Friday, June 15, 2007
Ironi Silang Sengkarut Tanah di Negeri Agraris
http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/periskop/ironi-silang-sengkarut-tanah-di-negeri-ag.html
Minggu, 10/06/2007
MASYARAKAT petani yang notabene mayoritas penghuni negeri ini mendapat setitik harapan. Lewat pidato awal tahun,Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menggulirkan rencana reforma agraria (land reform).
Rencananya, 9 juta rakyat miskin akan mendapatkan pembagian tanah gratis yang akan mulai dilaksanakan tahun ini. Sebelumnya, pemerintah menargetkan luas lahan yang diberi sertifikat kurang lebih 900.000 bidang tanah, selanjutnya akan dinaikkan menjadi 3,1 juta bidang tanah. Pemerintah akan menggunakan anggaran dari APBN dan APBD bagi sekitar 1 juta bidang tanah.
Semua langkah ini diharapkan dapat menghilangkan masalah sengketa tanah dan menyelesaikan kasus-kasus yang sudah ada. Selain itu, langkah pemerintah ini juga untuk mengurangi jumlah petani gurem (tanpa lahan) yang mendominasi dan selama ini hidup di bawah garis kemiskinan.Sayangnya, rencana itu masih terus digodok.
Dalam sidang kabinet terbatas tentang reforma agraria di Kantor Presiden beberapa waktu lalu, Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) Djojo Winoto mengungkapkan, BPN telah melaporkan seluruh persiapan mengenai setiap fase dan tahapan tentang rencana pemberian lahan bagi masyarakat miskin.
”Sekarang tinggal menunggu satu hal. Rencananya pertengahan bulan Juni, insya Allah, Presiden akan mengundang seluruh gubernur dan bupati untuk menyinkronkan semua kegiatan. Dengan begitu, kegiatan ini akan segera bisa dilaksanakan secara utuh. Memang ada beberapa catatan yang muncul, yaitu bagaimana mengaitkan ini secara utuh dengan triple track strategy-nya Presiden; yaitu dalam kaitannya dengan pengurangan pengangguran dan kemiskinan serta menangani persoalan-persoalan sengketa dan konflik pertanahan,” jelas Djojo.
Sejatinya,Indonesia pernah melaksanakan program ini pada pemerintahan Orde Lama di awal dekade 1960-an. Sayangnya, belum tuntas dilakukan,tampuk pemerintahan telah berganti. Praktis, kebijakan ekonomi politik pun berubah. Bukan saja pelaksanaannya yang belum selesai,tapi juga desain programnya belum tuntas.
Bentuk Peradilan Khusus
Meski begitu, sejumlah kalangan menilai masih ada yang luput dari rencana besar pemerintah saat ini.Pelaksanaan reforma agraria yang tidak diimbangi dengan pembentukan peradilan agraria dinilai akan menimbulkan masalah baru. Merujuk pada pelaksanaan reforma agraria di negara lain, keberadaan peradilan ini cukup penting mengingat reforma agraria juga berpotensi menimbulkan konflik dan sengketa tanah baru.
Selain itu, konflik tanah di Indonesia jumlahnya cukup banyak, di mana selama ini sudah terbukti penyelesaiannya berlarut-larut dan tidak pernah tuntas. Kasus di Pasuruan Jawa Timur dan Meruya Selatan di Jakarta Barat yang sudah berlangsung sejak tahun 1973 merupakan contoh kasus di mana keputusan pengadilan tidak bisa menyelesaikan persoalan dan justru menimbulkan permasalahan baru. Sebab selama ini, masalah sengketa dan konflik tanah selalu dibawa ke peradilan umum.
Di mana di dalamnya terdapat pengadilan anak, pengadilan niaga, pengadilan HAM, pengadilan tindak pidana korupsi, dan pengadilan hubungan industrial. Selain rawan dengan kolusi, aparat penegak hukum di peradilan umum hingga tingkat kasasi di Mahkamah Agung,hanya mendasarkan diri pada bukti formal yang dimiliki para pihak yang bersengketa.
Tanpa mempertimbangkan aspek lain, seperti sejarah kepemilikan, proses pengalihan dan penguasaan tanah hingga faktor kondisi sosial masyarakat. Sebuah penelitian kerja sama Puslitbang BPN-RI dan Universitas Airlangga, Surabaya terkait rencana pembentukan peradilan agraria mengungkapkan, masalah tanah merupakan masalah yang spesifik dan memerlukan penanganan dan pengetahuan khusus.Selain itu,masalah pertanahan bersifat multidimensi sehingga sengketa agraria merupakan suatu bentuk silang sengkarut yang bersifat kompleks.
