Saturday, June 28, 2008

Sewa Tanah Dan Para Bujang

FOTO kalangan bujang laki-laki dan perempuan yang tengah bekerja sebagai buruh panen padi di Kampung Kobak Gabus Desa Medan Karya Kecamatan Tirtajaya Kabupaten Karanwang, Jawa Barat.

-----

KARAWANG, STN. Siapa bilang bahwa feodalisme telah hilang di pedesaan? Praktek monopoli tanah oleh kaum pemilik masih mudah dijumpai di desa penghasil tanaman pangan. Salah satunya adalah Kampung Kobak Gabus Desa Medan Karya Kec. Tirtajaya yang terletak di pesisir utara Kab. Karawang. Tak satupun dari sejumlah 74 keluarga warga kampung yang memiliki sawah. Padahal mereka hidup di tengah hamparan kuningnya padi yang siap panen bulan ini.

“Dalam usaha tani tanaman pangan, khususnya padi, sistem bagi hasil jauh dari adil bagi para penyewa tanah dan rendahnya upah para bujang,” kata Agus Wahyudi [33] aktifis Serikat Tani Nasional di kampung tersebut. Bujang adalah sebutan bagi buruh tani. Sementara, tuan tanah mempekerjakan bujang melalui upah.

“Kira-kira, sehari mereka mendapatkan upah sebesar Rp. 25 ribu termasuk makan dan rokoknya. Sementara untuk bujang perempuan hanya Rp. 20 ribu,” terang Agus. Jangan dibayangan bahwa para bujang bekerja tiap hari per bulannya. Karena mereka biasanya hanya bekerja di saat musim tanam dan musim panen. Hal senada juga disampaikan Kang Martha [37] seorang buruh tani setempat.

Kang Martha menambahkan bahwa rata-rata para bujang di kampung tersebut bekerja untuk, sebutlah, Haji Nadi. Oleh warga desa ia dikenal sebagai orang kaya yang baik. Baik di sini dalam pengertian bahwa ia membuka lapangan pekerjaan dengan mengajak warga tak bertanah menjadi bujang. Konon, Sang Haji menguasai hampir 75% dari seluruh lahan persawahan desa.

Selain memiliki bujang, orang seperti Haji Nadi juga menyewakan tanah dengan pembayaran pembagian dari hasil panen. Perimbangannya sebesar 1:1 antara pemilik tanah dan penyewa. Pembagian tersebut masih bersifat kotor. Sang penyewa masih menanggung biaya modal usaha tani, seperti belanja pupuk, obat, benih dan sewa traktor jika diperlukan.

Tony Quizon, pejabat sementara International Land Coalition kawasan Asia, menyebutkan bahwa bagi hasil yang demikian pernah dialami petani filipina pada periode tahun 1960-an. “Now, it is more equal for Philiphino peasant. But That's not enough. Landreform is a must.” tambahnya saat bertemu STN pada Senin [23/06] di Jakarta.

“Oleh karena itu, para buruh tani yang berhimpun dalam kelompok sedang mengusahakan perjuangan bagi hasil yang lebih adil untuk petani penggarap dan menaikkan upah buruh tani. Apalagi kenaikan harga BBM bulan lalu sangat memukul buruh tani di kampung ini,” tegas Agus.

Beternak Itik

Untuk mencukupi penghasilan, para keluarga buruh tani memilih beternak itik yang digembalakan secara tradional. Ada hubungan yang saling menguntungkan antara itik dan padi. Itik tersebut cukup digembalakan di areal persawahan jika panen padi datang. “Tak jarang, kami harus ngangngon itik sampai ke desa tetangga bahkan ke Bekasi. Cari tempat yang sedang panen padi,” tambah Kang Martha.

Gabah sisa potong padi dan nggebot [merontokkan gabah] adalah pakan yang baik. Sehingga Sang pemilik itik tidak perlu biaya ekstra untuk membeli pakan buatan pabrik. Pakan pabrik hanya mereka gunakan untuk titit, sebutan bagi anakan itik, hingga usia dua bulan yang dicampur dengan bekatul, menir dan irisan daging kijing, sejenis kerang yang hidup di air payau.

Apa yang dimanfaatkan dari itik? “Telor untuk yang perempuan dan daging untuk yang jantan,”jawab Pak Lami [43]. Pengalaman memelihara dan menggembalakan itik selama sepuluh tahun terakhir telah mengubah Pak Lami dari seorang buruh tani menjadi pengusaha kecil yang sedikitnya memiliki 3000 ekor itik. Harga telor itik kini mencapai Rp. 1000/butir sementara dagung pejantan laku dijual Rp. 35.000,-/ekor untuk usia lima bulan.

Pertanian Padi Di Karawang

Pertanian padi di Karawang memiliki sejarah yang panjang. Ia dibangun sejak jaman mataram pada masa pemerintahan Sultan Agung. Ketika itu pertanian berfungsi untuk menopang rencana mataram untuk melakukan serangan terhadap Batavia.

Karawang bagian pesisir utara merupakan salah satu daerah pertanian penting dan pemasok terbesar padi bagi kawasan di sekitarnya. Tetapi keadaan tersebut tidak menjadikan masyarakat hidup dalam kesejahteraan. Kemiskinan telah menyebabkan mereka menjual sawah dan bekerja sebagai buruh tani, penyewa tanah maupun buruh migran di luar negeri.

Sementara, banjir dan kekeringan senantiasa mengintai setiap tahunnya. Pada musim penghujan 2006, banjir telah menenggelamkan sekitar 3000 ha areal persawahan. Apabila dalam 1 ha menghasilkan 4 ton gabah, maka jumlah kerugian yang di derita petani di dalam kawasan tersebut berkisar 10.000 – 12.000 ton gabah. Dengan harga rata-rata gabah Rp. 1.800/Kg pada masa itu, ditafsir jumlah nominal kerugian yang diderita mencapai Rp. 21.600.000.000,00 per musim panen.

Tanggung Jawab Negara

“Negara patut bertanggung jawab untuk membantu golongan petani paling miskin di pedesaan dengan melaksanakan reforma agraria sejati [RAS]. Pukulan kenaikan harga BBM tidak cukup ditolong dengan pemberian Bantuan Langsung Tunai semata,” tegas Donny Pradana WR dari Komite Pimpinan Pusat STN. Di lapangan pertanian tanaman pangan, RAS mengandung maksud bahwa tanah pertanian harus dikerjakan atau diusahakan secara aktif oleh pemiliknya sendiri sebagaimana semangat Undang Undang Pokok Agraria No. 5 tahun 1960 [UUPA] pada pasal 10 ayat 1 dan ayat 2.

Di samping itu, RAS juga berarti menjaminkan hak kalangan buruh tani dan tani miskin dengan menurunkan sewa tanah melalui kenaikkan bagi hasil yang lebih mencerminkan keadilan dan kenaikan upah buruh tani. Dari sisi usaha pertanian, RAS patut mengurangi bunga peribaan serta menaikkan harga produk pertanian kaum tani untuk menetralisasi pertengkulakan.

Dapatkah negara hari ini menjalankan UUPA dan RAS?