Sunday, May 24, 2009

Kuasa Kraton Jawa Atas Tanah.

GAMBAR salah satu patok bertuliskan SG/PAG 04 di areal persawahan masyarakat Desa Poncosari Kec. Srandakan, Bantul, DIY. SG/PAG adalah singkatan dari 'Sultan Ground' dan 'Paku Alam Ground'.

-------

Oleh masyarakat Dusun Sambeng II, ia biasa disapa sebagai Pak Lubino [54]. Profesinya adalah petani dan tinggal bersama keluarga adik perempuannya yang beberapa tahun lalu pernah mengenyam pekerjaan sebagai buruh migrant di Malaysia.

Pertanian adalah mata rantai kehidupan yang telah di jalani Pak Lubino sejak usia muda. Areal garapannya hanya sebanyak tiga kotak. Satu kotak kira-kira seukuran 300 m2. Kesemuanya adalah warisan dari orang tuanya sejak puluhan tahun yang lampau.

Semula kehidupannya berjalan dengan lancar. Sampai pada tahun 2004 yang lalu, muncullah patok-patok putih dari pipa peralon yang diisi semen di sekitar areal garapannya. “Jumlahnya banyak, membujur dari utara-selatan. Jarak tiap pathok sekitar 100-an meter. Tapi kami tidak tahu apa gunanya,” jelas Pak Lubino setengah bertanya.

“Di ujung pathok ada tulisan SG/PAG 04,” tambahnya.

Hal tersebut membuatnya khawatir. Ia was was bila areal garapannya termasuk dalam kuasa ‘Sultan Ground/Paku Alam Ground’. Hal tersebut pantas diresahkannya. Mengingat para petani tetangganya di Desa Karangwuni Kec, Galur, Kulon Progo DIY tengah menghadapi ketentuan pembayaran sejumlah ‘pajak tanah’ berjuluk ‘kekancingan’ kepada pihak keratin sebagai penguasa Sultan Ground/Paku Alam Ground.

Pak Lubino termasuk salah satu dari ratusan ribu petani di seantero wilayah bekas kerajaan Mataram yang kini bernama Daerah Istimewa Yogyakarta. Petani adalah golongan mayoritas di propinsi ini. Akan tetapi, Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional mencatat bahwa dari 3.185.800 km2 luas areal Yogyakarta, 300.770 km2 adalah milik Sultan dan Paku Alam.

Ketimpangan penguasaan atas tanah tidak hanya berdampak pada tidak meratanya kesehjateraan secara ekonomi dan social, akan tetapi juga berdampak pada minimnya penguasaan atas akses politik. Seperti yang dipaparkan oleh Prof. Dr. Suhartono, di dalam masyarakat yang didalamnya masih berlaku corak produksi yang feodalistik, dimana fungsi tanah menentukan status dan perannya dalam masyarakat, maka pemilik tanahlah yang mempunyai kedudukan kuat baik secara politik, ekonomi, dan social.

Dengan demikian, kepemilikan tanah yang luas dapatlah menjamin Sultan dan Paku Alam untuk juga memiliki lembaga ekonomi modern seperti perusahan.

Hal ini adalah pertanda bahwa Pak Lubino dan para petani lainnya di Yogyakarta juga tak luput dari cengkeram feodalisme di negeri ini.

Thursday, May 14, 2009

Dukungan Terhadap Saksi Korban Penganiayaan Dalam Konflik Agraria Nagori Mariah Hombang


GAMBAR Liongsan Sianturi [34] takkala memberikan kesaksian tas penganiayaan terhadap dirinya di depan tim investigasi dari Komnas HAM dan Komisi III DPR RI pada pertengahan Mei 2007.

-------

Komite Pimpinan Pusat Serikat Tani Nasional pimpinan Donny Pradana WR dan Isti Komah, S. Fil menyatakan dukungan atas upaya Liongsan Sianturi, anggota Forum Petani Nagori Mariah Hombang, Kec Huta Bayu Raja, Simalungun, Sumut selaku saksi korban penganiayaan, memohon keadilan kepada Mahkamah Agung RI. Hal ini dikarenakan adanya upaya kasasi kepada MA atas putusan Pengadilan Tinggi Sumatera Utara di Medan dari terdakwa penganiaya Liongsan Sianturi.

