JAKARTA. Komite Pimpinan Pusat Serikat Tani Nasional yang dipimpin Donny Pradana WR dan Isti Komah, S, Fil menyatakan kecaman atas aksi kekerasan politik oleh pihak kepolisian terhadap masyarakat yang menduduki Dusun Suluk Bongkal Desa Beringin Kec, Pinggir, Bengkalis, Riau.
Perjuangan landreform masyarakat Dusun Suluk Bongkal dalam konflik agraria dengan PT. Arara Abadi patut diapresiasi sebagai bentuk anti-tesa terhadap praktek monopoli tanah yang berlangsung di Indonesia, negeri setengah jajahan setengah feodal.
Berani berjuang, berani menang!
---
http://www.riauterkini.com/lingkungan.php?arr=22158
Sabtu, 20 Desember 2008 20:07
Kapolda Dituntut Mundur
Kontras Medan Kunjungi STR yang Ditahan
Bentrok STR dengan Polisi yang memberangus 300-an rumah warga Desa Beringin Dusun Teluk Bongkal berbuntut tuntutan mundur untuk Kapolda Riau.
Riauterkini-PEKANBARU-Hari ini sabtu (20/12), sejumlah aktivis sedang menuju ke Bengkalis. Mereka hendak menjumpai seratusan anggota STR yang juga warga Dusun Teluk Bongkal yang ditahan Polres Bengkalis pasca bentrok masal dengan kepolisian. Jhoni Setiawan Mundung (Direktur Walhi Riau), Rinaldi (Koordinator SEGERA), Suryadi (Direktur LBH Pekanbaru), Diah Susilowati (Kontras Medan) saat ini sedang menuju Polres Bengkalis.
Kata Mundung, pihaknya sudah melakukan konfirmasi dengan Komisi Nasional Hak Azasi Manusia (Komnas HSM) terkait dengan bentrok yang berujung dengan larinya warga ke dalam hutan untuk bersembunyi. Selasa (23/12) lusa, tambahnya, Komnas HAM Jakarta akan turun untuk menyikapi dan melihat secara langsung kondisi masyarakat pasca bentrok STR dengan Polisi. Sementara terkait anak-anak yang menjadi korban,m KPAID Riau akan membahas permasalahan tersebut.
Karena, tambah Mundung, temen-temen dari aktivis LSM seperti Walhi Riau, KBH, LBH, KAR, LKHD, JIKALAHARI dan lain-lain mengutuk keras aksi kekerasan pihak aparat keamanan dalam menghadapi masyarakat. “Pokoknya, kita mengutuk keras aksi kekerasan yang ditunjukkan oleh aparat keamanan (dalam hal ini kepolisian) yang sudah mengintimidasi warga Dusun Teluk Bongkal Desa Beringin. Dan kami meminta Kapolda Riau untuk mundur dari jabatannya,” terangnya.
Menurut Mundung, kondisi terakhir warga Dusun Teluk Bongkal Desa Beringin mengenaskan. 1 warga yang masih anak-anak tewas dalam sumur. Diduga panik akibat kerusuhan yang berujung bentrok antara STR dengan pihak kepolisian. 300 rumah warga habis dibakar oleh anggota Samapta Polda, Pam Swakarsa PT AA dan Satpol PP.
Pasca bentrokan dengan polisi saat pengosongan lahan PT Arara Abadi (PT AA), kini sekitar 400 warga Serikat Tani Rakyat (STR) yang umumnya wanita dan anak-anak bersembunyi di hutan. Mereka kini dalam kondisi memprihatinkan dan terancam kelaparan. Para wanita dan anak-anak yang bersembunyi di hutan itu terancam kelaparan karena mereka tidak memiliki stok makanan. Mereka enggan keluar dari hutan karena takut ditangkap.
Kandidat DPD Riau ini menyatakan bahwa tindakan yang dilakukan oleh aparat keamanan negara, aparat keamanan PT AA dan aparat keamanan Pemda itu karena warga dinilai melanggar UU Kehutanan. Padahal masyarakat sudah serngkali melaporkan ke pihak kepolisian (Polsek Mandau dan Polres Bengkalis. Namun laporan tersebut dianggap angin lalu oleh pihak kepolisian.
“Yang pasti, tindakan yang dilakukan oleh pihak aparat keamanan negara, pemda dan swasta itu sudah melanggar HAM warga. Karena informasi yang kami dapatkan adalah dalam kerusuhan yang berujung bentrok itu, rumah warga di bom dengan menggunakan helikopter,” terangnya. ***(H-we)
Monday, December 22, 2008
Thursday, December 18, 2008
Perhutani Memaksa Menanam
FOTO eblek [bahasa Sunda = plang dari seng] yang dibuat oleh Perhutani bertuliskan Dilarang mengerjakan dan atau menggunakan atau menduduki kawasan hutan secara tidak sah – UU RI no. 41 Tahun 1999.
-----
KARAWANG. Sebelumnya tak sebatangpun tanaman keras yang diproduksi Perhutani tumbuh di areal blok 39 yang dikenal petani penggarap sebagai wilayah Tegal Datar, Kutatandingan. Atan Nurmana Jaya [39], aktifis Serikat Tani Nasional setempat, menuturkan bahwa Perhutani telah menelantarkan tanah di kawasan tersebut setelah memanen kayu jati di tahun 1996 yang lalu.
“Kami kelola tanah terlantar ini untuk ditanamai padi gogo, kacang-kacangan dan pisang. Untuk menyuburkan tanah, kami juga tanami dengan kayu seperti jeunjing/sengon, kapuk randu dan bambu . Karena kami sudah tak punya tanah lagi di desa asal”, tambah Kang Atan. Ia dan puluhan petani lainnya memilih menggarap di kawasan hutan terlantar tersebut demi menghidupi keluarga.
Kini musim hujan telah tiba. Di tengah Kang Atan dan kawan-kawan bersiap untuk mengolah lahan tiba-tiba pihak Perhutani juga bersiap-siap mananami lokasi tersebut dengan jeunjing/sengon. “Ini adalah implementasi dari kebijakan Pengelolaan hutan Bersama Masyarakat [PHBM]”, kata Rahmat [47] selaku kepala BKPH Telukjambe Perum Perhutani KPH Purwakarta yang mengampu wilayah hutan terlantar tersebut. Progam tersebut diselenggarakan bekerjasama dengan Lembaga Masyarakat Desa Hutan [LMDH] Desa Parung Mulya Kec. Ciampel, Karawang. “Jadi kami sudah berkoordinasi dengan pihak masyarakat”, aku Rahmat.
Benarkah demikian? Ternyata tidak menurut para petani penggarap hutan.
“Tiba-tiba pada hari Minggu, 16 November lalu kami dikumpulkan oleh Mantri dan Mandor [aparatus Resort Pemangkuan Hutan. Red] setempat. Lalu mereka bicara bahwa akhir bulan mau menanam pokok jeunjing/sengon di sin”, jelas Enting [42] salah satu anggota kelompok tani penggarap. Dalam acara tersebut juga hadri para pengurus LMDH dan para tokoh masyarakat.
Para petani penggarap jelas tidak setuju atas rencana tersebut. Mengingat jarak tanam 2x3 m antar pokok jeunjing/sengon yang sangat rapat dan tak memungkinkan tumbuh kembangnya tanaman milik petani secara baik. Di sisi lain, bagi hasil atas panen tanaman pokok tersebut dinilai jauh dari rasa keadilan oleh kalangan petani penggarap yakni 80% untuk Perhutani dan 20% untuk masyarakat. “Dua puluh persen dari bagi hasil panen itu sudah cukup sebagai tanda terima kasih kami kepada petani”, sambung salah seorang mandor Perhutani bernama Abrakjagat [37].
Jaka [45] selaku ketua LMDH manyatakan bahwa penanaman harus terus dilanjutkan, khususnya di petak 39 Tegal Datar. “Surat Perintah Kerja dari KPH Purwakarta sudah turun dan tak mungkin dibatalkan”, sergahnya menanggapi keberatan petani. Menurutnya, Perhutani sudah berbaik hati membolehkan petani menggarap di kawasan hutan dan sudah seharusnya petani menghargai dengan merawat tanaman pokoknya. Para tetua masyarkatpun setali tiga uang dengan pendapat Jaka. “Memang mereka lebih berpihak pada perhutani daripada masyarakat”, sambung Enting lirih.
LMDH yang ada tidak terbentuk dari partisipasi petani penggarap hutan. Tak heran, perannya pun hampir tak terdengar dalam melayani kepentingan masyarakat yang diampunya. Namun ia cenderung memiliki kekuatan pemaksa bagi petani alih-alih legitimasi yang dimilikinya. Bahkan Kang Atan menyampaikan temuan yang menyebutkan maraknya keterlibatan pegiat lembaga tersebut memungut sejumlah uang tak resmi pada petani penggarap hutan. [Baca Pemungut Pajak Di kutatandingan].
Kini Perhutani telah memulai penanaman tersebut. Kurang lebih sebanyak seribu batang pokok jeunjing/sengon telah ditancapkan. Anehnya, justru kebun milik Kang Atan dan Enting-lah yang pertama kali mereka tanami.
“Kami tidak akan surut. Jarak tanam harus diperlebar dan bagi hasil yang adil bagi petani penggarap”, tandas Kang Atan. Kini ia dan kawan-kawannya tengah menggalang konsolidasi luas untuk memperjuangkannya.
Kang Atan dan kawan-kawannya adalah golongan petani yang bekerja di atas sebidang tanah untuk memenuhi kepentingan subsistennya. Akan tetapi mereka dipaksa memeliharan tanaman pokok Perhutani dengan upah 20% hasil panen pada 6-7 tahun mendatang. Dalam periode itulah jeunjing/sengon baru memasuki masa panen.
Hal ini tak ubahnya menyerahkan sebagian hasil kerja dan tenaganya untuk merawat jeunjing/sengon dengan upah yang tak layak. Tidaklah keliru bila disebut PHBM adalah salah satu bentuk perampasan kerja kaum tani penggarap yang dilakukan Perhutani selaku tuan tanah tipe baru. Keadaan ini menjelaskan secara nyata bentuk kekuasaan klas tuan-tanah dalam hubungan produksi feodalisme. Dan apa yang menimpa Kang Atan dan kawan-kawannya tak ubahnya nasib kaum tani hamba pada abad pertengahan yang lampau.
Kawasan kutatandingan termasuk areal hutan warisan kolonial Belanda di masa lalu. Tujuan pendiriannya jelas-jelas bermaksud melakukan produksi besar-besaran kayu jati/tekwood untuk pasar Eropa. Bahkan sejak masa kemerdekaan hingga 1996, negara RI melalui perhutani tetap menjadikan kayu jati/teakwood sebagai primadona ke pasar internasional. Di sinilah peran negara RI selaku pemasok bahan mentah bagi kepentingan imperialisme, sekaligus pasar potensial atas barang-barang komoditasnya.
Kini Kutandingan tak lagi memiliki jati/teakwood. Tapi tanaman cepat tumbuh seperti jeunjing/sengon, akasia dan mindi tengah dikembangkan oleh Perhutani di kawasan ini. Jenis tersebut di arahkan memenuhi kepentingan bahan baku industri pulp & paper untuk pasar dunia. Dengan demikian makin teranglah kepentingan imperialisme atas kawasan Kutatandingan lewat pertalian yang erat dengan tuan tanah tipe baru dan para penyelenggara negara.
Inilah tipikal indonesia, negeri setengah jajahan setengah feodal.
-----
KARAWANG. Sebelumnya tak sebatangpun tanaman keras yang diproduksi Perhutani tumbuh di areal blok 39 yang dikenal petani penggarap sebagai wilayah Tegal Datar, Kutatandingan. Atan Nurmana Jaya [39], aktifis Serikat Tani Nasional setempat, menuturkan bahwa Perhutani telah menelantarkan tanah di kawasan tersebut setelah memanen kayu jati di tahun 1996 yang lalu.
“Kami kelola tanah terlantar ini untuk ditanamai padi gogo, kacang-kacangan dan pisang. Untuk menyuburkan tanah, kami juga tanami dengan kayu seperti jeunjing/sengon, kapuk randu dan bambu . Karena kami sudah tak punya tanah lagi di desa asal”, tambah Kang Atan. Ia dan puluhan petani lainnya memilih menggarap di kawasan hutan terlantar tersebut demi menghidupi keluarga.
Kini musim hujan telah tiba. Di tengah Kang Atan dan kawan-kawan bersiap untuk mengolah lahan tiba-tiba pihak Perhutani juga bersiap-siap mananami lokasi tersebut dengan jeunjing/sengon. “Ini adalah implementasi dari kebijakan Pengelolaan hutan Bersama Masyarakat [PHBM]”, kata Rahmat [47] selaku kepala BKPH Telukjambe Perum Perhutani KPH Purwakarta yang mengampu wilayah hutan terlantar tersebut. Progam tersebut diselenggarakan bekerjasama dengan Lembaga Masyarakat Desa Hutan [LMDH] Desa Parung Mulya Kec. Ciampel, Karawang. “Jadi kami sudah berkoordinasi dengan pihak masyarakat”, aku Rahmat.
Benarkah demikian? Ternyata tidak menurut para petani penggarap hutan.
“Tiba-tiba pada hari Minggu, 16 November lalu kami dikumpulkan oleh Mantri dan Mandor [aparatus Resort Pemangkuan Hutan. Red] setempat. Lalu mereka bicara bahwa akhir bulan mau menanam pokok jeunjing/sengon di sin”, jelas Enting [42] salah satu anggota kelompok tani penggarap. Dalam acara tersebut juga hadri para pengurus LMDH dan para tokoh masyarakat.
Para petani penggarap jelas tidak setuju atas rencana tersebut. Mengingat jarak tanam 2x3 m antar pokok jeunjing/sengon yang sangat rapat dan tak memungkinkan tumbuh kembangnya tanaman milik petani secara baik. Di sisi lain, bagi hasil atas panen tanaman pokok tersebut dinilai jauh dari rasa keadilan oleh kalangan petani penggarap yakni 80% untuk Perhutani dan 20% untuk masyarakat. “Dua puluh persen dari bagi hasil panen itu sudah cukup sebagai tanda terima kasih kami kepada petani”, sambung salah seorang mandor Perhutani bernama Abrakjagat [37].
Jaka [45] selaku ketua LMDH manyatakan bahwa penanaman harus terus dilanjutkan, khususnya di petak 39 Tegal Datar. “Surat Perintah Kerja dari KPH Purwakarta sudah turun dan tak mungkin dibatalkan”, sergahnya menanggapi keberatan petani. Menurutnya, Perhutani sudah berbaik hati membolehkan petani menggarap di kawasan hutan dan sudah seharusnya petani menghargai dengan merawat tanaman pokoknya. Para tetua masyarkatpun setali tiga uang dengan pendapat Jaka. “Memang mereka lebih berpihak pada perhutani daripada masyarakat”, sambung Enting lirih.
LMDH yang ada tidak terbentuk dari partisipasi petani penggarap hutan. Tak heran, perannya pun hampir tak terdengar dalam melayani kepentingan masyarakat yang diampunya. Namun ia cenderung memiliki kekuatan pemaksa bagi petani alih-alih legitimasi yang dimilikinya. Bahkan Kang Atan menyampaikan temuan yang menyebutkan maraknya keterlibatan pegiat lembaga tersebut memungut sejumlah uang tak resmi pada petani penggarap hutan. [Baca Pemungut Pajak Di kutatandingan].
Kini Perhutani telah memulai penanaman tersebut. Kurang lebih sebanyak seribu batang pokok jeunjing/sengon telah ditancapkan. Anehnya, justru kebun milik Kang Atan dan Enting-lah yang pertama kali mereka tanami.
“Kami tidak akan surut. Jarak tanam harus diperlebar dan bagi hasil yang adil bagi petani penggarap”, tandas Kang Atan. Kini ia dan kawan-kawannya tengah menggalang konsolidasi luas untuk memperjuangkannya.
Kang Atan dan kawan-kawannya adalah golongan petani yang bekerja di atas sebidang tanah untuk memenuhi kepentingan subsistennya. Akan tetapi mereka dipaksa memeliharan tanaman pokok Perhutani dengan upah 20% hasil panen pada 6-7 tahun mendatang. Dalam periode itulah jeunjing/sengon baru memasuki masa panen.
Hal ini tak ubahnya menyerahkan sebagian hasil kerja dan tenaganya untuk merawat jeunjing/sengon dengan upah yang tak layak. Tidaklah keliru bila disebut PHBM adalah salah satu bentuk perampasan kerja kaum tani penggarap yang dilakukan Perhutani selaku tuan tanah tipe baru. Keadaan ini menjelaskan secara nyata bentuk kekuasaan klas tuan-tanah dalam hubungan produksi feodalisme. Dan apa yang menimpa Kang Atan dan kawan-kawannya tak ubahnya nasib kaum tani hamba pada abad pertengahan yang lampau.
Kawasan kutatandingan termasuk areal hutan warisan kolonial Belanda di masa lalu. Tujuan pendiriannya jelas-jelas bermaksud melakukan produksi besar-besaran kayu jati/tekwood untuk pasar Eropa. Bahkan sejak masa kemerdekaan hingga 1996, negara RI melalui perhutani tetap menjadikan kayu jati/teakwood sebagai primadona ke pasar internasional. Di sinilah peran negara RI selaku pemasok bahan mentah bagi kepentingan imperialisme, sekaligus pasar potensial atas barang-barang komoditasnya.
Kini Kutandingan tak lagi memiliki jati/teakwood. Tapi tanaman cepat tumbuh seperti jeunjing/sengon, akasia dan mindi tengah dikembangkan oleh Perhutani di kawasan ini. Jenis tersebut di arahkan memenuhi kepentingan bahan baku industri pulp & paper untuk pasar dunia. Dengan demikian makin teranglah kepentingan imperialisme atas kawasan Kutatandingan lewat pertalian yang erat dengan tuan tanah tipe baru dan para penyelenggara negara.
Inilah tipikal indonesia, negeri setengah jajahan setengah feodal.
Mengabdi Dan Melayani Siapa?
FOTO sebagian persawahan di Desa Sukamulya, Kertajati, Majalengka yang akan dijadikan kawasan pembangunan Bandara Internasional Jawa Barat. Rencananya sebanyak lima ribu hektar sawah akan dibebaskan.
-----
SUKAMULYA. Pada awalnya warga Desa Sukamulya, Kertajati, Majalengka benar-benar larut dalam sukacita. Wajah gembira terpancar dari raut kaum tua dan muda. Tak henti-hentinya mereka membanggakan diri sebagai penentu kemenangan bagi yang mereka dukung.
Apa pasal ini semua? “Kami senang karena Sutrisno dan Karna Sobahi menang”, jelas Abah Herry [62]. Keduanya adalah pasangan calon bupati dan wakil bupati yang memperoleh suara terbanyak dalam pemilihan kepala daerah pada Oktober 2008 lalu. Yang makin membuat Abah Herry dan para anggota Forum Komunikasi Rakyat Bersatu [FKRB] bersemangat ialah kesediaan pasangan kepala daerah tersebut untuk menolak kehadiran Bandara Internasional Jawa Barat [BIJB] di Desa Sukamulya.
Namun tidak demikian yang terjadi pada 12 Desember 2008. Pemerintah provinsi Jawa Barat tetap bermaksud menyelesaikan pembebasan lahan untuk BIJB di Kecamatan Kertajati pada 2009 [Baca artikel dalam Koran Seputar Indonesia 12 Desember 2008 berjudul Tahun Depan Pembebasan Lahan Tuntas].
Sudah barang tentu pemberitaan tersebut mencederai kepercayaan warga Sukamulya dan FKRB.
Pada awal Agustus silam, Abah Herry mengemukakan adanya pemotretan udara di atas Sukamulya yang diduga kuat sebagai bahan penyusunan rancangan BIJB. “Kamipun memperoleh informasi bahwa telah disiapkan kucuran dana untuk pembebasan lahan”, tambahnya. Selang beberapa minggu kemudian datanglah beberapa orang yang mengaku dari Dinas Lingkungan Hidup Provonsi Jawa Barat. Mereka juga bermaksud melakukan penelitian berkenaan akan dibangunnya BIJB. Namun pihak Kuwu/kepala Desa Sukamulya dan anggota FKRB menolaknya.
Kini saatnya pasangan Bupati Sutrisno – Wakil Bupati Karna Sobahi diuji dalam kenyataan politik pembangunan BIJB. Melayani kehendak rakyat atau takluk pada perintah Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan?
Secara lengkap, kebijakan, BIJB merupakan implementasi pengembangan wilayah Jawa Barat (Wilayah Ciayu Majakuning), sesuai dengan konsep pengembangan secara nasional dan Rencana Tata Ruang Jawa Barat. Dengan adanya kebijakan tersebut, maka diharapkan tercipta beberapa kondisi seperti pertama, terjadinya percepatan pertumbuhan investasi yang akan berdampak pada pertumbuhan ekonomi di Jawa Barat. Kedua, kebijakan tersebut merespon kebutuhan masyarakat dan dunia usaha dalam pemanfaatan outlet udara. Ketiga, meningkatkan indeks pembangunan manusia (IPM) Jawa Barat. Keempat, peningkatan pelayanan jemaah haji asal Jawa Barat dan sekitarnya dan pariwisata Jawa Barat [Baca Rencana Pembangunan Bandara].
Komite Pimpinan Pusat Serikat Tani Nasional [KPP STN] berpandangan bahwa pembangunan BIJP berpotensi mengancam ketersediaan pangan keluarga petani yang menjadi korban. Lebih lanjut, BIJB sangat bertujuan pada kepentingan kalangan pemilik modal dibandingkan golongan rakyat yang lainnya. Karena bandara tersebut diperuntukkan sebagai penarik bagi investor dalam negeri maupun luar negeri dengan jalan memberikan fasilitas infrastruktur transportasi dan perhubungan.
Pelayanan tersebut sekaligus mengorbankan sekurangnya lima ribu hektar persawahan produktif yang telah lama dikelola. Pada akhirnya, perampasan tanah atas nama pembangunan dan pertumbuhan ekonomi Jawa Barat justru makin meminggirkan kaum tani. Golongan rakyat tak bertanah akan semakin bertambah besar hingga pada akhirnya kemiskinan semakin merajalela di pedesaan.
Sekiranya yang patut dilayani adalah sarana yang menunjang langsung proses produksi rakyat. Dalam kasus Sukamulya, kepentingan kaum tani miskin dan buruh tanilah yang menjadi perhatian utamanya. Mengingat luasnya areal persawahan yang ada masih menyisakan hubungan produksi feudal maka tepat kiranya bila upah buruh tani dinaikkan setara dengan penghidupan layak dan harga sewa tanah diturunkan sesuai dengan dayabeli tani miskin. Hal ini dimaksudkan agar kaum tani miskin dan buruh tani dapat berperan lebih nyata dalam proses produksi pertanian yang adil. Di sisi lain, akan jauh lebih baik apabila negara juga mengikutsertakan layanan pengembangan usaha rakyat yang berbentuk koperasi pertanian sebagai dasar untuk mempertinggi produksi nasional dan pendapatan nasional.
Namun kiranya hal tersebut tidaklah mungkin terjadi. Karena dalam lapangan ekonomi politik, Negara Republik Indonesia hari ini adalah pelayan bagi kepentingan pemodal sebagaimana ditunjukkan dengan pendirian BIJB.
Sekali lagi inilah salah satu fragmen kusam di negeri setengah jajahan dan setengah feudal. Dan FKRB bersama KPP STN serta kalangan aktifis pemuda progresif di Majalengka tengah menggalang konsolidasi luas untuk menyelenggarakan perjuangan massa berkait perkembangan BIJB terakhir ini.
-----
http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/195288/
Tahun Depan Pembebasan Lahan Tuntas
Friday, 12 December 2008
MAJALENGKA (SINDO) – Pemerintah Provinsi Jawa Barat berjanji menyelesaikan pembebasan lahan untuk Bandara Internasional Jawa Barat (BIJB) di Kecamatan Kertajati pada 2009.
Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan mengungkapkan, rencana pembangunan BIJB di Kecamatan Kertajati akan terus dilanjutkan.Pembangunan BIJB merupakan program pemerintah dalam rangka meningkatkan ekonomi. Dia berjanji akan melanjutkan rencana pembangunan BIJB itu.
”Kami akan lanjutkan pembangunan BIJB. Itu proyek pemerintah yang sudah jelas peraturannya,” ungkap Heryawan seusai melantik Bupati Sutrisno dan Wakil Bupati Karna Sobahi di Pendopo Majalengka,Jalan A Yani,kemarin.
Dia menyebutkan, Pemprov Jabar telah mengalokasikan anggaran sebesar Rp400 miliar untuk pembebasan lahan BIJB di Kecamatan Kertajati.Menunggu pembebasan,dia mengaku terus mencari investor untuk mega proyek Jawa Barat tersebut.
Bupati Majalengka Sutrisno meminta Gubernur Jawa Barat selaku penanggungjawab rencana mega proyek itu secepatnya memberikan kepastian kepada masyarakat di Kabupaten Majalengka.
Menurutnya, rakyat Majalengka tidak menolak rencana tersebut namun rakyat meminta lokasi pemindahan penduduk tidak dipindahkan dari Kertajati. ”Ada konflik, khususnya penolakan warga.Warga yang menolak itu karena mereka tidak diberi kepastian atas lokasi pemindahan dari desa asalnya,”jelas Sutrisno. (taofik hidayat)
-----
SUKAMULYA. Pada awalnya warga Desa Sukamulya, Kertajati, Majalengka benar-benar larut dalam sukacita. Wajah gembira terpancar dari raut kaum tua dan muda. Tak henti-hentinya mereka membanggakan diri sebagai penentu kemenangan bagi yang mereka dukung.
