Thursday, December 18, 2008

Perhutani Memaksa Menanam

FOTO eblek [bahasa Sunda = plang dari seng] yang dibuat oleh Perhutani bertuliskan Dilarang mengerjakan dan atau menggunakan atau menduduki kawasan hutan secara tidak sah – UU RI no. 41 Tahun 1999.

-----

KARAWANG. Sebelumnya tak sebatangpun tanaman keras yang diproduksi Perhutani tumbuh di areal blok 39 yang dikenal petani penggarap sebagai wilayah Tegal Datar, Kutatandingan. Atan Nurmana Jaya [39], aktifis Serikat Tani Nasional setempat, menuturkan bahwa Perhutani telah menelantarkan tanah di kawasan tersebut setelah memanen kayu jati di tahun 1996 yang lalu.

“Kami kelola tanah terlantar ini untuk ditanamai padi gogo, kacang-kacangan dan pisang. Untuk menyuburkan tanah, kami juga tanami dengan kayu seperti jeunjing/sengon, kapuk randu dan bambu . Karena kami sudah tak punya tanah lagi di desa asal”, tambah Kang Atan. Ia dan puluhan petani lainnya memilih menggarap di kawasan hutan terlantar tersebut demi menghidupi keluarga.

Kini musim hujan telah tiba. Di tengah Kang Atan dan kawan-kawan bersiap untuk mengolah lahan tiba-tiba pihak Perhutani juga bersiap-siap mananami lokasi tersebut dengan jeunjing/sengon. “Ini adalah implementasi dari kebijakan Pengelolaan hutan Bersama Masyarakat [PHBM]”, kata Rahmat [47] selaku kepala BKPH Telukjambe Perum Perhutani KPH Purwakarta yang mengampu wilayah hutan terlantar tersebut. Progam tersebut diselenggarakan bekerjasama dengan Lembaga Masyarakat Desa Hutan [LMDH] Desa Parung Mulya Kec. Ciampel, Karawang. “Jadi kami sudah berkoordinasi dengan pihak masyarakat”, aku Rahmat.

Benarkah demikian? Ternyata tidak menurut para petani penggarap hutan.

“Tiba-tiba pada hari Minggu, 16 November lalu kami dikumpulkan oleh Mantri dan Mandor [aparatus Resort Pemangkuan Hutan. Red] setempat. Lalu mereka bicara bahwa akhir bulan mau menanam pokok jeunjing/sengon di sin”, jelas Enting [42] salah satu anggota kelompok tani penggarap. Dalam acara tersebut juga hadri para pengurus LMDH dan para tokoh masyarakat.

Para petani penggarap jelas tidak setuju atas rencana tersebut. Mengingat jarak tanam 2x3 m antar pokok jeunjing/sengon yang sangat rapat dan tak memungkinkan tumbuh kembangnya tanaman milik petani secara baik. Di sisi lain, bagi hasil atas panen tanaman pokok tersebut dinilai jauh dari rasa keadilan oleh kalangan petani penggarap yakni 80% untuk Perhutani dan 20% untuk masyarakat. “Dua puluh persen dari bagi hasil panen itu sudah cukup sebagai tanda terima kasih kami kepada petani”, sambung salah seorang mandor Perhutani bernama Abrakjagat [37].

Jaka [45] selaku ketua LMDH manyatakan bahwa penanaman harus terus dilanjutkan, khususnya di petak 39 Tegal Datar. “Surat Perintah Kerja dari KPH Purwakarta sudah turun dan tak mungkin dibatalkan”, sergahnya menanggapi keberatan petani. Menurutnya, Perhutani sudah berbaik hati membolehkan petani menggarap di kawasan hutan dan sudah seharusnya petani menghargai dengan merawat tanaman pokoknya. Para tetua masyarkatpun setali tiga uang dengan pendapat Jaka. “Memang mereka lebih berpihak pada perhutani daripada masyarakat”, sambung Enting lirih.

LMDH yang ada tidak terbentuk dari partisipasi petani penggarap hutan. Tak heran, perannya pun hampir tak terdengar dalam melayani kepentingan masyarakat yang diampunya. Namun ia cenderung memiliki kekuatan pemaksa bagi petani alih-alih legitimasi yang dimilikinya. Bahkan Kang Atan menyampaikan temuan yang menyebutkan maraknya keterlibatan pegiat lembaga tersebut memungut sejumlah uang tak resmi pada petani penggarap hutan. [Baca Pemungut Pajak Di kutatandingan].

Kini Perhutani telah memulai penanaman tersebut. Kurang lebih sebanyak seribu batang pokok jeunjing/sengon telah ditancapkan. Anehnya, justru kebun milik Kang Atan dan Enting-lah yang pertama kali mereka tanami.

“Kami tidak akan surut. Jarak tanam harus diperlebar dan bagi hasil yang adil bagi petani penggarap”, tandas Kang Atan. Kini ia dan kawan-kawannya tengah menggalang konsolidasi luas untuk memperjuangkannya.

Kang Atan dan kawan-kawannya adalah golongan petani yang bekerja di atas sebidang tanah untuk memenuhi kepentingan subsistennya. Akan tetapi mereka dipaksa memeliharan tanaman pokok Perhutani dengan upah 20% hasil panen pada 6-7 tahun mendatang. Dalam periode itulah jeunjing/sengon baru memasuki masa panen.

Hal ini tak ubahnya menyerahkan sebagian hasil kerja dan tenaganya untuk merawat jeunjing/sengon dengan upah yang tak layak. Tidaklah keliru bila disebut PHBM adalah salah satu bentuk perampasan kerja kaum tani penggarap yang dilakukan Perhutani selaku tuan tanah tipe baru. Keadaan ini menjelaskan secara nyata bentuk kekuasaan klas tuan-tanah dalam hubungan produksi feodalisme. Dan apa yang menimpa Kang Atan dan kawan-kawannya tak ubahnya nasib kaum tani hamba pada abad pertengahan yang lampau.

Kawasan kutatandingan termasuk areal hutan warisan kolonial Belanda di masa lalu. Tujuan pendiriannya jelas-jelas bermaksud melakukan produksi besar-besaran kayu jati/tekwood untuk pasar Eropa. Bahkan sejak masa kemerdekaan hingga 1996, negara RI melalui perhutani tetap menjadikan kayu jati/teakwood sebagai primadona ke pasar internasional. Di sinilah peran negara RI selaku pemasok bahan mentah bagi kepentingan imperialisme, sekaligus pasar potensial atas barang-barang komoditasnya.

Kini Kutandingan tak lagi memiliki jati/teakwood. Tapi tanaman cepat tumbuh seperti jeunjing/sengon, akasia dan mindi tengah dikembangkan oleh Perhutani di kawasan ini. Jenis tersebut di arahkan memenuhi kepentingan bahan baku industri pulp & paper untuk pasar dunia. Dengan demikian makin teranglah kepentingan imperialisme atas kawasan Kutatandingan lewat pertalian yang erat dengan tuan tanah tipe baru dan para penyelenggara negara.

Inilah tipikal indonesia, negeri setengah jajahan setengah feodal.