dalam melaksanakan Anjuran tersebut.

13 Pebruari 2008, Djaulak Gultom (Seorang saksi saksi sejarah tanah sekaligus petani Mariah Hombang) di temukan tewas dalam situasi yang mengenaskan. Pembunuhan terhadap Djaulak Gultom diduga merupakan tindakan yang tidak manusiwi yang di lakukan oleh orang – orang juga diasumsikan terlibat dalam sengketa tanah tersebut.

Kondisi tubuh mayat ditemukan dalam keadaan yang sangat mengenaskan seperti :
  • Perut hingga dada ditutupi rumput.
  • Kepala bagian belakang, ditemukan luka bekas tusukan/benturan.
  • Topi bermerek korpri tetap berada diatas kepala (Namun tidak terpakai).
  • Mulut dalam keadaan mengagang (terbuka).
  • Bibir bagian atas sebelah kiri pecah (luka).
  • Kedua tangan mengepal.
  • Di Dada hingga perut ditemukan beberapa goresan dan bekas memar (membiru).
  • Diatas pusat ditemukan bekas luka bertuliskan angka lima (5).
  • Kaki sebelah kiri melepuh (diduga terkena siraman air panas).
  • Sandal jepit yang digunakan dalam keadaan terpakai.
  • Kondisi tubuh dalam keadaan telentang dan sudah menegang.
Penyebab kematian Djaulak Gultom tersebut hingga kini belum terungkap, disebabkan ketidakseriusan Kepolisian Daerah Sumatera Utara dan Polres Simalungun. Hingga kini, pihak keluarga Djaulak Gultom belum menerima hasil otopsi yang dilakukan oleh Kepolisian Resort Simalungun di RUMAH SAKIT DJASAMEN SARAGIH Pematang Siantar.

Berbagai upaya sudah dilakukan oleh pihak–pihak masyarakat, Anggota DPRD SUMATERA UTARA melalui Komisi A telah melakukan desakan terhadap Kematian Djaulak Gultom.

Dengan kejadian ini, kita rakyat Indonesia sudah dapat melihat bagaimana kolaborasi antara pihak Pemodal/Pengusaha dengan Pemerintahan di Simalungun, Demikian juga Ketidakseriusan Kepolisian Resort Simalungun dalam Menangani persoalan rakyat.

Bersama ini, tuntutan masuarakat yang terhabng dalam Forum Petani Nagori Mariah Hombang adalah ;
  1. Menyelesaikan sengkete tanah di Mariah Hombang Kecamatan Tanah Jawa Kabupaten Simalungun Propinsi Sumatera Utara.
  2. Menagkap Pelaku Kejahatan Penganianyaan terhadap Liongsan Sianturi sesuai surat laporan polisi No. POL./ 309 / IV / 2007 tertanggal 29 April 2007.
  3. Mengusut tuntas Kematian Djaulak Gultom, Petani Maria Hombang.
  4. Copot KAPOLDA Propinsi Sumatera Utara dan Kapolres Simalungun.

Hormat kami,

FRONT SOLIDARITAS PERJUANGAN PETANI NAGORI MARIA HOMBANG KEC.HUTABAYU RAJA DAN NAGORI BOSAR GALUGUR KEC.TANAH JAWA KABUPATEN SIMALUNGUN SUMATERA UTARA = FSPPMHBS =
Sekretariat : Kampung Pokanbaru Desa Maria Hombang Kecamatan Hutabayuraja Kabupaten Simalungun Propinsi Sumatera Utara

Disampaikan secara tertulis oleh Ebed Sidabutar selaku koordinator FSPPMHBS dan Kasmin Manurung selaku ketua Forum petani Nagori Mariah Hombang, jaringan Komite Pimpinan Pusat Serikat Tani Nasional.

Berikan dukungan bagi perjuangan FSPPMHBS dengan melayangkan fax surat protes kepada :
  1. Bupati Kab Simalungu 0622 - 7551900.
  2. DPRD Kab. Simalungun 0622 - 7552780.
  3. BPN Sumatera Utara 061 4531969.
  4. DPRD Sumatera Utara 061 - 4511419.
  5. Polda Sumuatera Utara 061 -7879372.
Beika dukungan juga untuk mengirimkan sms protes kepada :
  1. Bupati Kab. Simalungun 0811606777 dan 0811639656.
  2. Kapolres Kab. Simalungun 08126209090.
  3. Kepala Kejaksaan Kab. Simalungun 08126211349.

