Tuesday, June 19, 2007

Land Reform, Program yang Rawan Konflik

http://www.jawapos.co.id/index.php?act=detail_c&id=289825

Kamis, 14 Juni 2007,

Indonesia termasuk negara dengan tingkat konflik agraria cukup tinggi. Menurut data Badan Pertanahan Nasional (BPN), sampai kini, ada 2.810 kasus pertanahan yang dilaporkan daerah ke kantor BPN.

Bahkan, panitia khusus (pansus) pertanahan DPR periode 1999-2004 sempat merekomendasikan 40 kasus pertanahan kepada BPN untuk diselesaikan. Di antara 40 kasus itu, baru 10 kasus yang berhasil dituntaskan. Sisanya, 30 kasus belum terselesaikan. Mayoritas di antaranya masih tersangkut di pengadilan.

Terkait dengan banyaknya konflik pertanahan tersebut, pemerintah berharap bisa mengintegrasikan penyelesaian sengketa melalui program reforma agraria atau program pembaruan agraria nasional (PPAN). "Makanya, reforma agraria itu bisa disebut program dahsyat," kata anggota Komisi II Agus Condro Prayitno.

Menurut legislator PDIP tersebut, reforma agraria merupakan program pemerintah yang tidak bisa dilaksanakan secara parsial dan setengah-setengah. Bahkan, dia menyebut pelaksanaan reforma agraria itu sangat rumit. Sosialisasi, penentuan objek lahan yang menjadi sasaran land reform, sampai penentuan masyarakat penerima harus dilakukan sangat hati-hati.

Agus menyampaikan, prinsip kehati-hatian tersebut harus menjadi pegangan. Sebab, tanah merupakan persoalan yang sangat sensitif. "Pemerintah harus kembali mendata riwayat tanah objek land reform secara mendetail, sehingga tidak menimbulkan konflik," tegasnya.

Anggota Komisi II Ida Fauziah secara khusus menyoroti kebutuhan anggaran untuk melakukan program reforma agraria tersebut. Dia meminta agar pemerintah merencanakan secara matang dan efisien nilai nominal yang diperlukan. "Konsekuensi ke APBN pasti ada," katanya.

Selain itu, dia menyatakan, PPAN tidak boleh semata-mata menjadi ajang bagi-bagi tanah. Sebab, berdasar pengalaman, model pelaksanaan yang bersifat instan seperti itu tidak akan membawa perbaikan signifikan bagi kesejahteraan masyarakat. "Jadi, harus dibicarakan secara serius mengenai akses ekonomi bagi masyarakat subjek land reform," tegas politikus PKB itu.

Tak jauh berbeda, anggota Komisi II Lena Mariana Mukti menegaskan perlunya kontrol intensif dari pemerintah. Khususnya, terkait dengan banyaknya lahan yang dijual kembali setelah dibagi kepada masyarakat.

Menurut legislator PPP tersebut, kondisi itu terjadi karena tidak matangnya konsep land reform sebelumnya. "Akhirnya, masyarakat merasa lebih untung dengan menjual kembali. Jangan sampai hal itu terulang," ujarnya.

Wakil Ketua Komisi II Priyo Budi Santoso mengaku DPR menyambut positif ikhtiar pemerintah untuk melakukan agenda land reform dan memanfaatkan tanah-tanah telantar dengan memberikannya kepada masyarakat.

Menurut BPN, tanah yang tidak termanfaatkan terdapat di kawasan hutan dan nonhutan. Di kawasan hutan saja diperkirakan terdapat lebih dari 59 juta hektare lahan yang rusak. Di luar kawasan hutan itu, tanah yang tidak termanfaatkan bisa diklasifikasikan menjadi tanah telantar dan tanah berstatus sengketa.

Tanah yang tidak termanfaatkan itu menunjukkan adanya opportunity loss dari kesempatan ekonomi yang sebenarnya bisa diperoleh rakyat. "Hanya, kami ingin ada rambu-rambu yang spesifik. Jangan sampai tugas mulia tersebut menimbulkan kisruh ketika diimplementasikan," ujar legislator Golkar tersebut.

Priyo menekankan pentingnya perencanaan yang matang dari program reforma agraria. Dalam hal ini, tegas dia, DPR akan terus memantau dan mengontrol konsep land reform yang ditawarkan pemerintah. "Ide itu bagus untuk kerakyatan yang membumi," ungkapnya.

Tapi, kata dia, rambu-rambu pelaksanaannya harus jelas dan tidak bias interpretasi. "Jangan sampai ada kesan program itu merupakan kedermawanan pemerintah yang bersifat sementara," katanya. (pri)