Wednesday, September 24, 2008

Rilis Perjuangan Kelompok Tani Padang Halaban - Sekitarnya

Kronologis Permasalahan Tanah Masyarakat Desa Di Sekitar Perkebunan Padang Halaban Yang Diambil Aalih/Digusur Oleh Perusahaan Perkebunan Padang Halaban Di Tahun 1969/1970 Tanpa Ganti Rugi Penggantian Tanah

Tahun 1942 Tentara Bangsa Jepang menduduki wilayah Perkebunan Padang Halaban Sekitarnya yang saat itu dalam keadaan “Vacum of power” (kekosongan kekuasaan) dan menguasai Perusahaan Perkebunan Padang Halaban yang ditinggalkan Agresi I Penjajah Belanda bernama Perusahaan Perkebunan NV. SUMCAMA. Bangsa Jepang saat itu juga menguasai para kuli di perkebunan. Selanjutnya para kuli diperintahkan oleh Penguasa Jepang untuk mengganti jenis tanaman di dalam areal Perkebunan Padang Halaban dari jenis tanaman kelapa sawit menjadi jenis tanaman pangan, seperti palawija dan sebagainya.

Tahun 1945 Penguasa Jepang meninggalkan Perusahaan Perkebunan Padang Halaban dan seluruh kulinya, dikarenakan Bangsa Jepang Kalah perang dengan sekutu akibat Kota Hiroshima dan Nagasaki dibom atom oleh Tentara Sekutu. Mengingat begitu pentingnya lahan yang ditinggalkan oleh Bangsa Jepang untuk keperluan hidup rakyat (bekas kuli bangsa jepang), sementara saat itu Penguasa Bangsa Indonesia belum berdaulat penuh atas kemerdekaan yang telah diproklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945.

Penguasa Perang Bangsa Indonesia saat itu, Presiden Ir.Soekarno, telah pula menyampaikan perintah langsung kepada seluruh rakyat Indonesia dan para laskar rakyat agar areal-areal / tanah-tanah bekas perkebunan bangsa asing yang ditinggalkan pemiliknya, supaya diberikan/dibagikan kepada rakyat Indonesia (termasuk bekas kuli bangsa jepang) untuk ditanami dengan tanaman pangan guna membantu keperluan logistik perang para laskar rakyat, disamping juga sebagai tanda bangsa yang sudah merdeka adalah memiliki tanah asal kenvensi bangsa asing.

Guna menjalankan Perintah Langsung Penguasa Perang Bangsa Indonesia saat itu, pada tahun 1945 juga, hamper seluruh areal lahan di Perkebunan Padang Halaban asal konvensi bangsa asing yang ditinggalkan oleh Bangsa Jepang seluas sekitar 3000 Ha, dibagikan kepada rakyat bekas kuli bangsa jepang) secara bekerjasama dengan para laskar rakyat. Tanah-tanah tersebut dibagikan berdasarkan bekas divisi perkebunan padang halaban di masing-masing tempat. Untuk selanjutnya dikembangkan menjadi perkampungan rakyat/desa, dengan luas tanah yang berhak diusahai rakyat masing-masing seluas 2 (dua) Ha/KK. Perkampung rakyat/desa yang dibentuk dari tanah pembagian tersebut masing-masing :
  1. Tanah di bekas Divisi I yang diduduki rakyat dinamakan Desa Sidomulyo
  2. Tanah di bekas Divisi Pabrik yang diduduki rakyat dinamakan Desa Karang Anyar
  3. Tanah di bekas Divisi II yang diduduki rakyat dinamakan Desa Sidodadi/Aek Korsik
  4. Tanah di bekas Divisi III yang diduduki rakyat dinamakan Desa Purworejo/Aek Ledong
  5. Tanah di bekas Divisi IV-V yang diduduki rakyat dinamakan Desa Kartosentono/Brussel
  6. Tanah di bekas Divisi VI yang diduduki rakyat dinamakan Desa Sukadame/Panigoran
Tahun 1949 saat Agresi II Belanda kembali menjajah Bangsa Indonesia dan sampai juga ke desa-desa di sekitar Perkebunan Padang Halaban. Kedatangan Penjajah Belanda pada Agresi II ini, tidak bertujuan untuk menggusur perkampungan/desa yang sudah diciptakan oleh rakyat, akan tetapi bertujuan untuk memperbaiki sarana dan prasarana di Perkebunan Padang Halaban yang rusak.

