http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/periskop/sengketa-berujung-di-moncong-bedil.html
Minggu, 10/06/2007
INSIDEN berdarah yang terjadi di Desa Alas Tlogo, Kec Lekok, Kab Pasuruan, yang menewaskan empat warga akibat tertembus peluru anggota Korps Marinir TNI AL pada akhir Mei lalu menambah panjang daftar kekerasan aparat dalam konflik tanah.
Insiden ini berkaitan dengan sengketa tanah antara warga setempat dengan TNI AL yang sudah berlangsung sejak 1960. Versi warga, pecahnya konflik dipicu kekesalan warga atas kegiatan pengolahan lahan yang dilakukan PT Rajawali,perusahaan investor yang mengelola lahan sengketa untuk dijadikan perkebunan tebu. Padahal, rencana semula, lahan yang disengketakan ini akan dijadikan pusat pelatihan pendidikan TNI AL. Tak pelak, aksi karyawan PT Rajawali ini mengundang amarah warga. Mereka pun berunjuk rasa. Warga berupaya keras menghentikan traktor yang sedang meratakan tanah.”Warga saya tidak membawa senjata apa-apa.
Mereka cuma mengumpat dan berteriak-teriak di depan karyawan PT Rajawali dan TNI AL yang saat itu bertugas mengawal. Entah apa yang menyebabkan seketika anggota TNI AL itu langsung mengokang senapannya. Lalu ditembakkan ke kawasan permukiman warga saya,”jelas Kepala Desa Alas Tlogo Imam Sumadi. Berdasarkan catatan Pemda Jawa Timur, tanah sengketa seluas 3.569,205 hektare yang tersebar di 11 desa dan 2 kecamatan itu merupakan lahan inventaris kekayaan negara (IKN) yang dibeli dari warga setempat pada 1960 seharga Rp77.658.210 juta dengan dana APBN.
Sementara versi Korps Marinir, tragedi berdarah itu terjadi karena aparat berupaya membela diri. Komandan Korps Marinir Mayjen TNI (Mar) Safzen Noerdin menjelaskan, peristiwa bermula saat 13 personel melakukan patroli rutin dengan berjalan kaki dan kemudian bertemu dengan warga yang akan melakukan demonstrasi.Bentrokan kemudian pecah setelah warga yang emosi dan terus merangsek maju. Bahkan, salah satu personel yang sedang berpatroli, Kopda Totok, hampir terluka.
Melihat kondisi yang makin terjepit, akhirnya diputuskan untuk melepas tembakan peringatan, tapi tidak diindahkan warga. Akhirnya para personel marinir tersebut menembakkan peluru ke tanah yang kemudian menyebabkan jatuhnya korban sipil.”Saat itu,kami sudah dalam keadaan terdesak. Warga yang datang dalam jumlah besar.Ditambah senjata,membuat para personel kewalahan. Tidak ada cara lain selain membela diri dengan melemparkan tembakan,” kata Safzen Noerdin seraya menyebutkan lima anggotanya ikut mengalami luka-luka.
Sebenarnya, sebelum peristiwa berdarah itu pecah, Imam sudah berupaya menghentikan warganya agar jangan memblokade ruas jalan raya Pasuruan–Probolinggo.Tapi, situasi sulit dikendalikan. Sejumlah warga membakar ban bekas dan merobohkan pohon untuk menutup jalan. Atas kejadian itu, Dankormar mengaku menyesal dan minta maaf. Dia berjanji akan bertindak sesuai prosedur hukum yang berlaku.”Kami akan mengganti semua biaya perawatan dan biaya pemakaman bagi yang meninggal,”ujarnya.
Dankomar menambahkan bahwa pihaknya akan memproses ke- 13 personelnya secara hukum. Hal serupa juga disampaikan Panglima TNI Marsekal TNI Djoko Suyanto. Dia berkomitmen untuk menyelesaikan secara tegas sesuai jalur hukum kasus penembakan di Pasuruan. Atas kejadian ini, dirinya menyatakan permohonan maaf, rasa prihatin,dan meminta elemen masyarakat membantu mendinginkan suasana.
”Atas nama seluruh jajaran TNI,(saya) menyatakan permohonan maaf dan rasa dukacita yang dalam bagi keluarga yang meninggal maupun bagi keluarga yang terluka. Semua kejadian itu tidak ada yang kita inginkan. Tidak ada rekayasa atau keinginan yang disengaja (dari) TNI AL dalam hal bentrokan,” kata Panglima. Kejadian ini sontak menjadi pembicaraan. Terlebih, insiden berdarah ini terjadi di saat pemerintah tengah berupaya menggulirkan program reforma agraria (land reform) kepada rakyat miskin. Meski begitu, Panglima mengakui, perselisihan tentang lahan ini sering terjadi, tapi selama ini dapat diselesaikan secara baik. Sebelum peristiwa berdarah ini, bentrok fisik antara aparat keamanan dengan rakyat juga pernah terjadi di Desa Sukamulya, Kec Rumpin, Kab Bogor, Jawa Barat pada pertengahan Januari lalu.
