Wednesday, March 18, 2009

Berlanjut Aksi Reklaiming KTPHS

Massa KTPHS telah mendirikan 11 pos koordinasi dan 2 pos jaga semenjak aksi damai pendudukan lahan Minggu, 15 Maret 2009.

-------

Pada hari kedua, Senin, (16/03), massa KTPH-S kembali melanjutkan aksinya dengan menanami areal sengketa dengan ratusan batang pohon pisang dan ratusan batang pohon kelapa. Aksi rakyat ini mendapat perhatian dari puluhan Satuan Pengamanan (Satpam) yang kembali diturunkan oleh perusahaan PT. Smart Corporation dan beberapa orang personil dari kepolisian Pos Padang Halaban. Aksi di hari kedua ini juga berjalan dengan lancer aman dan tertib, pihak pengamanan yang hadir hanya meliha dan memantau aktifitas para petani yang tidak bertanah itu.

Di hari ketiga pendudukan lahan, Selasa (17/3) Rakyat KTPH-S melanjutkan aksinya dengan kembali menanami sayur mayor dan palawija di sela-sela tanaman pohon kelapa sawit milik perusahaan atau dengan istilah melakukan perkebunan tumpang sari. Selanjutnya sekira pukul 11.00 wib beberapa orang oknum kepolisian utusan Polres Labuhanbatu bersama dengan perwakilan perusahaan PT. Smart Corporation, menemui pengurus KTPH-S.

Saat menemui pengurus KTPH-S, utusan Polres Labuhanbatu menawarkan perundingan kepada Pengurus KTPH-S untuk mencari solusi penyelesaian atas persoalan yang timbul dengan cara mediasi yang akan difasilitasi oleh Polres Labuhanbatu, dengan ketentuan rakyat KTPH-S tidak melanjutkan aksi pendudukan lapangan.

Mendengar penawaran seperti itu, Hadi Sudaryanto dan beberapa orang pengurus KTPH-S dengan tegas menolak tawaran utusan dari Polres Labuhanbatu tersebut dengan alasan bahwa penawaran serupa pernah dilakukan oleh Kepolisian saat Rakyat KTPH-S lakukan aksi pendudukan lapangan pada bulan Maret tahun 2001 lalu. Ketika tawaran diterima dan rakyat meninggalkan areal lapangan, alhasil proses perundingan secara mediasi seperti yang ditawarkan oleh kepolisian tidak pernah direalisasikan hingga detik ini, dan hari ini tawaran serupa ditawarkan ulang, ini sama saja bentuk pembodohan kepada rakyat.

Menengahi tawaran dari pihak kepolisian tersebut, para Pengurus KTPH-S menimpali dengan mengatakan bersedia melakukan perundingan dengan pihak perusahaan yang difasilitasi oleh Polres Labuhanbatu dengan ketentuan rakyat tidak meninggalkan areal yang diduduki hingga perundinagan mencapai kesepakatan dan jadwal perundingan akan ditentukan setelah salah seorang pengurus KTPH-S yang kini tengah berjuang di Ibukota Jakarta kembali, demikian disampaikan oleh hadi Sudaryanto selaku Ketua I KTPH-S.

Usai mendengar ketegasan dari para pengurus KTPH-S tersebut, aparat kepolisian utusan Polres Labuhanbatu bersama dengan peerwakilan perusahaan menuju ke arah Kantor Management PT. Smart Tbk Kebun Padang Halaban dan meninggalkan rakyat KTPH-S yang melanjutkan aksinya terus melakukan penanaman system tumpang sari.

Sekira pukul 17.00 wib, kembali aksi rakyat KTPH-S dipantau dan diperhatikan oleh beberapa orang oknum kepolisian dari Polsek Bandar Durian Kecamatan Aek Natas. Namun setelah beerapa lama melihat aktifitas rakyat dan menanyakan beberapa hal kepada rakyat KTPH-S, selanjutnya oknum-oknum kepolisian meninggalkan rakyat KTPH-S yang terus melakukan aksinya hingga batas waktu yang tidak ditentukan.

"Dengan aksi pendudukan lapangan kita berharap BPN RI khususnya Kanwil BPN Sumatera Utara dapat mengambil langkah tegas untuk secepatnya melakukan proses mediasi dalam mempercepat penyelesaian kasus tanah rakyat KTPH-S yang sudah sekitar satu dasawarsa (sepuluh tahun) diperjuangankan Rakyat KTPH-S ini. Perlu ditegaskan bahwa aksi ini tidak bertujuan untuk merusak ataupun melakukan penjarahan atas asset-aset perusahaan yang ada tetapi dititik beratkan kepada keinginan Rakyat KTPH-S mengajak Pimpinan perusahaan PT.Smart Corporation Tbk untuk berunding bersama Rakyat KTPH-S untuk mencari solusi penyelesaian dari persoalan yang timbul, dengan harapan terciptanya win win solution dalam proses mediasinya dan ini yang seharusnya dapat segera dilakukan oleh Kanwil BPN Propinsi Sumatera Utara", demikian dikatakan Jubir/Sekretaris Umum KTPH-S Maulana Syafi'i, SHI.

Diterangkannya, bahwa awal persoalan tanah rakyat ini timbul sejak puluhan tahun lalu, tepatnya pada tahun 1969/1970. Dimana Rakyat yang telah menguasai dan menduduki areal tanahnya yang terdapat di enam lokasi perkampungan masyarakat yang sudah kompak dan telah dibangun sejak tahun 1945, masing-masing areal lokasi perkampungan tersebut, di perkampungan sukadame panigoran, perkampungan sidomulyo, perkampungan karang anyar, perkampungan purworej aek ledong, perkampungan sidodadi aek korsik dan perkampungan kartosentono brussel, dimana tanah-tanah di enam lokasi perkampungan tersebut selain telah memiliki pemerintahan desa di masing-masing perkampungan, tanah-tanah yang dikuasi/diduduki rakyat di keenam areal perkampungan juga telah diberikan Kartu Tanda Pendaftaran Tanah (KTPPT) yang dilindungi UU Darurat No. 8 Tahun 1954 oleh pemerintah, seta telah dilunasi kewajiban membayar pajak atas tanah seperti kohir dan ipeda oleh rakyat.