Tahun 1954 setelah dikeluarkannya UU Darurat Nomor 8 Tahun 1954 oleh Pemerintah Republik Indonesia, masyarakat desa yang telah menduduki dan mengusahai tanahnya masing-masing seluas 2 (dua) Ha/KK di desa-desa sekitar Perkebunan Padang Halaban tersebut, diberikan KTPPT (Kartu Tanda Pendaftaran Pendudukan Tanah) yang dikeluarkan oleh KRPT (Kantor Reorganisasi Pemakaian Tanah) wilayah Sumatera Timur sebagai dasar untuk mendapatkan/memperoleh alas hak yang diakui hukum seperti diatur dalam UUPA Tahun 1960 dan sejak saat itu rakyat sudah dibebani kewajiban membayar pajak/Ipeda oleh Pemerintah Kabupaten Labuhanbatu.

Demikian pula dengan status tanah yang diduduki oleh rakyat disahkan oleh pemerintah telah dikeluarkan dari areal HGU Perkebunan Padang Halaban (saat itu bernama Perusahaan NV. SUMCAMA). Untuk diketahui, bahwa luas areal desa-desa yang diciptakan oleh rakyat sejak tahun 1945 dan dikeluarkan dari HGU Perusahaan Perkebunan Padang Halaban, hingga tahun 1969/1970 tidak pernah mengalami perluasan areal desa (merebaknya penggarap liar). Areal desa itu tetap luasnya sejak dibentuk menjadi desa hingga terjadi peristiwa penggusuran.

Tahun 1962, setelah sekitar 17 (tujuh belas) tahun mengembangkan dirinya, Desa Sidomulyo berhasil mendapatkan Penghargaan dari Gubernur Sumatera Utara saat itu Ulung Sitepu, atas prestasi Desa Sidomulyo yang berhasil meraih Juara II Desa Terbaik se-Sumatera Utara. Saat itu, Ulung Sitepu yang langsung turun/datang ke Desa Sidomulyo untukmenyerahkan Piagam Penghargaan yang juga langsung diterima oleh Kepala Desa Sidomulyo saat itu bernama (alm) Langkir.

Tahun 1968, akibat imbas dari peristiwan G 30 S/PKI tahun 1965 di Jakarta, masyarakat di desa-desa di sekitar Perkebunan Padang Halaban yang mayoritas berpencaharian sebagai petani tersebut, mulai diintimidasi oleh Pengusaha Perkebunan Padang Halaban (bernama PT. Plantagen AG), sebagai ekses dari Nasionalisasi perusahaan-perusahaan asing di Indonesia. Pengusaha perkebunan dengan dibantu aparat TNI/Polri dan didukung oleh Pemerintah Kabupaten Labuhanbatu saat itu, mulai melakukan intimidasi dan menuduh masyarakat desa sebagai anggota BTI (Barisan Tani Indonesia) yang merupakan underbow-nya PKI. Selanjutnya, dengan todongan senjata laras panjang milik para aparat, masyarakat desa dipaksa untuk meninggalkan tanahnya dari masing-masing tempat, dengan terlebih dahulu melucuti/mengambil bukti-bukti kependudukan/kepemilikan tanah dari tangan masyarakat desa.