Apa pasal ini semua? “Kami senang karena Sutrisno dan Karna Sobahi menang”, jelas Abah Herry [62]. Keduanya adalah pasangan calon bupati dan wakil bupati yang memperoleh suara terbanyak dalam pemilihan kepala daerah pada Oktober 2008 lalu. Yang makin membuat Abah Herry dan para anggota Forum Komunikasi Rakyat Bersatu [FKRB] bersemangat ialah kesediaan pasangan kepala daerah tersebut untuk menolak kehadiran Bandara Internasional Jawa Barat [BIJB] di Desa Sukamulya.
Namun tidak demikian yang terjadi pada 12 Desember 2008. Pemerintah provinsi Jawa Barat tetap bermaksud menyelesaikan pembebasan lahan untuk BIJB di Kecamatan Kertajati pada 2009 [Baca artikel dalam Koran Seputar Indonesia 12 Desember 2008 berjudul Tahun Depan Pembebasan Lahan Tuntas].
Sudah barang tentu pemberitaan tersebut mencederai kepercayaan warga Sukamulya dan FKRB.
Pada awal Agustus silam, Abah Herry mengemukakan adanya pemotretan udara di atas Sukamulya yang diduga kuat sebagai bahan penyusunan rancangan BIJB. “Kamipun memperoleh informasi bahwa telah disiapkan kucuran dana untuk pembebasan lahan”, tambahnya. Selang beberapa minggu kemudian datanglah beberapa orang yang mengaku dari Dinas Lingkungan Hidup Provonsi Jawa Barat. Mereka juga bermaksud melakukan penelitian berkenaan akan dibangunnya BIJB. Namun pihak Kuwu/kepala Desa Sukamulya dan anggota FKRB menolaknya.
Kini saatnya pasangan Bupati Sutrisno – Wakil Bupati Karna Sobahi diuji dalam kenyataan politik pembangunan BIJB. Melayani kehendak rakyat atau takluk pada perintah Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan?
Secara lengkap, kebijakan, BIJB merupakan implementasi pengembangan wilayah Jawa Barat (Wilayah Ciayu Majakuning), sesuai dengan konsep pengembangan secara nasional dan Rencana Tata Ruang Jawa Barat. Dengan adanya kebijakan tersebut, maka diharapkan tercipta beberapa kondisi seperti pertama, terjadinya percepatan pertumbuhan investasi yang akan berdampak pada pertumbuhan ekonomi di Jawa Barat. Kedua, kebijakan tersebut merespon kebutuhan masyarakat dan dunia usaha dalam pemanfaatan outlet udara. Ketiga, meningkatkan indeks pembangunan manusia (IPM) Jawa Barat. Keempat, peningkatan pelayanan jemaah haji asal Jawa Barat dan sekitarnya dan pariwisata Jawa Barat [Baca Rencana Pembangunan Bandara].
Komite Pimpinan Pusat Serikat Tani Nasional [KPP STN] berpandangan bahwa pembangunan BIJP berpotensi mengancam ketersediaan pangan keluarga petani yang menjadi korban. Lebih lanjut, BIJB sangat bertujuan pada kepentingan kalangan pemilik modal dibandingkan golongan rakyat yang lainnya. Karena bandara tersebut diperuntukkan sebagai penarik bagi investor dalam negeri maupun luar negeri dengan jalan memberikan fasilitas infrastruktur transportasi dan perhubungan.
Pelayanan tersebut sekaligus mengorbankan sekurangnya lima ribu hektar persawahan produktif yang telah lama dikelola. Pada akhirnya, perampasan tanah atas nama pembangunan dan pertumbuhan ekonomi Jawa Barat justru makin meminggirkan kaum tani. Golongan rakyat tak bertanah akan semakin bertambah besar hingga pada akhirnya kemiskinan semakin merajalela di pedesaan.
Sekiranya yang patut dilayani adalah sarana yang menunjang langsung proses produksi rakyat. Dalam kasus Sukamulya, kepentingan kaum tani miskin dan buruh tanilah yang menjadi perhatian utamanya. Mengingat luasnya areal persawahan yang ada masih menyisakan hubungan produksi feudal maka tepat kiranya bila upah buruh tani dinaikkan setara dengan penghidupan layak dan harga sewa tanah diturunkan sesuai dengan dayabeli tani miskin. Hal ini dimaksudkan agar kaum tani miskin dan buruh tani dapat berperan lebih nyata dalam proses produksi pertanian yang adil. Di sisi lain, akan jauh lebih baik apabila negara juga mengikutsertakan layanan pengembangan usaha rakyat yang berbentuk koperasi pertanian sebagai dasar untuk mempertinggi produksi nasional dan pendapatan nasional.
Namun kiranya hal tersebut tidaklah mungkin terjadi. Karena dalam lapangan ekonomi politik, Negara Republik Indonesia hari ini adalah pelayan bagi kepentingan pemodal sebagaimana ditunjukkan dengan pendirian BIJB.
Sekali lagi inilah salah satu fragmen kusam di negeri setengah jajahan dan setengah feudal. Dan FKRB bersama KPP STN serta kalangan aktifis pemuda progresif di Majalengka tengah menggalang konsolidasi luas untuk menyelenggarakan perjuangan massa berkait perkembangan BIJB terakhir ini.
-----
http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/195288/
Tahun Depan Pembebasan Lahan Tuntas
Friday, 12 December 2008
MAJALENGKA (SINDO) – Pemerintah Provinsi Jawa Barat berjanji menyelesaikan pembebasan lahan untuk Bandara Internasional Jawa Barat (BIJB) di Kecamatan Kertajati pada 2009.
Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan mengungkapkan, rencana pembangunan BIJB di Kecamatan Kertajati akan terus dilanjutkan.Pembangunan BIJB merupakan program pemerintah dalam rangka meningkatkan ekonomi. Dia berjanji akan melanjutkan rencana pembangunan BIJB itu.
”Kami akan lanjutkan pembangunan BIJB. Itu proyek pemerintah yang sudah jelas peraturannya,” ungkap Heryawan seusai melantik Bupati Sutrisno dan Wakil Bupati Karna Sobahi di Pendopo Majalengka,Jalan A Yani,kemarin.
Dia menyebutkan, Pemprov Jabar telah mengalokasikan anggaran sebesar Rp400 miliar untuk pembebasan lahan BIJB di Kecamatan Kertajati.Menunggu pembebasan,dia mengaku terus mencari investor untuk mega proyek Jawa Barat tersebut.
Bupati Majalengka Sutrisno meminta Gubernur Jawa Barat selaku penanggungjawab rencana mega proyek itu secepatnya memberikan kepastian kepada masyarakat di Kabupaten Majalengka.
Menurutnya, rakyat Majalengka tidak menolak rencana tersebut namun rakyat meminta lokasi pemindahan penduduk tidak dipindahkan dari Kertajati. ”Ada konflik, khususnya penolakan warga.Warga yang menolak itu karena mereka tidak diberi kepastian atas lokasi pemindahan dari desa asalnya,”jelas Sutrisno. (taofik hidayat)
Thursday, November 6, 2008
Kepastian di ‘Kukrukan’
FOTO Sabarno [49] yang tengah mempersiapkan Kukrukan [bahasa jawa = lahan garapan di tanah terlantar]. Topografi yang berbukit menjadikan ia membuat teras miring untuk menahan laju air dan mencegah erosi.
-----
KALISALAK. Musim hujan telah tiba. Hal ini menjadikan rakyat di negeri ini senantiasa menyiapkan diri untuk mewaspadai datangnya banjir. Namun bagi kaum tani, datangnya hujan adalah saat tepat untuk memasuki musim tanam yang baru.
Demikian pula bagi petani penggarap di Dusun Kalisalak Desa Lemah Ireng, Bawen Kabupaten Semarang. Alat bajak sederhana tengah disiapkan berikut bibit padi dan kacang telah disemaikan. “Kami menanam padi dengan cara di-gogo, bukan dalam bentuk sawah,” jelas Sabarno [49]. Gogo adalah cara menanam padi di ladang yang relative kering dan mengandalkan hujan sebagai satu-satunya sumber air “Di sana, di lokasi tersebut sulit menampung air,” tambah aktifis kelompok tani penggarap yang tergabung dalam Serikat Tani Nasional. Ia mengarahkan telunjuknya untuk menunjuk ke arah utara dusun.. Tampaklah beberapa bukit yang telah dikelola sebagai lahan berladang lengkap dengan teras siringnya.
Tanah apakah itu? Mengapa tidak menggarap di tanah yang lebih subur untuk diusahai sebagai sawah?
Sabarno menjawab bahwa tanah yang ada di dusunnya hanya seluas 4 ha saja yang sebagian besar adalah tanah kas desa. Hal ini tidak mungkin mencukupi untuk ratusan keluarga petani Dusun Kalisalak. Mengandalkan upah dari bekerja di pabrik ataupun buruh tani sungguhlah tak mencukupi kebutuhan pangan mereka
Di lain sisi terdapatlah sejumlah tanah terlantar ang persis berada di sebelah utara pemukiman warga. Tanah tersebut dibawah konsesi Hak Guna Usaha PTPN IX [Persero] Kebun Ngobo yang secara administrative termasuk dalam kawasan Dusun Kalisalak. Secara keseluruhan perusahaan tersebut mengusahakan karet, kopi dan kakao sebagai komoditas utama di atas tanah seluas 2.261.02 hektar.
Atas musyawarah seluruh warga, sekitar 41 hektar tanah terlantar tersebut digarap dan diusahai sebagai lahan produktif oleh 88 KK. Masa tanam kali ini adalah tahun kesebelas bagi mereka.
Sudah barang tentu pihak pihak PTPN IX bereaksi atas hal ini. Di tahun 1999 terjadi salah satu peristiwa yang mengakibatkan bentrokan antara kelompok tani penggarap yang bergabung dalam Serikat Tani Nasinal dan PTPN IX. Hal ini berujung pada perundingan yang menghasilkan kesepakatan pengakuan sementara keberadaan para penggarap oleh PTPN IX dan kalangan pemerintahan desa.
“Saya katakan sementara karena pada saat perundingan belumlah cukup kuat dari segi hukum,” terang Magiyanto [39], mantan aktifis kelompok tani penggarap yang kini menjabat sebagai Kepala Dusun Kalisalak. Kesepakatan yang masih bersifat informal belumlah dapat menjamin pengakuan yang sungguh-sungguh dari semua pihak. Oleh karenanya perjuangan legal untuk mendapatkan hak garap sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960 harus terus dilakukan, tambahnya.
Sengketa antara masyarakat dan PTPN IX juga meluas pada pemanfaatan mboso, limbah karet yang masih bernilai ekonomi. Hal ini berujung pada penangkapan dua warga pada April lalu yang disajikan dalam artikel Dua Petani pencuri ‘Mbosa’ Akhirnya Divonis 2,5 Bulan.
Musim hujan memang sudah pasti tiba. Namun kejelasan atas hak atas tanah petani penggarap tanah terlantar Dusun Kalisalak harus sunantiasa diperjuangkan untuk menjamin penghidupan bagi mereka.
-----
KALISALAK. Musim hujan telah tiba. Hal ini menjadikan rakyat di negeri ini senantiasa menyiapkan diri untuk mewaspadai datangnya banjir. Namun bagi kaum tani, datangnya hujan adalah saat tepat untuk memasuki musim tanam yang baru.
Demikian pula bagi petani penggarap di Dusun Kalisalak Desa Lemah Ireng, Bawen Kabupaten Semarang. Alat bajak sederhana tengah disiapkan berikut bibit padi dan kacang telah disemaikan. “Kami menanam padi dengan cara di-gogo, bukan dalam bentuk sawah,” jelas Sabarno [49]. Gogo adalah cara menanam padi di ladang yang relative kering dan mengandalkan hujan sebagai satu-satunya sumber air “Di sana, di lokasi tersebut sulit menampung air,” tambah aktifis kelompok tani penggarap yang tergabung dalam Serikat Tani Nasional. Ia mengarahkan telunjuknya untuk menunjuk ke arah utara dusun.. Tampaklah beberapa bukit yang telah dikelola sebagai lahan berladang lengkap dengan teras siringnya.
Tanah apakah itu? Mengapa tidak menggarap di tanah yang lebih subur untuk diusahai sebagai sawah?
Sabarno menjawab bahwa tanah yang ada di dusunnya hanya seluas 4 ha saja yang sebagian besar adalah tanah kas desa. Hal ini tidak mungkin mencukupi untuk ratusan keluarga petani Dusun Kalisalak. Mengandalkan upah dari bekerja di pabrik ataupun buruh tani sungguhlah tak mencukupi kebutuhan pangan mereka
Di lain sisi terdapatlah sejumlah tanah terlantar ang persis berada di sebelah utara pemukiman warga. Tanah tersebut dibawah konsesi Hak Guna Usaha PTPN IX [Persero] Kebun Ngobo yang secara administrative termasuk dalam kawasan Dusun Kalisalak. Secara keseluruhan perusahaan tersebut mengusahakan karet, kopi dan kakao sebagai komoditas utama di atas tanah seluas 2.261.02 hektar.
Atas musyawarah seluruh warga, sekitar 41 hektar tanah terlantar tersebut digarap dan diusahai sebagai lahan produktif oleh 88 KK. Masa tanam kali ini adalah tahun kesebelas bagi mereka.
Sudah barang tentu pihak pihak PTPN IX bereaksi atas hal ini. Di tahun 1999 terjadi salah satu peristiwa yang mengakibatkan bentrokan antara kelompok tani penggarap yang bergabung dalam Serikat Tani Nasinal dan PTPN IX. Hal ini berujung pada perundingan yang menghasilkan kesepakatan pengakuan sementara keberadaan para penggarap oleh PTPN IX dan kalangan pemerintahan desa.
“Saya katakan sementara karena pada saat perundingan belumlah cukup kuat dari segi hukum,” terang Magiyanto [39], mantan aktifis kelompok tani penggarap yang kini menjabat sebagai Kepala Dusun Kalisalak. Kesepakatan yang masih bersifat informal belumlah dapat menjamin pengakuan yang sungguh-sungguh dari semua pihak. Oleh karenanya perjuangan legal untuk mendapatkan hak garap sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960 harus terus dilakukan, tambahnya.
Sengketa antara masyarakat dan PTPN IX juga meluas pada pemanfaatan mboso, limbah karet yang masih bernilai ekonomi. Hal ini berujung pada penangkapan dua warga pada April lalu yang disajikan dalam artikel Dua Petani pencuri ‘Mbosa’ Akhirnya Divonis 2,5 Bulan.
Musim hujan memang sudah pasti tiba. Namun kejelasan atas hak atas tanah petani penggarap tanah terlantar Dusun Kalisalak harus sunantiasa diperjuangkan untuk menjamin penghidupan bagi mereka.
Wednesday, October 22, 2008
Aliansi Luas Menghadang PT. TPL
Komite Pimpinan Pusat Serikat Tani Nasional mendukung perjuangan massa yang diselenggarakan oleh Serikat Tani Kabupaten Samosir [STKS] untuk hak sosial ekonomi dan penyelamatan lingkungan dari PT Toba Pulp Lestari. Upaya perjuangan tersebut berhasil menggalang aliansi luas dengan kelompok masyarakat lainnya.
Berikut ini adalah pernyataan sikap tentang hal tersebut yang dikirimkan oleh Guntur Simamora, aktifis dari Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat [KSPPM].
Berani berjuang, berani menang!
---
TUNTUTAN ALIANSI MASYARAKAT, NGO, TOKOH AGAMA DAN KOMUNITAS LINTAS PARTAI POLITIK KABUPATEN SAMOSIR
Serikat Tani Kabupaten Samosir (STKS), Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat (KSPPM), JPIC Kapusin, Tokoh Agama, dan Komunitas Lintas Partai Politik Samosir (DPC PNBK, DPD II Partai Golkar, DPC PIB, DPC PDS, DPC Partai Buruh, DPC Partai Pakar Pangan, DPC Partai Patriot, DPC PPPI, DPD PKPB, DPC PDIP, DPD PAN, PD Partai Matahari Bangsa, DPC Partai Pemuda Indonesia, PKK PDP, DPC Partai Demokrat, DPD PPRN, DPC PDK, DPK PKPI)
Dalam tempo waktu + 3 tahun, sekitar ¾ dari luas hutan register 41 Hutagalung sudah habis digunduli oleh PT. Toba Pulp Lestari, Tbk tanpa ada pengawasan secara ketat dari pemerintah maupun pemda setempat. Padahal, kelestarian hutan ini sangat vital bagi keselamatan hidup masyarakat, spesies lainnya dan ekosistem danau toba. Mengingat wilayah Kabupaten Samosir seluruhnya masuk dalam kawasan DTA Danau Toba dan typologi yang berbukit, miring dan terjal, sehingga sedimen tanah sangat tinggi di tambah lagi dengan kondisi kawasan hutan yang semakin gundul/kritis, akibatnya lahan-lahan yang ada sangat mudah longsor.
Tragisnya lagi, Sekitar April 2008, PT. TPL mulai memasuki dan beraktifitas menggunduli utan Lindung Sitonggi-tonggi kawasan Register 41 Hutagalung, daratan Sumatera. Hutan lindung ini berada diperbukitan, dan sekitar 10 km dibawahnya tersebar perkampungan masyarakat Kecamatan Sitio-tio, Harian dan Sianjur Mula-mula. Kekawatiran masyarakat akan adanya bencana longsor, banjir, kekeringan, dsb, telah memicu ketakutan dan keresahan yang meluas serta rasa was-was yang berkepanjangan. Ironisnya, hutan lindung Sitonggi-tonggi dan hutan lindung lainnya yang berada dalam kawasan register 41 Hutagalung dialih fungsikan menjadi HPHTI PT. Toba Pulp Lestari, Tbk tanpa landasan hukum (Peraturan dan Perundang-undangan).
Tambahnya lagi, Semenjak PT. Toba Pulp Lestari, Tbk ini beraktifitas di hutan register 41 Hutagalung, telah menumbuhkan berdirinya puluhan industri swamills, menambah catatan hitam kehancuran hutan register 41 Hutagalung beserta hutan lindung yang ada didalamnya, seperti hutan lindung sitonggi-tonggi. Berdirinya hingga operasional industri swamills ini, juga tidak mendapat pengawasan yang ketat dari pemerintah daerah. Managemen pengelolaan industri ini tidak pernah transparan, apakah ijin industri ini sesuai dengan peraturan perundang-undangan atau tidak. Dan ketika masyarakat mempertanyakan ke industri tersebut, dijawab bahwa bahan baku kayu log mereka beli dari PT. Toba Pulp Lestari. Namun pastinya industri swamills ini juga terlibat dalam penghancuran hutan register 41 Hutagalung berserta hutan lindung Sitonggi-tonggi dan hutan lindung lainnya.
Masih segar dalam ingatan kita, Semenjak PT. Toba Pulp Lestari, Tbk (PT. TPL) beraktifitas menggunduli hutan Register 41 Hutagalung telah banyak menelan korban, seperti hilangnya akses masyarakat terhadap hasil hutan (kasus musnahnya kemanyan masyarakat Pollung dan Parlilitan, tahun 2006-2008), dan bencana banjir bandang yang terjadi di kecamatan Tarabintang Kabupaten Humbahas, awal tahun 2007.
Selain itu kami juga memperkirakan, apabila hutan tersebut tetap digunduli, maka pada musim hujan akan terjadi banjir bandang seperti yang pernah terhadi di Sihotang, Harian Boho, kecamatan Harian pada tahun 1957. Sungai-sungai akan meluap seperti yang terjadi di Desa Sabulan sekitar tahun 2005, dimana pada saat itu aek (sungai) Bulak dan Sitio-tio meluap yang menghancurkan rumah penduduk dan persawahan. Atau pada saat kemarau, kekeringan akan terjadi. Seperti keringnya sungai-sungai di Kecamatan Ronggur Nihuta akibat hutannya digunduli oleh PT. Toba Pulp Lestari, Tbk, dulunya bernama PT. Indorayon Inti Utama, sekitar 15 tahun yang lalu. Dan yang lebih mengerikan, erosi maupun longsor kemungkinan besar akan terjadi, mengingat hutan Register 41 dan hutan Lindung sitonggi-tonggi berada di atas perkampungan masyarakat Kecamatan Sitio-tio, Harian, dan Sianjur Mula-mula.
Ketakutan dan keresahan masyarakat tersebut terlihat dari berbagai upaya yang dilakukan untuk mengentikan aktifitas PT. TPL tersebut. Baik melalui desakan secara tertulis maupun melalui unjuk rasa yang ditujukan kepada pemerintah maupun PT, TPL, namun tidak diperdulikan. (lebih jelasnya turut kami lampirkan surat Bupati Samosir yang ditujukan kepada Menteri Kehutanan RI)
Perlu kami jelaskan, secara umum typologi kabupaten samosir adalah bergelombang, berbukit dan miring sampai terjal, hanya 8 % dari luas wilayah yang datar (kemiringan 00 - 20) dan semuanya terletak pada dataran tinggi (antara 800 – 1.800 meter dpl). Dan Kabupaten Samosir tersebar di dua daratan, yaitu daratan Sumatera dan daratan pulau samosir yang dikelilingi danau toba.
Sekali lagi kami tegaskan, khusus untuk wilayah Kabupaten Samosir yang berada didaratan Sumatera, bahwa kelestarian hutan register 41 Hutagalung yang didalamnya terdapat hutan lindung Sitongi-tonggi dan hutan lindung lainnya sangat vital bagi keselamatan manusia, Spesies dan ekosistem danau toba, mengingat hutan tersebut berada diperbukitan yang dibawahnya tersebar perkampungan masyarakat kecamatan Sitio-tio, Harian dan Sianjur Mula-Mula.
Dari penjelasan singkat di atas, kami dari lintas partai politik Kabupaten Samosir menuntut dan mendesak instansi terkait dan perusahan PT. Toba Pulp Lestari, Tbk :
terima kasih.
Berikut ini adalah pernyataan sikap tentang hal tersebut yang dikirimkan oleh Guntur Simamora, aktifis dari Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat [KSPPM].
Berani berjuang, berani menang!
---
TUNTUTAN ALIANSI MASYARAKAT, NGO, TOKOH AGAMA DAN KOMUNITAS LINTAS PARTAI POLITIK KABUPATEN SAMOSIR
Serikat Tani Kabupaten Samosir (STKS), Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat (KSPPM), JPIC Kapusin, Tokoh Agama, dan Komunitas Lintas Partai Politik Samosir (DPC PNBK, DPD II Partai Golkar, DPC PIB, DPC PDS, DPC Partai Buruh, DPC Partai Pakar Pangan, DPC Partai Patriot, DPC PPPI, DPD PKPB, DPC PDIP, DPD PAN, PD Partai Matahari Bangsa, DPC Partai Pemuda Indonesia, PKK PDP, DPC Partai Demokrat, DPD PPRN, DPC PDK, DPK PKPI)
Dalam tempo waktu + 3 tahun, sekitar ¾ dari luas hutan register 41 Hutagalung sudah habis digunduli oleh PT. Toba Pulp Lestari, Tbk tanpa ada pengawasan secara ketat dari pemerintah maupun pemda setempat. Padahal, kelestarian hutan ini sangat vital bagi keselamatan hidup masyarakat, spesies lainnya dan ekosistem danau toba. Mengingat wilayah Kabupaten Samosir seluruhnya masuk dalam kawasan DTA Danau Toba dan typologi yang berbukit, miring dan terjal, sehingga sedimen tanah sangat tinggi di tambah lagi dengan kondisi kawasan hutan yang semakin gundul/kritis, akibatnya lahan-lahan yang ada sangat mudah longsor.
Tragisnya lagi, Sekitar April 2008, PT. TPL mulai memasuki dan beraktifitas menggunduli utan Lindung Sitonggi-tonggi kawasan Register 41 Hutagalung, daratan Sumatera. Hutan lindung ini berada diperbukitan, dan sekitar 10 km dibawahnya tersebar perkampungan masyarakat Kecamatan Sitio-tio, Harian dan Sianjur Mula-mula. Kekawatiran masyarakat akan adanya bencana longsor, banjir, kekeringan, dsb, telah memicu ketakutan dan keresahan yang meluas serta rasa was-was yang berkepanjangan. Ironisnya, hutan lindung Sitonggi-tonggi dan hutan lindung lainnya yang berada dalam kawasan register 41 Hutagalung dialih fungsikan menjadi HPHTI PT. Toba Pulp Lestari, Tbk tanpa landasan hukum (Peraturan dan Perundang-undangan).
Tambahnya lagi, Semenjak PT. Toba Pulp Lestari, Tbk ini beraktifitas di hutan register 41 Hutagalung, telah menumbuhkan berdirinya puluhan industri swamills, menambah catatan hitam kehancuran hutan register 41 Hutagalung beserta hutan lindung yang ada didalamnya, seperti hutan lindung sitonggi-tonggi. Berdirinya hingga operasional industri swamills ini, juga tidak mendapat pengawasan yang ketat dari pemerintah daerah. Managemen pengelolaan industri ini tidak pernah transparan, apakah ijin industri ini sesuai dengan peraturan perundang-undangan atau tidak. Dan ketika masyarakat mempertanyakan ke industri tersebut, dijawab bahwa bahan baku kayu log mereka beli dari PT. Toba Pulp Lestari. Namun pastinya industri swamills ini juga terlibat dalam penghancuran hutan register 41 Hutagalung berserta hutan lindung Sitonggi-tonggi dan hutan lindung lainnya.
Masih segar dalam ingatan kita, Semenjak PT. Toba Pulp Lestari, Tbk (PT. TPL) beraktifitas menggunduli hutan Register 41 Hutagalung telah banyak menelan korban, seperti hilangnya akses masyarakat terhadap hasil hutan (kasus musnahnya kemanyan masyarakat Pollung dan Parlilitan, tahun 2006-2008), dan bencana banjir bandang yang terjadi di kecamatan Tarabintang Kabupaten Humbahas, awal tahun 2007.
