Tuesday, September 30, 2008

Suku Anak Dalam : PT. Asiatic Persada [WILMAR Grup] Berdiri Di Atas Tanah Kami

KETERANGAN gambar. Wilayah klaim tanah adat Suku Anak Dalam Kubu Bahar telah di-digitalisasi dan ditempelkan di atas peta kerja PT. Asiatic Persada oleh LSM Setara Jambi dan Yaasan Masyarakat Adat Kubu.

-----

SUNGAI BAHAR, BATANGHARI. Orik [55] adalah satu dari sekian ribu anggota Suku Anak Dalam Kubu Bahar [SAD] yang geram dengan sikap pemerintah. “Tanah adat desa lama kami diserobot perusahaan. Kami diusir. Tahun lalu BPN [Badan Pertanahan Nasional – Red] sudah turun ke lapangan. Mereka akui tanah kami masuk HGU, tapi mengapa sampai sekarang belum dikembalikan pada kami?” tanyanya.

Orik termasuk satu dari sedikit anggota SAD yang masih berani mendirikan gubuk dan pekarangannya di areal kebun PT. AP. Meskipun sering ditajut-takuti oleh aparat keamanan tapi Orik dan kawan-kawan tidak mundur. Karena gubuk yang dia dirikan terletak di atas tanah adat. Tanah adat desa lama tersebut terdiri dari tiga wilayah administrasi yang sering disebut sebagai Desa Padang Salak, Desa Pinang Tinggi dan Desa Tanah Menang.

Sementara HGU yang dimaksud Orik adalah hak guna usaha yang dimiliki PT. Asiatic Persada [PT. AP], salah satu perusahaan perkebunan kelapa sawit yang menginduk pada WILMAR Group Malaysia. Awalnya HGU tersebut diberikan pemerintah kepada PT. Bangun Desa Utama di tahun 1987. Namun di tahun 1992 telah terjadi pengalihan kepemilikan kepada PT. AP.

BPN Jambi memang telah melakukan penelitian lapangan pada 19-25 Juli 2007 yang lalu. Penelitian tersebut berdasarkan surat Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia bernomor 2027 – 610.3 – DV.1 tentang ‘Percepatan penyelesaian konflik tanah masyarakat adat orang Kubu yang terletak di tiga desa yaitu Desa Padang Salak, Desa Pinang Tinggi dan Desa Tanah Menang Kec. Sungai Bahar Kab. Batang Hari Propinsi Jambi’ tertanggal 28 Juni 2007.

“Surat tersebut dikeluarkan karena desakan perjuangan massa SAD di Jambi sejak 1987,” kata Donny Pradana WR dari Komite Pimpinan Pusat Serikat Tani Nasional [KPP STN]. Bersama LSM Setara Jambi, KPP STN bergiat aktif mendukung perjuangan massa SAD sejak pertengahan 2006. “Kamipun telah menyampaikan protes pada pimpinan WILMAR Group di Malaysia untuk memperhatikan permasalahan ini sebagai salah satu tanggung jawabnya dalam forum RSPO [Roundtable Sustainable Palm Oil]” ujar Rukaiyah Rofiq Direktur Setara Jambi.menambahkan.

Hasil Penelitian

Bastian Helmi NIP 010150365 dan Samson NIP 010152046 dari BPN Jambi diserahi tanggung jawab sebagai pelaksana penelitian. Kegiatan mereka dilaporkan dalam dokumen berjudul Laporan Hasil Penelitian Konflik Tanah Masyarakat Adat Orang Kubu Kelompok Padang Salak, Pinang Tinggi dan Tanah Menang Kecamatan Sungai Bahar Kabupaten Muaro Jambi Propinsi Jambi berikut dengan peta.

Mengutip salah satu hal penting yang termuat dalam laporan itu adalah ‘tanah masyarakat dat kubu tiga kelompok Padang Salak, Pinang Tinggi dan Tanah Menang di lapangannya adalah areal yang terletak diantara Sungi Merkanding, Sungi Temidai, Sungai bahar dan Sungai Samiyo dan seluruhnya masuk dalam HGU dimaksud dan terletak dalam wilayah Desa Merkanding Kecamatan Sungai bahar Kabupaten Muaro Jambi dan Desa Bungku Kecamatan Bajubang Kabupaten Batanghari’.