Beberapa kali pertemuan masyarakat desa dengan pengusaha Perkebunan Padang Halaban dilakukan, untuk membicarakan persoalan ganti rugi lahan yang akan digusur Perkebunan Padang Halaban. Namun setiap kali pertemuan dilaksanakan tidak mendapat kesimpulan yang adil bagi rakyat maupun bagi pengusaha, karena rakyat tidak bersedia digusur bila tidak diganti dengan tanah pengganti. Akhirnya pengusaha, pemerintah kabupaten labuhanbatu saat itu dan TNI/Polri bekerjasama untuk menggusur rakyat dari atas tanah yang mereka duduki dengan menuduh masyarakat sebagai Anggota BTI.

Padahal masyarakat di masing-masing desa di sekitar Perkebunan Padang Halaban tidak pernah mengenal yang namanya BTI ataupun bergabung ke dalam partai terlarang tersebut. Akan tetapi, tuduhan terhadap masyarakat desa ini dengan menyebutnya sebagai Anggota BTI, hanya merupakan alat di masa Orde Baru sebagai dalih untuk mempermudah aksinya melakukan perampasan hak tanah rakyat yang tidak berdaya karena berhadapan dengan intimidasi dan todongan senjata laras panjang milik aparat TNI/Polri. Bagi masyarakat desa yang dituduh sebagai Anggota BTI dan tidak dapat melakukan perlawanan, akhirnya harus rela untuk ditahan di penjara Korem 021 Pematang Siantar atau disiksa dihadapan orang banyak.

Tahun 1969/1970 hingga saat ini habislah sudah desa-desa yang sejak tahun 1945 dibangun dengan semangat kebangsaan mempertahankan Kemerdekaan RI, akibat digusur/diambil alih Perusahaan Perkebunan Padang Halaban (bernama PT. Plantagen AG). Sementara surat dari Maskape Perkebunan Plantagen Aktiengsellschaft bernomor 1ms/2232/69 tanggal 4December 1969 ditanda tangani Drs. I.A.M Schumuther yang ditujukan kepada Tn. E. Hildebrant selaku wakil maskape di Perkebunan Padang Halaban. Surat tersebut menegaskan tentang tanah seluas 3000 Ha yang telah dibayarkan ganti ruginya kepada Pemerintah Kabupaten Labuhanbatu untuk diberikan kepada masyarakat desa sebagai penggantian tanah atas tanah mereka di sekitar Perkebunan Padang Halaban yang diambil alih oleh Perusahaan.

Sejak tahun 1998 hingga saat ini masyarakat desa korban penggusuran tahun 1969/1970 yang bergabung dalam Kelompok Tani Padang Halaban Sekitarnya, tidak pernah berputus asa untuk melakukan tuntutan kepada Pemerintah Kabupaten Lahanbatu agar hak atas tanah penggantian mereka yang telah dibayar ganti ruginya kepada pemerintah, sebagai akibat dari tanah masyarakat yang digusur/diambil alih oleh Perusahaan Perkebunan Padang Halaban di tahun 1969/1970. Dikarenakan sebelum era reformasi bergulir, masyarakat korban penggusuran tidak berani melakukan tuntutan karena masyarakat merasa trauma dengan kejadian masa lalu, di samping system pemerintahan orde baru yang terkenal gemar “membungkam suara rakyat”dengan senjata ampuhnya melakukana makar/tindakan subversib.

Namun, sejak tuntutan masyarakat tersebut disampaikan oleh masyarakat kepada Pemerintah Kabupaten Labuhanbatu, hingga detik ini persoalan belum mendapat keputusan yang berarti dari Pemkab Labuhanbatu, kendati berbagai proses penyelesaian telah ditempuh namun semuanya nihil. Utnuk itu, kami kembali berharap kiranya Pemkab Labuhanbatu dapat memberikan satu keputusan yang berpihak kepada rakayt korban penggusuran.

Aek Kuo, 25 Agustus 2008

Dikisahkan oleh Ketum KTPH-S Sumardi Syam dan dicatat oleh Sekum KTPH-S Maulana Syafi’i, S.HI