Namun selanjutnya, di tahun 1969/1970 oleh pihak perusahaan perkebunan padang halaban yang saat itu bernama PT. Plantagen AG, tanah-tanah rakyat tersebut digusur dan dipindahkan ke areal lokasi lain seluas 3000 HA. Namun belakangan, ketika rakyat dari enam lokasi perkampungan yang telah digusur tersebut akan pindah ke areal tanah penggantian seluas 3000 Ha tersebut, ternyata tanah penggantian telah pula diperjual belikan oleh oknum-oknum Pegawai Agraria Labuhanbatu (BPN dulu-red). Sehingga tanah penggantian hingga kini tidak pernah didapatkan oleh rakyat, sementara rakyat yang digusur harus mencari sendiri tempatnya untuk tinggal dan menetap dengan cara menumpang di tanah masyarakat lain di luar perkampungan yang digusur atau merantau ke luar daerah meninggalkan kampung halaman tempat kelahirannya dengan menyisakan sejuta penderitaan dan kepedihan, kenang Maulana.

Dikatakannya, "Jumlah luas keseluruhan areal tanah rakyat di enam lokasi perkampungan dulunya yang telah habis digusur seluas 2246 Ha dan oleh PT. Plantagen Ag/PT. Smart Corporation diberikan tanah pengganti seluas 3000 Ha. akan tetapi tanah pengganti tersebut hingga detik ini tidak pernah diberikan kepada rakyat yang digusur. Apa ini bukan sebuah bentuk penindasan hak kepada rakyat?", pungkas Maulana

Selanjutnya, untuk memperjuangkan pengembalian hak-hak atas tanahyang telah digusur, sejak September 1998 persoalan ini sudah berulang kali disampaikan kepada instansi pemerintahan baik di daerah hingga ke tingkat pusat. Namun sampai hari ini persoalan sengketa tanah rakyat KTPH-S belum juga diselesaikan oleh pemerintah khususnya BPN. Padahal surat-surat rekomendasi dari berbagai instansi pemerintahan terkait, baik dari pemerintahan daerah maupun dari pemerintahan di tingkat pusat telah dikantongi oleh Rakyat KTPH-S, namun kenapa BPN sepertinya tidak ingin persoalan tanah rakyat ini secepatnya diselesaikan.

"Padahal, Kasie Sengketa Tanah BPN Labuhanbatu Sujono, dalam pertemuan di Kantor Bupati Labuhanbatu bersama dengan Rakyat KTPH-S saat lakukan aksi menginap di kantor Bupati Labuhanbatu pada tanggal 13 Oktober 2008 lalu dengan tegas menyatakan, bahwa HGU yang dikelola oleh PT. Smart Padang Halaban dan anak perusahaannya yang masih hidup ada tiga HGU dan 1 (satu) HGU telah berakhir sejak tahun 1987 yaitu HGU PT. Syerikat Putra yang luasnya 372 Ha, dimana areal HGUnya masuk dalam areal pengelolaan perusahaan PT. Smart Corporation. Dari pernyataan ini Kasie Sengketa BPN Labuhanbatu ini, seyogyanya BPN dapat mengambil sikap tegas sehingga persoalan sengketa tanah dalam skala besar ini dapat diselesaikan secepatnya. Perlu diketahui, bahwa aksi pendudukan Rakyat KTPH-S yang dilakukan saat ini adalah di atas Areal HGU PT. Smart yang telah mati tersebut", tukas Maulana.

Dalam aksi pendudukan lapangan kali ini, Rakyat KTPH-S tidak akan melakukan tindakan anarkis, seperti melakukan penjarahan atau merusak tanaman pohon kelapa sawit milik perusahaan yang telah ada, tetapi aksi ini diwarnai dengan mendirikan posko-posko dan juga melakukan pengelolaan lahan di sela-sela tanaman milik perusahaan. Dalam aksi ini juga Rakyat KTPH-S menyampaikan beberapa tuntutan dan pernyataan sikap, antara lain :

1. Kembalikan Tanah Rakyat KTPH-S seluas + 3000 Ha yang telah digusur dan dirampas oleh PT. Plantagen AG/PT. Smart Corporation di Tahun 1969/1970.

2. Kepolisian RI dan jajarannya harus dapat memberikan Jaminan Keamanan dan pengamanan kepada Rakyat KTPH-S sebanyak 2040 Kepala Keluarga (KK) yang akan melakukan Pendudukan Lahan di atas Tanah Sengketa seluas + 3000 Ha, yang masuk dalam dalam Areal Pengelolaan Produksi Management PT. Smart Corporation Tbk Kebun Padang Halaban Kecamatan Aek Kuo Kabupaten Labuhanbatu Propinsi Sumatera Utara.

3. Pemerintah Republik Indonesia khususnya BPN RI dan Instansi terkait harus secepatnya melakukan Proses Penyelesaian Sengketa Tanah Rakyat KTPH-S yang sudah timbul sejak Sepuluh Tahun lalu (Tahun 1998), sesuai denagn Peraturan Perundang-undangan yang berlaku di NKRI, Karena Rakyat KTPH-S sudah bosan dengan janji-janji pemerintah yang akan menyelesaikan Persoalan Sengketa Tanah Rakyat KTPH-S ini.

4. Pemerintah RI melalui BPN RI dan instansi terkait harus secepatnya melakukan Pengukuran Ulang atas Areal Sengketa seluas + 3000 Ha milik Rakyat KTPH-S yang telah dirampas dan digusur sejak Tahun 1969/1970 oleh PT. Plantagen AG/PT. Smart Corporation dan kini Tanah Sengketa tersebut masuk dalam HGU PT. Smart Corporation Tbk Kebun Padang Halaban.

5. Pemerintah RI melalui BPN RI dan instansi terkait harus secepatnya melakukan Pendistribusian atas Tanah Rakyat KTPH-S kepada sebanyak 2040 KK Rakyat KTPH-S yang telah teraniaya hidupnya selama Puluhan Tahun atas Tragedi Pelanggaran dan Perampasan HAM yang dilakukan oleh PT. Plantagen AG/PT. Smart Corporation Tbk Kebun Padang Halaban.

