Wednesday, July 4, 2007

Reforma Agraria versus Penjajahan Baru[1]

Oleh Usep Setiawan[2]


1. Prolog

Ketika pemerintah menyiapkan pelaksanaan reforma agraria mengacu UU Pokok Agraria 1960, pada saat yang sama DPR menerbitkan UU Penanaman Modal yang diibaratkan karpet merah untuk memuluskan penjajahan baru di Tanah Air. Rakyat pun lantas dibuat bingung, mau kemana kaki melangkah?

Tulisan ini merupakan olahan dari beberapa karangan penulis di sejumlah media massa, yang mencoba memetakan persoalan-persoalan kritis mendasar dari UU Penanaman Modal, sekaligus tawaran alternatif untuk mencegah dampak buruknya di lapangan. Dikaitkan pula ancaman penjajahan baru dengan nasib rencana pelaksanaan reforma agraria yang belum lama ini dicetuskan Presiden SBY.

2. Momentum Baru Reforma Agraria[3]

Realisasi reforma agraria kini menemukan momentum baru. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyatakan akan memulainya tahun 2007. Presiden beberapa waktu lalu menyebutkan, program reforma agraria, yakni pendistribusian bertahap tanah untuk rakyat, dilaksanakan mulai 2007. Dialokasikan tanah bagi rakyat termiskin dari hutan konvesi dan tanah lain yang menurut hukum pertanahan di Indonesia boleh diperuntukan bagi kepentingan rakyat. Presiden menyebutnya sebagai prinsip tanah untuk keadilan dan kesejahteraan rakyat (Kompas, 12/2/2007). Rencana besar ini patut diapresiasi dan menuntut persiapan matang.

2.1. Batang Terendam

Sebelumnya, Kepala Badan Pertanahan Nasional Joyo Winoto menegaskan, pemerintah akan melaksanakan reforma agraria pada 2007 hingga 2014. Untuk tahap awal, pemerintah mengalokasikan 8,15 juta hektar tanah untuk diredistribusi. Disebutkan, tanah yang akan dibagikan berasal dari lahan kritis, hutan produksi konversi, tanah telantar, tanah milik negara yang hak guna usahanya habis, maupun tanah bekas swapraja.

Reforma agraria dimaksudkan untuk memberi rakyat akses atas tanah sebagai sumber ekonomi, mengatasi sengketa, dan konflik pertanahan. Pemberian tanah bagi keluarga miskin diharapkan meningkatkan taraf hidup mereka (Kompas, 13/12/2006).

Riwayat pembaruan (reforma) agraria di Indonesia panjang berliku. Sejak merdeka, reforma agraria telah mengisi benak Bung Karno yang lalu meluncurkan gagasan land reform sebagai inti reforma agraria. Pertengahan tahun 1960 land reform dipraktikkan. Saat itu land reform bertujuan menumpas ketimpangan penguasaan tanah sisa feodalisme dan kolonialisme. Masa keemasan raja-raja pribumi dan penjajah asing pra-Indonesia dalam penguasaan tanah-air di Nusantara coba dikikis. Tanah-tanah yang kepemilikannya melewati batas maksimum dan dikuasai di luar ketentuan Undang- Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960 (UUPA) dijadikan objek land reform.

Sayang, land reform yang menurut Bung Karno "bagian mutlak revolusi kita" ternyata ternoda konflik vertikal dan horizontal. Kericuhan sosial dipengaruhi polarisasi ideologis-politis massa rakyat yang terkotak-kotak bingkai ideologi dan partisan. Kelompok "kiri" pendukung land reform bersitegang dengan "kanan" penolak land reform. Stabilitas politik nasional terguncang.

Pada era Bung Karno, land reform yang baru dimulai terhenti akibat pergantian rezim. Kolaborasi kepentingan elite dalam negeri dengan kekuatan asing anti-reform mengganjal land reform. Jika Soekarno menganut politik agraria pro-rakyat kecil, Soeharto pro-modal besar. Sepanjang 30 tahun Orde Baru, land reform tak hanya diabaikan, tetapi dimusuhi, ide maupun penganut-penganjurnya. Kini, Presiden Yudhoyono membangkitkan "batang yang terendam".