Wednesday, March 19, 2008

Konflik PT Arara Abadi-Masyarakat, Ketika Isu Tanah Ulayat Mengancam Investasi

http://serikat-tani-riau.blogspot.com/2008/03/konflik-pt-arara-abadi-masyarakat.html
http://www.metroriau.com/?q=node/2113

Sekitar 800 hektar lahan di kawasan Hutan Tanaman Industri (HTI) yang hak pengelolaannya diberikan kepada PT Arara Abadi (AA), kini berubah menjadi areal perkebunan sawit dan perkampungan. Jangankan perusahaan pemasok bahan baku bagi PT Indah Kiat Pulp and Paper (IKPP) ini, pemerintah pun tak mampu mengamankan investasi miliaran rupiah itu akibat kuatnya tekanan dari kelompok massa yang terorganisir dan mengusung isu tanah ulayat.

Sebagai perusahaan yang diberi hak pengelolaan sesuai Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK), Rancangan Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP) untuk wilayah Bengkalis dan Kampar (sebelum pemekaran, red), PT Arara Abadi telah mengawali kegiatannya di wilayah ini sejak tahun 1991. Investasi bernilai miliaran rupiah di kawasan seluas 299.975 hektar itu, didasarkan kepada Izin No. 743/Kpts-II/1996 yang berlaku surut.

Pemberian Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri (HPHTI) di wilayah Bengkalis dan Kampar yang meliputi Desa Tarik Serai, Pinggir, Tasir Serai Timur, Melibur, Minas, Desa Mandiangin, Pinang Sebatang Barat, Koto Garo dan Pantai Cermin oleh pemerintah tentu memiliki alasan yang kuat. Salah satunya adalah, menciptakan lapangan pekerjaan bagi masyarakat, serta mendatangkan devisa bagi negara. “Saat ini ada sekitar 15.000 tenaga kerja yang ditampung PT Arara Abadi dan IKPP atau rekanan perusahaan,” kata Musherizal Yatim kepada Metro Riau.

Sesuai izin yang diberikan pemerintah, di lokasi ini PT Arara Abadi hanya diberi kewenangan atas pengelolaan kawasan hutan, bukan untuk memilikinya. “Tanah itu milik negara, bukan milik perusahaan yang mengantongi izin Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri dari pemerintah,” kata Yuwilis SH MH, kuasa hukum PT Arara Abadi.

Meski telah mendatangkan devisa yang begitu besar bagi negara, daerah atau masyarakat, namun perjalanan PT Arara Abadi di Riau tidaklah berjalan mulus. Dari tahun ke tahun, anak perusahaan Sinar Mas Group ini selalu mendapat tekanan dari masyarakat yang mengklaim sebagai warga tempatan, dan berhak atas tanah yang dikelola perusahaan ini. Celakanya, pemerintah ataupun aparat keamanan seperti kehabisan akal dan kehilangan power. Alhasil, sengketa pun tak pernah berujung, seperti yang saat ini terjadi di wilayah Tasik Serai, Pinggir dan Tasik Serai Timur.

Sikap pemerintah yang lamban menyelesaikan konflik antara PT Arara Abadi dengan masyarakat yang terus membabat tanaman eucalyptus, acasia dan crasicarpa di areal seluas ribuan hektar itu, dikhawatirkan akan menjadi bom waktu yang sewaktu-waktu dapat meledak.

Namun soal ini langsung dibantah para pejabat PT Arara Abadi atau PT Indah Kiat Pulp and Paper (IKPP). Manager Humas PT Indah Kiat Pulp and Paper, Nasaruddin menegaskan mereka tidak akan menempuh tindakan yang bertentangan dengan hukum. Meskipun saat ini perusahaan sudah mengalami kerugian hingga Rp10 miliar sejak pencaplokan itu terjadi.