Selain itu kami juga memperkirakan, apabila hutan tersebut tetap digunduli, maka pada musim hujan akan terjadi banjir bandang seperti yang pernah terhadi di Sihotang, Harian Boho, kecamatan Harian pada tahun 1957. Sungai-sungai akan meluap seperti yang terjadi di Desa Sabulan sekitar tahun 2005, dimana pada saat itu aek (sungai) Bulak dan Sitio-tio meluap yang menghancurkan rumah penduduk dan persawahan. Atau pada saat kemarau, kekeringan akan terjadi. Seperti keringnya sungai-sungai di Kecamatan Ronggur Nihuta akibat hutannya digunduli oleh PT. Toba Pulp Lestari, Tbk, dulunya bernama PT. Indorayon Inti Utama, sekitar 15 tahun yang lalu. Dan yang lebih mengerikan, erosi maupun longsor kemungkinan besar akan terjadi, mengingat hutan Register 41 dan hutan Lindung sitonggi-tonggi berada di atas perkampungan masyarakat Kecamatan Sitio-tio, Harian, dan Sianjur Mula-mula.
Ketakutan dan keresahan masyarakat tersebut terlihat dari berbagai upaya yang dilakukan untuk mengentikan aktifitas PT. TPL tersebut. Baik melalui desakan secara tertulis maupun melalui unjuk rasa yang ditujukan kepada pemerintah maupun PT, TPL, namun tidak diperdulikan. (lebih jelasnya turut kami lampirkan surat Bupati Samosir yang ditujukan kepada Menteri Kehutanan RI)
Perlu kami jelaskan, secara umum typologi kabupaten samosir adalah bergelombang, berbukit dan miring sampai terjal, hanya 8 % dari luas wilayah yang datar (kemiringan 00 - 20) dan semuanya terletak pada dataran tinggi (antara 800 – 1.800 meter dpl). Dan Kabupaten Samosir tersebar di dua daratan, yaitu daratan Sumatera dan daratan pulau samosir yang dikelilingi danau toba.
Sekali lagi kami tegaskan, khusus untuk wilayah Kabupaten Samosir yang berada didaratan Sumatera, bahwa kelestarian hutan register 41 Hutagalung yang didalamnya terdapat hutan lindung Sitongi-tonggi dan hutan lindung lainnya sangat vital bagi keselamatan manusia, Spesies dan ekosistem danau toba, mengingat hutan tersebut berada diperbukitan yang dibawahnya tersebar perkampungan masyarakat kecamatan Sitio-tio, Harian dan Sianjur Mula-Mula.
Dari penjelasan singkat di atas, kami dari lintas partai politik Kabupaten Samosir menuntut dan mendesak instansi terkait dan perusahan PT. Toba Pulp Lestari, Tbk :
- Menghentikan Aktivitas PT TPL di Hutan Lindung Sitonggi-tonggi Register 41 Hutagalung dan di DTA Danau Toba sekarang juga, dan untuk Selama-lamanya !
- Menutup PT TPL di bumi Samosir sekarang juga dan untuk selama-lamanya !
- Mengusut tuntas alih fungsi hutan lindung sitonggi-tonggi menjadi HPHTI PT TPL !
terima kasih.
Tuesday, October 21, 2008
BPN, TST Pemkab Labuhanbatu dan Masyarakat KTPH-S Lakukan Peninjauan Lapangan
Rantauprapat, 21 Oktober 2008 oleh Maulana Syafi’i*)
LABUHANBATU, METRO.
Menindaklanjuti notulen hasil rapat antara Pemkab Labuhanbatu bersama keempat Kelompok Tani yang menggelar aksi unjuk rasa beberapa waktu lalu dengan menduduki kantor Bupati Labuhanbatu, Tim Sengketa Tanah (TST) Pemkab Labuhanbatu beserta instansi terkait bersama BPN Labuhanbatu dan masyarakat Kelompok Tani Padang Halaban Sekitarnya (KTPHS) melakukan peninjauan ke areal Perkebunan Kelapa Sawit milik PT.Smart Tbk Padang Halaban, Kecamatan Aek Kuo, Kabupaten Labuhanbatu, yang bersengketa dengan tanah masyarakat Selasa (21/10).
Tim rombongan peninjau lapangan yang dipimpin oleh Kasie Agraria Rudi Zulkarnain dan Kasie V BPN Labuhanbatu Sujono bersama masyarakat, memulai peninjauan lapangan tepat pada pukul 10.15 wib dimulai dari Blok I areal bekas desa/perkampungan masyarakat di Dusun Sidomukti Desa Sukadame Panigoran dengan menggunakan alat GPS (Global Positioning System) untuk mencari titik koordinat permasalahan di dalam areal HGU.
Selanjutnya tim peninjau didampingi saksi sejarah yang juga mantan mandor ukur Perkebunan Padang Halaban di masa perusahaan PT. Plantagen AG Kasiman (73), menuju Blok II Bekas Dusun Sidomukti Desa Sukadame Panigoran. Bukti yang meyakinkan bagi tim peninjau bahwa dulunya di areal tersebut adalah perkampungan masyarakat dilihat dengan banyaknya makam tua yang terdapat di areal ini, ada sekitar 60-an makam di areal tanah datar dan sekitar sebelas makam di areal tanah perbukitan. Makam tertua yang terdapat di areal Blok II ini diperkirakan sudah ada sejak tahun 1942, kata Kasiman.
Usai meninjau areal Blok II, selanjutnya rombongan menuju Blok III di areal Bekas Desa Sukadame Panigoran, Desa Karang Anyar dan Desa Sidomulyo. Di areal Blok III bukti berupa kuburan/pemakaman masyarakat dan juga bukti sumur-sumur tua dapat dilihat dengan jelas sekali. Bagaimana kondisi dan situasi telah maju dan berkembangannya masyarakat di tiga desa ini di masa lalu dapat dilihat dengan banyaknya kuburan tua dan sumur tua yang terletak persis di tengah-tengah areal PT. Smart Tbk Padang Halaban saat ini.
Disamping areal yang masih basah/becek dikarenakan hujan turun di malam sebelumnya, kondisi yang menghambat kalancaran pelaksanan peninjauan ke lapangan dikarenakan telah dirubahnya posisi/letak jalan perkampungan di masa lalu dengan kondisi jalan blok tanamana milik perusahaan milik BII group ini saat ini, demikian Kasiman mengeluhkan tentang kondisi medan yang cukup sulit.
Karena cukup lelah dalam menelusuri jejak sejarah dan bukti-bukti di masa lampau, juga dikarenakan banyaknya areal bekas desa/perkampungan yang digusur perkebunan padang halaban di tahun 1969/1970 dan posisi letaknya yang terpisah satu sama lain, menyebabkan peninjauan lapangan tidak dapat diselesaikan hari itu juga. Namun, baik BPN Labuhanbatu maupun TST Pemkab Labuhanbatu akan segera membuat laporan tentang kegiatan peninjauan yang berakhir sekira pukul 16.00 wib itu kepada pimpinannya masing-masing untuk penambahan bukti-bukti dan data dalam menunjang terlaksana proses penyelesaian konflik agraria di daerah ini secara singkat dan cepat, demikian dikatakan Sujono kepada ratusan masyarakat yang turut hadir menyaksikan peninjauan lapangan tersebut.
“Dari sebanyak sembilan desa yang telah digusur dan yang telah selesai dilakukan peninjauan lapangan, baru sebanyak tiga desa yang selesai dikerjakan masing-masing di lokasi bekas Dusun Sidomukti Desa Sukadame Panigoran, Desa Karang Anyar dan Desa Sidomulyo, ketiga desa ini posisinya sekarang berada dalam wilayah Kecamatan Aek Kuo. Namun dari sample peninjauan ke lapangan dari ketiga desa ini sudah didapatkan kondisi yang bisa dikatakan serupa dengan kondisi desa-desa yang lainnya”, kata Sujono.
Namun demikian, untuk menambahkan informasi tentang kondisi di bekas desa masing-masing saat ini, seyogyanya masyarakat KTPHS dapat memberikan photo-photo tentang bukti-bukti yang masih tertinggal di areal bekas desa yang telah digusur seperti bukti photo kuburan, sumur atau bukti lainnya dinilai dapat mendukung data-data masyarakat.
Usai melakukan peninjauan, baik masyarakat maupun tim peninjau sepakat akan terus berkoordinasi dengan Pemkab Labuhanbatu dalam upaya penyelesaian sengketa tanah dengan perusahaan. Kesepakatan dicapai setelah tim rombongan berjanji kepada masyarakat akan membuat berita acara peninjauan hari itu yang ditanda tangani masing-masing pihak sebagai data yuridis sesegera mungkin.
Sementara masyarakat menunggu realisasi dari janji tim peninjau yang akan segera menyelesaikan laporan hasi peninjauan ke lapangan, mereka juga tengah mempersiapkan kekuatan massanya. Manakala tim peninjau mengingkari janji tersebut massa petani akan siap untuk melakukan aksi pendudukan lahan sebagai bentuk protes sekaligus desakan kepada Pemkab Labuhanbatu agar segera menyelesaiakan konflik agraria yang sudah berkepanjangan dan puluhan tahun ini.
Adi Suwardi (55), salah seorang masyarakat petani kepada wartawan mengatakan, selama sepuluh tahun melakukan perjuangan penuntutan pengembalian lahan masyarakat yang digusur baru hari ini proses peninjauan lapangan bersama masyarakat di lakukan. Di satu sisi realitas ini akan membangkitkan semangat anggota masyarakat yang lainnya untuk mengobarkan perjuangan. Kendati ini merupakan sejarah bagi perjuangan KTPH-S selama satu dasawarsa terakhir, ini juga merupaka cemeti bagi Pemkab Labuhanbatu untuk lebih serius dan lebih cepat dalam melakukan upaya penyelesaian sengketa. Bila hal ini diabaikan begitu saja atau Pemkab Labuhanbatu tidak lebih serius dalam penangan masalah ini, maka disalahkan bila massa tani melakukan aksi pendudukan lahan.
Kegiatan peninjauan ke lapangan ini juga disaksikan oleh Sekcam Aek Kuo Drs. Adlin Sinaga dan Kapolpos Padang Halaban AIPTU. S. Silalahi. Namun sayangnya, Kepala Desa Panigoran Sofyan Pane yang diharapkan dapat turut serta mengikuti kegiatan peninjauan ke lapangan ini hingga usai peninjauan tidak juga menampakkan batang hidungnya. “Ini menunjukkan tidak aspiratifnya kepala desa panigoran kepada masyarakat”, demikian asumsi masyarakat yang berkembang.
*) adalah sekretaris KTPHS yang merupakan salah satu jaringan Komite Pimpinan pusat Serikat Tani Nasional di Kab. Labuhan Batu, Sumatera Utara. Uraian asal-usul sengketa dapat di klik pada Rilis Perjuangan Kelompok Tani Padahalaban - Sekitarnya.
LABUHANBATU, METRO.
Menindaklanjuti notulen hasil rapat antara Pemkab Labuhanbatu bersama keempat Kelompok Tani yang menggelar aksi unjuk rasa beberapa waktu lalu dengan menduduki kantor Bupati Labuhanbatu, Tim Sengketa Tanah (TST) Pemkab Labuhanbatu beserta instansi terkait bersama BPN Labuhanbatu dan masyarakat Kelompok Tani Padang Halaban Sekitarnya (KTPHS) melakukan peninjauan ke areal Perkebunan Kelapa Sawit milik PT.Smart Tbk Padang Halaban, Kecamatan Aek Kuo, Kabupaten Labuhanbatu, yang bersengketa dengan tanah masyarakat Selasa (21/10).
Tim rombongan peninjau lapangan yang dipimpin oleh Kasie Agraria Rudi Zulkarnain dan Kasie V BPN Labuhanbatu Sujono bersama masyarakat, memulai peninjauan lapangan tepat pada pukul 10.15 wib dimulai dari Blok I areal bekas desa/perkampungan masyarakat di Dusun Sidomukti Desa Sukadame Panigoran dengan menggunakan alat GPS (Global Positioning System) untuk mencari titik koordinat permasalahan di dalam areal HGU.
Selanjutnya tim peninjau didampingi saksi sejarah yang juga mantan mandor ukur Perkebunan Padang Halaban di masa perusahaan PT. Plantagen AG Kasiman (73), menuju Blok II Bekas Dusun Sidomukti Desa Sukadame Panigoran. Bukti yang meyakinkan bagi tim peninjau bahwa dulunya di areal tersebut adalah perkampungan masyarakat dilihat dengan banyaknya makam tua yang terdapat di areal ini, ada sekitar 60-an makam di areal tanah datar dan sekitar sebelas makam di areal tanah perbukitan. Makam tertua yang terdapat di areal Blok II ini diperkirakan sudah ada sejak tahun 1942, kata Kasiman.
Usai meninjau areal Blok II, selanjutnya rombongan menuju Blok III di areal Bekas Desa Sukadame Panigoran, Desa Karang Anyar dan Desa Sidomulyo. Di areal Blok III bukti berupa kuburan/pemakaman masyarakat dan juga bukti sumur-sumur tua dapat dilihat dengan jelas sekali. Bagaimana kondisi dan situasi telah maju dan berkembangannya masyarakat di tiga desa ini di masa lalu dapat dilihat dengan banyaknya kuburan tua dan sumur tua yang terletak persis di tengah-tengah areal PT. Smart Tbk Padang Halaban saat ini.
Disamping areal yang masih basah/becek dikarenakan hujan turun di malam sebelumnya, kondisi yang menghambat kalancaran pelaksanan peninjauan ke lapangan dikarenakan telah dirubahnya posisi/letak jalan perkampungan di masa lalu dengan kondisi jalan blok tanamana milik perusahaan milik BII group ini saat ini, demikian Kasiman mengeluhkan tentang kondisi medan yang cukup sulit.
Karena cukup lelah dalam menelusuri jejak sejarah dan bukti-bukti di masa lampau, juga dikarenakan banyaknya areal bekas desa/perkampungan yang digusur perkebunan padang halaban di tahun 1969/1970 dan posisi letaknya yang terpisah satu sama lain, menyebabkan peninjauan lapangan tidak dapat diselesaikan hari itu juga. Namun, baik BPN Labuhanbatu maupun TST Pemkab Labuhanbatu akan segera membuat laporan tentang kegiatan peninjauan yang berakhir sekira pukul 16.00 wib itu kepada pimpinannya masing-masing untuk penambahan bukti-bukti dan data dalam menunjang terlaksana proses penyelesaian konflik agraria di daerah ini secara singkat dan cepat, demikian dikatakan Sujono kepada ratusan masyarakat yang turut hadir menyaksikan peninjauan lapangan tersebut.
“Dari sebanyak sembilan desa yang telah digusur dan yang telah selesai dilakukan peninjauan lapangan, baru sebanyak tiga desa yang selesai dikerjakan masing-masing di lokasi bekas Dusun Sidomukti Desa Sukadame Panigoran, Desa Karang Anyar dan Desa Sidomulyo, ketiga desa ini posisinya sekarang berada dalam wilayah Kecamatan Aek Kuo. Namun dari sample peninjauan ke lapangan dari ketiga desa ini sudah didapatkan kondisi yang bisa dikatakan serupa dengan kondisi desa-desa yang lainnya”, kata Sujono.
Namun demikian, untuk menambahkan informasi tentang kondisi di bekas desa masing-masing saat ini, seyogyanya masyarakat KTPHS dapat memberikan photo-photo tentang bukti-bukti yang masih tertinggal di areal bekas desa yang telah digusur seperti bukti photo kuburan, sumur atau bukti lainnya dinilai dapat mendukung data-data masyarakat.
Usai melakukan peninjauan, baik masyarakat maupun tim peninjau sepakat akan terus berkoordinasi dengan Pemkab Labuhanbatu dalam upaya penyelesaian sengketa tanah dengan perusahaan. Kesepakatan dicapai setelah tim rombongan berjanji kepada masyarakat akan membuat berita acara peninjauan hari itu yang ditanda tangani masing-masing pihak sebagai data yuridis sesegera mungkin.
Sementara masyarakat menunggu realisasi dari janji tim peninjau yang akan segera menyelesaikan laporan hasi peninjauan ke lapangan, mereka juga tengah mempersiapkan kekuatan massanya. Manakala tim peninjau mengingkari janji tersebut massa petani akan siap untuk melakukan aksi pendudukan lahan sebagai bentuk protes sekaligus desakan kepada Pemkab Labuhanbatu agar segera menyelesaiakan konflik agraria yang sudah berkepanjangan dan puluhan tahun ini.
Adi Suwardi (55), salah seorang masyarakat petani kepada wartawan mengatakan, selama sepuluh tahun melakukan perjuangan penuntutan pengembalian lahan masyarakat yang digusur baru hari ini proses peninjauan lapangan bersama masyarakat di lakukan. Di satu sisi realitas ini akan membangkitkan semangat anggota masyarakat yang lainnya untuk mengobarkan perjuangan. Kendati ini merupakan sejarah bagi perjuangan KTPH-S selama satu dasawarsa terakhir, ini juga merupaka cemeti bagi Pemkab Labuhanbatu untuk lebih serius dan lebih cepat dalam melakukan upaya penyelesaian sengketa. Bila hal ini diabaikan begitu saja atau Pemkab Labuhanbatu tidak lebih serius dalam penangan masalah ini, maka disalahkan bila massa tani melakukan aksi pendudukan lahan.
Kegiatan peninjauan ke lapangan ini juga disaksikan oleh Sekcam Aek Kuo Drs. Adlin Sinaga dan Kapolpos Padang Halaban AIPTU. S. Silalahi. Namun sayangnya, Kepala Desa Panigoran Sofyan Pane yang diharapkan dapat turut serta mengikuti kegiatan peninjauan ke lapangan ini hingga usai peninjauan tidak juga menampakkan batang hidungnya. “Ini menunjukkan tidak aspiratifnya kepala desa panigoran kepada masyarakat”, demikian asumsi masyarakat yang berkembang.
*) adalah sekretaris KTPHS yang merupakan salah satu jaringan Komite Pimpinan pusat Serikat Tani Nasional di Kab. Labuhan Batu, Sumatera Utara. Uraian asal-usul sengketa dapat di klik pada Rilis Perjuangan Kelompok Tani Padahalaban - Sekitarnya.
Saturday, October 18, 2008
Maju Terus Gerakan Massa Tani KTB, KTTM, KTM dan KTPHS
JAKARTA. STN, Komite Pimpinan Pusat Serikat Tani Nasional yang dipimpin Donny Pradana WR dan Isti Komah, S, Fil menyatakan apresiasi yang setinggi-tingginya atas aksi massa tani di pelataran halaman Pemkab Labuhan Batu, Sumut sejak 13 - 15 Oktober 2008.
Militansi anggota Kelompok Tani Bersatu, Kelompok Tani Tiga Maju, Kelompok Tani Mentari dan Kelompok Tani Padang Halaban dan Sekitarnya patut menjadi cermin kegigihan perjuangan reform sosial ekonomi mendesak kaum tani. Karena tanah adalah kehidupan mereka.
Berani berjuang, berani menang!
---
Ratusan Massa Rakyat Miskin “Serbu” Kantor DPRD dan Bupati Labuhanbatu
Labuhanbatu (SIB)
Ratusan massa rakyat miskin “menyerbu” kantor DPRD dan kantor Bupati Labuhanbatu, Senin (13/10). Massa petani miskin ini menuntut Pemkab melaksanakan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) Nomor 5 tahun 1960 secara murni dan konsekwen serta untuk mengembalikan tanah rakyat sesuai dengan amanat UUD 1945.
Massa yang menamakan dirinya dari Serikat Tani Nasional Politik Rakyat Miskin (STN PRM) Labuhanbatu terdiri dari sedikitnya 4 kelompok tani (Poktan), yakni Kelompok Tani Bersatu (KTB), Kelompok Tani Tiga Maju (KTTM), Kelompok Tani Padang Halaban dan Kelompok Tani Mentari (KTM) serta turut bersolidaritas ...
Lebih lanjut, klik judul di atas.
---
Ribuan rakyat miskin serbu kantor DPRD dan Bupati Labuhanbatu
Wednesday, 15 October 2008 11:27 WIB
WASPADA ONLINE
RANTAUPRAPAT - Ribuan rakyat miskin "menyerbu" kantor DPRD dan kantor Bupati L. Batu, Senin (13/10). Massa petani miskin ini menuntut Pemkab melaksanakan Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) No. 5 tahun 1960 secara murni dan konsekuen serta untuk mengembalikan tanah rakyat sesuai dengan amanat UUD 1945.
Kelompok massa yang menggunakan ikat kepala kain merah bertuliskan STN-PRM bergerak dari Lapangan Ika Bina Jalan MT. Thamrin menuju kantor DPRD dan kantor Bupati L . Batu di Jalan Sisingamangaraja Rantauprapat sekira 10 km. Mereka menumpang truk, angkot dan sepedamotor. Barisan para petani ini sempat membuat macat arus lalu lintas Jalan Lintas Sumatera (Jalinsum) Rantauprapat-Aeknabara, apalagi di dekat pusat-pusat keramaian.
Lebih lanjut, klik judul di atas.
---
Ratusan Pendemo Nginap dan Ancam Boikot Pemkab dan Pemilu 2009 Jika Tuntutan Tak Dipenuhi
Rantauprapat (SIB)
Ratusan masyarakat miskin akhirnya menginap di halaman kantor Bupati Labuhanbatu di Jalan Sisingamangaraja Rantauprapat karena tuntutan massa yang tergabung dalam Serikat Tani Nasional Politik Rakyat Miskin (STN-PRM) itu, mengembalikan tanah rakyat, tidak dapat sipenuhi Pemkab Labuhanbatu.
Pengunjukrasa juga mengancam akan menyegel seluruh instansi Pemkab memboikot pemilihan mum calon legislatif 2009 di daerah itu dan terus menginap di halaman kantor bupati, jika tuntutan mereka tidak dipenuhi sesegera mungkin oleh Pemkab.
Lebih lanjut, klik judul di atas.
---
Ratusan warga miskin menginap di halaman kantor Bupati
Thursday, 16 October 2008 10:10 WIB
WASPADA ONLINE
RANTAUPRAPAT - Ratusan masyarakat miskin hingga Rabu (15/10) masih menginap di halaman kantor Bupati Labuhanbatu di Jalan Sisingamangaraja, Rantauprapat. Hal itu dilakukan karena tuntutan massa yang tergabung dalam Serikat Tani Nasional Politik Rakyat Miskin (STN-PRM) itu, mengembalikan tanah rakyat, tidak dapat dipenuhi.
Pengunjukrasa juga mengancam akan menyegel seluruh instansi Pemkab, memboikot pemilihan umum calon legislatif 2009 di daerah itu dan terus menginap di halaman kantor bupati, jika tuntutan mereka tidak dipenuhi.
Lebih lanjut, klik judul di atas.
---
Notulen Diterima, Massa Petani Miskin Bubar dari Kantor Bupati Labuhanbatu
Rantauprapat (SIB)
Aksi demo di hari kedua, semula pihak Pemkab Labuhanbatu telah mengeluarkan notulen hasil rapat antara delegasi petani dengan pihak Pemkab dan pihak BPN yang dilakukan sehari sebelumnya di ruang rapat kantor bupati. Namun, salinan notulen itu akhirnya dikembalikan ke pihak jajaran Setdakab. Alasannya, terdapat beberapa point dalam notulen rapat penyusunan mekanisme awal proses penyelesaian sengketa tanah 4 kelompok tani dengan pihak perusahaan perkebunan yang ada di Labuhanbatu.
Akhirnya, karena perwakilan menilai hasilnya tidak sesuai keinginan massa, notulen dikembalikan, tanpa dibubuhi tandatangan dan stempel pejabat Pemkab. Selain itu, beberapa point penting dianggap kabur.
Lebih lanjut, klik judul di atas.
---
Militansi anggota Kelompok Tani Bersatu, Kelompok Tani Tiga Maju, Kelompok Tani Mentari dan Kelompok Tani Padang Halaban dan Sekitarnya patut menjadi cermin kegigihan perjuangan reform sosial ekonomi mendesak kaum tani. Karena tanah adalah kehidupan mereka.
Berani berjuang, berani menang!
---
Ratusan Massa Rakyat Miskin “Serbu” Kantor DPRD dan Bupati Labuhanbatu
Labuhanbatu (SIB)
Ratusan massa rakyat miskin “menyerbu” kantor DPRD dan kantor Bupati Labuhanbatu, Senin (13/10). Massa petani miskin ini menuntut Pemkab melaksanakan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) Nomor 5 tahun 1960 secara murni dan konsekwen serta untuk mengembalikan tanah rakyat sesuai dengan amanat UUD 1945.
Massa yang menamakan dirinya dari Serikat Tani Nasional Politik Rakyat Miskin (STN PRM) Labuhanbatu terdiri dari sedikitnya 4 kelompok tani (Poktan), yakni Kelompok Tani Bersatu (KTB), Kelompok Tani Tiga Maju (KTTM), Kelompok Tani Padang Halaban dan Kelompok Tani Mentari (KTM) serta turut bersolidaritas ...
Lebih lanjut, klik judul di atas.
---
Ribuan rakyat miskin serbu kantor DPRD dan Bupati Labuhanbatu
Wednesday, 15 October 2008 11:27 WIB
WASPADA ONLINE
RANTAUPRAPAT - Ribuan rakyat miskin "menyerbu" kantor DPRD dan kantor Bupati L. Batu, Senin (13/10). Massa petani miskin ini menuntut Pemkab melaksanakan Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) No. 5 tahun 1960 secara murni dan konsekuen serta untuk mengembalikan tanah rakyat sesuai dengan amanat UUD 1945.