Namun dalam dokumen yang sama, Bastian dan Helmi justru menyetujui rencana PT. AP yang bermaksud memberikan 1000 hektar areal di luar HGU yang dimilikya kepada SAD melalui pola kemitraan/plasma sebagai jalan keluar penyelesaian konflik. “Kami menolak keras. Masayarakat kami hanya ingin tanah adat kembali!” tegas Orik yang juga kepala desa lama Padang Salak. Pendapat Orik juga didukung oleh Abas [41] kepala desa lama Tanah Medang dan Nurman [45] kepala desa lama Pinang TInggi.

Padahal, 1000 hektar areal yang akan diberikan oleh PT. AP tersebut adalah areal perkebunan PT. Maju Perkasa Sawit yang terlantar dan telah digarap oleh masyarakat dari Desa Bungku. “Kalau kita terima tawaran itu, sama saja dengan mengadu domba SAD dengan orang Desa Bungku,” sergah Husein Aroni [60], ketua adat SAD dan Asnawi [65], ketua Yayasan Masyarakat Adat Kubu hampir bersamaan.

Lain halnya tanggapan BPN Jambi. Menurut mereka dokumen tersebut bukanlah sikap resmi institusi. Masih diperlukan kajian lanjutan di bidang sosio-kultural SAD yang berkaitan dengan asal-usul komunitas tersebut.

Namun hingga menjelang artikel ini disusun, BPN Jambi tak kunjung menerbitkan laporan resmi hasil penelitian. Hal ini justru menjadikan SAD makin resah dan persoalan makin berlarut larut.

Pemetaan Partisipatif

Guna memantapkan klaim adapt atas tanah SAD yang diserobot PT. ATP, LSM Setara Jambi bekerjasama dengan Yayasan Masyarakat Adat Kubu mengadakan pemetaan di lapangan pada Juli 2008. “Data dan informasi lapangan kami digitalisasi. Agar batas-batasnya akurat dan dapat diukur luasannya,” ujar Ade, aktifis LSM Setara Jambi.

Husein Aroni menambahkan bahwa SAD bermaksud mendesak juga pada Gubernur Jambi dan para bupati dimana PT. AP beroperasi agar turut mendukung penyelesaian konflik. “Karena pemerintahan propinsi juga harus bertanggung jawab terhadap masalah yang menimpa kami,” tandasnya.

Mewakili SAD, Husein Aroni menyatakan tiga tuntutannya yakni; pertama, segera publikasikan berita acara resmi hasil penelitian BPN Propinsi Jambi; kedua, segera kembalikan lahan tanah dusun hak milik dalam waktu singkat disertai dengan surat kesepakatan bersama demi kekuatan hukum; ketiga, apabila lahan tanah tidak segera dikembalikan secara resmi melalui fasilitasi pemerintah, maka SAD akan mengambil alih sepihak karena semua proses damai telah dilalui dengan sabar.

Sunday, September 28, 2008

Forum Mediasi BPN Jateng Yang Berat Sebelah

FOTO Mbah Muhadi tengah bersiap menuju ladang di pagi hari. Ia adalah salah seorang petani penggarap tanah terlantar PT. Rumpun Sari Medini afdeling Kaligintung yang terletak di Desa Kemitir Kecamatan Sumowono Kabupaten Semarang, Jawa Tengah.

-----

SUMOWONO, SEMARANG. STN. Adalah Mbah Muhadi [71]. Jika hari menjelang pagi, ia telah bersiap-siap ke ladang dengan membawa pikulan berikut keranjang di kedua sisinya. Meskipun usianya tak lagi muda, ketangkasan dan kegigihan masih nampak di tubuh kecilnya. “Saya dulu ikut jadi pejuang rakyat,” jelasnya. Ia dan kawan-kawannya ada masa 1950-an dikenal sebagai aktifis pimpinan ranting salah satu organisasi pemuda militant. “Kami pernah ikut digerakkan untuk membangun GOR Senayan. Semua kami lakukan dengan sukarela dan senang hati,” ujarnya.

Hingga hari ini, Mbah Muhadi dan para petani Desa Kemitir Kec. Sumowono Kab. Semarang, Jawa Tengah tengah berjuang memperoleh kepastian hak atas tanah. Sejak sebelas tahun yang lalu, mereka menduduki dan memproduksi tanah di sebagian areal PT. Rumpun Sari Medini afdeling Kaligintung [RSM] yang terlantar. Dari 148 Ha konsesi usaha yang dimiliki kebun, tak lebih dari 15 hektar saja yang telah ditanami teh sejak ia beroperasi 1997 yang lalu. “Kami harus menggarap tanah tersebut untuk bertahan hidup. Empat hektar tanah Desa Kemitir tidak mungkin cukup menghidupi kami dan ratusan kepala keluarga lainnya,” terangnya.

