FOTO Sabarno [49] yang tengah mempersiapkan Kukrukan [bahasa jawa = lahan garapan di tanah terlantar]. Topografi yang berbukit menjadikan ia membuat teras miring untuk menahan laju air dan mencegah erosi.
-----
KALISALAK. Musim hujan telah tiba. Hal ini menjadikan rakyat di negeri ini senantiasa menyiapkan diri untuk mewaspadai datangnya banjir. Namun bagi kaum tani, datangnya hujan adalah saat tepat untuk memasuki musim tanam yang baru.
Demikian pula bagi petani penggarap di Dusun Kalisalak Desa Lemah Ireng, Bawen Kabupaten Semarang. Alat bajak sederhana tengah disiapkan berikut bibit padi dan kacang telah disemaikan. “Kami menanam padi dengan cara di-gogo, bukan dalam bentuk sawah,” jelas Sabarno [49]. Gogo adalah cara menanam padi di ladang yang relative kering dan mengandalkan hujan sebagai satu-satunya sumber air “Di sana, di lokasi tersebut sulit menampung air,” tambah aktifis kelompok tani penggarap yang tergabung dalam Serikat Tani Nasional. Ia mengarahkan telunjuknya untuk menunjuk ke arah utara dusun.. Tampaklah beberapa bukit yang telah dikelola sebagai lahan berladang lengkap dengan teras siringnya.
Tanah apakah itu? Mengapa tidak menggarap di tanah yang lebih subur untuk diusahai sebagai sawah?
Sabarno menjawab bahwa tanah yang ada di dusunnya hanya seluas 4 ha saja yang sebagian besar adalah tanah kas desa. Hal ini tidak mungkin mencukupi untuk ratusan keluarga petani Dusun Kalisalak. Mengandalkan upah dari bekerja di pabrik ataupun buruh tani sungguhlah tak mencukupi kebutuhan pangan mereka
Di lain sisi terdapatlah sejumlah tanah terlantar ang persis berada di sebelah utara pemukiman warga. Tanah tersebut dibawah konsesi Hak Guna Usaha PTPN IX [Persero] Kebun Ngobo yang secara administrative termasuk dalam kawasan Dusun Kalisalak. Secara keseluruhan perusahaan tersebut mengusahakan karet, kopi dan kakao sebagai komoditas utama di atas tanah seluas 2.261.02 hektar.
Atas musyawarah seluruh warga, sekitar 41 hektar tanah terlantar tersebut digarap dan diusahai sebagai lahan produktif oleh 88 KK. Masa tanam kali ini adalah tahun kesebelas bagi mereka.
Sudah barang tentu pihak pihak PTPN IX bereaksi atas hal ini. Di tahun 1999 terjadi salah satu peristiwa yang mengakibatkan bentrokan antara kelompok tani penggarap yang bergabung dalam Serikat Tani Nasinal dan PTPN IX. Hal ini berujung pada perundingan yang menghasilkan kesepakatan pengakuan sementara keberadaan para penggarap oleh PTPN IX dan kalangan pemerintahan desa.
“Saya katakan sementara karena pada saat perundingan belumlah cukup kuat dari segi hukum,” terang Magiyanto [39], mantan aktifis kelompok tani penggarap yang kini menjabat sebagai Kepala Dusun Kalisalak. Kesepakatan yang masih bersifat informal belumlah dapat menjamin pengakuan yang sungguh-sungguh dari semua pihak. Oleh karenanya perjuangan legal untuk mendapatkan hak garap sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960 harus terus dilakukan, tambahnya.
Sengketa antara masyarakat dan PTPN IX juga meluas pada pemanfaatan mboso, limbah karet yang masih bernilai ekonomi. Hal ini berujung pada penangkapan dua warga pada April lalu yang disajikan dalam artikel Dua Petani pencuri ‘Mbosa’ Akhirnya Divonis 2,5 Bulan.
Musim hujan memang sudah pasti tiba. Namun kejelasan atas hak atas tanah petani penggarap tanah terlantar Dusun Kalisalak harus sunantiasa diperjuangkan untuk menjamin penghidupan bagi mereka.