Kelompok massa yang menggunakan ikat kepala kain merah bertuliskan STN-PRM bergerak dari Lapangan Ika Bina Jalan MT. Thamrin menuju kantor DPRD dan kantor Bupati L . Batu di Jalan Sisingamangaraja Rantauprapat sekira 10 km. Mereka menumpang truk, angkot dan sepedamotor. Barisan para petani ini sempat membuat macat arus lalu lintas Jalan Lintas Sumatera (Jalinsum) Rantauprapat-Aeknabara, apalagi di dekat pusat-pusat keramaian.
Lebih lanjut, klik judul di atas.
---
Ratusan Pendemo Nginap dan Ancam Boikot Pemkab dan Pemilu 2009 Jika Tuntutan Tak Dipenuhi
Rantauprapat (SIB)
Ratusan masyarakat miskin akhirnya menginap di halaman kantor Bupati Labuhanbatu di Jalan Sisingamangaraja Rantauprapat karena tuntutan massa yang tergabung dalam Serikat Tani Nasional Politik Rakyat Miskin (STN-PRM) itu, mengembalikan tanah rakyat, tidak dapat sipenuhi Pemkab Labuhanbatu.
Pengunjukrasa juga mengancam akan menyegel seluruh instansi Pemkab memboikot pemilihan mum calon legislatif 2009 di daerah itu dan terus menginap di halaman kantor bupati, jika tuntutan mereka tidak dipenuhi sesegera mungkin oleh Pemkab.
Lebih lanjut, klik judul di atas.
---
Ratusan warga miskin menginap di halaman kantor Bupati
Thursday, 16 October 2008 10:10 WIB
WASPADA ONLINE
RANTAUPRAPAT - Ratusan masyarakat miskin hingga Rabu (15/10) masih menginap di halaman kantor Bupati Labuhanbatu di Jalan Sisingamangaraja, Rantauprapat. Hal itu dilakukan karena tuntutan massa yang tergabung dalam Serikat Tani Nasional Politik Rakyat Miskin (STN-PRM) itu, mengembalikan tanah rakyat, tidak dapat dipenuhi.
Pengunjukrasa juga mengancam akan menyegel seluruh instansi Pemkab, memboikot pemilihan umum calon legislatif 2009 di daerah itu dan terus menginap di halaman kantor bupati, jika tuntutan mereka tidak dipenuhi.
Lebih lanjut, klik judul di atas.
---
Notulen Diterima, Massa Petani Miskin Bubar dari Kantor Bupati Labuhanbatu
Rantauprapat (SIB)
Aksi demo di hari kedua, semula pihak Pemkab Labuhanbatu telah mengeluarkan notulen hasil rapat antara delegasi petani dengan pihak Pemkab dan pihak BPN yang dilakukan sehari sebelumnya di ruang rapat kantor bupati. Namun, salinan notulen itu akhirnya dikembalikan ke pihak jajaran Setdakab. Alasannya, terdapat beberapa point dalam notulen rapat penyusunan mekanisme awal proses penyelesaian sengketa tanah 4 kelompok tani dengan pihak perusahaan perkebunan yang ada di Labuhanbatu.
Akhirnya, karena perwakilan menilai hasilnya tidak sesuai keinginan massa, notulen dikembalikan, tanpa dibubuhi tandatangan dan stempel pejabat Pemkab. Selain itu, beberapa point penting dianggap kabur.
Lebih lanjut, klik judul di atas.
---
Tuesday, September 30, 2008
Suku Anak Dalam : PT. Asiatic Persada [WILMAR Grup] Berdiri Di Atas Tanah Kami
KETERANGAN gambar. Wilayah klaim tanah adat Suku Anak Dalam Kubu Bahar telah di-digitalisasi dan ditempelkan di atas peta kerja PT. Asiatic Persada oleh LSM Setara Jambi dan Yaasan Masyarakat Adat Kubu.
-----
SUNGAI BAHAR, BATANGHARI. Orik [55] adalah satu dari sekian ribu anggota Suku Anak Dalam Kubu Bahar [SAD] yang geram dengan sikap pemerintah. “Tanah adat desa lama kami diserobot perusahaan. Kami diusir. Tahun lalu BPN [Badan Pertanahan Nasional – Red] sudah turun ke lapangan. Mereka akui tanah kami masuk HGU, tapi mengapa sampai sekarang belum dikembalikan pada kami?” tanyanya.
Orik termasuk satu dari sedikit anggota SAD yang masih berani mendirikan gubuk dan pekarangannya di areal kebun PT. AP. Meskipun sering ditajut-takuti oleh aparat keamanan tapi Orik dan kawan-kawan tidak mundur. Karena gubuk yang dia dirikan terletak di atas tanah adat. Tanah adat desa lama tersebut terdiri dari tiga wilayah administrasi yang sering disebut sebagai Desa Padang Salak, Desa Pinang Tinggi dan Desa Tanah Menang.
Sementara HGU yang dimaksud Orik adalah hak guna usaha yang dimiliki PT. Asiatic Persada [PT. AP], salah satu perusahaan perkebunan kelapa sawit yang menginduk pada WILMAR Group Malaysia. Awalnya HGU tersebut diberikan pemerintah kepada PT. Bangun Desa Utama di tahun 1987. Namun di tahun 1992 telah terjadi pengalihan kepemilikan kepada PT. AP.
BPN Jambi memang telah melakukan penelitian lapangan pada 19-25 Juli 2007 yang lalu. Penelitian tersebut berdasarkan surat Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia bernomor 2027 – 610.3 – DV.1 tentang ‘Percepatan penyelesaian konflik tanah masyarakat adat orang Kubu yang terletak di tiga desa yaitu Desa Padang Salak, Desa Pinang Tinggi dan Desa Tanah Menang Kec. Sungai Bahar Kab. Batang Hari Propinsi Jambi’ tertanggal 28 Juni 2007.
“Surat tersebut dikeluarkan karena desakan perjuangan massa SAD di Jambi sejak 1987,” kata Donny Pradana WR dari Komite Pimpinan Pusat Serikat Tani Nasional [KPP STN]. Bersama LSM Setara Jambi, KPP STN bergiat aktif mendukung perjuangan massa SAD sejak pertengahan 2006. “Kamipun telah menyampaikan protes pada pimpinan WILMAR Group di Malaysia untuk memperhatikan permasalahan ini sebagai salah satu tanggung jawabnya dalam forum RSPO [Roundtable Sustainable Palm Oil]” ujar Rukaiyah Rofiq Direktur Setara Jambi.menambahkan.
Hasil Penelitian
Bastian Helmi NIP 010150365 dan Samson NIP 010152046 dari BPN Jambi diserahi tanggung jawab sebagai pelaksana penelitian. Kegiatan mereka dilaporkan dalam dokumen berjudul Laporan Hasil Penelitian Konflik Tanah Masyarakat Adat Orang Kubu Kelompok Padang Salak, Pinang Tinggi dan Tanah Menang Kecamatan Sungai Bahar Kabupaten Muaro Jambi Propinsi Jambi berikut dengan peta.
Mengutip salah satu hal penting yang termuat dalam laporan itu adalah ‘tanah masyarakat dat kubu tiga kelompok Padang Salak, Pinang Tinggi dan Tanah Menang di lapangannya adalah areal yang terletak diantara Sungi Merkanding, Sungi Temidai, Sungai bahar dan Sungai Samiyo dan seluruhnya masuk dalam HGU dimaksud dan terletak dalam wilayah Desa Merkanding Kecamatan Sungai bahar Kabupaten Muaro Jambi dan Desa Bungku Kecamatan Bajubang Kabupaten Batanghari’.
Namun dalam dokumen yang sama, Bastian dan Helmi justru menyetujui rencana PT. AP yang bermaksud memberikan 1000 hektar areal di luar HGU yang dimilikya kepada SAD melalui pola kemitraan/plasma sebagai jalan keluar penyelesaian konflik. “Kami menolak keras. Masayarakat kami hanya ingin tanah adat kembali!” tegas Orik yang juga kepala desa lama Padang Salak. Pendapat Orik juga didukung oleh Abas [41] kepala desa lama Tanah Medang dan Nurman [45] kepala desa lama Pinang TInggi.
Padahal, 1000 hektar areal yang akan diberikan oleh PT. AP tersebut adalah areal perkebunan PT. Maju Perkasa Sawit yang terlantar dan telah digarap oleh masyarakat dari Desa Bungku. “Kalau kita terima tawaran itu, sama saja dengan mengadu domba SAD dengan orang Desa Bungku,” sergah Husein Aroni [60], ketua adat SAD dan Asnawi [65], ketua Yayasan Masyarakat Adat Kubu hampir bersamaan.
Lain halnya tanggapan BPN Jambi. Menurut mereka dokumen tersebut bukanlah sikap resmi institusi. Masih diperlukan kajian lanjutan di bidang sosio-kultural SAD yang berkaitan dengan asal-usul komunitas tersebut.
Namun hingga menjelang artikel ini disusun, BPN Jambi tak kunjung menerbitkan laporan resmi hasil penelitian. Hal ini justru menjadikan SAD makin resah dan persoalan makin berlarut larut.
Pemetaan Partisipatif
Guna memantapkan klaim adapt atas tanah SAD yang diserobot PT. ATP, LSM Setara Jambi bekerjasama dengan Yayasan Masyarakat Adat Kubu mengadakan pemetaan di lapangan pada Juli 2008. “Data dan informasi lapangan kami digitalisasi. Agar batas-batasnya akurat dan dapat diukur luasannya,” ujar Ade, aktifis LSM Setara Jambi.
Husein Aroni menambahkan bahwa SAD bermaksud mendesak juga pada Gubernur Jambi dan para bupati dimana PT. AP beroperasi agar turut mendukung penyelesaian konflik. “Karena pemerintahan propinsi juga harus bertanggung jawab terhadap masalah yang menimpa kami,” tandasnya.
Mewakili SAD, Husein Aroni menyatakan tiga tuntutannya yakni; pertama, segera publikasikan berita acara resmi hasil penelitian BPN Propinsi Jambi; kedua, segera kembalikan lahan tanah dusun hak milik dalam waktu singkat disertai dengan surat kesepakatan bersama demi kekuatan hukum; ketiga, apabila lahan tanah tidak segera dikembalikan secara resmi melalui fasilitasi pemerintah, maka SAD akan mengambil alih sepihak karena semua proses damai telah dilalui dengan sabar.
-----
SUNGAI BAHAR, BATANGHARI. Orik [55] adalah satu dari sekian ribu anggota Suku Anak Dalam Kubu Bahar [SAD] yang geram dengan sikap pemerintah. “Tanah adat desa lama kami diserobot perusahaan. Kami diusir. Tahun lalu BPN [Badan Pertanahan Nasional – Red] sudah turun ke lapangan. Mereka akui tanah kami masuk HGU, tapi mengapa sampai sekarang belum dikembalikan pada kami?” tanyanya.
Orik termasuk satu dari sedikit anggota SAD yang masih berani mendirikan gubuk dan pekarangannya di areal kebun PT. AP. Meskipun sering ditajut-takuti oleh aparat keamanan tapi Orik dan kawan-kawan tidak mundur. Karena gubuk yang dia dirikan terletak di atas tanah adat. Tanah adat desa lama tersebut terdiri dari tiga wilayah administrasi yang sering disebut sebagai Desa Padang Salak, Desa Pinang Tinggi dan Desa Tanah Menang.
Sementara HGU yang dimaksud Orik adalah hak guna usaha yang dimiliki PT. Asiatic Persada [PT. AP], salah satu perusahaan perkebunan kelapa sawit yang menginduk pada WILMAR Group Malaysia. Awalnya HGU tersebut diberikan pemerintah kepada PT. Bangun Desa Utama di tahun 1987. Namun di tahun 1992 telah terjadi pengalihan kepemilikan kepada PT. AP.
BPN Jambi memang telah melakukan penelitian lapangan pada 19-25 Juli 2007 yang lalu. Penelitian tersebut berdasarkan surat Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia bernomor 2027 – 610.3 – DV.1 tentang ‘Percepatan penyelesaian konflik tanah masyarakat adat orang Kubu yang terletak di tiga desa yaitu Desa Padang Salak, Desa Pinang Tinggi dan Desa Tanah Menang Kec. Sungai Bahar Kab. Batang Hari Propinsi Jambi’ tertanggal 28 Juni 2007.
“Surat tersebut dikeluarkan karena desakan perjuangan massa SAD di Jambi sejak 1987,” kata Donny Pradana WR dari Komite Pimpinan Pusat Serikat Tani Nasional [KPP STN]. Bersama LSM Setara Jambi, KPP STN bergiat aktif mendukung perjuangan massa SAD sejak pertengahan 2006. “Kamipun telah menyampaikan protes pada pimpinan WILMAR Group di Malaysia untuk memperhatikan permasalahan ini sebagai salah satu tanggung jawabnya dalam forum RSPO [Roundtable Sustainable Palm Oil]” ujar Rukaiyah Rofiq Direktur Setara Jambi.menambahkan.
Hasil Penelitian
Bastian Helmi NIP 010150365 dan Samson NIP 010152046 dari BPN Jambi diserahi tanggung jawab sebagai pelaksana penelitian. Kegiatan mereka dilaporkan dalam dokumen berjudul Laporan Hasil Penelitian Konflik Tanah Masyarakat Adat Orang Kubu Kelompok Padang Salak, Pinang Tinggi dan Tanah Menang Kecamatan Sungai Bahar Kabupaten Muaro Jambi Propinsi Jambi berikut dengan peta.
Mengutip salah satu hal penting yang termuat dalam laporan itu adalah ‘tanah masyarakat dat kubu tiga kelompok Padang Salak, Pinang Tinggi dan Tanah Menang di lapangannya adalah areal yang terletak diantara Sungi Merkanding, Sungi Temidai, Sungai bahar dan Sungai Samiyo dan seluruhnya masuk dalam HGU dimaksud dan terletak dalam wilayah Desa Merkanding Kecamatan Sungai bahar Kabupaten Muaro Jambi dan Desa Bungku Kecamatan Bajubang Kabupaten Batanghari’.
Namun dalam dokumen yang sama, Bastian dan Helmi justru menyetujui rencana PT. AP yang bermaksud memberikan 1000 hektar areal di luar HGU yang dimilikya kepada SAD melalui pola kemitraan/plasma sebagai jalan keluar penyelesaian konflik. “Kami menolak keras. Masayarakat kami hanya ingin tanah adat kembali!” tegas Orik yang juga kepala desa lama Padang Salak. Pendapat Orik juga didukung oleh Abas [41] kepala desa lama Tanah Medang dan Nurman [45] kepala desa lama Pinang TInggi.
Padahal, 1000 hektar areal yang akan diberikan oleh PT. AP tersebut adalah areal perkebunan PT. Maju Perkasa Sawit yang terlantar dan telah digarap oleh masyarakat dari Desa Bungku. “Kalau kita terima tawaran itu, sama saja dengan mengadu domba SAD dengan orang Desa Bungku,” sergah Husein Aroni [60], ketua adat SAD dan Asnawi [65], ketua Yayasan Masyarakat Adat Kubu hampir bersamaan.
Lain halnya tanggapan BPN Jambi. Menurut mereka dokumen tersebut bukanlah sikap resmi institusi. Masih diperlukan kajian lanjutan di bidang sosio-kultural SAD yang berkaitan dengan asal-usul komunitas tersebut.
Namun hingga menjelang artikel ini disusun, BPN Jambi tak kunjung menerbitkan laporan resmi hasil penelitian. Hal ini justru menjadikan SAD makin resah dan persoalan makin berlarut larut.
Pemetaan Partisipatif
Guna memantapkan klaim adapt atas tanah SAD yang diserobot PT. ATP, LSM Setara Jambi bekerjasama dengan Yayasan Masyarakat Adat Kubu mengadakan pemetaan di lapangan pada Juli 2008. “Data dan informasi lapangan kami digitalisasi. Agar batas-batasnya akurat dan dapat diukur luasannya,” ujar Ade, aktifis LSM Setara Jambi.
Husein Aroni menambahkan bahwa SAD bermaksud mendesak juga pada Gubernur Jambi dan para bupati dimana PT. AP beroperasi agar turut mendukung penyelesaian konflik. “Karena pemerintahan propinsi juga harus bertanggung jawab terhadap masalah yang menimpa kami,” tandasnya.
Mewakili SAD, Husein Aroni menyatakan tiga tuntutannya yakni; pertama, segera publikasikan berita acara resmi hasil penelitian BPN Propinsi Jambi; kedua, segera kembalikan lahan tanah dusun hak milik dalam waktu singkat disertai dengan surat kesepakatan bersama demi kekuatan hukum; ketiga, apabila lahan tanah tidak segera dikembalikan secara resmi melalui fasilitasi pemerintah, maka SAD akan mengambil alih sepihak karena semua proses damai telah dilalui dengan sabar.
Sunday, September 28, 2008
Forum Mediasi BPN Jateng Yang Berat Sebelah
FOTO Mbah Muhadi tengah bersiap menuju ladang di pagi hari. Ia adalah salah seorang petani penggarap tanah terlantar PT. Rumpun Sari Medini afdeling Kaligintung yang terletak di Desa Kemitir Kecamatan Sumowono Kabupaten Semarang, Jawa Tengah.
-----
SUMOWONO, SEMARANG. STN. Adalah Mbah Muhadi [71]. Jika hari menjelang pagi, ia telah bersiap-siap ke ladang dengan membawa pikulan berikut keranjang di kedua sisinya. Meskipun usianya tak lagi muda, ketangkasan dan kegigihan masih nampak di tubuh kecilnya. “Saya dulu ikut jadi pejuang rakyat,” jelasnya. Ia dan kawan-kawannya ada masa 1950-an dikenal sebagai aktifis pimpinan ranting salah satu organisasi pemuda militant. “Kami pernah ikut digerakkan untuk membangun GOR Senayan. Semua kami lakukan dengan sukarela dan senang hati,” ujarnya.
Hingga hari ini, Mbah Muhadi dan para petani Desa Kemitir Kec. Sumowono Kab. Semarang, Jawa Tengah tengah berjuang memperoleh kepastian hak atas tanah. Sejak sebelas tahun yang lalu, mereka menduduki dan memproduksi tanah di sebagian areal PT. Rumpun Sari Medini afdeling Kaligintung [RSM] yang terlantar. Dari 148 Ha konsesi usaha yang dimiliki kebun, tak lebih dari 15 hektar saja yang telah ditanami teh sejak ia beroperasi 1997 yang lalu. “Kami harus menggarap tanah tersebut untuk bertahan hidup. Empat hektar tanah Desa Kemitir tidak mungkin cukup menghidupi kami dan ratusan kepala keluarga lainnya,” terangnya.
Pertemuan Tiga Pihak
Kamis, 21 Agustus 2008, Mbah Muhadi dan para petani berunding dengan jajaran pimpinan PT. RSM dengan dijembatani oleh Kanwil BPN Jateng. Pertemuan yang diselenggarakan di kantor Camat Sumowono adalah usaha pertama perundingan tiga pihak untuk menemukan jalan keluar konflik.
Darmanto selaku kepala bidang sengketa pertanahan dan konflik agraria Kanwil BPN Jateng memimpin jalannya pertemuan. Hadir pula dalam kesempatan tersebut adalah Camat Sumowono, kepala desa Kemitir, direktur PT. RSM, kepala kantor pertanahan Kab. Temanggung serta jajaran pimpinan kantor pertanahan Kab. Semarang dan para petani.
Para petani mengemukakan tiga hal berkait dengan tuntutan mereka, yakni [1] petani berhak bebas menentukan jenis tanaman di kawasan garapan tanah terlantar PT. RSM; [2] pihak PT. RSM tidak diperkenankan menggangu tanaman milik petani; [3] Pihak BPN harus memproses sesuai ketentuan Undang Undang Pokok Agraria No. 5 tahun 1960 tentang penelantaran tanah dalam areal hak guna usaha [HGU].
Keinginan tersebut diperkuat oleh aspirasi Kepala Desa Kemitir Kec. Sumowono Kab. Semarang. Beliau menyatakan bahwa warganya, yang sebagian besar adalah anggota Serikat Tani Nasional ‘Setyo Manunggal’, diperkenankan terus menggarap tanah terlantar PT. RSM dan meminta BPN untuk meninjau ulang HGU PT. RSM dengan mempertimbangkan kondisi masyarakat di wilayah ini.
Namun PT. RSM bersikeras bahwa areal tersebut adalah kewenangannya berdasarkan HGU yang ada. Oleh karena itu, para petani penggarap harus bekerja sama dengan PT. RSM apabila tetap ingin menggarap di areal tersebut. “Bahkan Undang Undang Perkebunan No. 18 Tahun 2004 melarang siapa saja masuk dan menggarap di areal perkebunan. Barang siapa yang melanggar pasti dipidanakan,” ancam Tjuk Sugiarto, Direktur PT. RSM yang baru setahun menjabat kedudukannya.
Darmanto menyatakan bahwa PT. RSM telah mengakomodasi keinginan para petani untuk tetap dapat menggarap. “Ini hal yang positif” tandasnya. Oleh karena itu, ia dan jajaran yang hadir berpendapat agar petani menerima saja tawaran kerjasama dengan pihak PT. RSM. “Karena HGU PT. RSM masih berlaku,” terangnya. Sambil berkata demikian, Darmanto menydorkan surat perjanjian kerjasama dari PT. RSM agar segera ditandatangani para petani.
Kontan saja Mbah Muhadi dan para petani menolaknya. Apa pasal? Pertama, surat perjanjian tersebut secara sepihak disusun oleh PT. RSM dan mengabaikan keterlibatan petani. Kedua, keinginan PT. RSM dan tuntuan petani tidak bertemu secara substansi. Ketiga, BPN dinilai mengabaikan penilaian atas tanah terlantar yang menjadi objek konflik pertanahan dan cenderung memihak pada PT. RSM. Keempat, pengalaman pahit para penggarap bekerjasama dengan PT. RSM di masa lalu. Yang justru berbentuk pungutan-pungutan bagi hasil tanaman petani maupun mobilisasi para penggarap menjadi pemetik teh dengan upah yang sangat rendah.
Dengan demikian pertemua tiga pihak tidak menghasilkan perubahan yang membela Mbah Muhadi dan kawan-kawan. Apakah parapetani akan menunggu hingga HGU PT. RSM habis di tahun 2018? “Sejak sekarang kami tetap mempertahankan tanah yang telah digarap sambil mencari cara lain dalam perjuangan”, tegas Mbah Muhadi.
Donny Pradana WR dari Komite Pimpinan Pusat Serikat Tani Nasional manambahkan bahwa kanwil BPN Jateng dan Tim Penilai Tanah Terlantar patut menyampaikan temuan mereka kpeada para petani berkenaan dengan hasil penyelidikan 2006 yang lalu. "Jika terbukti ditemukan sejumlah bagian areal perkebunan yang ditelantarkan sejak PT. RSM menerima HGU tahun 1997 yang lalu, maka berdasar pasal 34 UUPA No. 5 1960 menyebutkan bahwa HGU hapus salah satunya karena ditelantarkan," tambahnya. Dan negara patut memberikan hak garap kepada petani tersebut.
Asal usul Konflik
Afdelling Kaligintung sejak zaman Belanda memang lokasi perkebunan dan bukan tanah rakyat. Takkala terjadi nasionalisasi atas asset bekas Belanda di masa presiden Soekarno pada masa 1950-an, kebun tersebut menjadi salah satu sasarannya. Dan kepengurusannya di serahkan pada tentara setempat, yang dikemudian hari dikenal sebagai Kodam IV Diponegoro. Selain kebun di afdelling Kaligintung yang secara administrative terletak di batas antara Kabupaten Semarang dan Kabupaten Temanggung, PT. RSM juga memiliki kebun di afdeling Medini Kab. Kendal.
“Kami menghimpun para petani penggarap tanah perkebunan PT. RSM dalam kelompok tani dan bergabung dengan Serikat Tani Nasional sejak tahun 2005,” urai Suryono [39], ketua kelompok tani penggarap Setyo Manunggal. Kelompok tani tersebut telah mennyelenggrakan serangkaian perjuangan massa dengan mobilisasi aksi mendesak pada pihak-pihak terkait.
Dan pada pertengahan 2006, Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Propinsi Jawa Tengah [Kanwil BPN Jateng] menyelenggarakan peninjauan lapangan. Bersama jajaran kantor pertanahan Kabupaten Semarang dan Kab Temanggung, Kanwil BPN Jateng membentuk Tim Penilai Tanah Terlantar yang bertujuan menginventarisasi tanah yang tidak dimanfaatkan oleh perkebunan. Tim tersebut menilai telah terjadi penelantaran tanah dan memberikan teguran pertama kepada PT. RSM, Teguran tersebut diberikan jangka waktu 18 bulan dan akan dinilai kembali pada Januari 2008.
Menganggapi teguran Kanwil BPN Jateng, pada semester kedua tahun 2007, PT RSK mulai melakukan perluasan tanaman teh seluas 4 ha. Perluasan tanam inilah yang menuai protes petani penggarap. “Bagaimana tidak protes kalau teh ditanam di sela-sela tanaman jagung milik kami?” kata Suryono dengan nada tajam.
Selasa, 04 Desember 2007 yang lalu, ratusan anggota kelompok tani kembali menyelenggarakan perjuangan massa dan menggerakkan anggota ke kantor pertanahan Kab. Semarang. Harian Suara Merdeka memuat liputannya dengan judul 'Ratusan Petani Geruduk Kantor BPN'.
Salah satu hasil aksi tersebut adalah upaya BPN untuk mengedepankan mediasi antara petani penggarap dan PT. RSM. Hal tersebut baru terlaksana Kamis, 21 Agustus 2008 yang lalu.