Pertemuan Tiga Pihak

Kamis, 21 Agustus 2008, Mbah Muhadi dan para petani berunding dengan jajaran pimpinan PT. RSM dengan dijembatani oleh Kanwil BPN Jateng. Pertemuan yang diselenggarakan di kantor Camat Sumowono adalah usaha pertama perundingan tiga pihak untuk menemukan jalan keluar konflik.

Darmanto selaku kepala bidang sengketa pertanahan dan konflik agraria Kanwil BPN Jateng memimpin jalannya pertemuan. Hadir pula dalam kesempatan tersebut adalah Camat Sumowono, kepala desa Kemitir, direktur PT. RSM, kepala kantor pertanahan Kab. Temanggung serta jajaran pimpinan kantor pertanahan Kab. Semarang dan para petani.

Para petani mengemukakan tiga hal berkait dengan tuntutan mereka, yakni [1] petani berhak bebas menentukan jenis tanaman di kawasan garapan tanah terlantar PT. RSM; [2] pihak PT. RSM tidak diperkenankan menggangu tanaman milik petani; [3] Pihak BPN harus memproses sesuai ketentuan Undang Undang Pokok Agraria No. 5 tahun 1960 tentang penelantaran tanah dalam areal hak guna usaha [HGU].

Keinginan tersebut diperkuat oleh aspirasi Kepala Desa Kemitir Kec. Sumowono Kab. Semarang. Beliau menyatakan bahwa warganya, yang sebagian besar adalah anggota Serikat Tani Nasional ‘Setyo Manunggal’, diperkenankan terus menggarap tanah terlantar PT. RSM dan meminta BPN untuk meninjau ulang HGU PT. RSM dengan mempertimbangkan kondisi masyarakat di wilayah ini.

Namun PT. RSM bersikeras bahwa areal tersebut adalah kewenangannya berdasarkan HGU yang ada. Oleh karena itu, para petani penggarap harus bekerja sama dengan PT. RSM apabila tetap ingin menggarap di areal tersebut. “Bahkan Undang Undang Perkebunan No. 18 Tahun 2004 melarang siapa saja masuk dan menggarap di areal perkebunan. Barang siapa yang melanggar pasti dipidanakan,” ancam Tjuk Sugiarto, Direktur PT. RSM yang baru setahun menjabat kedudukannya.

Darmanto menyatakan bahwa PT. RSM telah mengakomodasi keinginan para petani untuk tetap dapat menggarap. “Ini hal yang positif” tandasnya. Oleh karena itu, ia dan jajaran yang hadir berpendapat agar petani menerima saja tawaran kerjasama dengan pihak PT. RSM. “Karena HGU PT. RSM masih berlaku,” terangnya. Sambil berkata demikian, Darmanto menydorkan surat perjanjian kerjasama dari PT. RSM agar segera ditandatangani para petani.

Kontan saja Mbah Muhadi dan para petani menolaknya. Apa pasal? Pertama, surat perjanjian tersebut secara sepihak disusun oleh PT. RSM dan mengabaikan keterlibatan petani. Kedua, keinginan PT. RSM dan tuntuan petani tidak bertemu secara substansi. Ketiga, BPN dinilai mengabaikan penilaian atas tanah terlantar yang menjadi objek konflik pertanahan dan cenderung memihak pada PT. RSM. Keempat, pengalaman pahit para penggarap bekerjasama dengan PT. RSM di masa lalu. Yang justru berbentuk pungutan-pungutan bagi hasil tanaman petani maupun mobilisasi para penggarap menjadi pemetik teh dengan upah yang sangat rendah.

Dengan demikian pertemua tiga pihak tidak menghasilkan perubahan yang membela Mbah Muhadi dan kawan-kawan. Apakah parapetani akan menunggu hingga HGU PT. RSM habis di tahun 2018? “Sejak sekarang kami tetap mempertahankan tanah yang telah digarap sambil mencari cara lain dalam perjuangan”, tegas Mbah Muhadi.

Donny Pradana WR dari Komite Pimpinan Pusat Serikat Tani Nasional manambahkan bahwa kanwil BPN Jateng dan Tim Penilai Tanah Terlantar patut menyampaikan temuan mereka kpeada para petani berkenaan dengan hasil penyelidikan 2006 yang lalu. "Jika terbukti ditemukan sejumlah bagian areal perkebunan yang ditelantarkan sejak PT. RSM menerima HGU tahun 1997 yang lalu, maka berdasar pasal 34 UUPA No. 5 1960 menyebutkan bahwa HGU hapus salah satunya karena ditelantarkan," tambahnya. Dan negara patut memberikan hak garap kepada petani tersebut.

