http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/periskop/menelusuri-jejak-warisan-konflik.html
Minggu, 10/06/2007
Rakyat kerap dipinggirkan terkait konflik lahan. Kekerasan massa merupakan akumulasi kekesalan di masa lalu.
KEKERAPAN konflik tanah di Indonesia layaknya cerita bersambung yang tak pernah usai. Dalam setiap orde, kasus-kasus konflik dan sengketa tanah selalu bermunculan. Ini pula yang menjadi bagian dari sejarah perjalanan bangsa. Tidak jarang, dalam konflik dan sengketa tanah, rakyat acap berhadapan dengan penguasa.Tak pelak, radikalisasi massa menjadi satusatunya bentuk perlawanan yang dilakukan rakyat.
Tapi, bicara konflik dan sengketa tanah di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari sejarah konflik itu sendiri.Yang terjadi sejak zaman kolonial hingga kini. Bentuk perlawanan rakyat (petani) memang tidak banyak meninggalkan catatan sejarah. Itu sebabnya, ada istilah yang menyebutkan petani adalah les peoples sans histoire (masyarakat yang tanpa sejarah). Meski begitu, bukan berarti jejak perlawanan petani terhadap penguasa sama sekali hampa.
Setidaknya, peristiwa Geger Cilegon yang terjadi pada 9 Juli 1888 bisa menjadi perenungan bagi bangsa ini bahwa petani juga punya sejarah. Dalam peristiwa itu, berdasarkan sejumlah catatan, disebutkan 17 pejabat tewas,baik dari penguasa lokal maupun pemerintahan Hindia Belanda.Di pihak petani 30 tewas. Tak aneh jika sejarawan ternama Sartono Kartodirdjo mengangkat kisah perlawanan masyarakat Banten itu ke dalam karya ilmiah ”Pemberontakan Petani Banten 1888”.
Disertasi Sejarawan Ratu Adil —begitu dia dijuluki— itu dinilai sebagai karya sarjana sejarah Indonesia pertama yang mengangkat peran wong cilik ke atas panggung sejarah yang sebelumnya selalu diisi oleh kaum elite. Sartono menilai, historiografi tradisional ataupun historiografi konvensional yang melulu mengedepankan peran elite hanya menjadi alat legitimasi kekuasaan belaka.
Sejarah seperti ini menafikan kenyataan bahwa rakyat pun turut menentukan struktur sosial, ekonomis, dan kultural kekuasaan. Padahal, rakyat mempunyai peranan menentukan (swing role) dalam politik modern. Apa yang digambarkan Sartono dalam desertasinya itu sebagai bentuk ketidakpuasan rakyat terhadap kesewenangan penguasa saat itu. Khususnya soal kepemilikan tanah dan penarikan pajak terhadap hasil produksi dan pajak tenaga kerja.
Kekesalan rakyat terhadap penguasa tertanam berlarut-larut.Ditambah kecemburuan, sangat mungkin muncul ide perlawanan. Tapi, kemarahan massa terkait konflik dan sengketa tanah tidak hanya terjadi pada zaman kolonial semata.Kondisi itu ibaratnya telah menjadi sebuah warisan berkelanjutan. Meski pemerintah kolonial telah hengkang sejak lama, perlawanan rakyat terhadap hakhaknya terus berlangsung. Sebut saja kasus Jenggawah, Jember (Jawa Timur) pertengahan 1995 silam.
Ratusan petani penggarap melakukan aksi protes akibat tidak puas dengan keputusan pemerintah dalam pemberian hak guna usaha kepada PTP XXVII Jember. Dalam aksi itu, tindakan anarkistis sempat terjadi. Rumah dinas administrator perkebunan hancur diamuk massa.
Sejumlah bangunan dibakar. Begitu juga dengan kasus Waduk Nipah, Madura, yang terjadi 25 September 1993.Akibat proses pembebasan tanah yang dinilai tidak bijaksana, unjuk rasa warga saat kegiatan pengukuran tanah di lokasi Waduk Nipah mengakibatkan tewasnya empat warga setempat oleh tembakan senjata aparat keamanan. Atau kasus Kedung Ombo, Sragen, Jawa Tengah (1989) yang sejatinya berupa penolakan atas penggusuran dan pemindahan lokasi permukiman oleh warga empat kecamatan karena tanahnya akan dijadikan waduk.