Kuasa Hukum PT Arara Abadi, Yuwilis SH MH juga mengungkapkan hal yang sama. Menurutnya, perusahaan PT Arara Abadi tidak akan melakukan tindakan yang dapat merugikan kedua belah pihak tersebut. “Kita tidak akan melakukan cara-cara seperti itu,” katanya saat diminta tanggapan atas kemungkinan dilakukannya upaya kekerasan untuk merebut lahan yang sudah diambil kelompok masyarakat tersebut.

Sikap perusahaan yang lebih banyak menunggu, meski harus menelan kerugian yang cukup banyak itu dinilai banyak pihak sebagai langkah bagus. Namun, tanpa ada kepastian hukum dari pemerintah, langkah ini terkesan sia-sia.

Sebagai bukti, hingga kini tidak ada langkah kongkrit yang dilakukan aparat kepolisian, pemerintah provinsi dan pemerintah pusat untuk mengamankan investasi yang ditanamkan perusahaan ini di kawasan tersebut. Hal itu tercermin dari tidak adanya tindakan nyata dari laporan PT Arara Abadi ke Polsek Pinggir bernomor 192/VII/2007/Yanmas, menyusul perusakan tanaman Eculyptus di KM 42 hingga KM 46 Areal HPHTI Distrik Duri II yang terjadi Selasa (17/07/2007), atau Polres Bengkalis dan Polda Riau.

Melihat situasi yang semakin tidak terkendali ini, wajar saja jika kemudian perusahaan meminta perlindungan dan penegak hukum kepada Presiden, Menteri Kehutanan dan Kapolri. Menurut Yuwilis, langkah ini diambil PT Arara Abadi sebagai upaya persuasif untuk menyelesaikan persoalan tersebut, serta mengamankan investasi yang sudah ditanamkan pihak perusahaan. “Kita akan menempuh upaya hukum untuk menuntaskan masalah tersebut,” katanya. (bersambung).(adlis)

Konflik PT Arara Abadi-Masyarakat, Perseteruan Akibat Lemahnya Penegakan Hukum

http://www.metroriau.com/?q=node/2165
http://serikat-tani-riau.blogspot.com/2008/03/konflik-pt-arara-abadi-masyarakat_18.html

Berita soal perambahan kawasan Hutan Tanaman Industri (HTI) milik PT Arara Abadi menjadi areal perkebunan yang dikelola secara terorganisir di Kabupaten Bengkalis, jadi topik yang cukup hangat dibicarakan.

Menuju kawasan HTI di Desa Tasik Serai Timur, Kecamatan Pinggir, Kabupaten Bengkalis, tidaklah susah. Sebab, kawasan tersebut tidak pernah sepi dari aktivitas. Lalu lintas dan bisingnya deru truk pengangkut sawit milik PT ADEI menjadi sebagian kecil pemandangan yang
menggambarkan hiruk pikuknya kehidupan di areal yang jauh dari pemukiman penduduk itu.

Bayangan akan hijau dan teduhnya pepohonan sama sekali tak tergambarkan di kawasan hutan areal HTI itu. Di Dusun Tasik Serai Timur, tepatnya di sepanjang Km 42 hingga Km 47 Areal Distrik Duri II misalnya. Sekitar 800 hektar habis dibabat untuk dijadikan areal perkebunan sawit. Di lokasi ini juga terlihat sebuah perkampungan, layaknya perkampungan Transmigrasi.

Menurut pemegang izin Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri (HPHTI), PT Arara Abadi, dulunya di sepanjang jalan kawasan HTI ini, tampak rindang dengan tanaman eucalyptus yang berumur 2 hingga 3 tahun. Namun, sejak isu kemiskinan dan tanah ulayat dicuatkan ke permukaan, perlahan tapi pasti pepohonan yang berada di atasnya satu persatu ditebangi.

Informasi tentang pembabatan itu ada benarnya. Hal itu mulai terlihat saat memasuki kawasan HPHTI PT Arara Abadi yang berbatasan dengan perkebunan sawit milik PT Adei. Sebuah pos pengaman yang dibuat dari kontainer nampak masih berdiri kokoh. Pos ini dulunya ditempati oleh petugas PT Arara Abadi. Namun setelah terjadi penyerangan dan dibakar oleh massa yang bersenjatakan parang, pos yang sempat di pos line oleh polisi ini akhirnya dibiarkan kosong melompong.