Asal usul Konflik

Afdelling Kaligintung sejak zaman Belanda memang lokasi perkebunan dan bukan tanah rakyat. Takkala terjadi nasionalisasi atas asset bekas Belanda di masa presiden Soekarno pada masa 1950-an, kebun tersebut menjadi salah satu sasarannya. Dan kepengurusannya di serahkan pada tentara setempat, yang dikemudian hari dikenal sebagai Kodam IV Diponegoro. Selain kebun di afdelling Kaligintung yang secara administrative terletak di batas antara Kabupaten Semarang dan Kabupaten Temanggung, PT. RSM juga memiliki kebun di afdeling Medini Kab. Kendal.

“Kami menghimpun para petani penggarap tanah perkebunan PT. RSM dalam kelompok tani dan bergabung dengan Serikat Tani Nasional sejak tahun 2005,” urai Suryono [39], ketua kelompok tani penggarap Setyo Manunggal. Kelompok tani tersebut telah mennyelenggrakan serangkaian perjuangan massa dengan mobilisasi aksi mendesak pada pihak-pihak terkait.

Dan pada pertengahan 2006, Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Propinsi Jawa Tengah [Kanwil BPN Jateng] menyelenggarakan peninjauan lapangan. Bersama jajaran kantor pertanahan Kabupaten Semarang dan Kab Temanggung, Kanwil BPN Jateng membentuk Tim Penilai Tanah Terlantar yang bertujuan menginventarisasi tanah yang tidak dimanfaatkan oleh perkebunan. Tim tersebut menilai telah terjadi penelantaran tanah dan memberikan teguran pertama kepada PT. RSM, Teguran tersebut diberikan jangka waktu 18 bulan dan akan dinilai kembali pada Januari 2008.

Menganggapi teguran Kanwil BPN Jateng, pada semester kedua tahun 2007, PT RSK mulai melakukan perluasan tanaman teh seluas 4 ha. Perluasan tanam inilah yang menuai protes petani penggarap. “Bagaimana tidak protes kalau teh ditanam di sela-sela tanaman jagung milik kami?” kata Suryono dengan nada tajam.

Selasa, 04 Desember 2007 yang lalu, ratusan anggota kelompok tani kembali menyelenggarakan perjuangan massa dan menggerakkan anggota ke kantor pertanahan Kab. Semarang. Harian Suara Merdeka memuat liputannya dengan judul 'Ratusan Petani Geruduk Kantor BPN'.

Salah satu hasil aksi tersebut adalah upaya BPN untuk mengedepankan mediasi antara petani penggarap dan PT. RSM. Hal tersebut baru terlaksana Kamis, 21 Agustus 2008 yang lalu.

Wednesday, September 24, 2008

Rilis Perjuangan Kelompok Tani Padang Halaban - Sekitarnya

Kronologis Permasalahan Tanah Masyarakat Desa Di Sekitar Perkebunan Padang Halaban Yang Diambil Aalih/Digusur Oleh Perusahaan Perkebunan Padang Halaban Di Tahun 1969/1970 Tanpa Ganti Rugi Penggantian Tanah

Tahun 1942 Tentara Bangsa Jepang menduduki wilayah Perkebunan Padang Halaban Sekitarnya yang saat itu dalam keadaan “Vacum of power” (kekosongan kekuasaan) dan menguasai Perusahaan Perkebunan Padang Halaban yang ditinggalkan Agresi I Penjajah Belanda bernama Perusahaan Perkebunan NV. SUMCAMA. Bangsa Jepang saat itu juga menguasai para kuli di perkebunan. Selanjutnya para kuli diperintahkan oleh Penguasa Jepang untuk mengganti jenis tanaman di dalam areal Perkebunan Padang Halaban dari jenis tanaman kelapa sawit menjadi jenis tanaman pangan, seperti palawija dan sebagainya.

Tahun 1945 Penguasa Jepang meninggalkan Perusahaan Perkebunan Padang Halaban dan seluruh kulinya, dikarenakan Bangsa Jepang Kalah perang dengan sekutu akibat Kota Hiroshima dan Nagasaki dibom atom oleh Tentara Sekutu. Mengingat begitu pentingnya lahan yang ditinggalkan oleh Bangsa Jepang untuk keperluan hidup rakyat (bekas kuli bangsa jepang), sementara saat itu Penguasa Bangsa Indonesia belum berdaulat penuh atas kemerdekaan yang telah diproklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945.