Semoga hukum dan keadilan memihak pada korban. Maju terus gerakan massa!

-------

Kepada.Yth
KETUA MAHKAMAH AGUNG R. I
Di. J AK A R T A


Dengan Hormat,

Puji dan Syukur kita panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang telah memberikan kesehatan serta semangat juang pada rekan- rekan. Adapun maksud kedatangan kami, hendak menyampaikan Aspirasi rakyat Maria Hombang yang sampai hari ini belum mendapatkan keadilan dalam penegakan supremasi hukum yang berlaku. Mereka berjuang mempertahankan hidup di dalam kondisi ekonomi global yang telah menghancurkan nilai- nilai kemanusiaan, sehingga penegak hukum di SUMATERA UTARA terkesan tidak serius dalam melaksaanakan kerja- kerja layaknya Aparat Negara yang direkomendarikan Negara untuk mewujudkan penegakan hukum.

Saya yang bertanda tangan di bawah ini :

Nama : Liongsan Sianturi
Alamat : Dusun Pokan Baru Desa Maria Hombang Kec. Huta Bayu Raja, Simalungun, Sumut.
Usia : 34 tahun
Pekerjaan : Petani

Selaku SAKSI KORBAN dalam penganiayaan tertanggal 19 April 2007 yang melaporkan para terdakwa kepada pihak kepolisian Resort Simalungun.

19 April 2007 merupakan fenomena berdarah yang memakan banyak korban, saat insiden tersebut, pengusaha lokal terbukti melakukan pengeroyokan terhadap bapak liongsan Sianturi sesuai dengan hasil Putusan yang dikeluarkan oleh pengadilan Negeri Simalungun pada tanggal 29 November 2008 dengan Nomor : 226/Pid.B/2008/PN. SIM.

Namun pengadilan Negeri Simalungun, tidak berani melakukan penahanan terhadap para terdakwa yang telah terbukti secara sah melakukan perbuatan melanggar pasal 170 ayat (1) Satu KUHPidana. Kemudian Pengadilan tinggi Sumatera utara, Meringankan Hukuman pada terdakwa dengan merubah Kronogis perkara tersebut, sesuai dengan hasil putusan yang dikeluarkan tanggal 14 Januari tahun 2009 dengan Uraian sebagai berikut :
  1. Setelah mencermati putusan yang dikeluarkan Pengadilan Tinggi Sumatera Utara Nomor : 885/PID/2008/PT-MDN.- Pengadilan Tinggi Sumatera Utara terbukti telah merubah kronologis kejadian perkara sebagian dimuat dalam pertimbangan hasil putusan Pengadilan Negeri Simalungun yang mengakibatkan putusan tersebut menjadi cacat secara hukum.
  2. Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Sumatera Utara, tidak berhak meringankan hukuman terhadap terdakwa II.BARITA DOLOK SARIBU dengan merubah kronologis kejadian perkara dimaksud. Padahal terdakwa II.BARITA DOLOK SARIBU juga terbukti melakukan pemukulan terhadap saksi korban Liongsan Sianturi.
  3. Sesuai kejadian perkara bahwa” pada saat itulah para terdakwa melakukan kekerasan pada korban, dengan cara terdakwa II.BARITA DOLOK SARIBU meninju pipi saksi korban Liongsan Sianturi sebelah kanan, dengan mengunakan tangan kanannya sebanyak 2 (dua) kali, terdakwa II.HELARIUS GULTOM mengambil sepotong kayu dan memukulkannya kebagian kepala saksi korban Liongsan Sianturi sebanyak 1X ( satu kali), salah seorang petugaskepolisian mengamankan saksi korban Liongsan Sianturi, Namun secara tiba- tiba terdakwa II.BARITA DOLOK SARIBU meninju meninju bagian pipi saksi korban Liongsan Sianturi sebelah kanan. Lalu…dst”.(Vide Put.P.T.MDN ; Halaman 6 Aliran I ).
Sesuai kronologis kejadian pada hasil putusan tersebut, Pengadilan Tinggi Sumatera Utara tidak melibatkan terdakwa III. MANAT GULTOM melakukan pemukulan, padahal terdakwa III. MANAT GULTOM juga turut melakukan pemukulan, kemudian dalam putusan tersebut menyatakan ‘’ Menimbang, bahwa berdasarkan fakta sebagaimana tersebut diatas,