Hingga Sabtu (15/03/2008), aktivitas penebangan pohon-pohon eucalyptus oleh kelompok masyarakat yang di back up Serikat Tani Riau (STR), sebuah organisasi yang massa, masih berlangsung di areal HTI ini. Dan tanpa ragu juga mereka mendirikan pondok-pondok yang tiangnya dibuat dari batang-batang eucalyptus. Pondok-pondok yang masih berbentuk kerangka ini didirikan di pinggir-pinggir jalan utama dengan jarak 300 meter.

Layaknya sebuah perkampungan Transmigrasi, untuk bisa masuk ke kawasan perkampungan ini, kita harus melewati pos penjagaan yang dilengkapi portal yang bahannya diambil dari pohon eucalyptus. Setidaknya ada dua portal dan satu gapura besar yang dijaga beberapa orang pria.

“Untuk mengamankan lokasi itu, mereka membentuk Satgas berbaret merah. Satgas untuk setiap saat berpatroli layaknya aparat keamanan,” ucap sumber kepada wartawan.

Melihat pemandangan yang cukup menarik ini, saat itu ada keinginan untuk memasuki kawasan perkampungan di areal HTI milik PT Arara Abadi ini. Namun, dengan berbagai mempertimbangkan, diantaranya adalah konflik antara penyuplai bahan baku bagi PT Indah Kiat Pulp and Paper masih memanas, akhirnya rencana itu dibatalkan.

“Mobil Ranger seperti ini sudah mereka cap sebagai milik perusahaan. Sebaiknya, kita tidak usah masuk ke perkampungan itu,” kata sumber yang menuturkan perkataan rekannya yang ikut menelusuri perkampungan itu dari jarak sekitar 500 meter.

Berdasarkan laporan PT Arara Abadi, total areal HTI yang sudah disulap menjadi perkampungan dan perkebunan sawit itu luasnya mencapai sekitar 800 hektar. Perusahaan ini memperkirakan perambahan itu akan berlangsung seiring dengan dicuatkannya isu-isu tanah ulayat, izin pengelolaan yang sudah habis, serta isu kemiskinan oleh kelompok-kelompok yang memiliki kepentingan.

Sehingga tak heran, selama 30 menit menelusuri jalan menuju camp PT Arara Abadi, yang terlihat adalah pekerja-pekerja yang tengah membabat pohon, pembersihan dan penyemprotan lahan untuk dijadikan areal perkebunan sawit. Di lokasi ini juga dapat ditemukan truk-truk pengangkut pupuk untuk dibagi-bagikan kepada para pekerja. Padahal, lokasi yang mereka kerjakan masih berstatus quo.

Kepastian Hukum

Investasi sangat penting untuk menggerakkan perekonomian nasional sekaligus daerah yang pada gilirannya akan mampu menciptakan kesejahteraan bangsa. Otonomi daerah menjadi momentum berharga untuk membuktikan diri bahwa daerah memiliki kemampuan tangguh dalam mengelola potensi ekonominya. Kunci keberhasilan dalam menarik investor adalah adanya kepastian hukum.

Disadari, kehadiran perusahaan HPH yang mengelola dan mengusahakan areal hutan telah membawa kontribusi yang nyata bagi jalannya Pembangunan Nasional. Tegakan hutan yang pada awalnya tidak bernilai ekonomis, setelah dipanen, diolah, dan diekspor ternyata mendatangkan devisa yang cukup besar.

Selain itu, pengenaan berbagai iuran dan pungutan kehutanan (DR, IHH) terhadap setiap meter kubik log yang dihasilkan, telah berperan besar dalam mewujudkan program rehabilitasi kawasan hutan non-produktif, pembangunan hutan baru, maupun pembangunan wilayah setempat.

Dari segi penciptaan lapangan kerja, perusahaan HPH maupun industri pengolahnya juga telah memberi andil dalam menekan tingkat pengangguran, baik melalui penciptaan lapangan kerja maupun kesempatan berusaha hasil multiplier effect yang ditimbulkan.