Penguasa Perang Bangsa Indonesia saat itu, Presiden Ir.Soekarno, telah pula menyampaikan perintah langsung kepada seluruh rakyat Indonesia dan para laskar rakyat agar areal-areal / tanah-tanah bekas perkebunan bangsa asing yang ditinggalkan pemiliknya, supaya diberikan/dibagikan kepada rakyat Indonesia (termasuk bekas kuli bangsa jepang) untuk ditanami dengan tanaman pangan guna membantu keperluan logistik perang para laskar rakyat, disamping juga sebagai tanda bangsa yang sudah merdeka adalah memiliki tanah asal kenvensi bangsa asing.

Guna menjalankan Perintah Langsung Penguasa Perang Bangsa Indonesia saat itu, pada tahun 1945 juga, hamper seluruh areal lahan di Perkebunan Padang Halaban asal konvensi bangsa asing yang ditinggalkan oleh Bangsa Jepang seluas sekitar 3000 Ha, dibagikan kepada rakyat bekas kuli bangsa jepang) secara bekerjasama dengan para laskar rakyat. Tanah-tanah tersebut dibagikan berdasarkan bekas divisi perkebunan padang halaban di masing-masing tempat. Untuk selanjutnya dikembangkan menjadi perkampungan rakyat/desa, dengan luas tanah yang berhak diusahai rakyat masing-masing seluas 2 (dua) Ha/KK. Perkampung rakyat/desa yang dibentuk dari tanah pembagian tersebut masing-masing :
  1. Tanah di bekas Divisi I yang diduduki rakyat dinamakan Desa Sidomulyo
  2. Tanah di bekas Divisi Pabrik yang diduduki rakyat dinamakan Desa Karang Anyar
  3. Tanah di bekas Divisi II yang diduduki rakyat dinamakan Desa Sidodadi/Aek Korsik
  4. Tanah di bekas Divisi III yang diduduki rakyat dinamakan Desa Purworejo/Aek Ledong
  5. Tanah di bekas Divisi IV-V yang diduduki rakyat dinamakan Desa Kartosentono/Brussel
  6. Tanah di bekas Divisi VI yang diduduki rakyat dinamakan Desa Sukadame/Panigoran
Tahun 1949 saat Agresi II Belanda kembali menjajah Bangsa Indonesia dan sampai juga ke desa-desa di sekitar Perkebunan Padang Halaban. Kedatangan Penjajah Belanda pada Agresi II ini, tidak bertujuan untuk menggusur perkampungan/desa yang sudah diciptakan oleh rakyat, akan tetapi bertujuan untuk memperbaiki sarana dan prasarana di Perkebunan Padang Halaban yang rusak.

Tahun 1954 setelah dikeluarkannya UU Darurat Nomor 8 Tahun 1954 oleh Pemerintah Republik Indonesia, masyarakat desa yang telah menduduki dan mengusahai tanahnya masing-masing seluas 2 (dua) Ha/KK di desa-desa sekitar Perkebunan Padang Halaban tersebut, diberikan KTPPT (Kartu Tanda Pendaftaran Pendudukan Tanah) yang dikeluarkan oleh KRPT (Kantor Reorganisasi Pemakaian Tanah) wilayah Sumatera Timur sebagai dasar untuk mendapatkan/memperoleh alas hak yang diakui hukum seperti diatur dalam UUPA Tahun 1960 dan sejak saat itu rakyat sudah dibebani kewajiban membayar pajak/Ipeda oleh Pemerintah Kabupaten Labuhanbatu.

Demikian pula dengan status tanah yang diduduki oleh rakyat disahkan oleh pemerintah telah dikeluarkan dari areal HGU Perkebunan Padang Halaban (saat itu bernama Perusahaan NV. SUMCAMA). Untuk diketahui, bahwa luas areal desa-desa yang diciptakan oleh rakyat sejak tahun 1945 dan dikeluarkan dari HGU Perusahaan Perkebunan Padang Halaban, hingga tahun 1969/1970 tidak pernah mengalami perluasan areal desa (merebaknya penggarap liar). Areal desa itu tetap luasnya sejak dibentuk menjadi desa hingga terjadi peristiwa penggusuran.

Tahun 1962, setelah sekitar 17 (tujuh belas) tahun mengembangkan dirinya, Desa Sidomulyo berhasil mendapatkan Penghargaan dari Gubernur Sumatera Utara saat itu Ulung Sitepu, atas prestasi Desa Sidomulyo yang berhasil meraih Juara II Desa Terbaik se-Sumatera Utara. Saat itu, Ulung Sitepu yang langsung turun/datang ke Desa Sidomulyo untukmenyerahkan Piagam Penghargaan yang juga langsung diterima oleh Kepala Desa Sidomulyo saat itu bernama (alm) Langkir.