Ketika satu sengketa diajukan ke pengadilan untuk diperiksa dan diputus guna mendapatkan keadilan, niscaya dibutuhkan hakim yang menguasai hukum agraria. Selama ini, hakim yang memutus sengketa agraria, baik di pengadilan umum maupun pengadilan tata usaha negara, pada dasarnya memiliki pengetahuan hukum yang bersifat general. Hal ini akibat hakim di Indonesia belum mengenal spesialisasi.
Tidak dapat dimungkiri, materi dari sumber daya manusia para hakim tidak terkecuali yang ada pada peradilan tata usaha negara saat ini dalam menyelesaikan sengketasengketa pertanahan masih banyak yang belum menguasai dan memahami hukum-hukum dan peraturan-peraturan pertanahan (kalaupun ada jumlahnya relatif sangat terbatas).
Indonesia sendiri di era Orde Lama (1961) pernah memiliki pengadilan khusus yang dibentuk untuk menyelesaikan sengketa tanah. Pembentukan peradilan khusus pada era Bung Karno ini dilakukan usai lahirnya UU Pokok Agraria (UU No 5/1960). Saat itu fokusnya untuk menyelesaikan konflik yang kemungkinan akan timbul dari adanya land reform.Tapi, dibuka juga kemungkinan penyelesaian kasus-kasus sengketa dan konflik tanah yang terjadi sebelumnya.
Bahkan, di era Bung Karno inilah urusan agraria ditangani seorang menteri negara. Tapi, di era pemerintahan Orde Baru, peradilan agraria diberangus. Termasuk keberadaan kementerian agraria. Parahnya lagi, pemerintah Orde Baru menggelontorkan stigma negatif. Siapa yang berbicara land reform identik dengan komunis. Padahal sesuai semangat dalam UU Pokok Agraria (UU No 5/1960) untuk mengatasi persoalan ketimpangan dan konflik agraria dibutuhkan mekanisme dan kelembagaan yang kuat.
Kebutuhan adanya peradilan khusus agraria tidak bisa dilepaskan dari komitmen politik pemerintahan yang akan menjalankan reforma agraria. Sebenarnya Indonesia bisa belajar proses land reform yang berlangsung di Afrika Selatan.Negara yang dulu punya sejarah buruk saat menjalankan paham perbedaan warna kulit (apartheid) itu bisa melaksanakan reforma agraria dengan baik.
Saat akan melaksanakan reforma agraria, Afrika Selatan langsung membentuk tiga lembaga, yaitu Departemen Pertanahan (bukan badan seperti di Indonesia),Komisi Restitusi Hak Atas Tanah (semacam badan arbitrase), dan Land Claim Court (pengadilan agraria). Keuntungan dengan adanya peradilan agraria, masyarakat akan memiliki kepastian dalam penyelesaian sengeketa-sengketa tanah yang mereka alami dalam posisi sebagai korban.
”Kalau kita punya peradilan khusus agraria, kasus- kasus yang selama ini sudah mencuat dan kasus yang akan muncul terkait reforma agraria akan menemukan kanalisasi (saluran) untuk diselesaikan secara tuntas,” ujar Sekjen Komisi Pembaharuan Agraria (KPA) Usep Setiawan kepada SINDO. Bagi pemerintah, adanya pengadilan ini akan meringankan beban yang selama ini diemban. Sebab, selama ini yang menjadi rujukan bagi masyarakat dalam menyelesaikan kasus tanah adalah BPN, Komnas HAM,dan DPR.Faktanya, selama ini ketiga institusi negara itu tidak cukup efektif mengatasi persoalan yang ada.
Penasihat Pusat Kajian Agraria Institut Pertanian Bogor Gunawan Wiradi menyatakan, pengadilan agraria itu bukan untuk memenjarakan orang.Tapi, untuk menyelesaikan konflik agraria.”Ya,tapi harus ada grand desing. Kalau tidak, akan rancu lagi. Harus dengan desain apakah kita mau melakukan reforma agraria atau tidak dengan syarat-syarat tertentu,” papar Gunawan. (sunu hastoro/yani a)