Saat itu warga (petani) terlibat bentrokan dengan aparat TNI Angkatan Udara. Konflik tanah ini dipicu rencana Lanud Atang Sandjaja yang hendak mengoperasikan proyek Water Training di atas lahan yang diklaim milik masyarakat. Bentrok ini mengakibatkan dua warga kritis dan dirawat di rumah sakit, 11 lainnya, termasuk perempuan dan anak-anak, mengalami tindak kekerasan hingga terluka. Menurut Penasihat Pusat Kajian Agraria Institut Pertanian Bogor (IPB) Gunawan Wiradi, konflik antara aparat dengan rakyat lebih disebabkan posisi militer yang merambah ranah ekonomi. Situasi ini diawali sejak pascakemerdekaan. Saat itu pemerintah melakukan nasionalisasi terhadap sejumlah perkebunan dan perusahaan asing peninggalan kolonial Belanda.
”Di situlah titik mula militer masuk ke bidang ekonomi.Contohnya pabrik ban Goodyear di Bogor. Begitu diambil alih, pimpinannya militer semua. Jadi, selama itu dipegang militer, mulai terjadi problem- problem antara rakyat, terutama di daerah perkebunan,” ujar Gunawan. Sejatinya, kebijakan reforma agraria yang dicetuskan pemerintahan Orde Lama di bawah Presiden Soekarno lebih menganut politik agraria populistik. Orientasi seluruh kebijakan pemerintah waktu itu sungguh-sungguh diperuntukkan bagi rakyat kecil. Sebaliknya, kebijakan di era Orde Baru (Orba) di bawah Presiden Soeharto lebih menganut politik agraria kapitalistik yang pro pemodal besar.
Praktis, UU Pokok Agraria (UUPA No 5/1960) ”dibekukan”. Program land reform –yang berupaya melakukan penataan penguasaan tanah (termasuk pemilikan tanah) dan pokok-pokok bagi hasil– tidak dijalankan. Kebijakan pro pemodal Orba semakin jelas terlihat ketika mereka mengeluarkan Undang-Undang Pemerintahan Desa (UUPD 1979). Dosen hukum tata negara dan hak asasi manusia, Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Surabaya, R Herlambang Perdana Wiratraman dalam kajiannya, Politik Militer dalam Perampasan Tanah Rakyat: Studi Konflik Penguasaan Tanah oleh Militer dan Kerasan terhadap Petani di Jawa Timur, menyebutnya sebagai pangkal militerisme, terlibatnya unsur polisi dan militer dalam pengawasan kehidupan pedesaan.
Termasuk ketika awal berkuasa,Orba menelurkan UU Penanaman Modal Asing, disusul UU Pokok Pertambangan, UU Pokok Kehutanan. Praktis, payung hukum tersebut dimaksudkan untuk menjadi ”karpet merah” bagi investor asing maupun investor dalam negeri untuk menanamkan modalnya di berbagai sektor agraria seperti kehutanan, pertambangan, dan agraria.
Parahnya, peraturan perundangan tersebut dipraktikkan secara konsisten oleh orde baru yang menghasilkan tiga fenomena agraria yang sampai saat ini belum berubah. Pertama, ketimpangan penguasaan dan pemilikan tanah dan sumbersumber agraria yang lain. Kedua, meningkatnya konflik agraria atau sengketa tanah di berbagai sektor. Ketiga, kerusakan lingkungan hidup atau sumber daya alam akibat eksploitasi yang semakin masif. Akibatnya,konflik kepentingan dalam sistem penegakan hukum mencuat. Setidaknya, di beberapa sektor, terdapat bukti bahwa tingkat keterlibatan pihak tentara dan polisi dalam bisnis belum berkurang secara nyata sejak Orba tumbang.
Salah satunya tampak dalam insiden Pasuruan. Sebaliknya, gerakan petani sebagai bagian dari gerakan sosial memiliki sejarah cukup panjang dalam perlawanannya untuk menuntut hak-haknya. Sejarah mencatat hampir semua kasus pertanahan selalu diatasi dengan cara-cara represif.Tapi, harus disadari pula, yang ditentang bukanlah sosok tentaranya. Tapi watak militerisme, yang telah menjelma bukan hanya pada kekuatan bersenjata,tapi juga pada kekuatan ekonomi dan politik. Ini pula yang mengakibatkan silang sengkarut tanah tidak akan bisa berhenti sampai kapan pun. (sunu hastoro/yani a)