Tahun 1968, akibat imbas dari peristiwan G 30 S/PKI tahun 1965 di Jakarta, masyarakat di desa-desa di sekitar Perkebunan Padang Halaban yang mayoritas berpencaharian sebagai petani tersebut, mulai diintimidasi oleh Pengusaha Perkebunan Padang Halaban (bernama PT. Plantagen AG), sebagai ekses dari Nasionalisasi perusahaan-perusahaan asing di Indonesia. Pengusaha perkebunan dengan dibantu aparat TNI/Polri dan didukung oleh Pemerintah Kabupaten Labuhanbatu saat itu, mulai melakukan intimidasi dan menuduh masyarakat desa sebagai anggota BTI (Barisan Tani Indonesia) yang merupakan underbow-nya PKI. Selanjutnya, dengan todongan senjata laras panjang milik para aparat, masyarakat desa dipaksa untuk meninggalkan tanahnya dari masing-masing tempat, dengan terlebih dahulu melucuti/mengambil bukti-bukti kependudukan/kepemilikan tanah dari tangan masyarakat desa.

Beberapa kali pertemuan masyarakat desa dengan pengusaha Perkebunan Padang Halaban dilakukan, untuk membicarakan persoalan ganti rugi lahan yang akan digusur Perkebunan Padang Halaban. Namun setiap kali pertemuan dilaksanakan tidak mendapat kesimpulan yang adil bagi rakyat maupun bagi pengusaha, karena rakyat tidak bersedia digusur bila tidak diganti dengan tanah pengganti. Akhirnya pengusaha, pemerintah kabupaten labuhanbatu saat itu dan TNI/Polri bekerjasama untuk menggusur rakyat dari atas tanah yang mereka duduki dengan menuduh masyarakat sebagai Anggota BTI.

Padahal masyarakat di masing-masing desa di sekitar Perkebunan Padang Halaban tidak pernah mengenal yang namanya BTI ataupun bergabung ke dalam partai terlarang tersebut. Akan tetapi, tuduhan terhadap masyarakat desa ini dengan menyebutnya sebagai Anggota BTI, hanya merupakan alat di masa Orde Baru sebagai dalih untuk mempermudah aksinya melakukan perampasan hak tanah rakyat yang tidak berdaya karena berhadapan dengan intimidasi dan todongan senjata laras panjang milik aparat TNI/Polri. Bagi masyarakat desa yang dituduh sebagai Anggota BTI dan tidak dapat melakukan perlawanan, akhirnya harus rela untuk ditahan di penjara Korem 021 Pematang Siantar atau disiksa dihadapan orang banyak.

Tahun 1969/1970 hingga saat ini habislah sudah desa-desa yang sejak tahun 1945 dibangun dengan semangat kebangsaan mempertahankan Kemerdekaan RI, akibat digusur/diambil alih Perusahaan Perkebunan Padang Halaban (bernama PT. Plantagen AG). Sementara surat dari Maskape Perkebunan Plantagen Aktiengsellschaft bernomor 1ms/2232/69 tanggal 4December 1969 ditanda tangani Drs. I.A.M Schumuther yang ditujukan kepada Tn. E. Hildebrant selaku wakil maskape di Perkebunan Padang Halaban. Surat tersebut menegaskan tentang tanah seluas 3000 Ha yang telah dibayarkan ganti ruginya kepada Pemerintah Kabupaten Labuhanbatu untuk diberikan kepada masyarakat desa sebagai penggantian tanah atas tanah mereka di sekitar Perkebunan Padang Halaban yang diambil alih oleh Perusahaan.

Sejak tahun 1998 hingga saat ini masyarakat desa korban penggusuran tahun 1969/1970 yang bergabung dalam Kelompok Tani Padang Halaban Sekitarnya, tidak pernah berputus asa untuk melakukan tuntutan kepada Pemerintah Kabupaten Lahanbatu agar hak atas tanah penggantian mereka yang telah dibayar ganti ruginya kepada pemerintah, sebagai akibat dari tanah masyarakat yang digusur/diambil alih oleh Perusahaan Perkebunan Padang Halaban di tahun 1969/1970. Dikarenakan sebelum era reformasi bergulir, masyarakat korban penggusuran tidak berani melakukan tuntutan karena masyarakat merasa trauma dengan kejadian masa lalu, di samping system pemerintahan orde baru yang terkenal gemar “membungkam suara rakyat”dengan senjata ampuhnya melakukana makar/tindakan subversib.

