Friday, June 15, 2007

Kuasa Negara, Derita Petani ...

http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/periskop/kuasa-negara-derita-petani.html

Minggu, 10/06/2007

tanah mestinya dibagi-bagi jika cuma segelintir orang yang menguasai bagaimana hari esok kaum tani ... tanah mestinya ditanami sebab hidup tidak hanya hari ini jika sawah diratakan rimbun semak pohon dirubuhkan apa yang kita harap dari cerobong asap besi? (Wiji Thukul - Puisi Tanah, Solo, 1989)

Akhir Januari 2007, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dalam pidatonya menyampaikan sebuah ”rencana besar”: mulai melaksanakan reforma agraria (land reform) tahun ini juga. Pendistribusian tanah untuk rakyat termiskin secara bertahap, menurut Presiden, dilakukan dengan mengalokasikan tanah dari hutan konversi dan tanah lain yang menurut hukum pertanahan boleh diperuntukkan bagi rencana tersebut.

“Tanah untuk keadilan dan kesejahteraan rakyat,”kata Presiden. Rencana ini, ungkap Presiden, mutlak dilakukan mengingat selama kurun waktu 43 tahun (sejak 1961 hingga 2004),tanah negara yang diberikan kepada rakyat baru berjumlah 1,15 juta hektare. Selain itu, pemerintah juga akan membantu rakyat dalam menyertifikatkan tanah-tanah yang mereka miliki agar berstatus hukum yang jelas.

Ironisnya, sebelum Presiden SBY menyampaikan pidatonya, petani Desa Sukamulya, Kec Rumpin, Kab Bogor, Jawa Barat terlibat bentrokan dengan aparat TNI Angkatan Udara. Konflik tanah ini dipicu rencana Lanud Atang Sandjaja yang hendak mengoperasikan proyek Water Training di atas lahan yang diklaim milik masyarakat. Bentrokan yang terjadi pada 21–22 Januari 2007 itu mengakibatkan dua warga kritis dan dirawat di rumah sakit, 11 lainnya –termasuk perempuan dan anak– mengalami tindak kekerasan hingga terluka. (Kronologi Kasus Rumpin,WALHI Jakarta).

Begitu pula yang dialami masyarakat Kec Kontu, Kab Muna, Sulawesi Tenggara. Awal 2006, mereka digusur dari tanah sendiri. Disebut-sebut penggusuran ini melibatkan kekuatan bersenjata. Pemerintah setempat menuduh rakyat telah merambah hutan, menjarah kayu jati yang mengakibatkan kerusakan hutan. Mereka dianggap penghuni liar di kawasan lindung yang akan dikonversi menjadi lahan perkebunan. Padahal, rakyat sudah hidup turuntemurun di situ.

Ribuan warga di Kontu pun resah. Sengketa yang berawal pada 2001 itu terus berlangsung hingga saat ini. Konflik tanah juga menimpa masyarakat Meruya Selatan, Jakarta Barat, baru-baru ini. PT Portanigra, sebuah perusahaan swasta, mengklaim hak milik atas tanah seluas 44 hektare yang disengketakan.Sementara warga juga menyatakan berhak atas tanah tersebut.Tiap pihak mengklaim memegang bukti formal (sertifikat). Konflik pun semakin rumit.

Silang sengkarut tanah di Indonesia semakin lengkap ketika terjadi insiden berdarah di penghujung Mei lalu.Empat warga Desa Alas Tlogo, Kec Lekok, Kab Pasuruan tewas ditembus peluru anggota Korps Marinir TNI AL. Sementara tujuh lainnya lukaluka. Insiden ini berkaitan dengan sengketa tanah antara warga setempat dengan TNI AL yang sudah berlangsung sejak 1960. Sederet konflik di atas hanyalah sebagian kecil dari ribuan silang sengkarut tanah di Indonesia.

Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) Djojo Winoto seusai menghadiri sidang kabinet terbatas tentang reforma agraria di Kantor Presiden beberapa waktu lalu mengungkapkan, kasus sengketa dan konflik pertanahan di Indonesia berskala nasional mencapai 2.810 kasus. Dengan melihat karakteristik kasus, diperkirakan sebagian besar kasus terjadi pada kurun waktu 1970 hingga 1980-an.

“Kita memang sudah mengklasifikasi dan mengidentifikasi adanya sengketa dan konflik pertanahan di seluruh Indonesia. Yang berskala nasional mencapai 2.810 kasus. Angka itu belum termasuk yang skalanya kecil-kecil,“ kata dia. Data yang diungkapkan Djojo seakan menegaskan bahwa persoalan sengketa dan konflik tanah di Indonesia tak kunjung surut. Insiden berdarah di Pasuruan yang menyedot perhatian banyak kalangan semakin mengukuhkan bahwa kekerasan selalu menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam konflik tanah.

Ironisnya,dari ribuan konflik tanah di Indonesia yang dikenal sebagai negeri agraris, yang kerap menjadi korban justru petani. Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat, dalam empat bulan terakhir telah terjadi peningkatan kekerasan yang sangat signifikan terhadap petani.Setidaknya,KPA mencatat ada 13 kasus konflik agraria yang disertai kekerasan.Terjadi penangkapan dan penahanan 143 petani yang menjadi tindak kekerasan berupa penembakan,penculikan, pemukulan, dan ancaman.

Di antara korban tersebut, tercatat 33 orang sampai sekarang masih dalam tahanan pihak kepolisian. KPA juga melaporkan satu orang pamswakarsa perkebunan tewas dalam konflik agraria di Mamuju, Sulawesi Selatan.Konflik ini juga mengakibatkan pengungsian sementara 556 kepala keluarga atau sedikitnya 1.200 jiwa.Sebagian besar di antaranya perempuan dan anak-anak. “Negara mestinya melindungi rakyat miskin dan petani yang sangat membutuhkan tanah.Kasus Pasuruan suatu fenomena yang ironis di tengah pemerintah sedang mempersiapkan reforma agraria,” ujar Sekjen KPA Usep Setiawan.

Dominasi Instrumen Negara

Dari sejumlah kajian membuktikan, kekerapan konflik tanah diiringi tindak kekerasan terhadap rakyat (petani) akibat kekuasaan negara (state) yang sangat dominan. Wujudnya lewat praktik hegemoni,eksploitasi, dan politik agraria yang tidak berpihak kepada rakyat. Artinya, silang sengkarut tanah itu sendiri telah menjadi isu strategis yang terbentuk secara sistematis.

Dosen hukum tata negara dan hak asasi manusia, Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Surabaya, R Herlambang Perdana Wiratraman dalam kajiannya, Politik Militer dalam Perampasan Tanah Rakyat : Studi Konflik Penguasaan Tanah oleh Militer dan Kerasan terhadap Petani di Jawa Timur,mengungkapkan, prinsip keadilan agraria yang menjadi tonggak perjuangan rakyat petani selalu saja dihadapkan dengan represi negara. Tanah serta sumber daya alam lain ditempatkan negara sebagai alat untuk mempertahankan kekuasaan.Karenanya adagium yang menyatakan “tanah untuk petani” hanyalah fatamorgana dalam sejarah panjang perjuangan petani. Herlambang juga menyebutkan, sejak awal kemerdekaan, karakter militer Indonesia nyata-nyata dibangun dari kepentingan modal yang menyertainya.

Saat ini militer Indonesia tidak lagi berperan sebagai penjaga tanah negara, tapi lebih berfungsi sebagai penjaga tanah pemodal. Padahal, dukungan militer merupakan salah satu dari lima syarat reforma agraria. Empat syarat lain adalah komitmen pemerintah, organisasi rakyat yang kuat, data obyek dan subjek secara akurat,dan pemahaman soal reforma agraria dari berbagai pihak. (sunu hastoro/yani a)