2.2. Kematangan Bersama

Perlu pengkajian pengalaman mempraktikkan land reform pada masa lampau dan menjadikannya pelajaran berharga. Kita kenali cita-cita pendiri bangsa sambil membedah ulang bentuk dan model reforma agraria, agar tidak terjerembap ke lubang kekeliruan yang sama.

Kita harus berangkat dari kesadaran reforma agraria sebagai keniscayaan bagi bangsa. Karena itu, birokrasi dan masyarakat perlu disiapkan paralel terintegrasi. Perlu keuletan kerja dan komunikasi intensif semua pihak. Khalayak luas diberi pengertian utuh-jernih mengenai agenda ini. Salah pengertian dan gesekan yang tak perlu antarkomponen masyarakat dan masyarakat-pemerintah harus dicegah.

Mustahil reforma agraria dapat dijalankan seorang presiden, satu-dua pejabat, maupun tiga-empat instansi. Reforma agraria ialah panggilan mendesak bagi segenap anak bangsa. Pejabat dan instansi pemerintah yang terkait urusan tanah dan kekayaan alam harus bekerja keras, tepat, cepat. Ketegasan dan konsistensi presiden memang wajib. Namun, juga harus dipastikan para gubernur, bupati/wali kota, dan pemerintahan daerah menggulirkan agenda reforma agraria. Arah, prinsip, tujuan, dan garis besar program reforma agraria perlu ditetapkan pemerintah pusat sebagai guideline. Kekhasan model implementasi reforma agraria di daerah tetap diakomodasi. Perbedaan teknis sejatinya kekayaan kebhinekaan bangsa.

Agar pembaruan agraria berhasil, jajaran pemerintahan mesti tahu, mau, dan mampu menjawab akar problem agraria. Keikutsertaan rakyat melalui organisasi yang sejati perlu ditumbuhkembangkan. Tanpa kematangan pemerintah dan rakyat, reforma agraria terancam menyimpang dari tujuan dan gagal sasaran.

Setelah pidato pada awal tahun diucapkan, kini publik menanti langkah nyata Presiden dan jajarannya. Waktunya tidak lama, Detik sekarang hingga Pemilu 2009 ialah pertaruhan menyiapkan (memulai) reforma agraria secara lebih matang. Kemauan Presiden memulai reforma agraria adalah momentum baru yang harus dioptimalkan. Kita tak tahu kapan momentum berulang. Begitu momentum menguap, mimpi reforma agraria patut digantungkan kembali di bibir langit.

3. Mewaspadai Jerat Kuasa Modal[4]

Dewan Perwakilan Rakyat dan Pemerintah akan segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang Penanaman Modal. RUU ini terlalu penting untuk diabaikan. Ada empat alasan kenapa jeratan RUU-PM perlu diwaspadai dan diteliti secara tajam.

Pertama, arah dan strategi pembangunan nasional kita secara paradigmatik semakin liberal. Kedua, draf RUU-PM memberi legitimasi bagi praktik buruk investasi selama ini sehingga membahayakan seluruh sendi kehidupan rakyat. Ketiga, RUU-PM menjauhkan negara dan pemerintah dalam mencapai tujuan nasional. Keempat, RUU-PM sangat berlawanan dengan konstitusi nasional.

Salah satu indikasi kuat RUU-PM melegalkan praktik buruk investasi adalah di lapangan agraria. Menurut RUU ini, pemerintah akan memberi fasilitas bagi korporasi dengan memberikan Hak Guna Usaha (HGU) selama 95 tahun, Hak Guna Bangunan (HGB) 80 tahun, Hak Pakai (HP) 70 tahun, dan cara pemberiannya diberikan dan diperpanjang di muka sekaligus. Hal itu bertentangan dengan UU Pokok Agraria (UUPA) 1960.

RUU ini mencadangkan tanah untuk usaha perkebunan jauh lebih lama dari hukum agraria kolonial Belanda, bandingkan dengan Agrarische Wet 1870, pemerintah kolonial hanya membolehkan pemakaian tanah selama 75 tahun. RUU ini tak mendorong kemandirian ekonomi rakyat. DPR dan Pemerintah seperti tak yakin petani mampu membangun perkebunan, pertanian, dan perikanan melalui perusahaan bersama milik mereka. Inilah ciri utama hukum agraria kolonial yang dihidupkan kembali atas nama investasi, membiarkan petani tanpa tanah, modal, dan teknologi.