Namun, sejak tuntutan masyarakat tersebut disampaikan oleh masyarakat kepada Pemerintah Kabupaten Labuhanbatu, hingga detik ini persoalan belum mendapat keputusan yang berarti dari Pemkab Labuhanbatu, kendati berbagai proses penyelesaian telah ditempuh namun semuanya nihil. Utnuk itu, kami kembali berharap kiranya Pemkab Labuhanbatu dapat memberikan satu keputusan yang berpihak kepada rakayt korban penggusuran.

Aek Kuo, 25 Agustus 2008

Dikisahkan oleh Ketum KTPH-S Sumardi Syam dan dicatat oleh Sekum KTPH-S Maulana Syafi’i, S.HI

Thursday, September 18, 2008

Selain Sangat Meresahkan Masyarakat, Galian Parit PT. Smart Tbk Akibatkan Berubahnya Bentuk Fisik Tanah

Catatan : Maulana Syafi’i*)

AEK KUO, METRO.

Untuk kesekian puluh kali parit galian milik PT. Smart Tbk Padang Halaban Kecamatan Aek Kuo, Kabupaten Labuhanbatu, kembali mengambil korban. Kali ini korbannya bukan seorang anak kecil yang tenggelam seperti kejadian naas yang pernah menimpa nasib warga Desa Aek Korsik, Kecamatan Aek Kuo, di tahun 2006 silam, melainkan seekor lembu milik warga Desa Pulo Jantan yang kemaren sore terperosok dan terjebak dalam lubang parit galian yang dalam dan tidak dapat untuk naik ke atas hingga kehabisan nafas dan akhirnya mati di dalam parit galian “pencabut nyawa”.

Demikian diceritakan Wiryono (72), seorang warga Desa Pulo Jantan, Kecamatan Aek Kuo kepada wartawan, Rabu (10/9). Menurut Wiryono, peristiwa matinya beberapa ekor lembu milik warga sekitar perkebunan padang halaban di dalam parit galian milik perusahaan itu, sudah merupakan hal yang lumrah. Kendati demikian, tidak pernah terbesit di dalam benak management PT. Smart Tbk Padang Halaban untuk membayar ganti rugi ternak lembu warga yang mati di dalam parit galian berukuran lebar 6m dan dalam 6m yang termasuk dalam type Galian C, namun tidak dikenakan retribusi pajak galian c oleh Pemkab Labuhanbatu, jelas wiryono.

Tidak dipungkiri wiryono, bila korban yang tewas di dalam parit galian “pencabut nyawa” itu dari jenis manusia, maka pihak management segera memberikan kompensasi atau sekedar uang duka keluarga ahli musibah, akibat human eror yang dilakukan pihak perusahaan pada parit galiannya, seperti yang pernah menimpa warga di Kecamatan Aek Kuo dan Kecamatan Marbau beberapa tahun lalu, kenang Wiryono.

Berbeda pula dengan apa yang telah dialami oleh Warisem (80) warga Kecamatan Na IX-X, akibat tergiris erosi dari galian parit raksasa milik PT. Smart Tbk Padang Halaban itu, tanah peninggalan almarhum suaminya hampir selebar 3m dan sepanjang 60m yang terletak di sebelah samping rumahnya di Dusun Gerojokan, kini kondisinya telah hilang dan berubah menjadi satu dengan dasar parit galian.

“Akibat dari parit bekoan (galian-red) di sebelah samping rumah, tanahku sekitar hampir selebar 3m dan sepanjang 60m telah hilang dan telah berubah menjadi satu dengan dasar parit bekoan itu. Bisa dilihat, saat ini di sepanjang dasar parit itu ada empat batang pohon sawit yang sudah berproduksi milikku yang tumbang dan kini mulai membusuk, juga ada serumpung pohon bambu dan pohon pisang serta sebatang pohon kepala jawa, telah berada persis di tengah-tengah parit galian”, urainya Warisem.

Kedukaan yang dialami oleh kedua orang tua lanjut usia, Wiryono dan Warisem ini, juga pernah dirasakan oleh mantan Kepala Puskesmas Aek Kuo dr.H. Rustian Sinaga. Pasalnya, Aliran parit galian di sekitar puskesmas yang tergiris erosi mengakibatkan pagar tembok puskesmas ini roboh. Demikian pula halnya ketika parit galian tersebut tidak mampu membuang tumpahan debit curah hujan yang cukup tinggi hingga menciptakan genangan air di dalam parit galian.