-----
SUMOWONO, SEMARANG. STN. Adalah Mbah Muhadi [71]. Jika hari menjelang pagi, ia telah bersiap-siap ke ladang dengan membawa pikulan berikut keranjang di kedua sisinya. Meskipun usianya tak lagi muda, ketangkasan dan kegigihan masih nampak di tubuh kecilnya. “Saya dulu ikut jadi pejuang rakyat,” jelasnya. Ia dan kawan-kawannya ada masa 1950-an dikenal sebagai aktifis pimpinan ranting salah satu organisasi pemuda militant. “Kami pernah ikut digerakkan untuk membangun GOR Senayan. Semua kami lakukan dengan sukarela dan senang hati,” ujarnya.
Hingga hari ini, Mbah Muhadi dan para petani Desa Kemitir Kec. Sumowono Kab. Semarang, Jawa Tengah tengah berjuang memperoleh kepastian hak atas tanah. Sejak sebelas tahun yang lalu, mereka menduduki dan memproduksi tanah di sebagian areal PT. Rumpun Sari Medini afdeling Kaligintung [RSM] yang terlantar. Dari 148 Ha konsesi usaha yang dimiliki kebun, tak lebih dari 15 hektar saja yang telah ditanami teh sejak ia beroperasi 1997 yang lalu. “Kami harus menggarap tanah tersebut untuk bertahan hidup. Empat hektar tanah Desa Kemitir tidak mungkin cukup menghidupi kami dan ratusan kepala keluarga lainnya,” terangnya.
Pertemuan Tiga Pihak
Kamis, 21 Agustus 2008, Mbah Muhadi dan para petani berunding dengan jajaran pimpinan PT. RSM dengan dijembatani oleh Kanwil BPN Jateng. Pertemuan yang diselenggarakan di kantor Camat Sumowono adalah usaha pertama perundingan tiga pihak untuk menemukan jalan keluar konflik.
Darmanto selaku kepala bidang sengketa pertanahan dan konflik agraria Kanwil BPN Jateng memimpin jalannya pertemuan. Hadir pula dalam kesempatan tersebut adalah Camat Sumowono, kepala desa Kemitir, direktur PT. RSM, kepala kantor pertanahan Kab. Temanggung serta jajaran pimpinan kantor pertanahan Kab. Semarang dan para petani.
Para petani mengemukakan tiga hal berkait dengan tuntutan mereka, yakni [1] petani berhak bebas menentukan jenis tanaman di kawasan garapan tanah terlantar PT. RSM; [2] pihak PT. RSM tidak diperkenankan menggangu tanaman milik petani; [3] Pihak BPN harus memproses sesuai ketentuan Undang Undang Pokok Agraria No. 5 tahun 1960 tentang penelantaran tanah dalam areal hak guna usaha [HGU].
Keinginan tersebut diperkuat oleh aspirasi Kepala Desa Kemitir Kec. Sumowono Kab. Semarang. Beliau menyatakan bahwa warganya, yang sebagian besar adalah anggota Serikat Tani Nasional ‘Setyo Manunggal’, diperkenankan terus menggarap tanah terlantar PT. RSM dan meminta BPN untuk meninjau ulang HGU PT. RSM dengan mempertimbangkan kondisi masyarakat di wilayah ini.
Namun PT. RSM bersikeras bahwa areal tersebut adalah kewenangannya berdasarkan HGU yang ada. Oleh karena itu, para petani penggarap harus bekerja sama dengan PT. RSM apabila tetap ingin menggarap di areal tersebut. “Bahkan Undang Undang Perkebunan No. 18 Tahun 2004 melarang siapa saja masuk dan menggarap di areal perkebunan. Barang siapa yang melanggar pasti dipidanakan,” ancam Tjuk Sugiarto, Direktur PT. RSM yang baru setahun menjabat kedudukannya.
Darmanto menyatakan bahwa PT. RSM telah mengakomodasi keinginan para petani untuk tetap dapat menggarap. “Ini hal yang positif” tandasnya. Oleh karena itu, ia dan jajaran yang hadir berpendapat agar petani menerima saja tawaran kerjasama dengan pihak PT. RSM. “Karena HGU PT. RSM masih berlaku,” terangnya. Sambil berkata demikian, Darmanto menydorkan surat perjanjian kerjasama dari PT. RSM agar segera ditandatangani para petani.
Kontan saja Mbah Muhadi dan para petani menolaknya. Apa pasal? Pertama, surat perjanjian tersebut secara sepihak disusun oleh PT. RSM dan mengabaikan keterlibatan petani. Kedua, keinginan PT. RSM dan tuntuan petani tidak bertemu secara substansi. Ketiga, BPN dinilai mengabaikan penilaian atas tanah terlantar yang menjadi objek konflik pertanahan dan cenderung memihak pada PT. RSM. Keempat, pengalaman pahit para penggarap bekerjasama dengan PT. RSM di masa lalu. Yang justru berbentuk pungutan-pungutan bagi hasil tanaman petani maupun mobilisasi para penggarap menjadi pemetik teh dengan upah yang sangat rendah.
Dengan demikian pertemua tiga pihak tidak menghasilkan perubahan yang membela Mbah Muhadi dan kawan-kawan. Apakah parapetani akan menunggu hingga HGU PT. RSM habis di tahun 2018? “Sejak sekarang kami tetap mempertahankan tanah yang telah digarap sambil mencari cara lain dalam perjuangan”, tegas Mbah Muhadi.
Donny Pradana WR dari Komite Pimpinan Pusat Serikat Tani Nasional manambahkan bahwa kanwil BPN Jateng dan Tim Penilai Tanah Terlantar patut menyampaikan temuan mereka kpeada para petani berkenaan dengan hasil penyelidikan 2006 yang lalu. "Jika terbukti ditemukan sejumlah bagian areal perkebunan yang ditelantarkan sejak PT. RSM menerima HGU tahun 1997 yang lalu, maka berdasar pasal 34 UUPA No. 5 1960 menyebutkan bahwa HGU hapus salah satunya karena ditelantarkan," tambahnya. Dan negara patut memberikan hak garap kepada petani tersebut.
Asal usul Konflik
Afdelling Kaligintung sejak zaman Belanda memang lokasi perkebunan dan bukan tanah rakyat. Takkala terjadi nasionalisasi atas asset bekas Belanda di masa presiden Soekarno pada masa 1950-an, kebun tersebut menjadi salah satu sasarannya. Dan kepengurusannya di serahkan pada tentara setempat, yang dikemudian hari dikenal sebagai Kodam IV Diponegoro. Selain kebun di afdelling Kaligintung yang secara administrative terletak di batas antara Kabupaten Semarang dan Kabupaten Temanggung, PT. RSM juga memiliki kebun di afdeling Medini Kab. Kendal.
“Kami menghimpun para petani penggarap tanah perkebunan PT. RSM dalam kelompok tani dan bergabung dengan Serikat Tani Nasional sejak tahun 2005,” urai Suryono [39], ketua kelompok tani penggarap Setyo Manunggal. Kelompok tani tersebut telah mennyelenggrakan serangkaian perjuangan massa dengan mobilisasi aksi mendesak pada pihak-pihak terkait.
Dan pada pertengahan 2006, Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Propinsi Jawa Tengah [Kanwil BPN Jateng] menyelenggarakan peninjauan lapangan. Bersama jajaran kantor pertanahan Kabupaten Semarang dan Kab Temanggung, Kanwil BPN Jateng membentuk Tim Penilai Tanah Terlantar yang bertujuan menginventarisasi tanah yang tidak dimanfaatkan oleh perkebunan. Tim tersebut menilai telah terjadi penelantaran tanah dan memberikan teguran pertama kepada PT. RSM, Teguran tersebut diberikan jangka waktu 18 bulan dan akan dinilai kembali pada Januari 2008.
Menganggapi teguran Kanwil BPN Jateng, pada semester kedua tahun 2007, PT RSK mulai melakukan perluasan tanaman teh seluas 4 ha. Perluasan tanam inilah yang menuai protes petani penggarap. “Bagaimana tidak protes kalau teh ditanam di sela-sela tanaman jagung milik kami?” kata Suryono dengan nada tajam.
Selasa, 04 Desember 2007 yang lalu, ratusan anggota kelompok tani kembali menyelenggarakan perjuangan massa dan menggerakkan anggota ke kantor pertanahan Kab. Semarang. Harian Suara Merdeka memuat liputannya dengan judul 'Ratusan Petani Geruduk Kantor BPN'.
Salah satu hasil aksi tersebut adalah upaya BPN untuk mengedepankan mediasi antara petani penggarap dan PT. RSM. Hal tersebut baru terlaksana Kamis, 21 Agustus 2008 yang lalu.
Wednesday, September 24, 2008
Rilis Perjuangan Kelompok Tani Padang Halaban - Sekitarnya
Kronologis Permasalahan Tanah Masyarakat Desa Di Sekitar Perkebunan Padang Halaban Yang Diambil Aalih/Digusur Oleh Perusahaan Perkebunan Padang Halaban Di Tahun 1969/1970 Tanpa Ganti Rugi Penggantian Tanah
Tahun 1942 Tentara Bangsa Jepang menduduki wilayah Perkebunan Padang Halaban Sekitarnya yang saat itu dalam keadaan “Vacum of power” (kekosongan kekuasaan) dan menguasai Perusahaan Perkebunan Padang Halaban yang ditinggalkan Agresi I Penjajah Belanda bernama Perusahaan Perkebunan NV. SUMCAMA. Bangsa Jepang saat itu juga menguasai para kuli di perkebunan. Selanjutnya para kuli diperintahkan oleh Penguasa Jepang untuk mengganti jenis tanaman di dalam areal Perkebunan Padang Halaban dari jenis tanaman kelapa sawit menjadi jenis tanaman pangan, seperti palawija dan sebagainya.
Tahun 1945 Penguasa Jepang meninggalkan Perusahaan Perkebunan Padang Halaban dan seluruh kulinya, dikarenakan Bangsa Jepang Kalah perang dengan sekutu akibat Kota Hiroshima dan Nagasaki dibom atom oleh Tentara Sekutu. Mengingat begitu pentingnya lahan yang ditinggalkan oleh Bangsa Jepang untuk keperluan hidup rakyat (bekas kuli bangsa jepang), sementara saat itu Penguasa Bangsa Indonesia belum berdaulat penuh atas kemerdekaan yang telah diproklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945.
Penguasa Perang Bangsa Indonesia saat itu, Presiden Ir.Soekarno, telah pula menyampaikan perintah langsung kepada seluruh rakyat Indonesia dan para laskar rakyat agar areal-areal / tanah-tanah bekas perkebunan bangsa asing yang ditinggalkan pemiliknya, supaya diberikan/dibagikan kepada rakyat Indonesia (termasuk bekas kuli bangsa jepang) untuk ditanami dengan tanaman pangan guna membantu keperluan logistik perang para laskar rakyat, disamping juga sebagai tanda bangsa yang sudah merdeka adalah memiliki tanah asal kenvensi bangsa asing.
Guna menjalankan Perintah Langsung Penguasa Perang Bangsa Indonesia saat itu, pada tahun 1945 juga, hamper seluruh areal lahan di Perkebunan Padang Halaban asal konvensi bangsa asing yang ditinggalkan oleh Bangsa Jepang seluas sekitar 3000 Ha, dibagikan kepada rakyat bekas kuli bangsa jepang) secara bekerjasama dengan para laskar rakyat. Tanah-tanah tersebut dibagikan berdasarkan bekas divisi perkebunan padang halaban di masing-masing tempat. Untuk selanjutnya dikembangkan menjadi perkampungan rakyat/desa, dengan luas tanah yang berhak diusahai rakyat masing-masing seluas 2 (dua) Ha/KK. Perkampung rakyat/desa yang dibentuk dari tanah pembagian tersebut masing-masing :
Tahun 1954 setelah dikeluarkannya UU Darurat Nomor 8 Tahun 1954 oleh Pemerintah Republik Indonesia, masyarakat desa yang telah menduduki dan mengusahai tanahnya masing-masing seluas 2 (dua) Ha/KK di desa-desa sekitar Perkebunan Padang Halaban tersebut, diberikan KTPPT (Kartu Tanda Pendaftaran Pendudukan Tanah) yang dikeluarkan oleh KRPT (Kantor Reorganisasi Pemakaian Tanah) wilayah Sumatera Timur sebagai dasar untuk mendapatkan/memperoleh alas hak yang diakui hukum seperti diatur dalam UUPA Tahun 1960 dan sejak saat itu rakyat sudah dibebani kewajiban membayar pajak/Ipeda oleh Pemerintah Kabupaten Labuhanbatu.
Demikian pula dengan status tanah yang diduduki oleh rakyat disahkan oleh pemerintah telah dikeluarkan dari areal HGU Perkebunan Padang Halaban (saat itu bernama Perusahaan NV. SUMCAMA). Untuk diketahui, bahwa luas areal desa-desa yang diciptakan oleh rakyat sejak tahun 1945 dan dikeluarkan dari HGU Perusahaan Perkebunan Padang Halaban, hingga tahun 1969/1970 tidak pernah mengalami perluasan areal desa (merebaknya penggarap liar). Areal desa itu tetap luasnya sejak dibentuk menjadi desa hingga terjadi peristiwa penggusuran.
Tahun 1962, setelah sekitar 17 (tujuh belas) tahun mengembangkan dirinya, Desa Sidomulyo berhasil mendapatkan Penghargaan dari Gubernur Sumatera Utara saat itu Ulung Sitepu, atas prestasi Desa Sidomulyo yang berhasil meraih Juara II Desa Terbaik se-Sumatera Utara. Saat itu, Ulung Sitepu yang langsung turun/datang ke Desa Sidomulyo untukmenyerahkan Piagam Penghargaan yang juga langsung diterima oleh Kepala Desa Sidomulyo saat itu bernama (alm) Langkir.
Tahun 1968, akibat imbas dari peristiwan G 30 S/PKI tahun 1965 di Jakarta, masyarakat di desa-desa di sekitar Perkebunan Padang Halaban yang mayoritas berpencaharian sebagai petani tersebut, mulai diintimidasi oleh Pengusaha Perkebunan Padang Halaban (bernama PT. Plantagen AG), sebagai ekses dari Nasionalisasi perusahaan-perusahaan asing di Indonesia. Pengusaha perkebunan dengan dibantu aparat TNI/Polri dan didukung oleh Pemerintah Kabupaten Labuhanbatu saat itu, mulai melakukan intimidasi dan menuduh masyarakat desa sebagai anggota BTI (Barisan Tani Indonesia) yang merupakan underbow-nya PKI. Selanjutnya, dengan todongan senjata laras panjang milik para aparat, masyarakat desa dipaksa untuk meninggalkan tanahnya dari masing-masing tempat, dengan terlebih dahulu melucuti/mengambil bukti-bukti kependudukan/kepemilikan tanah dari tangan masyarakat desa.
Beberapa kali pertemuan masyarakat desa dengan pengusaha Perkebunan Padang Halaban dilakukan, untuk membicarakan persoalan ganti rugi lahan yang akan digusur Perkebunan Padang Halaban. Namun setiap kali pertemuan dilaksanakan tidak mendapat kesimpulan yang adil bagi rakyat maupun bagi pengusaha, karena rakyat tidak bersedia digusur bila tidak diganti dengan tanah pengganti. Akhirnya pengusaha, pemerintah kabupaten labuhanbatu saat itu dan TNI/Polri bekerjasama untuk menggusur rakyat dari atas tanah yang mereka duduki dengan menuduh masyarakat sebagai Anggota BTI.
Padahal masyarakat di masing-masing desa di sekitar Perkebunan Padang Halaban tidak pernah mengenal yang namanya BTI ataupun bergabung ke dalam partai terlarang tersebut. Akan tetapi, tuduhan terhadap masyarakat desa ini dengan menyebutnya sebagai Anggota BTI, hanya merupakan alat di masa Orde Baru sebagai dalih untuk mempermudah aksinya melakukan perampasan hak tanah rakyat yang tidak berdaya karena berhadapan dengan intimidasi dan todongan senjata laras panjang milik aparat TNI/Polri. Bagi masyarakat desa yang dituduh sebagai Anggota BTI dan tidak dapat melakukan perlawanan, akhirnya harus rela untuk ditahan di penjara Korem 021 Pematang Siantar atau disiksa dihadapan orang banyak.
Tahun 1969/1970 hingga saat ini habislah sudah desa-desa yang sejak tahun 1945 dibangun dengan semangat kebangsaan mempertahankan Kemerdekaan RI, akibat digusur/diambil alih Perusahaan Perkebunan Padang Halaban (bernama PT. Plantagen AG). Sementara surat dari Maskape Perkebunan Plantagen Aktiengsellschaft bernomor 1ms/2232/69 tanggal 4December 1969 ditanda tangani Drs. I.A.M Schumuther yang ditujukan kepada Tn. E. Hildebrant selaku wakil maskape di Perkebunan Padang Halaban. Surat tersebut menegaskan tentang tanah seluas 3000 Ha yang telah dibayarkan ganti ruginya kepada Pemerintah Kabupaten Labuhanbatu untuk diberikan kepada masyarakat desa sebagai penggantian tanah atas tanah mereka di sekitar Perkebunan Padang Halaban yang diambil alih oleh Perusahaan.
Sejak tahun 1998 hingga saat ini masyarakat desa korban penggusuran tahun 1969/1970 yang bergabung dalam Kelompok Tani Padang Halaban Sekitarnya, tidak pernah berputus asa untuk melakukan tuntutan kepada Pemerintah Kabupaten Lahanbatu agar hak atas tanah penggantian mereka yang telah dibayar ganti ruginya kepada pemerintah, sebagai akibat dari tanah masyarakat yang digusur/diambil alih oleh Perusahaan Perkebunan Padang Halaban di tahun 1969/1970. Dikarenakan sebelum era reformasi bergulir, masyarakat korban penggusuran tidak berani melakukan tuntutan karena masyarakat merasa trauma dengan kejadian masa lalu, di samping system pemerintahan orde baru yang terkenal gemar “membungkam suara rakyat”dengan senjata ampuhnya melakukana makar/tindakan subversib.
Namun, sejak tuntutan masyarakat tersebut disampaikan oleh masyarakat kepada Pemerintah Kabupaten Labuhanbatu, hingga detik ini persoalan belum mendapat keputusan yang berarti dari Pemkab Labuhanbatu, kendati berbagai proses penyelesaian telah ditempuh namun semuanya nihil. Utnuk itu, kami kembali berharap kiranya Pemkab Labuhanbatu dapat memberikan satu keputusan yang berpihak kepada rakayt korban penggusuran.
Aek Kuo, 25 Agustus 2008
Dikisahkan oleh Ketum KTPH-S Sumardi Syam dan dicatat oleh Sekum KTPH-S Maulana Syafi’i, S.HI
Tahun 1942 Tentara Bangsa Jepang menduduki wilayah Perkebunan Padang Halaban Sekitarnya yang saat itu dalam keadaan “Vacum of power” (kekosongan kekuasaan) dan menguasai Perusahaan Perkebunan Padang Halaban yang ditinggalkan Agresi I Penjajah Belanda bernama Perusahaan Perkebunan NV. SUMCAMA. Bangsa Jepang saat itu juga menguasai para kuli di perkebunan. Selanjutnya para kuli diperintahkan oleh Penguasa Jepang untuk mengganti jenis tanaman di dalam areal Perkebunan Padang Halaban dari jenis tanaman kelapa sawit menjadi jenis tanaman pangan, seperti palawija dan sebagainya.
Tahun 1945 Penguasa Jepang meninggalkan Perusahaan Perkebunan Padang Halaban dan seluruh kulinya, dikarenakan Bangsa Jepang Kalah perang dengan sekutu akibat Kota Hiroshima dan Nagasaki dibom atom oleh Tentara Sekutu. Mengingat begitu pentingnya lahan yang ditinggalkan oleh Bangsa Jepang untuk keperluan hidup rakyat (bekas kuli bangsa jepang), sementara saat itu Penguasa Bangsa Indonesia belum berdaulat penuh atas kemerdekaan yang telah diproklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945.
Penguasa Perang Bangsa Indonesia saat itu, Presiden Ir.Soekarno, telah pula menyampaikan perintah langsung kepada seluruh rakyat Indonesia dan para laskar rakyat agar areal-areal / tanah-tanah bekas perkebunan bangsa asing yang ditinggalkan pemiliknya, supaya diberikan/dibagikan kepada rakyat Indonesia (termasuk bekas kuli bangsa jepang) untuk ditanami dengan tanaman pangan guna membantu keperluan logistik perang para laskar rakyat, disamping juga sebagai tanda bangsa yang sudah merdeka adalah memiliki tanah asal kenvensi bangsa asing.
Guna menjalankan Perintah Langsung Penguasa Perang Bangsa Indonesia saat itu, pada tahun 1945 juga, hamper seluruh areal lahan di Perkebunan Padang Halaban asal konvensi bangsa asing yang ditinggalkan oleh Bangsa Jepang seluas sekitar 3000 Ha, dibagikan kepada rakyat bekas kuli bangsa jepang) secara bekerjasama dengan para laskar rakyat. Tanah-tanah tersebut dibagikan berdasarkan bekas divisi perkebunan padang halaban di masing-masing tempat. Untuk selanjutnya dikembangkan menjadi perkampungan rakyat/desa, dengan luas tanah yang berhak diusahai rakyat masing-masing seluas 2 (dua) Ha/KK. Perkampung rakyat/desa yang dibentuk dari tanah pembagian tersebut masing-masing :
- Tanah di bekas Divisi I yang diduduki rakyat dinamakan Desa Sidomulyo
- Tanah di bekas Divisi Pabrik yang diduduki rakyat dinamakan Desa Karang Anyar
- Tanah di bekas Divisi II yang diduduki rakyat dinamakan Desa Sidodadi/Aek Korsik
- Tanah di bekas Divisi III yang diduduki rakyat dinamakan Desa Purworejo/Aek Ledong
- Tanah di bekas Divisi IV-V yang diduduki rakyat dinamakan Desa Kartosentono/Brussel
- Tanah di bekas Divisi VI yang diduduki rakyat dinamakan Desa Sukadame/Panigoran
Tahun 1954 setelah dikeluarkannya UU Darurat Nomor 8 Tahun 1954 oleh Pemerintah Republik Indonesia, masyarakat desa yang telah menduduki dan mengusahai tanahnya masing-masing seluas 2 (dua) Ha/KK di desa-desa sekitar Perkebunan Padang Halaban tersebut, diberikan KTPPT (Kartu Tanda Pendaftaran Pendudukan Tanah) yang dikeluarkan oleh KRPT (Kantor Reorganisasi Pemakaian Tanah) wilayah Sumatera Timur sebagai dasar untuk mendapatkan/memperoleh alas hak yang diakui hukum seperti diatur dalam UUPA Tahun 1960 dan sejak saat itu rakyat sudah dibebani kewajiban membayar pajak/Ipeda oleh Pemerintah Kabupaten Labuhanbatu.
Demikian pula dengan status tanah yang diduduki oleh rakyat disahkan oleh pemerintah telah dikeluarkan dari areal HGU Perkebunan Padang Halaban (saat itu bernama Perusahaan NV. SUMCAMA). Untuk diketahui, bahwa luas areal desa-desa yang diciptakan oleh rakyat sejak tahun 1945 dan dikeluarkan dari HGU Perusahaan Perkebunan Padang Halaban, hingga tahun 1969/1970 tidak pernah mengalami perluasan areal desa (merebaknya penggarap liar). Areal desa itu tetap luasnya sejak dibentuk menjadi desa hingga terjadi peristiwa penggusuran.
Tahun 1962, setelah sekitar 17 (tujuh belas) tahun mengembangkan dirinya, Desa Sidomulyo berhasil mendapatkan Penghargaan dari Gubernur Sumatera Utara saat itu Ulung Sitepu, atas prestasi Desa Sidomulyo yang berhasil meraih Juara II Desa Terbaik se-Sumatera Utara. Saat itu, Ulung Sitepu yang langsung turun/datang ke Desa Sidomulyo untukmenyerahkan Piagam Penghargaan yang juga langsung diterima oleh Kepala Desa Sidomulyo saat itu bernama (alm) Langkir.
Tahun 1968, akibat imbas dari peristiwan G 30 S/PKI tahun 1965 di Jakarta, masyarakat di desa-desa di sekitar Perkebunan Padang Halaban yang mayoritas berpencaharian sebagai petani tersebut, mulai diintimidasi oleh Pengusaha Perkebunan Padang Halaban (bernama PT. Plantagen AG), sebagai ekses dari Nasionalisasi perusahaan-perusahaan asing di Indonesia. Pengusaha perkebunan dengan dibantu aparat TNI/Polri dan didukung oleh Pemerintah Kabupaten Labuhanbatu saat itu, mulai melakukan intimidasi dan menuduh masyarakat desa sebagai anggota BTI (Barisan Tani Indonesia) yang merupakan underbow-nya PKI. Selanjutnya, dengan todongan senjata laras panjang milik para aparat, masyarakat desa dipaksa untuk meninggalkan tanahnya dari masing-masing tempat, dengan terlebih dahulu melucuti/mengambil bukti-bukti kependudukan/kepemilikan tanah dari tangan masyarakat desa.
Beberapa kali pertemuan masyarakat desa dengan pengusaha Perkebunan Padang Halaban dilakukan, untuk membicarakan persoalan ganti rugi lahan yang akan digusur Perkebunan Padang Halaban. Namun setiap kali pertemuan dilaksanakan tidak mendapat kesimpulan yang adil bagi rakyat maupun bagi pengusaha, karena rakyat tidak bersedia digusur bila tidak diganti dengan tanah pengganti. Akhirnya pengusaha, pemerintah kabupaten labuhanbatu saat itu dan TNI/Polri bekerjasama untuk menggusur rakyat dari atas tanah yang mereka duduki dengan menuduh masyarakat sebagai Anggota BTI.