Terkesan pemerintah gelap mata terhadap investasi. Daftar perilaku gelap mata terhadap invetasi ini masih dapat diperpanjang seperti: "ketentuan perlakuan sama bagi perusahaan nasional dan asing, kemudahan pengalihan aset, larangan nasionalisasi, dan kemudahan tenaga kerja asing". Poin-poin itu menjauhkan peran negara dalam mencapai tujuan kemerdekaan nasional seperti tertuang dalam pembukaan konstitusi.

3.1. Trauma Orba

Selama Orde Baru berkuasa, pembangunan ekonomi nasional mengandalkan utang dan investasi. Namun, pengalaman mengajarkan investasi asing dan utang luar negeri malah semakin menjauhkan bangsa dari kemandirian.

Investasi langsung (FDI) di Indonesia adalah corak investasi yang mengandalkan kedatangan industri yang merelokasi usaha mereka karena kebijakan upah, pajak, dan isu lingkungan di negara asalnya. Tak heran jika FDI yang datang dan bahkan keluar negara kita karena alasan-alasan pembanding itu (comparative advantage).

Tujuan investasi selama ini pertumbuhan ekonomi. Angka pertumbuhan secara mudah dapat diukur dengan melihat peningkatan PDB nasional. Secara statistik, investasi yang meningkat pada sektor riil (FDI) akan meningkatkan PDB sebuah negara. Meskipun secara praktik, total peningkatan PDB ini hanyalah hasil produksi dari beberapa gelintir perusahaan asing atau nasional semata.

Padahal, operasi perusahaan ini bersandarkan pada upah buruh murah (yang disubsidi pertanian) dan menghancurkan industri rakyat. Ekonom liberal percaya terpusatnya produksi nasional pada beberapa perusahaan bukanlah hal yang mengkhawatirkan, sebab dengan mekanisme alamiah yang disebut trickle down effect, keuntungan pengusaha besar ini akan menetes ke bawah.

Kenyataannya, teori itu tak terbukti. Keuntungan perusahaan tersebut tak pernah ditabung dalam bank-bank nasional, melainkan ditransfer ke negara asal. Sementara keuntungan pengusaha lewat pasar saham dan pasar uang juga demikian. Liberalisasi memudahkan pelarian modal dari dalam negeri. Pertumbuhan ekonomi selalu disertai korban di desa dan kota, di lapangan industri rakyat maupun pertanian.

Sementara, pembaruan (reforma) agraria bermaksud merestrukturisasi pemilikan, penguasaan, dan penggunaan sumber-sumber agraria, terutama tanah untuk kepentingan petani, buruh tani, rakyat kecil atau golongan ekonomi lemah sesuai UUPA 1960.

3.2. Politik Investasi

Di sisi lain, sudah lama perusahaan-perusahaan besar mengeksploitasi kekayaan alam di Indonesia, seperti kuasa pertambangan oleh perusahaan asing yang mengabaikan semangat konstitusi (Pasal 33). Sebagai negara merdeka dan berdaulat, amanat konstitusi itu mesti dijalankan. Perusahaan-perusahaan yang menguasai hajat hidup orang banyak seharusnya dinasionalisasi.

Nasionalisasi berarti orientasi produksi dan keuntungan dari perusahaan dipergunakan sebagai modal nasional untuk melakukan pembangunan nasional yang lebih terencana dan berorientasi kepada rakyat banyak. Dengan demikian, nasionalisasi juga berarti kepemilikannya ada pada negara.

Pemerintah mesti membangun politik investasi yang memihak rakyat. Politik investasi adalah mengarahkan modal untuk berproduksi dan membangun kekuatan atas sumber-sumber ekonomi nasional baik secara mandiri maupun bekerja sama dengan pihak luar hanya ditujukan mencapai sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Selama ini, politik investasi berupa liberalisasi investasi keuangan dan investasi langsung terbukti membawa dampak buruk secara nasional. Ke depan, politik investasi, khususnya di lapangan agraria mestilah mencakup pengaturan yang jelas sektor-sektor investasi langsung yang boleh dimasuki sektor privat nasional dan asing, serta sektor investasi yang dilarang dikuasai dan dimasuki privat sesuai mengacu konstitusi.