“Kami sangat-sangat berharap kepada pemerintah dan instansi yang berwenang dalam persoalan tanah rakyat ini, kiranya dapat terbuka mata hatinya unuk dapat mengambil satu langkah tegas sehingga persoalan rakyat tidak berlarut-larut dan hak-hak rakyat atas tanahnya yang sekian lama telah dirampas dan dianiaya dapat dikembalikan. Dengan demikian ke depan kita semua berharap tidak akan terjadi lagi di Negara Kesatuan Republik Indonesia ini sebuah tindakkan pelanggaran yang dilakukan oleh instansi pemerintahan maupun instansi swasta seperti yang telah puluhan tahun dilakukan oleh PT. Smart Corporation terhadap nasib Rakyat KTPH-S. Semoga”, harap Maulana. (SYA)

Disampaikan oleh MAULANA SYAFI’I, SHI selaku Jubir/Sekretaris Umum KTPH-S

Monday, March 16, 2009

Ratusan Petani KTPH-S Melakukan Pendudukan lahan Di Areal HGU PT. SMART Tbk Kebun Padang Halaban.

GAMBAR massa petani KTPH-S.aksi menduduki lahan yang di kusasi PT SMART corporation. Tbk. perkebunan sawit.

http://www.facebook.com/home.php?#/note.php?note_id=59045395558&ref=nf


Labuhanbatu,

Sebanyak 415 orang masyarakat Rakyat Kelompok Tani Padang Halaban Sekitarnya (KTPH-S) dari tiga kecamatan masing-masing, Kecamatan Aek Kuo, Kecamatan Marbau dan Kecamatan Na IX-X Kabupaten Labuhanbatu lakukan aksi pendudukan lahan di Areal HGU PT. Smart Tbk Kebun Padang Halaban, pada Minggu (15/3).

Aksi damai pendudukan lahan ini dilakukan bertujuan agar pemerintah khususnya Badan Pertanahan Nasional (BPN) dapat segera menyelesaikan persoalan SengketaTanah Rakyat KTPH-S dengan PT. smart Tbk Padang halaban yang sudah timbul sejak sepuluh tahun lalu. aksi tersebu tmendapat pengawalan dari dua orang personil Pos Polisi Padang Halaban dan puluhan Satpam PT. Smart Tbk Padang Halaban yang hanya melihat dan memantau aktifitas aksi rakyat KTPH-S. Sampai berita ini diturunkan, di lapangan areal HGU PT. Smart Tbk padang Halaban, massa KTPH-S telah mendirikan sebanyak 11 unit posko untuk pertemuan dan temat menginap massa aksi serta 2 unit posko jaga secara darurat.

"Dengan aksi pendudukan lapangan kita berharap BPN dapat mengambil langkah tegas untuk melakukan proses mediasi dalam mempercepat penyelesaian kasus tanah rakyat KTPH-S yang sudah sekitar satu dasawarsa diperjuangankan Rakyat", demikian dikatakan Sekretaris Umum KTPH-S Maulana Syafi'i, SHI.

Diterangkannya, bahwa persoalan tanah ini rakyat timbul sejak puluhan tahun lalu, tapatnya di tahun 1969/1970. Dimana Rakyat yang telah menguasai dan menduduki areal tanahnya yang terdapat di enam lokasi perkampungan masyarakat yang sudah kompak dan telah dibangun sejak tahun 1945, masing-masing lokasi perkampungan sukadame panigoran, perkampungan sidomulyo, perkampungan karang anyar, perkampungan purworej aek ledong, perkampungan sidodadi aek korsik dan perkampungan kartosenton brussel, dimana tanah-tanah di enam lokasi perkampungan tersebut telah diberikan Kartu Tanda Pendaftaran Tanah (KTPPT) yang dilindungi UU Darurat No. 8 Tahun 1954 oleh pemerintah.

Oleh pihak perusahaan perkebunan padang halaban tanah-tanah tersebut digusur dan dipindahkan ke areal lain seluas 3000 HA. Namun belakangan, ketika rakyat dari enam lokasi perkampungan yang telah digusur tersebut akan pindah ke areal tanah penggantian seluas 3000 Ha tersebut, ternyata tanah penggantian telah diperjual belikan oleh oknum-oknum Pegawai Agraria Labuhanbatu (BPN dulu-red). Sehingga tanah penggantian hingga kini tidakpernah didapatkan sementara rakyat yang digusur mencari sendiri tempatnya dengan cara menumpang di tanah masyarakat lain, jelas Maulana.

"Jumlah luas keseluruhan areal tanah rakyat di enam lokasi perkampungan dulu yang digusur seluas 2246 Ha dan diberikan tanah pengganti seluas 3000 Ha. akan tetapi tanah pengganti tersebut hingga detik ini tidak pernah diberikan kepada rakyat yang digusur. apa ini bukan sebuah bentuk penindasan hak kepada rakyat?", pungkas Maulana

Selanjutnya, sejak September 1998 persoalan ini sudah berulang kali disampaikan kepada instansi pemerintahan baik di daerah hingga ke tingkat pusat. Namun sampai hari ini persoalan sengketa tanah rakyat KTPH-S belum juga diselesaikan oleh pemerintah khususnya BPN. Padahal surat-surat rekomendasi dari berbagai instansi pemerintahan terkait baik di daerah maupun di tingkat pusat telah dikantongi oleh Rakyat KTPH-S, namun kenapa BPN sepertinya tidak ingin persoalan tanah rakyat ini secepatnya diselesaikan.

"Padahal, Kasie Sengketa Tanah BPN Labuhanbatu Sujono dalam pertemuan di Kantor Bupati Labuhanbatu dengan Rakyat KTPH-S saat aksi menginap di kantor Bupati Labuhanbatu pada tanggal 13 Oktober 2008 lalu dengan tegas menyatakan, HGU PT. Smart Padang Halaban yang masih hidup ada tiga HGU dan 1 (satu) HGU telah berakhir sejak tahun 1987 yaitu HGU PT. Syerikat Putra yang luasnya 372 Ha. Dari pernyataan ini seyogyanya BPN dapat mengambil sikap sehingga persoalan ini dapat diselesaikan secepatnya. Perlu diketahui, bahwa aksi pendudukan Rakyat KTPH-S yang dilakukan saat ini adalah di atas Areal HGU PT. Smart yang telah mati tersebut", tukas Maulana.