Padahal masyarakat di masing-masing desa di sekitar Perkebunan Padang Halaban tidak pernah mengenal yang namanya BTI ataupun bergabung ke dalam partai terlarang tersebut. Akan tetapi, tuduhan terhadap masyarakat desa ini dengan menyebutnya sebagai Anggota BTI, hanya merupakan alat di masa Orde Baru sebagai dalih untuk mempermudah aksinya melakukan perampasan hak tanah rakyat yang tidak berdaya karena berhadapan dengan intimidasi dan todongan senjata laras panjang milik aparat TNI/Polri. Bagi masyarakat desa yang dituduh sebagai Anggota BTI dan tidak dapat melakukan perlawanan, akhirnya harus rela untuk ditahan di penjara Korem 021 Pematang Siantar atau disiksa dihadapan orang banyak.
Tahun 1969/1970 hingga saat ini habislah sudah desa-desa yang sejak tahun 1945 dibangun dengan semangat kebangsaan mempertahankan Kemerdekaan RI, akibat digusur/diambil alih Perusahaan Perkebunan Padang Halaban (bernama PT. Plantagen AG). Sementara surat dari Maskape Perkebunan Plantagen Aktiengsellschaft bernomor 1ms/2232/69 tanggal 4December 1969 ditanda tangani Drs. I.A.M Schumuther yang ditujukan kepada Tn. E. Hildebrant selaku wakil maskape di Perkebunan Padang Halaban. Surat tersebut menegaskan tentang tanah seluas 3000 Ha yang telah dibayarkan ganti ruginya kepada Pemerintah Kabupaten Labuhanbatu untuk diberikan kepada masyarakat desa sebagai penggantian tanah atas tanah mereka di sekitar Perkebunan Padang Halaban yang diambil alih oleh Perusahaan.
Sejak tahun 1998 hingga saat ini masyarakat desa korban penggusuran tahun 1969/1970 yang bergabung dalam Kelompok Tani Padang Halaban Sekitarnya, tidak pernah berputus asa untuk melakukan tuntutan kepada Pemerintah Kabupaten Lahanbatu agar hak atas tanah penggantian mereka yang telah dibayar ganti ruginya kepada pemerintah, sebagai akibat dari tanah masyarakat yang digusur/diambil alih oleh Perusahaan Perkebunan Padang Halaban di tahun 1969/1970. Dikarenakan sebelum era reformasi bergulir, masyarakat korban penggusuran tidak berani melakukan tuntutan karena masyarakat merasa trauma dengan kejadian masa lalu, di samping system pemerintahan orde baru yang terkenal gemar “membungkam suara rakyat”dengan senjata ampuhnya melakukana makar/tindakan subversib.
Namun, sejak tuntutan masyarakat tersebut disampaikan oleh masyarakat kepada Pemerintah Kabupaten Labuhanbatu, hingga detik ini persoalan belum mendapat keputusan yang berarti dari Pemkab Labuhanbatu, kendati berbagai proses penyelesaian telah ditempuh namun semuanya nihil. Utnuk itu, kami kembali berharap kiranya Pemkab Labuhanbatu dapat memberikan satu keputusan yang berpihak kepada rakayt korban penggusuran.
Aek Kuo, 25 Agustus 2008
Dikisahkan oleh Ketum KTPH-S Sumardi Syam dan dicatat oleh Sekum KTPH-S Maulana Syafi’i, S.HI
Thursday, September 18, 2008
Selain Sangat Meresahkan Masyarakat, Galian Parit PT. Smart Tbk Akibatkan Berubahnya Bentuk Fisik Tanah
Catatan : Maulana Syafi’i*)
AEK KUO, METRO.
Untuk kesekian puluh kali parit galian milik PT. Smart Tbk Padang Halaban Kecamatan Aek Kuo, Kabupaten Labuhanbatu, kembali mengambil korban. Kali ini korbannya bukan seorang anak kecil yang tenggelam seperti kejadian naas yang pernah menimpa nasib warga Desa Aek Korsik, Kecamatan Aek Kuo, di tahun 2006 silam, melainkan seekor lembu milik warga Desa Pulo Jantan yang kemaren sore terperosok dan terjebak dalam lubang parit galian yang dalam dan tidak dapat untuk naik ke atas hingga kehabisan nafas dan akhirnya mati di dalam parit galian “pencabut nyawa”.
Demikian diceritakan Wiryono (72), seorang warga Desa Pulo Jantan, Kecamatan Aek Kuo kepada wartawan, Rabu (10/9). Menurut Wiryono, peristiwa matinya beberapa ekor lembu milik warga sekitar perkebunan padang halaban di dalam parit galian milik perusahaan itu, sudah merupakan hal yang lumrah. Kendati demikian, tidak pernah terbesit di dalam benak management PT. Smart Tbk Padang Halaban untuk membayar ganti rugi ternak lembu warga yang mati di dalam parit galian berukuran lebar 6m dan dalam 6m yang termasuk dalam type Galian C, namun tidak dikenakan retribusi pajak galian c oleh Pemkab Labuhanbatu, jelas wiryono.
Tidak dipungkiri wiryono, bila korban yang tewas di dalam parit galian “pencabut nyawa” itu dari jenis manusia, maka pihak management segera memberikan kompensasi atau sekedar uang duka keluarga ahli musibah, akibat human eror yang dilakukan pihak perusahaan pada parit galiannya, seperti yang pernah menimpa warga di Kecamatan Aek Kuo dan Kecamatan Marbau beberapa tahun lalu, kenang Wiryono.
Berbeda pula dengan apa yang telah dialami oleh Warisem (80) warga Kecamatan Na IX-X, akibat tergiris erosi dari galian parit raksasa milik PT. Smart Tbk Padang Halaban itu, tanah peninggalan almarhum suaminya hampir selebar 3m dan sepanjang 60m yang terletak di sebelah samping rumahnya di Dusun Gerojokan, kini kondisinya telah hilang dan berubah menjadi satu dengan dasar parit galian.
“Akibat dari parit bekoan (galian-red) di sebelah samping rumah, tanahku sekitar hampir selebar 3m dan sepanjang 60m telah hilang dan telah berubah menjadi satu dengan dasar parit bekoan itu. Bisa dilihat, saat ini di sepanjang dasar parit itu ada empat batang pohon sawit yang sudah berproduksi milikku yang tumbang dan kini mulai membusuk, juga ada serumpung pohon bambu dan pohon pisang serta sebatang pohon kepala jawa, telah berada persis di tengah-tengah parit galian”, urainya Warisem.
Kedukaan yang dialami oleh kedua orang tua lanjut usia, Wiryono dan Warisem ini, juga pernah dirasakan oleh mantan Kepala Puskesmas Aek Kuo dr.H. Rustian Sinaga. Pasalnya, Aliran parit galian di sekitar puskesmas yang tergiris erosi mengakibatkan pagar tembok puskesmas ini roboh. Demikian pula halnya ketika parit galian tersebut tidak mampu membuang tumpahan debit curah hujan yang cukup tinggi hingga menciptakan genangan air di dalam parit galian.
Praktis, dengan terciptanya genangan air dalam galian tersebut membuat “bangsa nyamuk” merasa nyaman melakukan pembiakan generasinya. Akibat buruknya adalah, realitas ini sempat membuat daerah kesehatan di wilayah kecamatan aek kuo di tahun 2007 lalu masuk dalam daerah epidemis penularan DBD dan malaria.
Masih segar dalam ingatan masyarakat aek kuo, kala itu seorang anak balita dari Dusun Marbau Jaya Desa Aek Korsik harus dilarikan ke Rumah Sakit H. Adam Malik di Medan dalam kondisi koma karena positif terjangkit penyakit DBD, lagi-lagi perusahaan penyebab persoalan ini tidak mau ambil pusing.
Tidak sampai disitu, cerita unik yang menimpa seorang warga Desa Karang Anyar Kecamatan Aek Kuo, akibat mobil pick up yang dikendarainya terjun bebas ke dasar parit galian milik PT. Smart Tbk Padang Halaban, yang posisinya persis bersebelahan dengan jalan lintas dari dan menuju antar lintas desa setempat. Ironisnya, kendati parti galian yang diciptakannya bersebelahan dengan jalan lintas desa, namun pihak management PT. Smart Tbk Padang Halaban tidak tergerak hatinya untuk membuat pagar pembatas.
Sekarang, parit galian ini kembali mengancam keselamatan masyarakat pengguna jalan di Dusun IV Desa Panigoran Kecamatan Aek Kuo. Pasalnya, kondisi badan jalan yang mulai tergiris erosi parit galian sehingga membuat jalan semakin kecil dan longsoran tebing parit membentuk jurang yang siap menanti mangsa bagi yang melintas di jalan itu, ujarnya MS salam seorang warga desa setempat kepada wartawan.
Kondisi rawannya parit galian perusahaan perkebunan ini telah menjadi perdebatan yang cukup sengit di lembaga legislatif maupun lembaga eksekutif labuhanbatu. Seperti apa yang pernah dikatakan Dahlan Bukhori dari Fraksi PDI-P DPRD Labuhanbatu, seingat Dahlan beberapa waktu lalu DPRD Labuhanbatu telah mendiskusikan hal ini dalam sidang paripurna untuk merumuskan ramperda tetnang retribusi pajak parit galian yang dimasukan dalam kategori galian c sehingga menjadi PAD bagi Pemkab Labuhanbatu.
Namun dengan alasan tidak adanya manfaat ekonomis yang dirasakan oleh perusahaan perkebunan kelapa sawit atas parit galian tersebut, didukung pula surat sakti dari BKSPPS (Badan Kerjasama Perusahaan Perkebunan Sawit) dari pusat yang menyatakan keberatannya bila jenis parit galian seperti itu dikenakan retribusi pajak daerah mengingat galiannya tidak mendatangkan manfaat ekonomis. Menurut surat BKSPPS, galian tersebut bertujuan sebagai tapal batas tanah perusahaan dan juga sebagai alasan pengamanan areal perkebunan kelapa sawit dari kejahatan para ninja sawit.
Akan tetapi Dahlan Bukhori tetap membantah, bila alasannya sebagai tapal batas adalah tidak logika mengingat tapal batas yang seyogyanya dipergunakan adalah berupa tiang besi atau sejenisnya. Demikian pula bila alasannya sebagai pembantu pengamanan areal tanaman sawit dari kejahatan aksi para ninja sawit, setahu Dahlan perusahaan yang membuka usahanya selalu sedia dengan sepasukan pengamanan, tegasnya.
“Jadi sebenarnya tidak ada alasan bagi perusahaan untuk tidak memberikan retribusi parit galiannya kepada Pemkab Labuhanbatu, manalagi diketahui parit galian seperti milik PT. Smart Tbk Padang Halaban lebih besar menciptakan keresahan bagi masyarakat ketimbang manfaatnya bagi Pemkab Labuhanbatu. Alangkah lebih baiknya bila permasalahan ini dicari solusinya untuk menciptakan ketertiban dan ketenteraman bagi masyarakat di sekitar parit galian tersebut”, harapnya Dahlan. (SYA)
*) adalah ketua Kelompok Tani Padang Halaban dan Sekitarnya [KTPHS] yang merupakan jaringan Serikat Tani Nasional di Kab. Labuhan Batu, Sumatera Utara. KTPHS tengah mengupayakan perjuangan massa hak atas tanah atas PT. Smart Tbk Padang Halaban dengan dua ribu jiwa korban konflik .
AEK KUO, METRO.
Untuk kesekian puluh kali parit galian milik PT. Smart Tbk Padang Halaban Kecamatan Aek Kuo, Kabupaten Labuhanbatu, kembali mengambil korban. Kali ini korbannya bukan seorang anak kecil yang tenggelam seperti kejadian naas yang pernah menimpa nasib warga Desa Aek Korsik, Kecamatan Aek Kuo, di tahun 2006 silam, melainkan seekor lembu milik warga Desa Pulo Jantan yang kemaren sore terperosok dan terjebak dalam lubang parit galian yang dalam dan tidak dapat untuk naik ke atas hingga kehabisan nafas dan akhirnya mati di dalam parit galian “pencabut nyawa”.
Demikian diceritakan Wiryono (72), seorang warga Desa Pulo Jantan, Kecamatan Aek Kuo kepada wartawan, Rabu (10/9). Menurut Wiryono, peristiwa matinya beberapa ekor lembu milik warga sekitar perkebunan padang halaban di dalam parit galian milik perusahaan itu, sudah merupakan hal yang lumrah. Kendati demikian, tidak pernah terbesit di dalam benak management PT. Smart Tbk Padang Halaban untuk membayar ganti rugi ternak lembu warga yang mati di dalam parit galian berukuran lebar 6m dan dalam 6m yang termasuk dalam type Galian C, namun tidak dikenakan retribusi pajak galian c oleh Pemkab Labuhanbatu, jelas wiryono.
Tidak dipungkiri wiryono, bila korban yang tewas di dalam parit galian “pencabut nyawa” itu dari jenis manusia, maka pihak management segera memberikan kompensasi atau sekedar uang duka keluarga ahli musibah, akibat human eror yang dilakukan pihak perusahaan pada parit galiannya, seperti yang pernah menimpa warga di Kecamatan Aek Kuo dan Kecamatan Marbau beberapa tahun lalu, kenang Wiryono.
Berbeda pula dengan apa yang telah dialami oleh Warisem (80) warga Kecamatan Na IX-X, akibat tergiris erosi dari galian parit raksasa milik PT. Smart Tbk Padang Halaban itu, tanah peninggalan almarhum suaminya hampir selebar 3m dan sepanjang 60m yang terletak di sebelah samping rumahnya di Dusun Gerojokan, kini kondisinya telah hilang dan berubah menjadi satu dengan dasar parit galian.
“Akibat dari parit bekoan (galian-red) di sebelah samping rumah, tanahku sekitar hampir selebar 3m dan sepanjang 60m telah hilang dan telah berubah menjadi satu dengan dasar parit bekoan itu. Bisa dilihat, saat ini di sepanjang dasar parit itu ada empat batang pohon sawit yang sudah berproduksi milikku yang tumbang dan kini mulai membusuk, juga ada serumpung pohon bambu dan pohon pisang serta sebatang pohon kepala jawa, telah berada persis di tengah-tengah parit galian”, urainya Warisem.
Kedukaan yang dialami oleh kedua orang tua lanjut usia, Wiryono dan Warisem ini, juga pernah dirasakan oleh mantan Kepala Puskesmas Aek Kuo dr.H. Rustian Sinaga. Pasalnya, Aliran parit galian di sekitar puskesmas yang tergiris erosi mengakibatkan pagar tembok puskesmas ini roboh. Demikian pula halnya ketika parit galian tersebut tidak mampu membuang tumpahan debit curah hujan yang cukup tinggi hingga menciptakan genangan air di dalam parit galian.
Praktis, dengan terciptanya genangan air dalam galian tersebut membuat “bangsa nyamuk” merasa nyaman melakukan pembiakan generasinya. Akibat buruknya adalah, realitas ini sempat membuat daerah kesehatan di wilayah kecamatan aek kuo di tahun 2007 lalu masuk dalam daerah epidemis penularan DBD dan malaria.
Masih segar dalam ingatan masyarakat aek kuo, kala itu seorang anak balita dari Dusun Marbau Jaya Desa Aek Korsik harus dilarikan ke Rumah Sakit H. Adam Malik di Medan dalam kondisi koma karena positif terjangkit penyakit DBD, lagi-lagi perusahaan penyebab persoalan ini tidak mau ambil pusing.
Tidak sampai disitu, cerita unik yang menimpa seorang warga Desa Karang Anyar Kecamatan Aek Kuo, akibat mobil pick up yang dikendarainya terjun bebas ke dasar parit galian milik PT. Smart Tbk Padang Halaban, yang posisinya persis bersebelahan dengan jalan lintas dari dan menuju antar lintas desa setempat. Ironisnya, kendati parti galian yang diciptakannya bersebelahan dengan jalan lintas desa, namun pihak management PT. Smart Tbk Padang Halaban tidak tergerak hatinya untuk membuat pagar pembatas.
Sekarang, parit galian ini kembali mengancam keselamatan masyarakat pengguna jalan di Dusun IV Desa Panigoran Kecamatan Aek Kuo. Pasalnya, kondisi badan jalan yang mulai tergiris erosi parit galian sehingga membuat jalan semakin kecil dan longsoran tebing parit membentuk jurang yang siap menanti mangsa bagi yang melintas di jalan itu, ujarnya MS salam seorang warga desa setempat kepada wartawan.
Kondisi rawannya parit galian perusahaan perkebunan ini telah menjadi perdebatan yang cukup sengit di lembaga legislatif maupun lembaga eksekutif labuhanbatu. Seperti apa yang pernah dikatakan Dahlan Bukhori dari Fraksi PDI-P DPRD Labuhanbatu, seingat Dahlan beberapa waktu lalu DPRD Labuhanbatu telah mendiskusikan hal ini dalam sidang paripurna untuk merumuskan ramperda tetnang retribusi pajak parit galian yang dimasukan dalam kategori galian c sehingga menjadi PAD bagi Pemkab Labuhanbatu.
Namun dengan alasan tidak adanya manfaat ekonomis yang dirasakan oleh perusahaan perkebunan kelapa sawit atas parit galian tersebut, didukung pula surat sakti dari BKSPPS (Badan Kerjasama Perusahaan Perkebunan Sawit) dari pusat yang menyatakan keberatannya bila jenis parit galian seperti itu dikenakan retribusi pajak daerah mengingat galiannya tidak mendatangkan manfaat ekonomis. Menurut surat BKSPPS, galian tersebut bertujuan sebagai tapal batas tanah perusahaan dan juga sebagai alasan pengamanan areal perkebunan kelapa sawit dari kejahatan para ninja sawit.
Akan tetapi Dahlan Bukhori tetap membantah, bila alasannya sebagai tapal batas adalah tidak logika mengingat tapal batas yang seyogyanya dipergunakan adalah berupa tiang besi atau sejenisnya. Demikian pula bila alasannya sebagai pembantu pengamanan areal tanaman sawit dari kejahatan aksi para ninja sawit, setahu Dahlan perusahaan yang membuka usahanya selalu sedia dengan sepasukan pengamanan, tegasnya.
“Jadi sebenarnya tidak ada alasan bagi perusahaan untuk tidak memberikan retribusi parit galiannya kepada Pemkab Labuhanbatu, manalagi diketahui parit galian seperti milik PT. Smart Tbk Padang Halaban lebih besar menciptakan keresahan bagi masyarakat ketimbang manfaatnya bagi Pemkab Labuhanbatu. Alangkah lebih baiknya bila permasalahan ini dicari solusinya untuk menciptakan ketertiban dan ketenteraman bagi masyarakat di sekitar parit galian tersebut”, harapnya Dahlan. (SYA)
*) adalah ketua Kelompok Tani Padang Halaban dan Sekitarnya [KTPHS] yang merupakan jaringan Serikat Tani Nasional di Kab. Labuhan Batu, Sumatera Utara. KTPHS tengah mengupayakan perjuangan massa hak atas tanah atas PT. Smart Tbk Padang Halaban dengan dua ribu jiwa korban konflik .
Saturday, August 2, 2008
Gugatan Petani Korban Tindak Kekerasan Telah Disidangkan
SIMALUNGUN, STN. Dampak konflik agraria yang menimpa petani dari Nagori Mariah Hombang masih terus berlanjut. Persengketaan yang menajam sejak 19 April 2007 menyisakan beberapa kasus hukum yang patut ditandaklanjuti dengan saksama oleh kepolisian setempat.
Salah satunya tengah dialami Liongsan Sianturi [34]. Aktifis Forum Petani Nagori Mariah Hombang [FPNMH], jaringan Serikat Tani Nasional di Kab. Simalungun Sumatera utara, ini dianiaya oleh para pengusaha lokal yang secara sepihak bermaksud mengambil alih tanah petani. Pengusaha tersebut juga dibantu para oknum polisi setempat. Akibat-luka-luka yang dideritanya, Liongsan melaporkan para penganiaya ke polsek Tanah Jawa pada 29 April 2007 lalu. Pihak kepolisian menerima laporan tersebut dalam dokumen bernomor Pol.LP/309/IV/2007/Simal.
Akan tetapi, laporan tersebut tak kunjung menyeret para pelaku. Ebed Sidabutar [24], koordinator Front Solidaritas Perjuangan Petani Nagori Mariah Hombang dan Bosar Galugur [FSPPNMHBG], mengatakan bahwa lambatnya proses hukum terhadap laporan tersebut berkaitan erat dengan upaya-upaya pihak penganiaya untuk meloloskan diri dari jerat hukum. “Pihak kepolisian seakan-akan turut menutupi. Hal ini juga nampak dalam pengusutan kasus meninggalnya aktifis FPNMH Djaulak Gultom pada akhir Februari lalu,” terangnya.
Upaya FSPPNMHBG dalam mencari keadilan tidak hanya dilakukan di tingkat Kabupaten. Bersama Komite Pimpinan Pusat Serikat Tani Nasional, mereka telah mendatangi Mabes Polri pada akhir Maret 2008 lalu demi mengadukan serangkaian tindak kekerasan yang melibatkan oknum kepolisian setempat dalam menghadapi para petani.
Sementara itu dukungan bagi perjuangan FPNMH dan laporan Liongsan Sinaturi terus mengalir. Salah satunya berasal dari Bina Desa, LSM pendukung petani di Jakarta. Tina E.T.V Napitupulu dari Divisi Advokasi dan Kajian Bina Desa meminta agar pihak Kejaksaan Negeri Simalungun agar menuntut seberat-beartnya pelaku tindak penganiayaan terhadap Liongsan Sianturi. Tina juga mendesak pada Ketua Majelis Hakim Pengadilan Negeri [PN] Simalungun agar betul-betul mempertimbangkan putusan demi terciptanya keadilan sosial bagi petani.
Sejak Kamis, 17 Juli 2008 PN Simalungun mulai menyidangkan gugatan Liongsan Sianturi. Hingga kini proses persidangan masih terus berjalan.
Salah satunya tengah dialami Liongsan Sianturi [34]. Aktifis Forum Petani Nagori Mariah Hombang [FPNMH], jaringan Serikat Tani Nasional di Kab. Simalungun Sumatera utara, ini dianiaya oleh para pengusaha lokal yang secara sepihak bermaksud mengambil alih tanah petani. Pengusaha tersebut juga dibantu para oknum polisi setempat. Akibat-luka-luka yang dideritanya, Liongsan melaporkan para penganiaya ke polsek Tanah Jawa pada 29 April 2007 lalu. Pihak kepolisian menerima laporan tersebut dalam dokumen bernomor Pol.LP/309/IV/2007/Simal.
Akan tetapi, laporan tersebut tak kunjung menyeret para pelaku. Ebed Sidabutar [24], koordinator Front Solidaritas Perjuangan Petani Nagori Mariah Hombang dan Bosar Galugur [FSPPNMHBG], mengatakan bahwa lambatnya proses hukum terhadap laporan tersebut berkaitan erat dengan upaya-upaya pihak penganiaya untuk meloloskan diri dari jerat hukum. “Pihak kepolisian seakan-akan turut menutupi. Hal ini juga nampak dalam pengusutan kasus meninggalnya aktifis FPNMH Djaulak Gultom pada akhir Februari lalu,” terangnya.
Upaya FSPPNMHBG dalam mencari keadilan tidak hanya dilakukan di tingkat Kabupaten. Bersama Komite Pimpinan Pusat Serikat Tani Nasional, mereka telah mendatangi Mabes Polri pada akhir Maret 2008 lalu demi mengadukan serangkaian tindak kekerasan yang melibatkan oknum kepolisian setempat dalam menghadapi para petani.
Sementara itu dukungan bagi perjuangan FPNMH dan laporan Liongsan Sinaturi terus mengalir. Salah satunya berasal dari Bina Desa, LSM pendukung petani di Jakarta. Tina E.T.V Napitupulu dari Divisi Advokasi dan Kajian Bina Desa meminta agar pihak Kejaksaan Negeri Simalungun agar menuntut seberat-beartnya pelaku tindak penganiayaan terhadap Liongsan Sianturi. Tina juga mendesak pada Ketua Majelis Hakim Pengadilan Negeri [PN] Simalungun agar betul-betul mempertimbangkan putusan demi terciptanya keadilan sosial bagi petani.
Sejak Kamis, 17 Juli 2008 PN Simalungun mulai menyidangkan gugatan Liongsan Sianturi. Hingga kini proses persidangan masih terus berjalan.
Saturday, June 28, 2008
Sewa Tanah Dan Para Bujang
FOTO kalangan bujang laki-laki dan perempuan yang tengah bekerja sebagai buruh panen padi di Kampung Kobak Gabus Desa Medan Karya Kecamatan Tirtajaya Kabupaten Karanwang, Jawa Barat.
-----
KARAWANG, STN. Siapa bilang bahwa feodalisme telah hilang di pedesaan? Praktek monopoli tanah oleh kaum pemilik masih mudah dijumpai di desa penghasil tanaman pangan. Salah satunya adalah Kampung Kobak Gabus Desa Medan Karya Kec. Tirtajaya yang terletak di pesisir utara Kab. Karawang. Tak satupun dari sejumlah 74 keluarga warga kampung yang memiliki sawah. Padahal mereka hidup di tengah hamparan kuningnya padi yang siap panen bulan ini.
“Dalam usaha tani tanaman pangan, khususnya padi, sistem bagi hasil jauh dari adil bagi para penyewa tanah dan rendahnya upah para bujang,” kata Agus Wahyudi [33] aktifis Serikat Tani Nasional di kampung tersebut. Bujang adalah sebutan bagi buruh tani. Sementara, tuan tanah mempekerjakan bujang melalui upah.
“Kira-kira, sehari mereka mendapatkan upah sebesar Rp. 25 ribu termasuk makan dan rokoknya. Sementara untuk bujang perempuan hanya Rp. 20 ribu,” terang Agus. Jangan dibayangan bahwa para bujang bekerja tiap hari per bulannya. Karena mereka biasanya hanya bekerja di saat musim tanam dan musim panen. Hal senada juga disampaikan Kang Martha [37] seorang buruh tani setempat.