Kepentingan industri kecil dan menengah, koperasi dan industri rakyat lainnya juga harus dikembangkan ketimbang memperkuat pengusaha besar, apalagi investasi asing. Modal nasional diperkuat guna membangun perekonomian nasional yang kokoh.

Investasi pemakan tanah luas bagi usaha skala besar harus dihentikan. Tanah yang ada haruslah diperuntukkan bagi petani disertai pembentukan badan usaha milik petani atau badan usaha milik desa (koperasi) sebagai bagian program pembaruan agraria.

4. Jika HGU 95 Tahun![5]

Akhirnya Dewan Perwakilan Rakyat mengesahkan RUU Penanaman Modal menjadi UU, 29 Maret 2007. UU itu disetujui delapan fraksi. Tetapi, dua fraksi menolak dengan alasan, substansi UU Penanaman Modal dinilai bertentangan dengan UU Pokok Agraria (Kompas, 30/3/2007).

Pemerintah berharap mayoritas fraksi di DPR mendukungnya, sebagai kiat menggairahkan iklim investasi, memutar lebih cepat roda ekonomi pembangunan, dan memacu pertumbuhan ekonomi nasional. Karpet merah bagi investor asing dan domestik telah digelar. Pemodal asing boleh tenang melenggang ke Indonesia, menanam hartanya secara nyaman di bumi Nusantara.

Namun, sejumlah kalangan memandang UU Penanaman Modal menyisakan banyak masalah di masa depan. Kritik tajam ditujukan pada kesesatan substantif UU, terutama menyangkut hak atas tanah di Pasal 22.

4.1. Pasal Kontroversial

Pasal 22 Ayat 1 (a) UU ini menyatakan, "Hak Guna Usaha dapat diberikan dengan jumlah 95 tahun (sembilan puluh lima) tahun dengan cara dapat diberikan dan diperpanjang di muka sekaligus selama 60 (enam puluh) tahun dan dapat diperbarui selama 35 (tiga puluh lima) tahun". Siapa yang tak tertohok?

Pasal ini mengesahkan penguasaan tanah, selama nyaris satu abad. Pemberian hak guna usaha (HGU) 95 tahun kepada pemodal merupakan kebijakan yang mengguncang rasa keadilan, kerakyatan, dan kebangsaan, serta patut diperkarakan secara filosofis, ideologis, historis, politis, dan ekonomis.

Pemberian HGU 95 tahun— termasuk Pasal 22 Ayat 1 (b) yang memberikan HGB 80 (delapan puluh) tahun serta Ayat 1 (c) Hak Pakai 70 (tujuh puluh) tahun— menjadi pertanda masuknya kita ke era penjajahan baru. Bahkan, hukum agraria kolonial Belanda sekalipun hanya memberi izin 75 tahun bagi penanam modal kala itu. Diduga daya tekan penjajahan baru terhadap kedaulatan rakyat, bangsa, dan negara jauh lebih dahsyat dari penjajahan model lama.

Jika ketentuan HGU, HGB, dan HP disandingkan, UU Penanaman Modal menabrak UU No 5/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA). UUPA sejatinya amanat pendiri bangsa untuk memakmurkan rakyat, berakar pada Pasal 33 konstitusi. Sepanjang era reformasi, UUPA diupayakan berbagai pihak untuk diubah. Namun, pada 29 Januari 2007, pemerintah dan DPR sepakat untuk tetap mempertahankan UUPA.

Prinsip dasar, semangat, dan filosofi UUPA seolah dilumat UU Penanaman Modal. Soal HGU, Pasal 29 UUPA menggariskan, "Hak guna-usaha diberikan untuk waktu paling lama 25 tahun. Untuk perusahaan yang memerlukan waktu lebih lama dapat diberikan hak guna-usaha untuk waktu paling lama 35 tahun. Atas permintaan pemegang hak dan mengingat keadaan perusahaannya jangka waktu yang dimaksud ayat (1) dan (2) pasal ini dapat diperpanjang dengan waktu yang paling lama 25 tahun".