Dalam aksi pendudukan lapangan kali ini, Rakyat KTPH-S tidak akan melakukan tindakan anarkis, melakukan penjarahan/merusak tanaman milik perusahaan yang ada, tetapi aksi ini diwarnai dengan mendirikan posko-posko dan juga melkakan pengelolaan lahan di sela-sela tanaman milik perusahaan. Dalam aski ini juga Rakyat KTPH-S menyampaikan beberpa tuntutan dan pernyataan sikap, antara lain :
  1. Kembalikan Tanah Rakyat KTPH-S seluas + 3000 Ha yang telah digusur dan dirampas oleh PT. Plantagen AG/PT. Smart Corporation di Tahun 1969/1970.
  2. Kepolisian RI dan jajarannya harus dapat memberikan Jaminan Keamanan dan pengamanan kepada Rakyat KTPH-S sebanyak 2040 Kepala Keluarga (KK) yang akan melakukan Pendudukan Lahan di atas Tanah Sengketa seluas + 3000 Ha, yang masuk dalam dalam Areal Pengelolaan Produksi Management PT. Smart Corporation Tbk Kebun Padang Halaban Kecamatan Aek Kuo Kabupaten Labuhanbatu Propinsi Sumatera Utara.
  3. Pemerintah Republik Indonesia khususnya BPN RI dan Instansi terkait harus secepatnya melakukan Proses Penyelesaian Sengketa Tanah Rakyat KTPH-S yang sudah timbul sejak Sepuluh Tahun lalu (Tahun 1998), sesuai denagn Peraturan Perundang-undangan yang berlaku di NKRI, Karena Rakyat KTPH-S sudah bosan dengan janji-janji pemerintah yang akan menyelesaikan Persoalan Sengketa Tanah Rakyat KTPH-S ini.
  4. Pemerintah RI melalui BPN RI dan instansi terkait harus secepatnya melakukan Pengukuran Ulang atas Areal Sengketa seluas + 3000 Ha milik Rakyat KTPH-S yang telah dirampas dan digusur sejak Tahun 1969/1970 oleh PT. Plantagen AG/PT. Smart Corporation dan kini Tanah Sengketa tersebut masuk dalam HGU PT. Smart Corporation Tbk Kebun Padang Halaban.
  5. Pemerintah RI melalui BPN RI dan instansi terkait harus secepatnya melakukan Pendistribusian atas Tanah Rakyat KTPH-S kepada sebanyak 2040 KK Rakyat KTPH-S yang telah teraniaya hidupnya selama Puluhan Tahun atas Tragedi Pelanggaran dan Perampasan HAM yang dilakukan oleh PT.

Saturday, March 14, 2009

Dukung Gerakan Reklaiming Tanah oleh KTPHS di arel HGU PT. SMART Padang Halaban

GAMBAR para petani tak bertanah anggota KTPH-S tengah menyelenggarakan kampanye massa di Pemkab Labuhan Batu, Sumut tentang perjuangan reform sosial-ekonomi pengembalian tanah yang dirampas PT. SMART Kebun Padang Halaban 1969/1970.

-------

Kami atas nama Kelompok Tani Padang Halaban & Sekitarnya [KTPH-S] yang beranggotakan 2040 KK dengan ini menyatakan sikap dan berharap agar persoalan penyelesaian sengketa tanah seluas + 3000 Ha yang pernah dikuasai dan diduduki oleh Rakyat KTPH-S namun akhirnya dan digusur dan dirampas oleh pihak perkebunan padang halaban di tahun 1969/1970 tanpa ganti tanah maupun ganti rugi. Tanah tersebut kini dikuasai dan diusahai oleh PT. Smart Corporation secara melawan hokum.

Maka Kami Rakyat KTPH-S bermaksud melakukan re-klaiming pendudukan lahan atas tanah rakyat yang di rampas di areal HGU PT. SMART Kebun Padang Halaban tersebut mulai Minggu, 15 Maret 2009 jam 09.00 WIB.

KTPHS melakukan perjuangan ini dengan damai dan tanpa kekerasan. Kami tidak akan menggangu/merusak tanaman sawit & aktivitas berkebun PT. SMART. Di sela-sela kebun tersebut, KTPHS akan dirikan pos sebagai pusat informasi dan komunikasi selama berlangsungnya gerakan reklaiming dan mengelola lahan yang belum di produksi oleh PT. SMART dengan tanaman pangan semusim.

KTPHS menyelenggarakan perjuangan massa ini dengan maksud agar aparatur negara terkait serta pihak PT. SMART mengadakan perundingan dengan rakyat untuk menyelesaikan konflik agraria ini yang mengutamakan kepentingan kaum tani.

Untuk informasi tentang hal ini hubungi Maulana Syafei [Sekretaris Jendral KTPHS - 081263095879] dan Adi [Koordinator Aksi Reklaiming - 081362263573]

Tanaman Perhutani Tidak Dirawat

GAMBAR tanaman padi ladang yang menguning milik petani penggarap di Kutatandingan. Di antara tanaman padi terdapatlah ratusan bibit jeunjing/sengon dan mindi yang ditanam Perhutani dengan jarak tanam 2 x 3 meter. Bibit tersebut ditandai dengan ajir/bambu tegak yang tertutup plastik hitam di atasnya.

-------

KARAWANG. Sejak awal musim hujan yang lalu hingga sekarang, Atan Nurmana jaya [39] dan kelompok petani penggarap Kutatandingan tengah berada dalam kebimbangan. Meraka bertanya-tanya dalam benaknya, seriuskah KPH Perum Perhutani bagian hutan Ciampel dan Pangkalan melakukan pemeliharaan tanamannya?

Akhir November tahun lalu, sejumlah petugas Perum Perhutani memaksa penanaman ribuan tanaman kayu berjenis jeunjing/sengon [Paraserianthes falcataria] dan mindi [Melia azzedarah] di tengah-tengah areal peladangan milik Kang Atan dan kawan-kawannya. Berdasarkan penuturan Perhutani, areal penanaman tersebut termasuk dalam Petak 39 bagian hutan Teluk Jambe [Baca Perhutani Memaksa Menanam].