Sayangnya, kebijakan pemerintah yang bertujuan untuk mempercepat pembangunan HTI dengan menarik investor untuk menanamkan modalnya di Indonesia, dalam praktik dapat menjadi kontra produktif. Karena kebijakan yang tidak konsisten dan tata kelola pemerintahan yang bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik, yang bisa menyebabkan iklim usaha tidak kondusif.

Di Riau, diakui atau tidak, isu kemiskinan dan tanah ulayat seringkali menjadi sandungan masuknya investasi. Sikap pemerintah daerah kurang tegas yang lebih banyak diam, dan tidak adanya jaminan keamanan dan kepastian hukum menimbulkan ketidakpercayaan investor. PT Arara Abadi mungkin bisa menjadi salah satu contoh korban ketidakpastian hukum akibat ketidaktegasan pemerintah dan aparat penegak hukum di negeri ini.

Tak salah jika kemudian muncul anggapan, iklim investasi di Indonesia dinilai sebagai salah satu yang terburuk di dunia. Dan tak salah pula, Indonesia sekarang ini sudah bukan menjadi tujuan utama bagi investor asing. Para investor yang sudah mengenal Indonesia pun malah cenderung menghindari negeri ini.

Kondisi ini diperparah oleh korupsi yang merebak di mana-mana, di berbagai level. Sebagai gambaran, untuk memperlancarkan proses perizinan, seorang investor terpaksa harus menyerahkan sejumlah uang. Bahkan tidak jarang, setelah menerima uang, permintaan investor tidak segera diselesaikan. Regulasi di Indonesia hingga saat ini memang dinilai masih sangat lemah.

Kelemahan regulasi ini nyaris mencakup semua aspek. Regulasi yang lemah menyebabkan ketakpastian hukum dan menyebabkan pungutan liar, merebaknya tindak korupsi, perampasan lahan dengan mengatasnamakan tanah ulayat, kemiskinan dan isu-isu yang tidak populis lainnya.

Namun sayangnya, kepastian hukum hingga sekarang masih juga belum terbenahi dengan baik yang pada akhirnya justru sangat menghambat masuknya investasi. Selain itu, konsepsi Ketahanan Nasional dengan mengutamakan keseimbangan antara pengaturan dan penyelenggaraan keamanan di satu pihak dan kesejahteraan masyarakat di lain pihak, juga masih terabaikan. (tamat/adlis)

Saturday, March 15, 2008

Di Sukaresmi, Pantas Mereka Tidak Mensyukuri Kehadiran Pemerintah

Pada tanggal 3 Maret 2008, di Sukaresmi-Kertajati Kabupaten Majalengka, ada petani-petani yang mensyukuri Dewi Sri yang hadir di setiap pesawahan yang menghasilkan padi. Mapag Sri, nama syukuran itu, di setiap panen di Musim Penghujan diadakan di Sukaresmi. Mapag Sri dalam Bahasa Sunda, artinya Menjemput Dewi Sri.

Tanggal 3 Maret, di dusun Sukaresmi, ibu-ibu menghantarkan tumpeng ke bale desa, gamelan dibunyikan dari sebelum Dhuhur, ketika wayang-wayang kulit berhasil ditancapkan di batang pisang. Tumpeng-tumpeng itu akan dinikmati bersama setelah dibelah ujung-ujungnya.

Jauh sebelum 3 Maret, pemerintah tak henti menjemput pemilik modal asing datang ke negeri ini, untuk ditegakan kuasanya di mana saja, di setiap ichi di tanah negeri ini. Satu akan ditegakan di Kertajati, berwujud Bandara Udara Internasional Jawa Barat. Amdalnya sudah ditandatangani Danny Setiawan selaku Gubernur Jabar, serta Tuty Hayati Anwar selaku Bupati Majalengka, mengiyakan lahan pesawahan di Kertajati tidak produktif, tetapi BPS dan Dinas Pertanian Majalengka telanjur mencatat Kertajati adalah tempat pesawahan terluas dan panen terbanyak di Kabupaten Majalengka. Tetapi hanya petani-petani Kertajati yang mensyukuri leganya pesawahan di Kertajati, dan banyak hasil panennya, di hari-hari pembebasan tanah sudah dijadwalkan dekat oleh pemerintah.