Yang harus dicamkan, menurut UUPA, "Yang dapat mempunyai hak guna-usaha ialah: (a) warga-negara Indonesia; (b) badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia" (Pasal 30, Ayat 1).

Perlu diingat, "Semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial. Untuk tidak merugikan kepentingan umum, pemilikan dan penguasaan tanah yang melampaui batas tidak diperkenankan. Hanya warga-negara Indonesia dapat mempunyai hubungan yang sepenuhnya dengan bumi, air, dan ruang angkasa…" (Pasal 6,7 dan 9, Ayat 1).

4.2. Uji Materi

Setelah UU Penanaman Modal disahkan DPR, pemerintah segera meysosialisasikan dan menjalankan. Tetapi, sejumlah pihak yang keberatan menyiapkan gugatan uji materi (judicial review) kepada Mahkamah Konstitusi. Selain argumen hukum, gugatan atas UU ini terkait kekhawatiran terjadi gejolak sosial-politik yang dipicu mengerasnya konflik agraria akibat penggusuran tanah rakyat untuk kepentingan investasi yang dilandasi UU ini.

Banyak pihak cemas, implementasi UU ini akan menyandera rencana pemerintah menjalankan pembaruan agraria. UU Penanaman Modal yang melegitimasi monopoli dan konsentrasi penguasaan tanah di tangan golongan ekonomi kuat berhadapan dengan agenda reforma agraria untuk golongan ekonomi lemah.

5. Hak Guna Usaha untuk Siapa?[6]

Disahkannya Undang-Undang Penanaman Modal oleh DPR (29 Maret 2007) dikhawatirkan berbagai pihak akan memperkeras pertarungan beragam kepentingan dalam memperebutkan hak atas tanah sebagai sumber utama agraria. Dengan lugas, Revrisond Baswir mengecam UU ini sebagai kesesatan pikir penyusunnya dalam memfasilitasi kepentingan neo-kolonialisme. Memang, menganggap tanah sebagai komoditas dan fasilitas insentif bagi penanaman modal asing maupun domestik ialah bagian dari cara pandang yang sesat itu. Cara pandang sesat inilah yang jadi kekeliruan fatal dari UU Penanaman Modal.

Mestinya disadari bahwa tanah sebagai resources bukan semata landscape fisik geografik, melainkan sarat hubungan sosial dan ekonomi. Tanah bukan hanya sumber daya penghasil surplus produksi, melainkan akar pengetahuan (knowledge) bahkan identitas budaya masyarakat. Di atas tanah/lahan itulah hubungan kemanusiaan dibangun (Siti F. Khuriyati, 2007).

Di atas tanah masyarakat menganyam relasi sosial, menata produksi dan membangun budaya. Bangsa agraris ini membentuk identitas sosial dalam landscape sosio-kultural secara holistis di atas tanah sebagai satu kesatuan jiwa raga bangsa. Dalam bahasa UU No.5/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA): “Seluruh wilayah Indonesia adalah kesatuan tanah-air dari seluruh rakyat Indonesia yang bersatu sebagai bangsa Indonesia… karunia Tuhan Yang Maha Esa … dan merupakan kekayaan nasional. Hubungan antara bangsa Indonesia dan bumi, air serta ruang angkasa… adalah hubungan yang bersifat abadi” (Pasal 1 ayat 1,2,3).

5.1. Merampas dari Masyarakat

Kerasnya perlawanan terhadap Hak Guna Usaha (HGU) 95 tahun yang dikandung UU Penanaman Modal terus menguat. Bahkan, kalangan organisasi petani, akademisi, dan masyarakat sipil di Indonesia merasa penting untuk segera melakukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi. Dalam UUPA, HGU diatur dalam Pasal 28-30 dan aturan konversi Pasal III. Dengan demikian, HGU selain sebuah bentuk hak baru juga merupakan “kelanjutan” dari erpacht Agrarische Wet 1870 dan peraturan consessie. Namun, dalam penjelasan umum dan penjelasan pasal per pasal UUPA, HGU diperuntukkan untuk koperasi bersama milik rakyat bukan korporasi. Inilah rencana UUPA dalam menghentikan bentuk ekonomi dualistik yang dihasilkan oleh penjajahan. Bentuk dualistik itu adalah adanya perkebunan modern di satu sisi bersanding dengan pertanian subsisten dan masyarakat pertanian yang feodal di sisi yang lain.