Penolakan warga ini diakibatkan kecilnya jumlah ganti rugi. Saat itu diperkirakan masih ada sekitar 600 keluarga yang bertahan. Namun, mereka mengalami teror, intimidasi, dan kekerasan fisik. Kepala Divisi Kajian dan Kampanye PBHI Gunawan mengatakan, sengketa dan konflik tanah berlarut-larut akibat tidak adanya niat pemerintah untuk menyelesaikannya. Gunawan menduga, sikap pemerintah itu karena mereka lebih memilih kepentingan investasi (modal).
”Negara banyak menciptakan UU yang berpotensi menimbulkan pelanggaran atas hak-hak rakyat atas sumber-sumber agraria. Artinya pelanggaran HAM, khususnya di lingkungan agraria, oleh pemodal itu justru dilindungi oleh UU yang kita sebut sebagai judicial violent,” tegas dia. Setidaknya, sekian banyak konflik tanah yang terjadi sangat berkaitan erat dengan pola kebijakan pemerintahan yang berkuasa. Sebab, tanah dijadikan alat politik bagi kepentingan penguasa.
Penasihat Pusat Kajian Agraria Institut Pertanian Bogor (IPB) Gunawan Wiradi mengungkapkan, di era Bung Karno, pemerintah menoleransi rakyat menduduki perkebunan yang telantar, melanjutkan kebijakan Jepang. Secara sosiologis, rakyat boleh menduduki perkebunan itu. Terciptalah suatu persepsi kolektif di pihak rakyat bahwa mereka memperoleh tanahnya kembali.Yang dulu dirampas pemerintah kolonial Belanda.
”Pidato Bung Hatta menyatakan perkebunan-perkebunan besar itu tanah milik rakyat. Karena itu, semula, ide dalam Undang- Undang Pokok Agraria (UU No 5/1960) itu nantinya perkebunan itu menjadi objek land reform dan hak guna usaha (HGU) itu tahun 1980 harusnya habis dan tidak ada lagi,” tegas dia. Tapi, ketika pemerintahan berubah dan jatuh ke tangan Orde Baru, kebijakan land reform hanya tinggal kenangan. Anehnya, UUPA tidak dicabut, tapi dibekukan. Orde Baru mulai memunculkan UU yang lebih pro pemodal. Di sisi lain, kebijakan ”main tekan” untuk kestabilan politik menjadi kunci pembangunan. Siapa saja yang membangkang, khususnya terkait persoalan tanah, kerap mendapat stigma komunis.
Meski disebut-sebut pertanian menjadi tulang punggung pembangunan, konflik tanah terus terjadi. Sebab, rakyat tetap beranggapan tanah adalah sumber penghidupan yang harus dipertahankan, meski harus berhadapan dengan kekerasan. Selepas tumbangnya Orde Baru pada 1998, yang diiringi krisis ekonomi, muncul euforia yang mengatasnamakan reformasi.Akumulasi kekesalan masyarakat pun memuncak. Masyarakat merasa bisa mengambil apa saja yang diinginkan. Pada skala yang lebih besar, kondisi ini memperuncing ketegangan antara masyarakat desa di satu pihak dengan para pemilik modal di lain pihak.
Masyarakat desa berjuang merebut kembali tanah yang dirampas pihak perkebunan negara dan pemodal swasta dengan melakukan aksi pendudukan kembali lahan-lahan tersebut di berbagai tempat. Krisis ekonomi juga meningkatkan angka pengangguran akibat pemutusan hubungan kerja (PHK) di kota.Para buruh urban yang terkena PHK pun kembali ke desa. Akibatnya, kebutuhan lahan di pedesaan meningkat tajam. Kondisi ini membuat penjarahan seakan ”jalan keluar” terbaik. Tapi, untuk konteks tanah, masyarakat harus berpikir ulang jika harus menduduki lahan yang dikuasai perusahaan besar. Setidaknya, pasukan bersenjata siap menghadang.(sunu hastoro/yani a)