Tanggal 3 Maret, bapak-bapak yang sedari pagi berkumpul di Sukaresmi tak henti tak mensyukuri kehadiran pemerintah yang memahalkan pupuk, tak memberi kredit dan teknologi pertanian, serta terus melakukan pembangunan yang tak melibatkan petani itu sendiri di tahap perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan, sebab pemerintah tak henti mengira petani itu tak berdaya, cuma pemerintah yamg pintar dan berhak merencanakan nasib bangsa, sebab bagi pemerintah, bahwa benar petani itu tidak pantas memiliki dirinya sendiri, juga tanah. Semuanya hanya pantas dimiliki kuasa modal untuk terserah dibagaimanakan sesuai selera pemilik modal.

Tetapi akan disudahi, sehingga Bandara Udara Internasional Jawa Barat mereka tentang untuk ditegakan. Tahun-tahun berikutnya, seperti tahun-tahun lalu, petani-petani Kertajati cuma menghendaki tempatnya terus menjadi lumbung padi Majalengka.

Tanggal 3 Maret, diundang hadir semua yang menentang korporasi untuk monopoli dan dominasi, sebab sepenuhnya mengerti, tidak cukup satu-dua tangan untuk menghadang kuasa jahat modal. Perlu persatuan. Ya perlu persatuan. ***

Ditulis oleh Faisal N Faridduddin, Jl. Brawijaya 71 Kadipaten-Majalengka 45452, jaringan Komite Pimpinan Pusat Serikat Tani Nasional di Propinsi Jawa Barat.

Sunday, March 2, 2008

Aktivis Petani Tewas, Polisi Menyebutkan Jaulak Meninggal karena Serangan Jantung

http://www.kompas.com/kompascetak/read.php?cnt=.xml.2008.02.28.03474892&channel=2&mn=166&idx
=166

KOMPAS/AUFRIDA WISMI WARASTRI / Kompas Images

Lince boru Sihombing (62) menangis saat menceritakan kematian suaminya, Jaulak Gultom (66), petani Mariah Hombang, Hutabayu Raja, Kabupaten Simalungun, Selasa (26/2). Polisi menyatakan korban meninggal karena serangan jantung, sementara warga dan Lince bersaksi korban dibunuh karena ditemukannya luka di tubuh korban.

Kamis, 28 Februari 2008 | 03:47 WIB

Medan, Kompas - Jaulak Gultom (66), aktivis petani yang masih terlibat konflik tanah di Desa Mariah Hombang, Kecamatan Hutabayu Raja, Kabupaten Simalungun, ditemukan tewas di ladang desa setempat dua pekan lalu. Para tetangga dan keluarga menduga korban tewas dibunuh.

Meskipun demikian, Polres Simalungun menyatakan bahwa korban meninggal karena serangan jantung. Hingga Selasa (26/2), polisi belum mengeluarkan hasil visum korban.

Lince boru Sihotang (62), istri Jaulak, di Kantor Kontras Sumut kemarin siang bertutur, korban ditemukan pukul 20.00 di kebun yang berjarak sekitar 300 meter dari ladangnya setelah seharian dicari. Sambil bercucuran air mata, Lince bercerita dalam bahasa Batak bahwa korban ditemukan oleh anaknya, Tien Gultom (22). Separuh tubuh korban mulai dari perut hingga kepala tertimbun rumput.

Menurut Lince, seperti hari yang lain, Rabu (13/2) lalu ia pergi ke sawah, sementara suaminya ke ladang. Biasanya suaminya pulang untuk makan siang, sedangkan Lince membawa bekal makan sendiri. Hari itu ia ke sawah bersama Tien. Saat tengah hari, Tien dimintanya pulang. Selain makanan tidak cukup untuk berdua, ia juga diminta menengok bapaknya yang akan makan siang di rumah.

Sampai di rumah Tien tak menemukan ayahnya. Ia cari di ladang pun tidak ditemukan. Para tetangga ikut mencari hingga ditemukan sekitar pukul 20.00 dengan tubuh sudah kaku dengan tangan mengepal. Sebelum korban ditemukan, sempat beredar teror melalui SMS bahwa seorang warga bernama Benfri Sinaga tewas dibunuh.