Lebih lanjut, hak erpacht yang dikonversi ke dalam HGU diberi jangka waktu selama-lamanya 20 tahun untuk segera dikembalikan kepada negara. Secara khusus, Bung Hatta dalam pidato sebelum pengesahan UUPA (September 1960) merasa perlu memberi catatan bahwa perkebunan yang mempunyai hak erpacht tersebut dahulunya memperoleh tanah dengan cara merampas dari masyarakat. Sehingga, harus segera dikembalikan kepada masyarakat sekitar setelah habis masanya. Jadi, semestinya keruwetan hak barat atas tanah semestinya sudah selesai pada tahun 1980-an.

Pemerintah Orde Baru enggan mengembalikan tanah-tanah tersebut dengan mengeluarkan Keppres No. 32/1979 tentang Pokok-Pokok Kebiaksanaan Dalam Rangka Pemberian Hak Baru Atas Tanah Asal Konversi Hak-Hak Barat, dan Peraturan Menteri Dalam Negeri No.3/1979 tentang Ketentuan-Ketentuan Mengenai Permohonan dan Pemberian Hak Baru Atas Tanah Asal Konversi Hak-Hak Barat.

Beberapa alasan dikeluarkannya aturan tersebut dikarenakan umumnya perkebunan tersebut telah dinasionalisasi dan dijadikan BUMN sekaligus melihat kenyataan bahwa sebagian besar direksi dan komisaris perusahaan ini adalah para pensiunan pejabat tinggi atau perwira militer yang dirasa penting diberi priveledge. Hilanglah kesempatan rakyat mendapatkan kembali tanahnya.

5.2. Dualisme Ekonomi Pertanian

Di lain pihak, korporasi swasta juga telah diberi keleluasaan lebih luas dalam mendapatkan HGU di atas tanah yang diklaim sebagai tanah negara. Inilah bentuk pengulangan praktek Domein Verklaring dalam AW 1870 yang memanipulasi Hak Menguasai Negara atas tanah dalam UUPA yang seharusnya dipandu oleh kewajiban diabdikan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dan mempunyai fungsi sosial.

Pemberian HGU selama ini telah mempertahankan dualisme ekonomi pertanian kita. Modus pemberian HGU semakin melebar dengan keluarnya PP No.40/1996, di mana hak itu bisa ditetapkan di atas tanah yang bukan milik negara melalui mekanisme pelepasan hak. Era ini telah membuat pengambilalihan tanah masyarakat adat semakin meluas dengan memanfaatkan minimnya pengetahuan hukum pertanahan oleh rakyat.

Penelusuran singkat ini, membuktikan bahwa praktek pemberian HGU di Indonesia selama ini sebenarnya “illegal” dalam pandangan masyarakat sekitarnya dan secara nyata berdiri di atas pelanggaran terhadap hak asasi manusia. Identiknya perkebunan sebagai simbol perselingkuhan hukum dan modal menjadikan perusahaan perkebunan sasaran okupasi dan reklaiming tanah. Keadaan ini menjelaskan bahwa umumnya perusahaan perkebunan berdiri di atas perlawanan masyarakat dan setiap saat selalu berpotensi meletupkan konflik sosial.

Pemerintah dan DPR mestilah bersepakat untuk segera membentuk sebuah badan independen yang bersifat adhoc untuk melakukan audit terhadap seluruh HGU yang ada dan menyelesaikan segenap persoalan di dalamnya. Sebagai langkah awal, Badan Pertanahan Nasional RI (lembaga pemerintah yang berwenang mengatur HGU) perlu segera mengidentifikasi dan mengklasifikasi ulang HGU yang ada untuk kemudian diadakan evaluasi total terhadapnya sebagai bagian dari program pembaruan agraria nasional.

6. Epilog

Pemberian fasilitas dan kemudahan berlebih kepada penanam modal akan menjauhkan rasa keadilan sosial dalam sanubari rakyat. Pelaksanaan UU Penanaman Modal dapat memicu kontestasi (pertarungan) dalam bentuknya yang paling konkrit, yakni konflik agraria yang semakin massif.