Kini sejumlah jeunjing/sengon dan mindi itu tak terawat. Bibit yang sudah ditanam dibiarkan teronggok tak terurus. Di sana-sini nampak rumput liar melilitinya. “Tak seorangpun dari petugas Perhutani yang memelihara”, tambah Kang Atan.

“Kamipun juga tak merasa memiliki tanaman itu. Karena sedari awal, Perhutani tak mengajak kami berunding dan mendengarkan kami”, lanjut salah satu pimpinan kelompok tani penggarap itu. Oleh karenanya, para petani penggarap tersebut tetap melanjutkan usaha peladangan di sela-sela tanaman Perhutani. “Namun, kami tetap melakukan konsolidasi untuk menghadapi hal-hal yang mengancam kelangsungan garapan di sini. Jika Perhutani tetap berkeras pada kami, kami telah menyiapkan diri untuk perjuangan”, tambahnya.

ia dan kawan-kawannya mengerti persis bahwa status hukum areal yang meraka garap adalah kawasan hutan produksi yang dikelola Perhutani .Meskipun kini tersebut telah ditelantarkan Perhutani sejak pemanenan kayu jati di tahun 1997-1998, namun status sebagai kawasan hutan yang ditetapkan oleh Menteri Kehutanan adalah tetap di mata hukum.

Jadi, organisasi massa legal petani yang beranggotakan Kang Atan dan kawan-kawannya tengah menyiapkan diri untuk perjuangan reform social-ekonomi untuk menurunkan sewa tanah. Salah satu caranya adalah mendesak pada KPH Perum Perhutani setempat agar menyelenggarakan pembagian hasil yang adil atas tanaman jeunjing/sengon dan mindi. Selain itu, jarak tanam antar jeunjing/sengon atau mindi patut diperlebar menjadi 4 x 12 meter untuk keleluasaan usaha pertanian tanaman semusim bagi petani penggarap.

Sementara di sisi lain, kebijakan Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat [PHBM] telah dialamatkan oleh pimpinan Perum Perhutani sebagai jalan tengah mengatasi sengketa dengan masyarakat yang hidup di sekitar/dalam kawasan hutan. Kebijakan bernomor : 136/KPTS/DIR/2001 memiliki semangat untuk membangun kemitraan dengan masyarakat dalam pengelolaan hutan.

Benarkah demikian?

Ibarat pepatah yang menyatakan jauh panggang dari api, kenyataan tersebut berbeda di lapangan. Paling tidak, apa yang tengah di alami oleh Kang Atan dan kawan-kawannya menunjukkan kenyataan tersebut.

Patut diduga kuat bahwa PHBM memungkinkan terjadinya mobilisasi tenaga kerja murah. Tenaga kerja ini ditujukan untuk usaha produksi di atas lahan yang dikelola Perum Perhutani. Sebagai gantinya, tenaga kerja diupah lewat bagi hasil pada saat pemanenan tanaman kayu beberapa tahun mendatang dan izin menggarap usaha pertanian di sela-sela tanaman Perhutani, tanpa merusaknya.

Thursday, March 5, 2009

Sikap KTPHS Labuhan Batu, Sumut Menuntut Pengembalian Tanah

JAKARTA. Komite Pimpinan Pusat Serikat Tani Nasional yang dipimpin Donny Pradana WR dan Isti Komah, S, Fil menyatakan dukungan atas perjuangan Kelompok Tani Padang Halaban dan Sekitarnya [KTPHS], Labuhan Batu, Sumut.

Perjuangan reform sosial-ekonomi tentang pengembalian tanah para anggoata KTPHS yang dirampas PT. Smart Corporation Tbk Kebun Padang Halaban patut diapresiasi sebagai anti-tesa terhadap praktek monopoli tanah yang berlangsung di Indonesia, negeri setengah jajahan setengah feodal.

Berani berjuang, berani menang!

-----

PERNYATAAN SIKAP RAKYAT KTPH-S - Kelompok Tani Padang Halaban Sekitarnya
Kec. Aek Kuo Kab. Labuhanbatu Prop. Sumatera Utara
Yang menuntut Pengembalian Lahan Desa yang digusur di tahun 1969/1970

Kami atas nama Rakyat KTPH-S yang beranggotakan 2040 KK dengan ini menyatakan sikap dan berharap agar persoalan penyelesaian sengketa tanah seluas + 3000 Ha yang pernah dikuasai dan diduduki oleh Rakyat KTPH-S namun akhirnya dan digusur dan dirampas oleh pihak perkebunan padang halaban di tahun 1969/1970 tanpa ganti tanah maupun ganti rugi. Tanah tersebut kini dikuasai dan diusahai oleh PT. Smart Corporation secara melawan hokum, maka Kami Rakyat KTPH-S dengan ini menyataan sikap :
  1. Kembalikan Tanah Rakyat KTPH-S seluas + 3000 Ha yang telah digusur dan dirampas dari rakyat di tahun 1969/1970
  2. Berikan jaminan keamana/pengamanan kepada Rakyat KTPH-S sebanyak 2040 Kepala Keluarga (KK) yang akan melakukan pendudukan lahan di atas tanah sengketa seluas + 3000 Ha yang masuk dalam management PT. Smart Corporation Tbk Kebun Padang Halaban.
  3. Pemerintah harus secepatnya melakukan proses penyelesaian sengketa tanah Rakyat KTPH-S yang sudah timbul sejak sepuluh tahun yang lalu sesuai dengan aturan perundang-unangan yang berlaku di NKRI karena Rakyat KTPH-S sudah bosan dengan janji-janji pemerintah yang akan menyelesain persoalan ini.
  4. Pemerintah RI melalui BPN RI harus melakukan pengukuran atas lahan sengketa seluas + 3000 Ha milik Rakyat KTPH-S yang telah dirampas dan digusur di tahun 1969/1970 dan kini tanah tersebut masuk dalam Areal Management HGU PT. Smart Corporation Tbk Padang Halaban
  5. Pemerintah RI harus melakukan Pendistribusian atas Tanah Rakyat KTPH-S seluas + 3000 Ha kepada 2040 KK Rakyat KTPH-S, dimana tanah tersebut kini masih terus dikuasai dan diusahai oleh PT. Smart Corporation Tbk Kebun Padang Halaban.
Sampaikan dukungan kepada Maulana Syafii, SHi selaku Sekretaris Jendral KTPHS di +6281263095879.

