FOTO Bu Enting [52] dari Kampung Palasari yang tengah menggarap lahan di Kutatandingan. Peranserta kaum perempuan dalam produksi yang patut diapresiasi tinggi.
-----
KARAWANG, STN. Menjadi buruh migran di negeri orang adalah impian bagi para perempuan di kampung itu. Gaji yang besar sebagai pembantu rumah tangga adalah alasan mereka meninggalkan keluarga. Derita buruh migran teraniaya yang sering ditonton serta didengar dari berbagai media elektronik tak jua menyurutkan langkah. “Desa kami miskin. Kami gak mau ikut [menjadi] miskin,” tutur, sebut saja, Ito.
Ito adalah seorang perempuan muda berusia dua puluh lima tahun dan baru saja menikah pada bulan yang lalu. Sementara rata-rata perempuan seusianya di kampung telah memiliki beberapa orang anak. “Saya telat menikah karena ke Saudi selama tiga putaran,” jelasnya.
Sambil bercerita panjang lebar tentang pekerjaan rumah tangga yang takkala menjadi buruh migran di Saudi, Ito menuturkan bahwa hampir 90% perempuan di kampungnya pernah dan sedang mengenyam pekerjaan sebagai buruh di negeri orang. Sebagian besar dari mereka terbang ke jazirah Arab dan Malaysia. Sementara sebagian lainnya ke Taiwan, Hongkong serta Singapura.
Di antara mereka, para alumni saudi-lah yang terkenal paling bersinar di kampung. Hal ini dicirikan dengan berdirinya rumah tembok bata nan megah. Tak ubahnya seperti rumah di kota besar.
“Kami yang muslim lebih senang memilih majikan yang seagama. Negara-negara Islam adalah tujuan utama kami,” terang Ito. Mereka merasa risih apabila majikan di negara tempat bekerja adalah orang non-muslim. Mengapa? Mereka takut melanggar agama bila hrus memasak makan-makanan yang tidak halal menurut Islam. Oh la la. Ia rupanya tidak tahu bahwa menurut Institute For Migrant Workers [Iwork] bahwa pelecehan seksual sampai pemerkosaan mengintai setiap gerak langkah para buruh migran perempuan Indonesia yang bekerja di kawasan Timur Tengah. Hal ini disampaikan Iwork di artikel berjudul Istilah muskilah yang menyakitkan … dalam situs resminya.
“Itulah keadaan kampung kami. Sebagian besar penduduk di kampung adalah petani miskin yang memiliki kurang dari 0,2 Ha sawah,” kata Atan Nurmana Jaya [39], seorang anggota Serikat Tani Nasional [STN]. Kang Atan, demikian ia biasa disapa, menjelaskan bahwa usaha tani di kampung tersebut bukanlah sawah dengan saluran irigasi teknis. Petani hanya mengandalkan hujan dan memanfaatkan derasnya aliran sungai yang mengalir di seberang kampung pada musim tersebut sebagai sarana irigasi tradional.
Bagaimana masyarakat mengatasi keadaan tersebut? “Masyarakat di kampung ini memilih dua cara untuk mengatasinya, menjadi tenaga kerja di luar negeri atau menggarap di Kutatandingan” jawab Kang Atan.
Kutatandingan adalah sebutan yang diakrabi oleh masyarakat untuk menunjuk kawasan hutan produksi yang dikelola Perhutani. Pengelolaan tersebut dilakukan oleh KPH Purwakarta melalui BKPH Teluk Jambe dan BKPH Pangkalan. Namun keberadaan petani penggarap di kawasan ini menuai reaksi dari pihak Perhutani. Salah satunya adalah praktek pemungut pajak di Kutatandingan.
Kampung Palasari berbatasan langsung dengan kawasan hutan Kutatandingan. Secara administrasi, ia berada dalam wilayah Desa Kutalanggeng, Kecamatan Tegalwaru Kabupaten Karawang. Untuk menuju kampung ini dibutuhkan waktu 1,5 jam berkendaraan dari ibukota Karawang menuju arah selatan.
Sampai kapan perempuan dan petani miskin Kampung Palasari bisa bertahan?