Praktis, dengan terciptanya genangan air dalam galian tersebut membuat “bangsa nyamuk” merasa nyaman melakukan pembiakan generasinya. Akibat buruknya adalah, realitas ini sempat membuat daerah kesehatan di wilayah kecamatan aek kuo di tahun 2007 lalu masuk dalam daerah epidemis penularan DBD dan malaria.

Masih segar dalam ingatan masyarakat aek kuo, kala itu seorang anak balita dari Dusun Marbau Jaya Desa Aek Korsik harus dilarikan ke Rumah Sakit H. Adam Malik di Medan dalam kondisi koma karena positif terjangkit penyakit DBD, lagi-lagi perusahaan penyebab persoalan ini tidak mau ambil pusing.

Tidak sampai disitu, cerita unik yang menimpa seorang warga Desa Karang Anyar Kecamatan Aek Kuo, akibat mobil pick up yang dikendarainya terjun bebas ke dasar parit galian milik PT. Smart Tbk Padang Halaban, yang posisinya persis bersebelahan dengan jalan lintas dari dan menuju antar lintas desa setempat. Ironisnya, kendati parti galian yang diciptakannya bersebelahan dengan jalan lintas desa, namun pihak management PT. Smart Tbk Padang Halaban tidak tergerak hatinya untuk membuat pagar pembatas.

Sekarang, parit galian ini kembali mengancam keselamatan masyarakat pengguna jalan di Dusun IV Desa Panigoran Kecamatan Aek Kuo. Pasalnya, kondisi badan jalan yang mulai tergiris erosi parit galian sehingga membuat jalan semakin kecil dan longsoran tebing parit membentuk jurang yang siap menanti mangsa bagi yang melintas di jalan itu, ujarnya MS salam seorang warga desa setempat kepada wartawan.

Kondisi rawannya parit galian perusahaan perkebunan ini telah menjadi perdebatan yang cukup sengit di lembaga legislatif maupun lembaga eksekutif labuhanbatu. Seperti apa yang pernah dikatakan Dahlan Bukhori dari Fraksi PDI-P DPRD Labuhanbatu, seingat Dahlan beberapa waktu lalu DPRD Labuhanbatu telah mendiskusikan hal ini dalam sidang paripurna untuk merumuskan ramperda tetnang retribusi pajak parit galian yang dimasukan dalam kategori galian c sehingga menjadi PAD bagi Pemkab Labuhanbatu.

Namun dengan alasan tidak adanya manfaat ekonomis yang dirasakan oleh perusahaan perkebunan kelapa sawit atas parit galian tersebut, didukung pula surat sakti dari BKSPPS (Badan Kerjasama Perusahaan Perkebunan Sawit) dari pusat yang menyatakan keberatannya bila jenis parit galian seperti itu dikenakan retribusi pajak daerah mengingat galiannya tidak mendatangkan manfaat ekonomis. Menurut surat BKSPPS, galian tersebut bertujuan sebagai tapal batas tanah perusahaan dan juga sebagai alasan pengamanan areal perkebunan kelapa sawit dari kejahatan para ninja sawit.

Akan tetapi Dahlan Bukhori tetap membantah, bila alasannya sebagai tapal batas adalah tidak logika mengingat tapal batas yang seyogyanya dipergunakan adalah berupa tiang besi atau sejenisnya. Demikian pula bila alasannya sebagai pembantu pengamanan areal tanaman sawit dari kejahatan aksi para ninja sawit, setahu Dahlan perusahaan yang membuka usahanya selalu sedia dengan sepasukan pengamanan, tegasnya.

“Jadi sebenarnya tidak ada alasan bagi perusahaan untuk tidak memberikan retribusi parit galiannya kepada Pemkab Labuhanbatu, manalagi diketahui parit galian seperti milik PT. Smart Tbk Padang Halaban lebih besar menciptakan keresahan bagi masyarakat ketimbang manfaatnya bagi Pemkab Labuhanbatu. Alangkah lebih baiknya bila permasalahan ini dicari solusinya untuk menciptakan ketertiban dan ketenteraman bagi masyarakat di sekitar parit galian tersebut”, harapnya Dahlan. (SYA)

*) adalah ketua Kelompok Tani Padang Halaban dan Sekitarnya [KTPHS] yang merupakan jaringan Serikat Tani Nasional di Kab. Labuhan Batu, Sumatera Utara. KTPHS tengah mengupayakan perjuangan massa hak atas tanah atas PT. Smart Tbk Padang Halaban dengan dua ribu jiwa korban konflik .