Polisi datang dua jam kemudian. Ditemukan luka tusuk di kepala belakang dan luka memar di perut. Kaki kanan dan belakang telinga korban melepuh seperti disiram air panas. Korban kemudian dibawa ke RSUD Pematang Siantar untuk divisum. Namun, hasil visum hingga kini belum diterima pihak keluarga.

Diah Susilowati dari Kontras Sumut mengatakan, pembunuhan itu diduga berkenaan dengan konflik tanah yang sudah berlangsung dua tahun ini. Korban adalah saksi hidup atas status tanah konflik di Mariah Hombang, Hutabayu Raja, dan Desa Bosargalugur, Kecamatan Tanah Jawa, Simalungun, antara perusahaan dengan sekitar 700 kepala keluarga di dua desa itu. Diah mengatakan, kasus-kasus pembunuhan karena konflik tanah sering terjadi di Sumut.

Korban sendiri, tutur Lince, pernah dipenjara selama dua tahun karena kasus tanah di Mariah Hombang pada tahun 2002. Tahun 2007, ia juga menjadi korban bersama 16 petani, ditahan di Polres juga kasus pada tanah yang sama.

Kepala Polres Simalungun Ajun Komisaris Besar Rudi Hartono mengatakan, fakta menunjukkan korban mengalami gagal jantung. Namun, hasil laboratorium forensik belum diketahui.

”Korban memang seakan-akan dianiaya, kami masih mengirim hasilnya ke Medan,” kata Rudi. Polisi menduga ada pihak ketiga yang menggerakkan petani di kawasan itu. (WSI)

-------

Kronologis Peristiwa Pembunuhan 13 Pebruari 2007 Terhadap Jaulak Gultom di Jalan Umum Areal Kode Cina yang diterima oleh Komite Pimpinan Pusat Serikat Tani Nasional

Pukul 20.00

Anak dari korban (jaulak Gultom) menemukan bapaknya telah mati di perladangan arah kode cina. Menurut kesaksian dari anak korban bahwa bapaknya pergi keladang jam 11 siang dan biasanya si korban uda pulang jam 5 sore tapi karna korban gak kunjung pulang dari perladangan maka sianak mencari bapak dengan kondisi yang naas.

Pukul 20.15

Kasmin Manurung (ketua FPNMH) dihubungi penduduk kampung untuk memberitahu peristiwa tsb. Pada saat itu juga kasmin menghubungi pihak kepolisian Polsek Tanah Jawa untuk memberitahu peristiwa tersebut.

Pukul 21.30

Kepolisian Polsek Tanah Jawa turun ke TKP untuk melihat korban dan menanyai anak korban, tapi sangat disayangkan Polsek Tanah jawa belum berani mengambil tindakan untuk mengamankan korban dari dengan alas an belum ada perintah dari Polres Simalungun.

Pukul 23.00

Polres Simalungun dating ke TKP. Dalam penyelidikan yang dilakukan pihak polres ditemukan kondisi korban yang sangat memprihatinkan yaitu ditemukan lobang dibelakang kepala korban dan luka memer di sekujur punggung tubuh korban.

Pukul 24.00

Korban diangkat dari TKP untuk dibawa ke RSUD Pematangsiantar agar dilakukan Visum oleh ahli forensic.

Pukul 24.45.

Korban tiba di RSUD dan ditangani pensiunan dokter RSUD karna dokter jaga lagi tidak berada ditempat. Dari hasil pemeriksaan pihak RSUD dapat diberi keterangan bahwa korban dianiaya dengan keji dengan hasil pemeriksaan sbb ;

1. Ditemukan lubang luka dikepala dengan memakai alat seperti paku
2. Korban dipukul lebih dari dua orang hingga tak sadarkan diri
3. Ditemukan kulit terkelupas dibagian kaki dan telinga seperti kena siraman air panas.

Pukul 04.30

Korban dibawa kembali kerumah duka oleh RSUD di kode cina. Isak tangis kelurga korban tak terbendung lagi dan meminta pihak kepolisian agar mengungkap kasus yang terjadi pada Jaulak Gultom.


Catatan :

Jaulak Gultom adalah salah satu anggota Forum Petani Nagori Mariah Hombang [FPNMH] jaringan Komite Pimpinan Pusat Serikat Tani Nasional di Kab. Simalungun Propinsi Sumatera Utara.