http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0706/16/opini/3604224.htm
Opini
Sabtu, 16 Juni 2007
Agus Pakpahan
Terbebasnya kita dari kelaparan atau kerawanan pangan merupakan salah satu aspek kehidupan yang tak ternilai maknanya. Produksi pangan yang melebihi kebutuhan konsumsi masyarakat merupakan instrumen untuk dapat mencapai kondisi itu.
Impor pangan memang dapat menjadi jalan untuk mengatasi kerawanan pangan dengan asumsi, kita memiliki dana untuk membeli dan pangan itu tersedia di pasar dunia. Namun, pelajaran penting dari negara maju menunjukkan, urusan pemenuhan kebutuhan warganya adalah urusan yang perlu dipenuhi dengan kelimpahan pangan yang mampu mereka hasilkan.
Hasil penelitian Yrjölä dan Kola (2004) menunjukkan, nilai rata-rata willingness to pay (WTP) untuk ketahanan pangan bangsa Finlandia adalah € 93,81 per kapita. Andaikan penduduk Indonesia bersedia membayar 25 persen dari WTP penduduk Finlandia, maka akan diperoleh nilai WTP per kapita di Indonesia sebesar € 23,4. Nilai WTP untuk mendapat ketahanan pangan yang kuat dengan jumlah angkatan kerja 106 juta (BPS, 2006) akan dicapai nilai WTP senilai € 2,48 milyar atau sekitar Rp 29,7 triliun. Nilai ini kurang lebih setara dengan 27 persen dari nilai gabah 55 juta ton dengan harga rata-rata Rp 2000/kg.
Nilai itu secara kasar dapat diartikan sebagai biaya tambahan yang konsumen keluarkan untuk mendapatkan ketahanan pangan yang memadai. Namun, nilai ini tidak dikeluarkan di Indonesia. Sedangkan dukungan negara untuk pertanian oleh negara-negara OECD tahun 1999-2001 rata-rata 248,3 milyar dollar AS per tahun..
Gambaran itu memberi makna, ketahanan pangan di negara-negara maju dipandang sebagai public good. Karena itu, dibalik arti subsidi pertanian di negara-negara maju sebenarnya merupakan belanja publik untuk mendapat dan menjaga ketahanan pangan mereka dalam bentuk kelimpahan. Gandum atau beras merupakan komoditas privat di mana pasar merupakan instrumen untuk mengalokasikannya. Namun, hal itu berbeda dengan ketahanan pangan yang sifatnya nonfisik, tetapi sebagai kondisi nasional yang harus diwujudkan dalam rangka menghindari risiko dan ketidakpastian akan kondisi yang harus dicegah, yaitu kelaparan atau rawan pangan.
Bumerang
Peningkatan produksi pangan primer dapat menjadi bumerang bagi petani yang menghasilkannya. Hal ini terkait sifat komoditas pertanian primer, yaitu menghadapi permintaan pasar yang tidak elastis terhadap perubahan harga dan pendapatan. Sifat pasar demikian akan membuat pendapatan petani menurun jika harganya menurun, berbeda terbalik dengan komoditas yang sifatnya elastik.
Selanjutnya, proporsi peningkatan pendapatan yang dibelanjakan konsumen untuk pangan pokok adalah lebih rendah dari proporsi peningkatan pendapatan konsumen (Hukum Engle). Karakter inilah yang menciptakan arah berlawanan antara sasaran peningkatan produksi pangan dan peningkatan kesejahteraan petani jika pasar komoditas pangan pokok dengan karakter di atas tidak dikelola dengan baik.
Ukuran paling sederhana adalah meningkatnya jumlah petani gurem (kurang dari 0,5 ha/rumah tangga tani) dari 40,78 persen (1983) menjadi 53,29 persen (2003, meningkat 12,51 persen) (Hasil Sensus Pertanian, BPS). Total rumah tangga gurem tahun 2003 adalah 13,25 juta dari total rumah tangga pertanian 24,86 juta rumah tangga. Kenyataan ini berbeda dengan kecenderungan di negara maju. Sebagai gambaran, luas lahan pertanian per petani di negara maju tahun 1989-1991 rata-rata 29,9 ha, meningkat menjadi 37,6 ha tahun 1998-2000 (FAO). Kecenderungan ini juga terjadi di Thailand dan Malaysia.
Dengan meningkatnya petani gurem, kemampuan membangun pertanian juga melemah. Hal ini diperlihatkan data pertumbuhan produksi padi Indonesia. Data BPS menunjukkan, pertumbuhan produksi padi tahun 2003, 2005, dan 2006 masing-masing 1,26 persen, 0,12 persen, dan 0,46 persen. Bahkan, angka ramalan I BPS untuk tahun 2007 menunjukkan, produksi padi akan mengalami penurunan 2,3 persen. Padahal, subsidi dan alokasi pupuk bersubsidi telah meningkat.
Lebih jauh Fuglie (2004) menunjukkan, Total Factor Productivity (TFP) menurun dari 2,6 persen (tahun 1968-1992) menjadi -0,1 persen (1993-2000), sedangkan pertumbuhan produksi padi/populasi menurun dari 3,7 persen/tahun menjadi -0,3 persen/tahun untuk tiap periode itu.
Informasi itu menunjukkan, kita perlu mencari dan menerapkan cara baru untuk mampu meningkatkan kapasitas dan produksi nyata pangan, sekaligus meningkatkan kesejahteraan petani.
Jika sawah dipandang sebagai pemasok industri pangan, energi listrik, bahan baku industri turunan dari beras seperti bekatul, tepung, dan abu sekam, misalnya, maka potensi nilainya menjadi kurang-lebih Rp 1 triliun per 10.000 ha sawah. Investasi yang diperlukan untuk membangun industri terpadu berbasis padi ini sekitar Rp 400 miliar-Rp 450 miliar untuk skala pabrik pengolahan beras 500 ton gabah/hari dengan power plant dan industri lain yang bahan bakunya dipasok industri pengolahan itu. Dengan model ini, pendapatan petani bisa mencapai lebih dari Rp 2 juta/ha/bulan.
Pesan utama artikel ini, tidak mungkin kita mendapat ketahanan pangan yang tinggi jika petaninya tidak sejahtera. Karena itu, diperlukan transformasi pertanian yang harus memiliki energi yang kuat, yang dapat mengurangi petani gurem dengan menciptakan lapangan kerja dan kesempatan memperoleh pendapatan baru.
Potensi untuk itu tersedia lebih dari cukup. Kini, tinggal bagaimana mewujudkan institusi usaha yang mampu memanfaatkan dan me-leverage potensi itu menjadi kenyataan. Dasarnya adalah perlunya kebijaksanaan yang terfokus untuk menangkap peluang ini.
Agus Pakpahan Ketua Badan Eksekutif Gabungan Asosiasi Petani Perkebunan Indonesia