Kang Martha menambahkan bahwa rata-rata para bujang di kampung tersebut bekerja untuk, sebutlah, Haji Nadi. Oleh warga desa ia dikenal sebagai orang kaya yang baik. Baik di sini dalam pengertian bahwa ia membuka lapangan pekerjaan dengan mengajak warga tak bertanah menjadi bujang. Konon, Sang Haji menguasai hampir 75% dari seluruh lahan persawahan desa.
Selain memiliki bujang, orang seperti Haji Nadi juga menyewakan tanah dengan pembayaran pembagian dari hasil panen. Perimbangannya sebesar 1:1 antara pemilik tanah dan penyewa. Pembagian tersebut masih bersifat kotor. Sang penyewa masih menanggung biaya modal usaha tani, seperti belanja pupuk, obat, benih dan sewa traktor jika diperlukan.
Tony Quizon, pejabat sementara International Land Coalition kawasan Asia, menyebutkan bahwa bagi hasil yang demikian pernah dialami petani filipina pada periode tahun 1960-an. “Now, it is more equal for Philiphino peasant. But That's not enough. Landreform is a must.” tambahnya saat bertemu STN pada Senin [23/06] di Jakarta.
“Oleh karena itu, para buruh tani yang berhimpun dalam kelompok sedang mengusahakan perjuangan bagi hasil yang lebih adil untuk petani penggarap dan menaikkan upah buruh tani. Apalagi kenaikan harga BBM bulan lalu sangat memukul buruh tani di kampung ini,” tegas Agus.
Beternak Itik
Untuk mencukupi penghasilan, para keluarga buruh tani memilih beternak itik yang digembalakan secara tradional. Ada hubungan yang saling menguntungkan antara itik dan padi. Itik tersebut cukup digembalakan di areal persawahan jika panen padi datang. “Tak jarang, kami harus ngangngon itik sampai ke desa tetangga bahkan ke Bekasi. Cari tempat yang sedang panen padi,” tambah Kang Martha.
Gabah sisa potong padi dan nggebot [merontokkan gabah] adalah pakan yang baik. Sehingga Sang pemilik itik tidak perlu biaya ekstra untuk membeli pakan buatan pabrik. Pakan pabrik hanya mereka gunakan untuk titit, sebutan bagi anakan itik, hingga usia dua bulan yang dicampur dengan bekatul, menir dan irisan daging kijing, sejenis kerang yang hidup di air payau.
Apa yang dimanfaatkan dari itik? “Telor untuk yang perempuan dan daging untuk yang jantan,”jawab Pak Lami [43]. Pengalaman memelihara dan menggembalakan itik selama sepuluh tahun terakhir telah mengubah Pak Lami dari seorang buruh tani menjadi pengusaha kecil yang sedikitnya memiliki 3000 ekor itik. Harga telor itik kini mencapai Rp. 1000/butir sementara dagung pejantan laku dijual Rp. 35.000,-/ekor untuk usia lima bulan.
Pertanian Padi Di Karawang
Pertanian padi di Karawang memiliki sejarah yang panjang. Ia dibangun sejak jaman mataram pada masa pemerintahan Sultan Agung. Ketika itu pertanian berfungsi untuk menopang rencana mataram untuk melakukan serangan terhadap Batavia.
Karawang bagian pesisir utara merupakan salah satu daerah pertanian penting dan pemasok terbesar padi bagi kawasan di sekitarnya. Tetapi keadaan tersebut tidak menjadikan masyarakat hidup dalam kesejahteraan. Kemiskinan telah menyebabkan mereka menjual sawah dan bekerja sebagai buruh tani, penyewa tanah maupun buruh migran di luar negeri.
Sementara, banjir dan kekeringan senantiasa mengintai setiap tahunnya. Pada musim penghujan 2006, banjir telah menenggelamkan sekitar 3000 ha areal persawahan. Apabila dalam 1 ha menghasilkan 4 ton gabah, maka jumlah kerugian yang di derita petani di dalam kawasan tersebut berkisar 10.000 – 12.000 ton gabah. Dengan harga rata-rata gabah Rp. 1.800/Kg pada masa itu, ditafsir jumlah nominal kerugian yang diderita mencapai Rp. 21.600.000.000,00 per musim panen.
Tanggung Jawab Negara
“Negara patut bertanggung jawab untuk membantu golongan petani paling miskin di pedesaan dengan melaksanakan reforma agraria sejati [RAS]. Pukulan kenaikan harga BBM tidak cukup ditolong dengan pemberian Bantuan Langsung Tunai semata,” tegas Donny Pradana WR dari Komite Pimpinan Pusat STN. Di lapangan pertanian tanaman pangan, RAS mengandung maksud bahwa tanah pertanian harus dikerjakan atau diusahakan secara aktif oleh pemiliknya sendiri sebagaimana semangat Undang Undang Pokok Agraria No. 5 tahun 1960 [UUPA] pada pasal 10 ayat 1 dan ayat 2.
Di samping itu, RAS juga berarti menjaminkan hak kalangan buruh tani dan tani miskin dengan menurunkan sewa tanah melalui kenaikkan bagi hasil yang lebih mencerminkan keadilan dan kenaikan upah buruh tani. Dari sisi usaha pertanian, RAS patut mengurangi bunga peribaan serta menaikkan harga produk pertanian kaum tani untuk menetralisasi pertengkulakan.
Dapatkah negara hari ini menjalankan UUPA dan RAS?
-----
KARAWANG, STN. Siapa bilang bahwa feodalisme telah hilang di pedesaan? Praktek monopoli tanah oleh kaum pemilik masih mudah dijumpai di desa penghasil tanaman pangan. Salah satunya adalah Kampung Kobak Gabus Desa Medan Karya Kec. Tirtajaya yang terletak di pesisir utara Kab. Karawang. Tak satupun dari sejumlah 74 keluarga warga kampung yang memiliki sawah. Padahal mereka hidup di tengah hamparan kuningnya padi yang siap panen bulan ini.
“Dalam usaha tani tanaman pangan, khususnya padi, sistem bagi hasil jauh dari adil bagi para penyewa tanah dan rendahnya upah para bujang,” kata Agus Wahyudi [33] aktifis Serikat Tani Nasional di kampung tersebut. Bujang adalah sebutan bagi buruh tani. Sementara, tuan tanah mempekerjakan bujang melalui upah.
“Kira-kira, sehari mereka mendapatkan upah sebesar Rp. 25 ribu termasuk makan dan rokoknya. Sementara untuk bujang perempuan hanya Rp. 20 ribu,” terang Agus. Jangan dibayangan bahwa para bujang bekerja tiap hari per bulannya. Karena mereka biasanya hanya bekerja di saat musim tanam dan musim panen. Hal senada juga disampaikan Kang Martha [37] seorang buruh tani setempat.
Kang Martha menambahkan bahwa rata-rata para bujang di kampung tersebut bekerja untuk, sebutlah, Haji Nadi. Oleh warga desa ia dikenal sebagai orang kaya yang baik. Baik di sini dalam pengertian bahwa ia membuka lapangan pekerjaan dengan mengajak warga tak bertanah menjadi bujang. Konon, Sang Haji menguasai hampir 75% dari seluruh lahan persawahan desa.
Selain memiliki bujang, orang seperti Haji Nadi juga menyewakan tanah dengan pembayaran pembagian dari hasil panen. Perimbangannya sebesar 1:1 antara pemilik tanah dan penyewa. Pembagian tersebut masih bersifat kotor. Sang penyewa masih menanggung biaya modal usaha tani, seperti belanja pupuk, obat, benih dan sewa traktor jika diperlukan.
Tony Quizon, pejabat sementara International Land Coalition kawasan Asia, menyebutkan bahwa bagi hasil yang demikian pernah dialami petani filipina pada periode tahun 1960-an. “Now, it is more equal for Philiphino peasant. But That's not enough. Landreform is a must.” tambahnya saat bertemu STN pada Senin [23/06] di Jakarta.
“Oleh karena itu, para buruh tani yang berhimpun dalam kelompok sedang mengusahakan perjuangan bagi hasil yang lebih adil untuk petani penggarap dan menaikkan upah buruh tani. Apalagi kenaikan harga BBM bulan lalu sangat memukul buruh tani di kampung ini,” tegas Agus.
Beternak Itik
Untuk mencukupi penghasilan, para keluarga buruh tani memilih beternak itik yang digembalakan secara tradional. Ada hubungan yang saling menguntungkan antara itik dan padi. Itik tersebut cukup digembalakan di areal persawahan jika panen padi datang. “Tak jarang, kami harus ngangngon itik sampai ke desa tetangga bahkan ke Bekasi. Cari tempat yang sedang panen padi,” tambah Kang Martha.
Gabah sisa potong padi dan nggebot [merontokkan gabah] adalah pakan yang baik. Sehingga Sang pemilik itik tidak perlu biaya ekstra untuk membeli pakan buatan pabrik. Pakan pabrik hanya mereka gunakan untuk titit, sebutan bagi anakan itik, hingga usia dua bulan yang dicampur dengan bekatul, menir dan irisan daging kijing, sejenis kerang yang hidup di air payau.
Apa yang dimanfaatkan dari itik? “Telor untuk yang perempuan dan daging untuk yang jantan,”jawab Pak Lami [43]. Pengalaman memelihara dan menggembalakan itik selama sepuluh tahun terakhir telah mengubah Pak Lami dari seorang buruh tani menjadi pengusaha kecil yang sedikitnya memiliki 3000 ekor itik. Harga telor itik kini mencapai Rp. 1000/butir sementara dagung pejantan laku dijual Rp. 35.000,-/ekor untuk usia lima bulan.
Pertanian Padi Di Karawang
Pertanian padi di Karawang memiliki sejarah yang panjang. Ia dibangun sejak jaman mataram pada masa pemerintahan Sultan Agung. Ketika itu pertanian berfungsi untuk menopang rencana mataram untuk melakukan serangan terhadap Batavia.
Karawang bagian pesisir utara merupakan salah satu daerah pertanian penting dan pemasok terbesar padi bagi kawasan di sekitarnya. Tetapi keadaan tersebut tidak menjadikan masyarakat hidup dalam kesejahteraan. Kemiskinan telah menyebabkan mereka menjual sawah dan bekerja sebagai buruh tani, penyewa tanah maupun buruh migran di luar negeri.
Sementara, banjir dan kekeringan senantiasa mengintai setiap tahunnya. Pada musim penghujan 2006, banjir telah menenggelamkan sekitar 3000 ha areal persawahan. Apabila dalam 1 ha menghasilkan 4 ton gabah, maka jumlah kerugian yang di derita petani di dalam kawasan tersebut berkisar 10.000 – 12.000 ton gabah. Dengan harga rata-rata gabah Rp. 1.800/Kg pada masa itu, ditafsir jumlah nominal kerugian yang diderita mencapai Rp. 21.600.000.000,00 per musim panen.
Tanggung Jawab Negara
“Negara patut bertanggung jawab untuk membantu golongan petani paling miskin di pedesaan dengan melaksanakan reforma agraria sejati [RAS]. Pukulan kenaikan harga BBM tidak cukup ditolong dengan pemberian Bantuan Langsung Tunai semata,” tegas Donny Pradana WR dari Komite Pimpinan Pusat STN. Di lapangan pertanian tanaman pangan, RAS mengandung maksud bahwa tanah pertanian harus dikerjakan atau diusahakan secara aktif oleh pemiliknya sendiri sebagaimana semangat Undang Undang Pokok Agraria No. 5 tahun 1960 [UUPA] pada pasal 10 ayat 1 dan ayat 2.
Di samping itu, RAS juga berarti menjaminkan hak kalangan buruh tani dan tani miskin dengan menurunkan sewa tanah melalui kenaikkan bagi hasil yang lebih mencerminkan keadilan dan kenaikan upah buruh tani. Dari sisi usaha pertanian, RAS patut mengurangi bunga peribaan serta menaikkan harga produk pertanian kaum tani untuk menetralisasi pertengkulakan.
Dapatkah negara hari ini menjalankan UUPA dan RAS?
Monday, June 23, 2008
Buruh Migran Perempuan Dan Petani Miskin Dari Kampung Palasari
FOTO Bu Enting [52] dari Kampung Palasari yang tengah menggarap lahan di Kutatandingan. Peranserta kaum perempuan dalam produksi yang patut diapresiasi tinggi.
-----
KARAWANG, STN. Menjadi buruh migran di negeri orang adalah impian bagi para perempuan di kampung itu. Gaji yang besar sebagai pembantu rumah tangga adalah alasan mereka meninggalkan keluarga. Derita buruh migran teraniaya yang sering ditonton serta didengar dari berbagai media elektronik tak jua menyurutkan langkah. “Desa kami miskin. Kami gak mau ikut [menjadi] miskin,” tutur, sebut saja, Ito.
Ito adalah seorang perempuan muda berusia dua puluh lima tahun dan baru saja menikah pada bulan yang lalu. Sementara rata-rata perempuan seusianya di kampung telah memiliki beberapa orang anak. “Saya telat menikah karena ke Saudi selama tiga putaran,” jelasnya.
Sambil bercerita panjang lebar tentang pekerjaan rumah tangga yang takkala menjadi buruh migran di Saudi, Ito menuturkan bahwa hampir 90% perempuan di kampungnya pernah dan sedang mengenyam pekerjaan sebagai buruh di negeri orang. Sebagian besar dari mereka terbang ke jazirah Arab dan Malaysia. Sementara sebagian lainnya ke Taiwan, Hongkong serta Singapura.
Di antara mereka, para alumni saudi-lah yang terkenal paling bersinar di kampung. Hal ini dicirikan dengan berdirinya rumah tembok bata nan megah. Tak ubahnya seperti rumah di kota besar.
“Kami yang muslim lebih senang memilih majikan yang seagama. Negara-negara Islam adalah tujuan utama kami,” terang Ito. Mereka merasa risih apabila majikan di negara tempat bekerja adalah orang non-muslim. Mengapa? Mereka takut melanggar agama bila hrus memasak makan-makanan yang tidak halal menurut Islam. Oh la la. Ia rupanya tidak tahu bahwa menurut Institute For Migrant Workers [Iwork] bahwa pelecehan seksual sampai pemerkosaan mengintai setiap gerak langkah para buruh migran perempuan Indonesia yang bekerja di kawasan Timur Tengah. Hal ini disampaikan Iwork di artikel berjudul Istilah muskilah yang menyakitkan … dalam situs resminya.
“Itulah keadaan kampung kami. Sebagian besar penduduk di kampung adalah petani miskin yang memiliki kurang dari 0,2 Ha sawah,” kata Atan Nurmana Jaya [39], seorang anggota Serikat Tani Nasional [STN]. Kang Atan, demikian ia biasa disapa, menjelaskan bahwa usaha tani di kampung tersebut bukanlah sawah dengan saluran irigasi teknis. Petani hanya mengandalkan hujan dan memanfaatkan derasnya aliran sungai yang mengalir di seberang kampung pada musim tersebut sebagai sarana irigasi tradional.
Bagaimana masyarakat mengatasi keadaan tersebut? “Masyarakat di kampung ini memilih dua cara untuk mengatasinya, menjadi tenaga kerja di luar negeri atau menggarap di Kutatandingan” jawab Kang Atan.
Kutatandingan adalah sebutan yang diakrabi oleh masyarakat untuk menunjuk kawasan hutan produksi yang dikelola Perhutani. Pengelolaan tersebut dilakukan oleh KPH Purwakarta melalui BKPH Teluk Jambe dan BKPH Pangkalan. Namun keberadaan petani penggarap di kawasan ini menuai reaksi dari pihak Perhutani. Salah satunya adalah praktek pemungut pajak di Kutatandingan.
Kampung Palasari berbatasan langsung dengan kawasan hutan Kutatandingan. Secara administrasi, ia berada dalam wilayah Desa Kutalanggeng, Kecamatan Tegalwaru Kabupaten Karawang. Untuk menuju kampung ini dibutuhkan waktu 1,5 jam berkendaraan dari ibukota Karawang menuju arah selatan.
Sampai kapan perempuan dan petani miskin Kampung Palasari bisa bertahan?
-----
KARAWANG, STN. Menjadi buruh migran di negeri orang adalah impian bagi para perempuan di kampung itu. Gaji yang besar sebagai pembantu rumah tangga adalah alasan mereka meninggalkan keluarga. Derita buruh migran teraniaya yang sering ditonton serta didengar dari berbagai media elektronik tak jua menyurutkan langkah. “Desa kami miskin. Kami gak mau ikut [menjadi] miskin,” tutur, sebut saja, Ito.
Ito adalah seorang perempuan muda berusia dua puluh lima tahun dan baru saja menikah pada bulan yang lalu. Sementara rata-rata perempuan seusianya di kampung telah memiliki beberapa orang anak. “Saya telat menikah karena ke Saudi selama tiga putaran,” jelasnya.
Sambil bercerita panjang lebar tentang pekerjaan rumah tangga yang takkala menjadi buruh migran di Saudi, Ito menuturkan bahwa hampir 90% perempuan di kampungnya pernah dan sedang mengenyam pekerjaan sebagai buruh di negeri orang. Sebagian besar dari mereka terbang ke jazirah Arab dan Malaysia. Sementara sebagian lainnya ke Taiwan, Hongkong serta Singapura.
Di antara mereka, para alumni saudi-lah yang terkenal paling bersinar di kampung. Hal ini dicirikan dengan berdirinya rumah tembok bata nan megah. Tak ubahnya seperti rumah di kota besar.
“Kami yang muslim lebih senang memilih majikan yang seagama. Negara-negara Islam adalah tujuan utama kami,” terang Ito. Mereka merasa risih apabila majikan di negara tempat bekerja adalah orang non-muslim. Mengapa? Mereka takut melanggar agama bila hrus memasak makan-makanan yang tidak halal menurut Islam. Oh la la. Ia rupanya tidak tahu bahwa menurut Institute For Migrant Workers [Iwork] bahwa pelecehan seksual sampai pemerkosaan mengintai setiap gerak langkah para buruh migran perempuan Indonesia yang bekerja di kawasan Timur Tengah. Hal ini disampaikan Iwork di artikel berjudul Istilah muskilah yang menyakitkan … dalam situs resminya.
“Itulah keadaan kampung kami. Sebagian besar penduduk di kampung adalah petani miskin yang memiliki kurang dari 0,2 Ha sawah,” kata Atan Nurmana Jaya [39], seorang anggota Serikat Tani Nasional [STN]. Kang Atan, demikian ia biasa disapa, menjelaskan bahwa usaha tani di kampung tersebut bukanlah sawah dengan saluran irigasi teknis. Petani hanya mengandalkan hujan dan memanfaatkan derasnya aliran sungai yang mengalir di seberang kampung pada musim tersebut sebagai sarana irigasi tradional.
Bagaimana masyarakat mengatasi keadaan tersebut? “Masyarakat di kampung ini memilih dua cara untuk mengatasinya, menjadi tenaga kerja di luar negeri atau menggarap di Kutatandingan” jawab Kang Atan.
Kutatandingan adalah sebutan yang diakrabi oleh masyarakat untuk menunjuk kawasan hutan produksi yang dikelola Perhutani. Pengelolaan tersebut dilakukan oleh KPH Purwakarta melalui BKPH Teluk Jambe dan BKPH Pangkalan. Namun keberadaan petani penggarap di kawasan ini menuai reaksi dari pihak Perhutani. Salah satunya adalah praktek pemungut pajak di Kutatandingan.
Kampung Palasari berbatasan langsung dengan kawasan hutan Kutatandingan. Secara administrasi, ia berada dalam wilayah Desa Kutalanggeng, Kecamatan Tegalwaru Kabupaten Karawang. Untuk menuju kampung ini dibutuhkan waktu 1,5 jam berkendaraan dari ibukota Karawang menuju arah selatan.
Sampai kapan perempuan dan petani miskin Kampung Palasari bisa bertahan?
Tuesday, June 17, 2008
Pemungut Pajak Di Kutatandingan
FOTO kawasan Kutatandingan yang kering dan ditelantarkan oleh KPH Perum Perhutani Purwakarta. Sejak 1997 dimanfaatkan oleh petani miskin tak bertanah untuk bertani ala kadarnya.
-----
KARAWANG, STN. Sebut saja ia bernama Asman. Usianya sudah melebihi setengah abad. Namun badannya tampak kokoh, khas petani yang gemar bekerja keras di ladang dan sawah. Rumahnya berada di Kampung Palasari yang berbatasan dengan kawasan hutan Kutatandingan. Secara administrasi, kampungnya masuk dalam wilayah Desa Kutalanggeng Kec. Tegalwaru Kab. Karawang. Ia mengaku kurang gembira setiap panen padi tiba. “Saya dan beberapa orang petani lainnya sering dipunguti pajak,” akunya kesal.
Asman dan lima orang petani lainnya, sebut saja bernama Edi, Adung, Kemud, Juli dan Anip, adalah para penggarap ladang di kawasan Perhutani yang hingga hari ini masih bertahan.
Semuanya berawal dari tahun 2004. Ketika itu, Perhutani Bagian Kesatuan Pemangkuan Hutan [BKPH] Pangkalan selesai melakukan kegiatan pemanenan kayu akasia di petak yang dikenal oleh masyarakat sebagai Cikadut. Pihak Perhutani memperkenankan masyarakat untuk membersihkan tunggak-tunggak kayu dan mengusahai lahan tersebut untuk berladang. Namun, ‘izin’ tersebut dibarengi dengan pungutan sebesar Rp. 10.000,- per orang sebagai biaya ‘pendaftaran’.
Asman dan kawan-kawannya serta puluhan petani miskin tak bertanah lainnya terpaksa menerima syarat tersebut. “Kami tidak berani membantah, Pak,” kenangnya.
Rupanya bukan hanya biaya pendaftaran saja yang dipungut. Ketika memasuki musim panen padi ladang para penggarap kembali dimintai pungutan. Kali ini upeti yang mesti diserahkan ditetapkan sebesar jumlah bibit yang ditanam pada areal garapan tiap petani. “Kalau seorang petani penggarap memerlukan 2 kuintal bibit padi maka sebesar 2 kuintal gabah wajib diserahkan di saat musim panen,” jelas Asman.
“Di Cikadut kami hanya bertahan dua tahun. Karena tanah sudah kurang subur setelah empat musim tanam padi ladang. Tahun 2006 kami pindah ke blok hutan Cijambe,” lanjutnya. Di blok tersebut Perhutani baru saja selesai memanen kayu akasia. “Tapi biaya pendaftaran tetap membebani kami. Kali ini sebesar Rp. 50.000,- per orang. Lebih mahal, Untuk pungutan tiap musim panen padi mah tetep,” tuturnya sembari mengelus dada.
Jadi, siapa sebenarnya yang memungut itu? Asman hanya menyebut nama Sholeh dan Aseng. Setelah ditelusuri lebih lanjut, ternyata Aseng adalah salah seorang pengurus Lembaga Masyarakat Desa Hutan [LMDH] Langgeng Sari Desa Kutalanggeng.
Menduduki Kutatandingan
Kutatandingan adalah sebutan yang diakrabi oleh masyarakat untuk menunjuk kawasan hutan produksi yang dikelola Perhutani. Pengelolaan tersebut dilakukan oleh Kesatuan Pemangkuan Hutan [KPH] Purwakarta melalui BKPH Teluk Jambe dan BKPH Pangkalan. Kawasan seluas ± 7200 ha ini meliputi lima kecamatan yakni Ciampel, Teluk Jambe Barat, Teluk Jambe Timur, Pangkalan dan Tegalwaru.
Atan Nurmana Jaya [39], anggota Serikat Tani Nasional [STN], menuturkan bahwa Kutatandingan sejak 1997 relatif ditelantarkan oleh Perhutani. Lahan bekas tebangan tanaman jati yang diusahai pada masa masa lalu dibiarkan terbengkalai. Sementara di sisi lain, masyasrakat yang tinggal di sekitar Kutatandingan didera kemiskinan berkepanjangan akibat ketidak-cukupan lahan usaha pertanian.
Kang Atan, demikian ia biasa disapa, adalah golongan petani miskin sebagaimana layaknya penduduk lain di Kampung Palasari. Luasan sawah yang digarapnya hanya 1800 meter persegi. Itupun lahan waris milik orang tuanya. Demikian juga dengan para tetangganya. Sawah yang mereka miliki rata-rata tak kurang dari 0,2 Ha. “Makanya sejak 1999, saya dan petani miskin lainnya menggarap ladang di kawasan Kutatandingan,” jelasnya
Di tengah gelora reformasi 1998, Kutatandingan diduduki oleh petani yang miskin dan kaum tak bertanah. Mereka membersihkan areal yang terbengkalai dari sisa-sisa tunggak tanaman jati dan menanaminya dengan padi lading jenis lokal yang dikenal dengan nama kokosan, beragam palawija dan pisang-pisangan. “Kami tanami tanaman kayu seperti jeunjing/sengon/albazia, kayu kapuk, kayu nangka dan petani serta jengkol di areal miring agar tidak longsor,” tambah bapak satu anak ini.
Mereka yang duduk di Kutatandingan tidak hanya berasal dari desa-desa sekitar Kutatandingan. Kaum miskin tak bertanah dari berbagai pelosok di Kabupaten Karawang juga berdatangan dan turut mengusahai tanah tersebut. Bahkan ada juga yang berasal dari luar kota, termasuk mereka yang berketurunan suku Bugis dan orang Batak.
“Kemiskinan dan ketiadaan lahan di kampung asal mengharuskan kami seperti ini. Kalau Negara ini serius mengentaskan kemiskinan petani, jalankan landreform dan UUPA [Undang Undang Pokok Agraria -- red] dong!,” tandasnya.