Petani Tak Nikmati Surplus Beras

http://www.sinarharapan.co.id/berita/0902/23/sh01.html

Oleh
Effatha Tamburian

Jakarta – Tingginya harga beras di pasaran internasional di tahun 2008, telah mendorong petani lebih bersemangat meningkatkan produksi padi, sehingga produksi beras nasional melimpah atau melebihi kebutuhan nasional.

Namun, pencapaian surplus atau swasembada beras tersebut belum dapat menyejahterakan petani, karena lahan pertanian pangan makin sempit.

Pakar dan praktisi pertanian Siswono Yudo Husodo mengatakan hal itu ketika dihubungi SH, Senin (23/2).

Dia mengakui program pemerintah juga baik, tetapi peningkatan produksi beras itu lebih dirangsang oleh harga beras internasional yang membaik. Jadi, peningkatan produksi beras itu bukan karena program pemerintah semata, melainkan karena harga beras mahal.

Siswono mencatat, tingginya harga beras internasional mencapai puncaknya pada Juni-Juli 2008, yaitu mencapai US$ 800 per ton, atau naik lima kali lipat selama delapan tahun, yaitu US$ 165 per ton pada 2000 lalu. Sementara itu, lanjutnya, harga gabah kering giling (GKG) mencapai Rp 2.600-2.700 per kilogram.

Meski demikian, sangat disayangkan karena petani justru tidak menikmati dampak surplus beras tersebut. Karena lahan pertanian semakin sempit, di sisi lain revitalisasi pertanian dan reforma agraria dijanjikan yang dicanangkan pemerintah tidak jalan. Dampaknya petani tetap miskin.

Serap Gabah Petani

Peningkatan produksi tersebut, tandasnya, akan terus berlangsung selama harga gabah cukup tinggi. Bahkan, pada 2009 mendatang, Indonesia berpotensi menjadi eksportir beras. Untuk itu, Siswono menekankan pentingnya Perum Bulog tetap menyerap gabah petani dalam jumlah yang banyak untuk disimpan pada musim paceklik dan untuk raskin.

Siswono mencontohkan operasi pasar dengan menurunkan harga beras yang pernah dilaksanakan pemerintah pada saat harga beras naik beberapa waktu lalu, justru membuat petani tidak terangsang untuk berproduksi.

”Kalau harga jelek, petani tidak mau tanam padi dan kita akan kekurangan. Sebaliknya pada Juni 2008 lalu, saat harga internasional baik, hal itu dapat merangsang areal tanam padi menjadi lebih luas,” kata Siswono.

Dirinya mencatat produksi beras tahun 2008 sebanyak 60 juta ton GKG, atau setara 37,5 juta ton beras, sedangkan konsumsi beras dalam negeri dan industri sebanyak 35,5 juta ton. Maka, jumlah kelebihan atau surplus beras sekitar 2 juta ton.

Saat dihubungi terpisah, Ketua Umum Serikat Petani Indonesia (SPI) Henry Saragih mengatakan, pemerintah terlalu cepat mengklaim telah terjadi surplus beras karena pada 2005-2007 impor beras masih tinggi. Bahkan pada 2007, impor beras merupakan yang tertinggi, mencapai 1,5 juta ton. ”Memang, pada 2008, dikatakan sudah tidak ada impor lagi. Namun, SPI menduga surplus beras juga mengandung tumpukan beras impor dari tahun-tahun sebelumnya,” ungkapnya.

Hal tersebut, tegas Henry, disebabkan kehidupan petani tidak makin baik dan substitusi lahan pertanian pangan ke lahan perkebunan atau transportasi sepanjang tahun makin luas, yaitu mencapai 10.000-40.000 hektare per tahunnya. Terutama di luar Jawa, lahan yang menjadi perkebunan kelapa sawit makin luas.

”Sementara luasnya makin menyempit, bagaimana dikatakan surplus beras. Parahnya lagi, banjir sering menimpa sejak akhir 2007 hingga sepanjang tahun 2008,” jelasnya.

Tidak Sebanding Laju Inflasi

Di samping itu, Henry mencatat nilai tukar petani (NTP) sebagai tolok ukur tingkat kesejahteraan petani, pada 2008 lalu justru terjadi penurunan, khususnya di tanaman pangan padi. Kalaupun meningkat, kenaikannya berasal dari NTP peternakan dan perkebunan.

Hal itu, tandas Henry, diakibatkan peningkatan harga pembelian pemerintah (HPP) gabah dan beras yang tidak sebanding dengan laju inflasi, di mana laju inflasi 11,68 persen, selalu jauh lebih besar dari peningkatan HPP yang hanya 9 persen.

”Akhir 2008, walaupun pemerintah telah menurunkan harga BBM sebanyak dua kali, tapi tidak berdampak pada petani. Seharusnya, pemerintah lebih menyampaikan soal kesejahteraan petani dibanding surplus atau ekspor beras,” tegasnya.

Terkait ekspor beras, Henry menekankan sudah sejak 2005 Indonesia melaksanakan ekspor beras kualitas super, seperti Pandan Wangi, Cianjur, Padi Mulia, dan Aromatik, dengan volume rata-rata 120.000-140.000 per tahun, meskipun impor beras untuk kualitas menengah ke bawah tetap dilakukan.

”Ekspor beras bukan suatu hal yang baru. Sekarang, apakah kehidupan petani membaik? Yang terjadi justru petani tetap miskin,” tandasnya.

Ketua Umum Serikat Tani Nasional (STN) Donny Pradana menegaskan, surplus beras yang didengungkan pemerintahan Yudhoyono-Kalla dan para menterinya pada kenyataan sangat disangsikan. Hal tersebut disebabkan saat ini makin banyak rumah tangga petani miskin sehingga tidak bisa berproduksi lagi.

Menurutnya, sejak sensus 2004, jumlah rumah tangga petani miskin meningkat tajam, apalagi kondisi ekonomi bangsa juga makin buruk. ”Jumlah petani tidak berlahan meningkat dan harga kebutuhan pokok juga makin naik,” ujar Donny.

