Sunday, September 28, 2008

Forum Mediasi BPN Jateng Yang Berat Sebelah

FOTO Mbah Muhadi tengah bersiap menuju ladang di pagi hari. Ia adalah salah seorang petani penggarap tanah terlantar PT. Rumpun Sari Medini afdeling Kaligintung yang terletak di Desa Kemitir Kecamatan Sumowono Kabupaten Semarang, Jawa Tengah.

-----

SUMOWONO, SEMARANG. STN. Adalah Mbah Muhadi [71]. Jika hari menjelang pagi, ia telah bersiap-siap ke ladang dengan membawa pikulan berikut keranjang di kedua sisinya. Meskipun usianya tak lagi muda, ketangkasan dan kegigihan masih nampak di tubuh kecilnya. “Saya dulu ikut jadi pejuang rakyat,” jelasnya. Ia dan kawan-kawannya ada masa 1950-an dikenal sebagai aktifis pimpinan ranting salah satu organisasi pemuda militant. “Kami pernah ikut digerakkan untuk membangun GOR Senayan. Semua kami lakukan dengan sukarela dan senang hati,” ujarnya.

Hingga hari ini, Mbah Muhadi dan para petani Desa Kemitir Kec. Sumowono Kab. Semarang, Jawa Tengah tengah berjuang memperoleh kepastian hak atas tanah. Sejak sebelas tahun yang lalu, mereka menduduki dan memproduksi tanah di sebagian areal PT. Rumpun Sari Medini afdeling Kaligintung [RSM] yang terlantar. Dari 148 Ha konsesi usaha yang dimiliki kebun, tak lebih dari 15 hektar saja yang telah ditanami teh sejak ia beroperasi 1997 yang lalu. “Kami harus menggarap tanah tersebut untuk bertahan hidup. Empat hektar tanah Desa Kemitir tidak mungkin cukup menghidupi kami dan ratusan kepala keluarga lainnya,” terangnya.

Pertemuan Tiga Pihak

Kamis, 21 Agustus 2008, Mbah Muhadi dan para petani berunding dengan jajaran pimpinan PT. RSM dengan dijembatani oleh Kanwil BPN Jateng. Pertemuan yang diselenggarakan di kantor Camat Sumowono adalah usaha pertama perundingan tiga pihak untuk menemukan jalan keluar konflik.

Darmanto selaku kepala bidang sengketa pertanahan dan konflik agraria Kanwil BPN Jateng memimpin jalannya pertemuan. Hadir pula dalam kesempatan tersebut adalah Camat Sumowono, kepala desa Kemitir, direktur PT. RSM, kepala kantor pertanahan Kab. Temanggung serta jajaran pimpinan kantor pertanahan Kab. Semarang dan para petani.

Para petani mengemukakan tiga hal berkait dengan tuntutan mereka, yakni [1] petani berhak bebas menentukan jenis tanaman di kawasan garapan tanah terlantar PT. RSM; [2] pihak PT. RSM tidak diperkenankan menggangu tanaman milik petani; [3] Pihak BPN harus memproses sesuai ketentuan Undang Undang Pokok Agraria No. 5 tahun 1960 tentang penelantaran tanah dalam areal hak guna usaha [HGU].

Keinginan tersebut diperkuat oleh aspirasi Kepala Desa Kemitir Kec. Sumowono Kab. Semarang. Beliau menyatakan bahwa warganya, yang sebagian besar adalah anggota Serikat Tani Nasional ‘Setyo Manunggal’, diperkenankan terus menggarap tanah terlantar PT. RSM dan meminta BPN untuk meninjau ulang HGU PT. RSM dengan mempertimbangkan kondisi masyarakat di wilayah ini.

Namun PT. RSM bersikeras bahwa areal tersebut adalah kewenangannya berdasarkan HGU yang ada. Oleh karena itu, para petani penggarap harus bekerja sama dengan PT. RSM apabila tetap ingin menggarap di areal tersebut. “Bahkan Undang Undang Perkebunan No. 18 Tahun 2004 melarang siapa saja masuk dan menggarap di areal perkebunan. Barang siapa yang melanggar pasti dipidanakan,” ancam Tjuk Sugiarto, Direktur PT. RSM yang baru setahun menjabat kedudukannya.

Darmanto menyatakan bahwa PT. RSM telah mengakomodasi keinginan para petani untuk tetap dapat menggarap. “Ini hal yang positif” tandasnya. Oleh karena itu, ia dan jajaran yang hadir berpendapat agar petani menerima saja tawaran kerjasama dengan pihak PT. RSM. “Karena HGU PT. RSM masih berlaku,” terangnya. Sambil berkata demikian, Darmanto menydorkan surat perjanjian kerjasama dari PT. RSM agar segera ditandatangani para petani.