Kini Kutatandingan telah dihuni ribuan keluarga. Di beberapa tempat telah berdiri perkampungan dan diakui keberadaanya oleh Pemerintah Kabupaten Karawang. Pengakuan tersebut ditunjukkan dengan terbitnya Kartu Tanda Penduduk [KTP] dan Kartu Keluarga [KK]. Sebut saja sebuah kampung bernama Cibulakan. Ia memiliki perangkat pemerintahan lokal dan diakui secara administrasi sebagai RT 14 Desa Parungmulya Kec. Ciampel.
Bukankah keadaan yang demikian berakibat pada tumpang-tindihnya kepentingan antara Pemkab Karawang dan Perhutani?
Tindakan Perhutani
Perhutani ternyata tidak tinggal diam atas pendudukan yang dilakukan oleh masyarakat. Menurut Drs. Rahmat selaku Kepala BKPH Teluk Jambe dalam forum dengar pendapat antara STN dengan Perhutani tahun 2005 mengatakan bahwa masyarakat akan diajak bekerja sama dalam pengelolaan hutan di Kutatandingan.
Sejak tahun 2006 pihak Perhutani mendirikan LMDH di beberapa desa sekitar Kutatandingan. Jajaran pengurus LMDH dipilih sepihak dari kalangan birokrasi desa dan petani kaya. Keikutsertaan petani penggarap kurang mendapat perhatian. Oleh karennya LMDH cenderung berpihak pada Perhutani.
“Sekiranya Negara RI patut dengan segera malaksanakan reforma agraria sejati di kawasan hutan. Kawasan-kawasan hutan produksi yang telah dikelola oleh petani penggarap patut segera dilepaskan status kawasannya, “ tegas Donny Pradana WR dari Komite Pimpinan Pusat STN. Setelah itu, wilayah kelola tersebut harus diakui oleh negara RI sebagai alat produksi masyarakat untuk hak atas pangan. “Dan hal mendesak yang harus diberantas adalah tindakan pemungutan pajak secara sepihak kepada petani penggarap.”
-----
KARAWANG, STN. Sebut saja ia bernama Asman. Usianya sudah melebihi setengah abad. Namun badannya tampak kokoh, khas petani yang gemar bekerja keras di ladang dan sawah. Rumahnya berada di Kampung Palasari yang berbatasan dengan kawasan hutan Kutatandingan. Secara administrasi, kampungnya masuk dalam wilayah Desa Kutalanggeng Kec. Tegalwaru Kab. Karawang. Ia mengaku kurang gembira setiap panen padi tiba. “Saya dan beberapa orang petani lainnya sering dipunguti pajak,” akunya kesal.
Asman dan lima orang petani lainnya, sebut saja bernama Edi, Adung, Kemud, Juli dan Anip, adalah para penggarap ladang di kawasan Perhutani yang hingga hari ini masih bertahan.
Semuanya berawal dari tahun 2004. Ketika itu, Perhutani Bagian Kesatuan Pemangkuan Hutan [BKPH] Pangkalan selesai melakukan kegiatan pemanenan kayu akasia di petak yang dikenal oleh masyarakat sebagai Cikadut. Pihak Perhutani memperkenankan masyarakat untuk membersihkan tunggak-tunggak kayu dan mengusahai lahan tersebut untuk berladang. Namun, ‘izin’ tersebut dibarengi dengan pungutan sebesar Rp. 10.000,- per orang sebagai biaya ‘pendaftaran’.
Asman dan kawan-kawannya serta puluhan petani miskin tak bertanah lainnya terpaksa menerima syarat tersebut. “Kami tidak berani membantah, Pak,” kenangnya.
Rupanya bukan hanya biaya pendaftaran saja yang dipungut. Ketika memasuki musim panen padi ladang para penggarap kembali dimintai pungutan. Kali ini upeti yang mesti diserahkan ditetapkan sebesar jumlah bibit yang ditanam pada areal garapan tiap petani. “Kalau seorang petani penggarap memerlukan 2 kuintal bibit padi maka sebesar 2 kuintal gabah wajib diserahkan di saat musim panen,” jelas Asman.
“Di Cikadut kami hanya bertahan dua tahun. Karena tanah sudah kurang subur setelah empat musim tanam padi ladang. Tahun 2006 kami pindah ke blok hutan Cijambe,” lanjutnya. Di blok tersebut Perhutani baru saja selesai memanen kayu akasia. “Tapi biaya pendaftaran tetap membebani kami. Kali ini sebesar Rp. 50.000,- per orang. Lebih mahal, Untuk pungutan tiap musim panen padi mah tetep,” tuturnya sembari mengelus dada.
Jadi, siapa sebenarnya yang memungut itu? Asman hanya menyebut nama Sholeh dan Aseng. Setelah ditelusuri lebih lanjut, ternyata Aseng adalah salah seorang pengurus Lembaga Masyarakat Desa Hutan [LMDH] Langgeng Sari Desa Kutalanggeng.
Menduduki Kutatandingan
Kutatandingan adalah sebutan yang diakrabi oleh masyarakat untuk menunjuk kawasan hutan produksi yang dikelola Perhutani. Pengelolaan tersebut dilakukan oleh Kesatuan Pemangkuan Hutan [KPH] Purwakarta melalui BKPH Teluk Jambe dan BKPH Pangkalan. Kawasan seluas ± 7200 ha ini meliputi lima kecamatan yakni Ciampel, Teluk Jambe Barat, Teluk Jambe Timur, Pangkalan dan Tegalwaru.
Atan Nurmana Jaya [39], anggota Serikat Tani Nasional [STN], menuturkan bahwa Kutatandingan sejak 1997 relatif ditelantarkan oleh Perhutani. Lahan bekas tebangan tanaman jati yang diusahai pada masa masa lalu dibiarkan terbengkalai. Sementara di sisi lain, masyasrakat yang tinggal di sekitar Kutatandingan didera kemiskinan berkepanjangan akibat ketidak-cukupan lahan usaha pertanian.
Kang Atan, demikian ia biasa disapa, adalah golongan petani miskin sebagaimana layaknya penduduk lain di Kampung Palasari. Luasan sawah yang digarapnya hanya 1800 meter persegi. Itupun lahan waris milik orang tuanya. Demikian juga dengan para tetangganya. Sawah yang mereka miliki rata-rata tak kurang dari 0,2 Ha. “Makanya sejak 1999, saya dan petani miskin lainnya menggarap ladang di kawasan Kutatandingan,” jelasnya
Di tengah gelora reformasi 1998, Kutatandingan diduduki oleh petani yang miskin dan kaum tak bertanah. Mereka membersihkan areal yang terbengkalai dari sisa-sisa tunggak tanaman jati dan menanaminya dengan padi lading jenis lokal yang dikenal dengan nama kokosan, beragam palawija dan pisang-pisangan. “Kami tanami tanaman kayu seperti jeunjing/sengon/albazia, kayu kapuk, kayu nangka dan petani serta jengkol di areal miring agar tidak longsor,” tambah bapak satu anak ini.
Mereka yang duduk di Kutatandingan tidak hanya berasal dari desa-desa sekitar Kutatandingan. Kaum miskin tak bertanah dari berbagai pelosok di Kabupaten Karawang juga berdatangan dan turut mengusahai tanah tersebut. Bahkan ada juga yang berasal dari luar kota, termasuk mereka yang berketurunan suku Bugis dan orang Batak.
“Kemiskinan dan ketiadaan lahan di kampung asal mengharuskan kami seperti ini. Kalau Negara ini serius mengentaskan kemiskinan petani, jalankan landreform dan UUPA [Undang Undang Pokok Agraria -- red] dong!,” tandasnya.
Kini Kutatandingan telah dihuni ribuan keluarga. Di beberapa tempat telah berdiri perkampungan dan diakui keberadaanya oleh Pemerintah Kabupaten Karawang. Pengakuan tersebut ditunjukkan dengan terbitnya Kartu Tanda Penduduk [KTP] dan Kartu Keluarga [KK]. Sebut saja sebuah kampung bernama Cibulakan. Ia memiliki perangkat pemerintahan lokal dan diakui secara administrasi sebagai RT 14 Desa Parungmulya Kec. Ciampel.
Bukankah keadaan yang demikian berakibat pada tumpang-tindihnya kepentingan antara Pemkab Karawang dan Perhutani?
Tindakan Perhutani
Perhutani ternyata tidak tinggal diam atas pendudukan yang dilakukan oleh masyarakat. Menurut Drs. Rahmat selaku Kepala BKPH Teluk Jambe dalam forum dengar pendapat antara STN dengan Perhutani tahun 2005 mengatakan bahwa masyarakat akan diajak bekerja sama dalam pengelolaan hutan di Kutatandingan.
Sejak tahun 2006 pihak Perhutani mendirikan LMDH di beberapa desa sekitar Kutatandingan. Jajaran pengurus LMDH dipilih sepihak dari kalangan birokrasi desa dan petani kaya. Keikutsertaan petani penggarap kurang mendapat perhatian. Oleh karennya LMDH cenderung berpihak pada Perhutani.
“Sekiranya Negara RI patut dengan segera malaksanakan reforma agraria sejati di kawasan hutan. Kawasan-kawasan hutan produksi yang telah dikelola oleh petani penggarap patut segera dilepaskan status kawasannya, “ tegas Donny Pradana WR dari Komite Pimpinan Pusat STN. Setelah itu, wilayah kelola tersebut harus diakui oleh negara RI sebagai alat produksi masyarakat untuk hak atas pangan. “Dan hal mendesak yang harus diberantas adalah tindakan pemungutan pajak secara sepihak kepada petani penggarap.”
Saturday, June 14, 2008
Dirjen PLA Deptan RI Turut Kritis Atas Rencana Pembangunan Bandara Internasional Jawa Barat
MAJALENGKA, STN. Kiranya pihak Direktorat Jendral Pengelolaan Lahan Dan Air Departemen Pertanian RI [Dirjen PLA Deptan RI] harus memenuhi janjinya. Komitmen Ir. Tangkas Panjaitan, M.Ag.Sc yang mewakili departemen tersebut dalam temu wicara [20/05] sekiranya menggembirakan para petani miskin Desa Sukamulya Kecamatan Kertajati Kabupaten Majalengka.
Hal tersebut termaksud dalam surat Direktorat Pengelolaan Lahan Dirjen PLA Deptan RI bernomor 166/PP.400/B.3/05/08 perihal rencana alih fungsi lahan sawah. Mereka meminta kepada Kepala Dinas Tanaman Pangan dan Hortikultura Propinsi Jawa Barat dan Kepala Dinas Pertanian Kab. Majalengka agar menyerap aspirasi petani yang tergabung dalam Forum Komunikasi Rakyat Bersatu [FKRB] untuk meninjau ulang KA AMDAL. Hal ini berkaitan dengan rencana pembangunan Bandara Internasional Jawa Barat [BIJB] di kawasan tersebut.
Koreksi Data
Dalam surat tertangal 29 Mei 2008 dan ditandatangani oleh Ir. Suhartanto MM selaku Direktur Pengelolaan Lahan juga disebutkan pentingnya koreksi data produksi sawah tadah hujan yang tertulis dalam KA AMDAL. Data yang tertulis sebesar 0,6 ton GKP per hektar seyogyanya adalah sekitar 6 ton GKP per hektar.
Besarnya produksi sawah tadah hujan tersebut menjadi salah satu dasar ketidaksediaan para petani miskin apabila lahan pertanian dan pemukimannya dibangun menjadi BIJB.
"Departemen Pertanian RI telah bertindak tepat. FKRB telah mendesak mereka dengan langkah yang tepat pula. Namun kami tidak lantas berpuas diri. Mengawal proses surat tersebut adalah agenda kami selanjutnya agar tidak menyeleweng dari perjuangan ini," tegas Donny Pradana WR dari Komite Pimpinan Pusat Serikat Tani Nasional [KPP STN].
Ikhwal Sengketa
Desa Sukamulya adalah satu dari sebelas desa yang menjadi korban rencana pembangunan BIJB di Kecamatan Kertajati. Rencana ini diajukan oleh Dinas Perhubungan Propinsi Jawa Barat. Pada tahun 2006 lalu sebuah tim meneliti kelayakan lingkungan di sekitar lokasi rencana pembangunan BIJB dan membuahkan dokumen KA AMDAL yang menjadi acuan proyek selanjutnya.
Berbagai upaya perjuangan FKRB telah dilakukan. Terakhir, mereka bersama KPP STN menyelenggarakan kegiatan yang bertepatan dengan hari jadi desa dan dihadiri oleh kalangan Departemen Pertanian RI.
Hal tersebut termaksud dalam surat Direktorat Pengelolaan Lahan Dirjen PLA Deptan RI bernomor 166/PP.400/B.3/05/08 perihal rencana alih fungsi lahan sawah. Mereka meminta kepada Kepala Dinas Tanaman Pangan dan Hortikultura Propinsi Jawa Barat dan Kepala Dinas Pertanian Kab. Majalengka agar menyerap aspirasi petani yang tergabung dalam Forum Komunikasi Rakyat Bersatu [FKRB] untuk meninjau ulang KA AMDAL. Hal ini berkaitan dengan rencana pembangunan Bandara Internasional Jawa Barat [BIJB] di kawasan tersebut.
Koreksi Data
Dalam surat tertangal 29 Mei 2008 dan ditandatangani oleh Ir. Suhartanto MM selaku Direktur Pengelolaan Lahan juga disebutkan pentingnya koreksi data produksi sawah tadah hujan yang tertulis dalam KA AMDAL. Data yang tertulis sebesar 0,6 ton GKP per hektar seyogyanya adalah sekitar 6 ton GKP per hektar.
Besarnya produksi sawah tadah hujan tersebut menjadi salah satu dasar ketidaksediaan para petani miskin apabila lahan pertanian dan pemukimannya dibangun menjadi BIJB.
"Departemen Pertanian RI telah bertindak tepat. FKRB telah mendesak mereka dengan langkah yang tepat pula. Namun kami tidak lantas berpuas diri. Mengawal proses surat tersebut adalah agenda kami selanjutnya agar tidak menyeleweng dari perjuangan ini," tegas Donny Pradana WR dari Komite Pimpinan Pusat Serikat Tani Nasional [KPP STN].
Ikhwal Sengketa
Desa Sukamulya adalah satu dari sebelas desa yang menjadi korban rencana pembangunan BIJB di Kecamatan Kertajati. Rencana ini diajukan oleh Dinas Perhubungan Propinsi Jawa Barat. Pada tahun 2006 lalu sebuah tim meneliti kelayakan lingkungan di sekitar lokasi rencana pembangunan BIJB dan membuahkan dokumen KA AMDAL yang menjadi acuan proyek selanjutnya.
Berbagai upaya perjuangan FKRB telah dilakukan. Terakhir, mereka bersama KPP STN menyelenggarakan kegiatan yang bertepatan dengan hari jadi desa dan dihadiri oleh kalangan Departemen Pertanian RI.
Thursday, June 12, 2008
Dua Petani Pencuri 'Mbosa' Akhirnya Divonis 2,5 Bulan
BAWEN, STN. Setelah mengalami sekali persidangan di PN Kabupaten Semarang, Senin [09/06] Tuwolo [30-an] dan Budi [25] divonis bersalah dan dijatuhi hukuman selama 2,5 bulan potong masa tahanan. Keduanya adalah anggota kelompok tani yang menginduk pada Serikat Tani Nasional [STN] di Dusun Kalisalak Desa Lemahireng Kecamatan Bawen Kabupaten Semarang.
"Yang pasti mereka akan menghirup udara bebas pada hari Minggu 06 Juli 2008," jelas Sungkowo, anggota polisi dari Polsek Tengaran Kabupaten Semarang yang memantau jalannya persidangan.
Tanggapan Komnas HAM
Komisoner Komnas HAM dari Sub komisi Pemantauan, Johny Nelson Simanjuntak, mengemukakan simpatinya atas hal ini. Melalui email ia menyatakan bahwa Komnas HAM beritikad untuk mengambil tindakan yang merupakan wewenang Komnas HAM. Semisal melihat ke lapangan, memanggil PTPN yang bersangkutan atau tindakan lain yang mungkin dilakukan. "Saya berharap bahwa kerjasama yang sedang dan akan dibangun memberi manfaat maksimal untuk petani," tulisnya diakhir email yang dikirimkan kepada STN.
Donny Pradana WR dari KPP STN mengemukakan rencana penyelenggaraan dialog terbuka atas kasus mboso yang melibatkan para pihak, termasuk Komnas HAM. Kegiatan ini dimaksudkan sebagai upaya awal kampanye massa tentang hak memungut mbosa sebagai jalan keluar jangka pendek untuk mengatasi krisis kehidupan akibat kenaikan harga BBM.
Baca juga artikel sebelumnya yang berjudul Mengumpulkan 'Mbosa' Karena Miskin
"Yang pasti mereka akan menghirup udara bebas pada hari Minggu 06 Juli 2008," jelas Sungkowo, anggota polisi dari Polsek Tengaran Kabupaten Semarang yang memantau jalannya persidangan.
Tanggapan Komnas HAM
Komisoner Komnas HAM dari Sub komisi Pemantauan, Johny Nelson Simanjuntak, mengemukakan simpatinya atas hal ini. Melalui email ia menyatakan bahwa Komnas HAM beritikad untuk mengambil tindakan yang merupakan wewenang Komnas HAM. Semisal melihat ke lapangan, memanggil PTPN yang bersangkutan atau tindakan lain yang mungkin dilakukan. "Saya berharap bahwa kerjasama yang sedang dan akan dibangun memberi manfaat maksimal untuk petani," tulisnya diakhir email yang dikirimkan kepada STN.
Donny Pradana WR dari KPP STN mengemukakan rencana penyelenggaraan dialog terbuka atas kasus mboso yang melibatkan para pihak, termasuk Komnas HAM. Kegiatan ini dimaksudkan sebagai upaya awal kampanye massa tentang hak memungut mbosa sebagai jalan keluar jangka pendek untuk mengatasi krisis kehidupan akibat kenaikan harga BBM.
Baca juga artikel sebelumnya yang berjudul Mengumpulkan 'Mbosa' Karena Miskin
Monday, June 2, 2008
Mengumpulkan 'Mbosa' Karena Miskin
BAWEN. STN. "Ada dua orang warga sini yang ditangkap mandor kebun sekitar tanggal 20-an bulan April lalu. Saat ini mereka mendekam di tahanan Polsek Bawen. Pihak PTPN menuduh mereka mencuri 10 Kg mbosa seharga Rp. 10.000,-. Sungguh Keterlaluan!," geram Mbah Mangun [70] seorang anggota kelompok tani setempat yang tergabung dalam Serikat Tani nasional.
Mbosa adalah sisa tetes getah karet. Mengumpulkan mbosa adalah pekerjaan yang sama pentingnya dengan bertani bagi kalangan petani miskin dan buruh tani di sekitar perkebunan karet PTPN XIII. Perusahaan perkebunan tersebut memiliki kurang lebih 470 Ha areal tanaman karet yang terhampar di Kecamatan Bawen Kabupaten Semarang, Jawa Tengah.
Dua orang yang ditangkap adalah warga Dusun kalisalak Desa Lemahireng Kecamatan Bawen Kabupaten Semarang, Jawa Tengah. Mereka adalah Tuwolo [30-an] yang telah berkeluarga dengan satu orang anak dan Budi [25] yang kebetulan masih melajang. Keduanya juga anggota kelompok tani yang dianggotai Mbah Mangun.
Hingga saat ini, keduanya dititipkan dalam tahanan Polsek Bawen oleh pihak kejaksaan setempat. Sementara dalam bulan ini akan diselenggarakan persidangan tanpa adanya pembelaan hukum yang berarti.
Tentu saja hal ini membuat Mbah Mangun pantas geram. Bagaimana ia tidak geram?
Pertama, mbosa tak lebih dari getah karet yang jatuh ke tanah. Setelah bercampur dengan tanah, gerah karet tersebut tak lagi berwarna putih susu dengan bau menyengat seperti telur busuk. Jadi, mbosa lebih tepat disebut limbah/sampah dari pada sebagai getah karet.
Kedua, terlambatnya informasi penangkapan Tuwolo dan Budi yang diterima oleh kelompok tanimengakibatkan tidak tertanganinya pembelaan hukum yang memadai bagi keduanya.
Kemiskinan
Sejak bergulirnya reformasi 1998 yang lalu, anggota kolompok tani dan masyarakat Dusun Kalisalak dengan gagah berani telah menggarap 41 Ha tanah terlantar di areal PTPN XIII. Namun pendapatan yang dihasilkan dari usaha bertani di atas tanah tersebut hanya mencukupi untuk keperluan makan sehari-hari.
"Bagaimana dengan biaya sekolah anak dan kebutuhan lain di luar makan? Apalagi kini harga-harga sembako makin mahal setelah BBM dinaikkan oleh pemerintah SBY-JK. Maka kita harus bisa bertahan hidup dari apa yang didapat si sekitar kebun karet", jelas Barno [35] aktifis Serikat Tani Nasional yang memimpin kelompok tani Dusun Kalisalak.
Diduga kuat pihak mandor dan sinder perkebunan memang sengaja mengumpulkan dan menjual mbosa ke kalangan penadah untuk mendapatkan sekedar uang tambahan. Mereka merasa tersaingi dengan keberadaan warga miskin yang juga turut mengumpulkan mbosa.
Keadaan serupa juga terjadi Desa Sedandang Kecamatan Pageruyung Kabupaten Kendal, Jawa Tengah, sebagaimana tersaji dalam artikel Kompas, Rabu 09 April 2008 yang lalu berjudul Kemiskinan; Mengais Sisa-sisa Tetes Getah Karet.
Dengan demikian kesejahteraan warga di sekitar perkebunan patut menjadi perhatian penting oleh negara. Sekiranya, Program Pembaruan Agraria Nasional yang hendak dicanangkan oleh pemerintahan SBY-JK harus diletakkan sebagai sebuah kerangka untuk memberikan pengakuan atas 41 Ha areal terlantar PTPN XIII yang digarap kaum tani dan pemberian hak memungut mbosa sebagai jalan keluar jangka pendek untuk mengatasi krisis kehidupan akibat kenaikan harga BBM.
"Apabila hal tersbut tidak dijalankan maka PPAN bukanlah reforma agraria sejati," tandas Donny Pradana WR dari Komite Pimpinan Pusat Serikat Tani Nasional.
Mbosa adalah sisa tetes getah karet. Mengumpulkan mbosa adalah pekerjaan yang sama pentingnya dengan bertani bagi kalangan petani miskin dan buruh tani di sekitar perkebunan karet PTPN XIII. Perusahaan perkebunan tersebut memiliki kurang lebih 470 Ha areal tanaman karet yang terhampar di Kecamatan Bawen Kabupaten Semarang, Jawa Tengah.
Dua orang yang ditangkap adalah warga Dusun kalisalak Desa Lemahireng Kecamatan Bawen Kabupaten Semarang, Jawa Tengah. Mereka adalah Tuwolo [30-an] yang telah berkeluarga dengan satu orang anak dan Budi [25] yang kebetulan masih melajang. Keduanya juga anggota kelompok tani yang dianggotai Mbah Mangun.
Hingga saat ini, keduanya dititipkan dalam tahanan Polsek Bawen oleh pihak kejaksaan setempat. Sementara dalam bulan ini akan diselenggarakan persidangan tanpa adanya pembelaan hukum yang berarti.
Tentu saja hal ini membuat Mbah Mangun pantas geram. Bagaimana ia tidak geram?
Pertama, mbosa tak lebih dari getah karet yang jatuh ke tanah. Setelah bercampur dengan tanah, gerah karet tersebut tak lagi berwarna putih susu dengan bau menyengat seperti telur busuk. Jadi, mbosa lebih tepat disebut limbah/sampah dari pada sebagai getah karet.
Kedua, terlambatnya informasi penangkapan Tuwolo dan Budi yang diterima oleh kelompok tanimengakibatkan tidak tertanganinya pembelaan hukum yang memadai bagi keduanya.
Kemiskinan
Sejak bergulirnya reformasi 1998 yang lalu, anggota kolompok tani dan masyarakat Dusun Kalisalak dengan gagah berani telah menggarap 41 Ha tanah terlantar di areal PTPN XIII. Namun pendapatan yang dihasilkan dari usaha bertani di atas tanah tersebut hanya mencukupi untuk keperluan makan sehari-hari.
"Bagaimana dengan biaya sekolah anak dan kebutuhan lain di luar makan? Apalagi kini harga-harga sembako makin mahal setelah BBM dinaikkan oleh pemerintah SBY-JK. Maka kita harus bisa bertahan hidup dari apa yang didapat si sekitar kebun karet", jelas Barno [35] aktifis Serikat Tani Nasional yang memimpin kelompok tani Dusun Kalisalak.
Diduga kuat pihak mandor dan sinder perkebunan memang sengaja mengumpulkan dan menjual mbosa ke kalangan penadah untuk mendapatkan sekedar uang tambahan. Mereka merasa tersaingi dengan keberadaan warga miskin yang juga turut mengumpulkan mbosa.
Keadaan serupa juga terjadi Desa Sedandang Kecamatan Pageruyung Kabupaten Kendal, Jawa Tengah, sebagaimana tersaji dalam artikel Kompas, Rabu 09 April 2008 yang lalu berjudul Kemiskinan; Mengais Sisa-sisa Tetes Getah Karet.
Dengan demikian kesejahteraan warga di sekitar perkebunan patut menjadi perhatian penting oleh negara. Sekiranya, Program Pembaruan Agraria Nasional yang hendak dicanangkan oleh pemerintahan SBY-JK harus diletakkan sebagai sebuah kerangka untuk memberikan pengakuan atas 41 Ha areal terlantar PTPN XIII yang digarap kaum tani dan pemberian hak memungut mbosa sebagai jalan keluar jangka pendek untuk mengatasi krisis kehidupan akibat kenaikan harga BBM.
"Apabila hal tersbut tidak dijalankan maka PPAN bukanlah reforma agraria sejati," tandas Donny Pradana WR dari Komite Pimpinan Pusat Serikat Tani Nasional.
Subscribe to:
Posts (Atom)