Pengadilan Tinggi berpendapat bahwa inti permasalahan yang terjadi dalam perkara ini adalah mengenai sengketa hak milik atas sebidang tanah antara terdakwa II dengan pihak Kelompok petani masyarakat Nagori maria Hombang dan pihak terkait lainnya ; menimbang, bahwa tentang disparatis pemindanaa, dimana Penuntut umum..dst” . ( Vide Put. P. T. MDN ; Halaman 11 Aliran 1 ). Bahwa dalam putusan tersebut bukanlah perkara perdata melainkan perkara pidana yang berdiri sendiri dan terbukti melanggar pasal 170 Ayat Satu (1) KUHP. Sehingga Pengadilan Tinggi tidak berhak meringankan hukuman terhadap terdakwa II.BARITA DOLOK SARIBU, sebab :
  1. Perkara tersebut bukan masalah perdata, namun perkara pidana yang berdiri sendiri, sesuai dengan penganiayaan yang terbukti telah dilakukan oleh para terdakwa.
  2. Bahwa, tanah yang dimaksud Pengadilan Tinggi tidak diketahuai dimana tanah tersebut, sebab tempat kejadian perkara tersebut adalah batas Tanah masyarakat dengan PT.Kwala Gunung yang disebut Bondar Nippon/parit (Saluran Air).
Oleh karena itu, pengadilan Tinggi seharusnya melakukan pemeriksaan secara serius perkara tersebut, sesuai dengan pembuktianya yang sudah diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum, dan tidak mempolitisir dengan pertimbangan- pertimbangan yang tidak Relevan dan tidak Rasional. Sebab, pada inseden tersebut. Kepolisian resor Simalungun telah menangkap 17 Orang anggota Masyarakat dan sudah divonis selama 4 (empat) bulan penjara dan sudah dijalankan sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku, walaupun alasan penangkapan terhadap 17 (tujuh belas ) orang anggota masyarakat tersebut, yang tidak sesuai dengan kondisi masyarakat tersebut.

Sehingga Pengadilan Tinggi Sumatera Utara, tidak perlu berspekulasi dengan pertimbangan-pertimbangan yang sungguh tidak rasional, sebab hasil putusan tersebut sangat berpengaruh terhadap publik.

Dari fenomena diatas, telah membuktikan betapa diskriminatifnya instansi penegak hukum di sumatera utara..Mereka lebih memprioritaskan kepentingan pengusaha yang berstatus terdakwa yang memiliki banyakn uang untuk memberdayakan mereka, dari pada keinginan rakyat yang dam meneginginkan terwujudnya keadilan merata bagi seluruh rakyat Indonesia, sesuai dengan landasar dasar Indonesia yakni PANCASILA dalam butir ke 5 (lima) ‘”KEADILAN SOSIAL BAGI SELURUH RAKYAT INDONESIA” .

Saya selaku saksi korban memohon kepada Pimpinan Mahkamah Agung untuk
  1. Memeriksa kasus tersebut dengan baik, serta memberikan putusan seadil- adilnya pada penanganan perkara tersebut sesuai dengan proses ketentuan hukum yang berlaku.
  2. Memeriksa para majelis hakim yang menangani perkara dimaksud agar mereka bersungguh-sungguh mengutamakan hukum dan keadilan di atas kepentingan pribadi.
Demikianlah surat ini, kami sampaikan agar dapat di tindak lanjuti sesuai ketentuan hukum yang berlaku di Indonesia.
Hormat kami,


Simalungun, 12 Mei 2009




Liongsan Sianturi