Ia mensinyalir surplus beras yang terjadi berasal dari beras impor atau yang didatangkan dari luar Indonesia. Kecukupan pangan dan ketersediaan beras tersebut, lanjutnya, disuplai oleh impor beras yang tidak terdeteksi oleh bea dan cukai. ”Hipotesa kami seperti itu karena petani Indonesia banyak yang tidak berlahan dan biaya produksi makin besar dan mahal,” ungkap Donny.

Dirinya menekankan, yang diperlukan bangsa ini tidak hanya swasembada beras dan kecukupan pangan, tetapi kedaulatan pangan, di mana petani bisa berproduksi untuk dirinya sendiri dan masyarakat.

Kajian Umum Pangan

GAMBAR jalanan rusak di sekitar areal persawahan Kobak Gabus, Desa Medan Karya, Kecamatan Tirtajaya, Karawang, Jawa Barat. Pembenahan infrastruktur perhubungan maupun sarana pendukung lainnya patut menjadi perhatian penting demi meningkatkan kualitet produksi pertanian rakyat.

-----

Penelitian Awal Komite Pimpinan Pusat Serikat Tani Nasional 2009

Pangan adalah masalah kunci bagi umat manusia dalam melangsungkan hidupnya. Selama kunci ini belum terpecahkan, maka kehidupan manusia juga belum terjamin kelangsungannya.

Jaman dahulu orang menentukan tempat hidup berdasarkan ketersediaan sumber pangan di suatu wilayah. Apabila tempat tersebut tidak dapat menyediakan pangan, mereka akan berpindah ke tempat yang memungkinkan sumber pangan untuk melanjutkan hidupnya. Tahapan selanjutnya, ketika peradaban berkembang dan kebutuhan hidup semakin beragam, seseorang yang memiliki bahan pangan akan menukarkan bagian yang dimilikinya untuk mendapatkan barang keperluan hidupnya. Itulah masa di mana penduduk bumi belum sepadat sekarang dan kehidupan masyarakat masih dalam corak yang sederhana.

Seiring perkembangan ekonomi dan politik umat manusia, kini pangan menghadapi persoalan yang kompleks. Pangan telah melampaui batas wilayah dan negara, dalam satu sistem distribusi yang luas dan timpang. Orang yang hidup di daerah kering dan saat kemarau buminya sulit menghasilkan makanan, atau orang yang tingal jauh dari sumber pangan, tetap memungkinkan untuk mengaskses makanan berkat adanya sistem distribusi dan perdagangan yang berkembang. Pangan menjadi komoditi paling besar dan luas dalam sistem pasar (liberalisasi), serta paling intensif diperdagangkan. Ketika alam dipandang sebagai sumber daya ekonomi dan pangan menjelma komodoti, maka akses pangan menjadi jalur yang memunculkan kontradiksi kepentingan yang kian tajam.

Pada akhir September 2006 Indonesia kembali akan mengimpor beras sejumlah 210.000 ton. Meski beberapa pihak menyatakan jumlah tersebut kecil, tak diragukan lagi, impor adalah tindakan yang menistakan petani dan menghancurkan dunia pertanian jika stok beras sesungguhnya masih berada di level aman.

Tapi, dengan pertumbuhan penduduk mencapai 2,7 juta jiwa per tahun, jika diasumsikan konsumsi beras per kapita penduduk Indonesia di masa akan datang sama dengan konsumsi per kapita tahun 2004 sebesar 136 kg, Indonesia akan membutuhkan tambahan pasokan beras 360.000 ton setiap tahunnya. Dengan demikian, sebagai contoh, pada tahun 2010 Indonesia akan membutuhkan suplai beras 1,4 juta ton lebih banyak dari kebutuhan saat ini. Dengan asumsi pertumbuhan produktivitas padi 2 % per tahun dan faktor lainnya tetap, pada tahun itu hanya dihasilkan tambahan produksi 800.000 ton lebih besar dari saat ini. Jadi, pada tahun itu kita akan kekurangan beras sekitar 600.000 ton.

I. Krisis Pangan Dalam Negeri

Pertama, dalam sepuluh tahun terakhir tidak terdapat peningkatan luas panen padi yang signifikan. Yang terjadi adalah sebaliknya, konversi lahan pertanian pangan menjadi lahan non-pertanian, baik yang terjadi dengan proses jual-beli maupun dengn jalan paksaan (menggusur/land-grabbing).

Penelitian yang dilakukan Serikat Tani Nasional di awal 2009 mengandung asumsi dasar bahwa saat ini terjadi peningkatan jumlah petani tak bertanah secara luar biasa karena mengecilnya rata-rata penguasaan lahan pertanian keluarga petani.

Pada tahun 1983 rata-rata kepemilikan sejumlah 0,93 ha, dan menjadi 0,83 ha pada tahun 1993. Di luar pulau Jawa menurun dari 1,38 ha menjadi 1,19 ha, dan di Pulau Jawa menurun dari 0,58 ha menjadi 0,47 ha, dan sekarang angka ini diperkirakan merosot menjadi 0,3 Ha. Sementara sebagian besar keluarga petani (43%) merupakan kelompok petani tunakisma atau petani miskin yang memiliki lahan pertanian kurang dari 0,1 ha.

Berdasarkan data BPN (Badan Pertanahan Nasional) telah terjadi alih fungsi lahan pertanian di Pulau Jawa untuk permukiman dan industri antara tahun 1994-1999, seluas 81.176 ha terdiri dari permukiman seluas 33.429 hektar dan industri seluas 47.747 ha. Alih fungsi tanah pertanian tersebut yang terluas di Jawa Barat (79,41%), Jawa Timur (17,01%), Jawa Tengah (2,69%), dan Daerah Istimewa Yogyakarta (0,89 %).