Agar konflik ini urung terjadi, pembatalan UU Penanaman Modal oleh Mahkamah Konstitusi jalan keluarnya. Sedangkan terkait HGU, untuk ke depan (lihat: Setiawan dan Arsyad, Sinar Harapan, 06/09/06), haruslah hanya diperuntukkan bagi koperasi bersama milik rakyat sehingga terdapat desain nasional bagi petani kita untuk membentuk badan usaha bersama milik petani dan badan usaha bersama milik desa.

Dengan begitu, reforma agraria akan membuka jalan bagi pembangunan ekonomi kerakyatan yang dimotori kaum tani menuju keadilan sosial seluruh rakyat Indonesia.***

Jakarta, 3 Juli 2007


RIWAYAT SINGKAT PENULIS

Usep Setiawan lahir di Ciamis, 11 September 1972, menyelesaikan kuliah di Jurusan Antropologi FISIP Universitas Padjadjaran (Unpad) Bandung pada tahun 1998. Menjadi Ketua Umum Huria Mahasiswa Antropologi Unpad (1993-1994); Ketua Divisi Pendidikan Keluarga Aktivis Unpad (1993-1994); Staf Badan Pelaksana Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) sejak 1996-2002; Deputi Sekjen KPA Bidang Advokasi (2002-2004); Ketua Yayasan Pengkajian dan Pengembangan Aktivitas Sosial (YP2AS) Bandung sejak 1999 sampai sekarang; Koordinator Kelompok Kerja Ornop untuk Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumberdaya Alam (2002-2003); Anggota Dewan Pengarah Perhimpunan Gerakan Advokasi Kerakyatan (Pergerakan) Periode 2003-2004; Koordinator Pelaksana Tim Kerja Mengagas Pembentukan Komisi Nasional untuk Penyelesaian Konflik Agraria - Komnas HAM (2003-2005); Redaktur Jurnal Pembaruan Agrarian dan Pembaruan Desa yang diterbitkan Lappera Indonesia-PKA IPB; dan terakhir sebagai Sekjen KPA sejak 2005 sampai sekarang. Karangan ilmiah populer dimuat di Kompas, Suara Pembaruan, Sinar Harapan, Pikiran Rakyat, Republika, Forum Keadilan, Jurnal Nasional, Seputar Indonesia, dan berbagai terbitan Ornop. Aktif menjadi narasumber seminar atau lokakarya yang diselenggarakan DPR RI, BPN RI, Deptan RI, dan Komnas HAM. Kini tinggal di Ciputat-Tangerang bersama Eulis Nurfaidah (istri) beserta dan dua orang anak, Hizqia Nadhira dan Tierra Kresna. Alamat Sekretariat KPA: Jl. Zeni No. 10 Mampang Prapatan Jakarta Selatan 12790, T/f (021) 79191644, dan Jl. Antabaru IV No.1a Bandung, T/f (022) 7504967, Email: kpa@kpa.or.id; usepsetia@yahoo.com, HP: 0818-613667.



[1] Makalah disampaikan dalam “Diskusi Publik tentang Undang-Undang Penanaman Modal dan Pertanian Indonesia”, diselenggarakan oleh INFID, IGJ, YAPPIKA, dan Serikat Tani Nasional, pada tanggal 3 Juli 2007 di Jakarta Media Centre (JMC), Jakarta Pusat. Makalah ini pernah disajikan dalam Seminar Nasional bertema “Yudisial Review UU Penanaman Modal: Antara Realita dan Harapan?”, diselenggarakan oleh Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, di Ruang Sidang Ar-Fakhruddin Lt 5, UMY, Yogyakarta, Selasa, 29 Mei 2007.

[2] Penulis adalah Sekjen Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA). Alamat KPA: Jl. Zeni No. 10 Mampang Prapatan Jakarta Selatan 12790, Tlp (021) 79191644. Email: usepsetia@yahoo.com, HP: 0818-613667.

[3] Usep Setiawan, Kompas, 23 Februari 2007.

[4] Usep Setiawan dan Iwan Nurdin, Suara Pembaruan, 2 April 2007.

[5] Usep Setiawan, Kompas, 10 April 2007.

[6] Usep Setiawan dan Iwan Nurdin, Sinar Harapan, 12 Mei 2007.