Kontan saja Mbah Muhadi dan para petani menolaknya. Apa pasal? Pertama, surat perjanjian tersebut secara sepihak disusun oleh PT. RSM dan mengabaikan keterlibatan petani. Kedua, keinginan PT. RSM dan tuntuan petani tidak bertemu secara substansi. Ketiga, BPN dinilai mengabaikan penilaian atas tanah terlantar yang menjadi objek konflik pertanahan dan cenderung memihak pada PT. RSM. Keempat, pengalaman pahit para penggarap bekerjasama dengan PT. RSM di masa lalu. Yang justru berbentuk pungutan-pungutan bagi hasil tanaman petani maupun mobilisasi para penggarap menjadi pemetik teh dengan upah yang sangat rendah.

Dengan demikian pertemua tiga pihak tidak menghasilkan perubahan yang membela Mbah Muhadi dan kawan-kawan. Apakah parapetani akan menunggu hingga HGU PT. RSM habis di tahun 2018? “Sejak sekarang kami tetap mempertahankan tanah yang telah digarap sambil mencari cara lain dalam perjuangan”, tegas Mbah Muhadi.

Donny Pradana WR dari Komite Pimpinan Pusat Serikat Tani Nasional manambahkan bahwa kanwil BPN Jateng dan Tim Penilai Tanah Terlantar patut menyampaikan temuan mereka kpeada para petani berkenaan dengan hasil penyelidikan 2006 yang lalu. "Jika terbukti ditemukan sejumlah bagian areal perkebunan yang ditelantarkan sejak PT. RSM menerima HGU tahun 1997 yang lalu, maka berdasar pasal 34 UUPA No. 5 1960 menyebutkan bahwa HGU hapus salah satunya karena ditelantarkan," tambahnya. Dan negara patut memberikan hak garap kepada petani tersebut.

Asal usul Konflik

Afdelling Kaligintung sejak zaman Belanda memang lokasi perkebunan dan bukan tanah rakyat. Takkala terjadi nasionalisasi atas asset bekas Belanda di masa presiden Soekarno pada masa 1950-an, kebun tersebut menjadi salah satu sasarannya. Dan kepengurusannya di serahkan pada tentara setempat, yang dikemudian hari dikenal sebagai Kodam IV Diponegoro. Selain kebun di afdelling Kaligintung yang secara administrative terletak di batas antara Kabupaten Semarang dan Kabupaten Temanggung, PT. RSM juga memiliki kebun di afdeling Medini Kab. Kendal.

“Kami menghimpun para petani penggarap tanah perkebunan PT. RSM dalam kelompok tani dan bergabung dengan Serikat Tani Nasional sejak tahun 2005,” urai Suryono [39], ketua kelompok tani penggarap Setyo Manunggal. Kelompok tani tersebut telah mennyelenggrakan serangkaian perjuangan massa dengan mobilisasi aksi mendesak pada pihak-pihak terkait.

Dan pada pertengahan 2006, Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Propinsi Jawa Tengah [Kanwil BPN Jateng] menyelenggarakan peninjauan lapangan. Bersama jajaran kantor pertanahan Kabupaten Semarang dan Kab Temanggung, Kanwil BPN Jateng membentuk Tim Penilai Tanah Terlantar yang bertujuan menginventarisasi tanah yang tidak dimanfaatkan oleh perkebunan. Tim tersebut menilai telah terjadi penelantaran tanah dan memberikan teguran pertama kepada PT. RSM, Teguran tersebut diberikan jangka waktu 18 bulan dan akan dinilai kembali pada Januari 2008.

Menganggapi teguran Kanwil BPN Jateng, pada semester kedua tahun 2007, PT RSK mulai melakukan perluasan tanaman teh seluas 4 ha. Perluasan tanam inilah yang menuai protes petani penggarap. “Bagaimana tidak protes kalau teh ditanam di sela-sela tanaman jagung milik kami?” kata Suryono dengan nada tajam.

Selasa, 04 Desember 2007 yang lalu, ratusan anggota kelompok tani kembali menyelenggarakan perjuangan massa dan menggerakkan anggota ke kantor pertanahan Kab. Semarang. Harian Suara Merdeka memuat liputannya dengan judul 'Ratusan Petani Geruduk Kantor BPN'.

Salah satu hasil aksi tersebut adalah upaya BPN untuk mengedepankan mediasi antara petani penggarap dan PT. RSM. Hal tersebut baru terlaksana Kamis, 21 Agustus 2008 yang lalu.