Besar kemungkinan kecenderungan ini terus berlanjut karena usaha perluasan selalu menghadapi persoalan pelik. Secara umum, padi akan bagus hasilnya jika ditanam di Pulau Jawa dan Bali. Rata-rata produksi padi di dua pulau ini paling tinggi dibandingkan dengan pulau lain, mencapai lebih dari 5 ton per hektar. Sementara rata-rata produksi di pulau lain 2-5 ton per hektar (Badan Pusat Statistik, 2005). Namun, ekspansi areal persawahan di Pulau Jawa dan Bali harus berkompetisi dengan kepentingan lain, seperti perumahan dan industri. Dalam kompetisi ini, kepentingan penggunaan lahan untuk sawah hampir pasti tersisih, terutama karena pertimbangan untung-rugi. Maka, yang terjadi bukanlah ekspansi, melainkan alih fungsi lahan sawah ke nonsawah.

Adapun di luar Jawa, usaha untuk mengembangkan areal tanam padi telah dilakukan sejak lebih dari tiga puluh tahun lalu, mulai dari proyek rice estate di Palembang hingga proyek lahan gambut sejuta hektar di Kalimantan. Sebagaimana diketahui, semua usaha tersebut gagal total. Ini menunjukkan betapa muskilnya mengembangkan areal sawah baru di luar Pulau Jawa.

Kedua, pertumbuhan produktivitas padi cukup rendah, kurang dari 2 % per tahun dalam 15 tahun terakhir (International Rice Research Institute, 2005). Meski hampir semua teknologi yang ada di dunia sudah diterapkan dan diadopsi oleh Indonesia, yang membuat usaha tani padi di Indonesia menjadi terefisien di Asia Tenggara dan lebih produktif dibandingkan dengan produksi rata-rata Asia bukan pekerjaan mudah untuk meningkatkan produktivitas padi ini. Apalagi jika mengingat efisiensi lahan sawah, terutama di Jawa, sudah mendekati jenuh dan keletihan (soil fatique).

Ketiga, sulit diharapkan adanya terobosan teknologi yang tepat guna dalam waktu dekat. Padi hibrida yang direncanakan menjadi andalan untuk menggenjot produksi juga masih penuh kontroversi. Butuh waktu lama untuk mengetahui apakah padi hibrida ini dapat memenuhi seluruh persyaratan teknis dan ekonomis agar bisa ditanam di Indonesia.

Keempat, sejumlah daerah sentra produksi padi dilanda bencana yang berujung pusonya padi. Perubahan ikim sangat mempengaruhi usaha tani. Bila pada masa sebelumnya produksi beras utama dihasilkan pada empat bulan panen raya (Februari-Mei), yang mencapai 60-65 persen dari total produksi nasional. Produksi berikutnya dihasilkan pada musim panen gadu pertama (Juni-September) dengan produksi 25-30 persen. Sisanya dihasilkan pada musim panen Oktober-Januari. Kini, irama tanam dan panen bagi petani serba tak menentu.

II. Pemerintah Melakukan Impor Beras; Jalan keluar Tambal Sulam

Di tengah dilema pangan nasional, impor beras adalah jalan yang diambil oleh kalangan pemerintahan. Persetujuan impor beras kepada Perum Bulog yang tertuang dalam surat Menteri Perdagangan Nomor 760/M-DAG/9/2006 juga menyebutkan kepastian kedatangan beras impor di pelabuhan tujuan beserta informasi jumlah dan kapal pengangkutnya harus dilaporkan kepada Ditjen Bea Cukai, Departemen Keuangan yang ditembuskan pada Ditjen Perdagangan Luar Negeri, Depdag, sepekan sebelum impor dilakukan.

Sepuluh kota/pelabuhan masuk beras impor tersebut adalah Lhokseumawe, NAD (18 ribu ton); Belawan, Sumatera Utara (22 ribu ton); Dumai, Riau (16 ribu ton), Padang (Teluk Bayur), Sumatera Utara (12 ribu ton); Ciwandan, Banten (untuk Bengkulu, Lampung dan Kalimantan totalnya 52 ribu ton); Balikpapan, Kalimantan Timur (14 ribu ton); Kupang, NTB (34 ribu ton); Bitung, Sulawesi Utara (24 ribu ton); Sorong, Irian Jaya Barat (12 ribu ton); dan Jayapura, Papua (6.000 ton).

III. Memulihkan Pangan Nasional; Sebuah Rekomendasi

Kaum tani adalah populasi yang terbesar di Indonesia. Menurut data Bappenas, melalui Survey Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) tahun 2003, jumlah petani diperkirakan mencapai 44,5 juta jiwa. Dengan jumlah ini, kaum tani adalah kekuatan produktif yang paling besar dibanding buruh manufaktur (12 juta jiwa), buruh niaga (19,4 juta jiwa), jasa (11,3 juta jiwa), dan sektor lainnya (11,8 juta jiwa). Namun kenyataan di lapangan, setelah 60 tahun republik ini merdeka, menunjukkan bagaimana sektor pertanian diperas, dipinggirkan, dijadikan tumbal pembangunan, dan dimiskinkan secara ekonomi dan dimandulkan kekuatannya secara politik.

Dalam pandangan Serikat Tani Nasional, untuk mencapai apa yang dimaksud kedaulatan petani sebagai prasyarat ketahanan pangan nasional mengandung 3 pokok pikiran sebagai jalan keluar kebijakan mengurus pertanian nasional,
  1. Pertama, pelaksanaan landreform sejati sebagai akar penguasaan alat produksi (tanah) yang kian hari kian sempit mengerogoti lahan petani. Dalam pengertian lain, suatu program nasional untuk mengangkat petani miskin dan buruh tani menjadi petani menengah yang lebih sejahtera dengan penguasaan tanah yang mencukupi syarat-syarat melangsungkan kehidupan sebagai keluarga petani.
  2. Kedua, pembenahan budidaya tanaman pertanian untuk mewujudkan sistem pertanian yang berdikari dan lestari.
  3. Ketiga, menggalakkan program diversifikasi pangan berbasis sistem budaya pangan lokal.
Serikat Tani Nasioanl juga menilai bahwa impor beras justru memiliki mata rantai negatif yang panjang: larinya devisa, disinsentif terhadap petani, mubazirnya sumberdaya domestik dan yang lain.

Sebetulnya, masalah ini bisa selesai apabila Perum Bulog menyerap beras sesuai target dengan harga berapa pun. Tapi karena dituntut untung, Perum Bulog lebih mengedepankan aspek bisnis.