http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0706/06/Jabar/22663.htm
Jawa Barat
Rabu, 06 Juni 2007
Bandung, Kompas - Gabungan Pengusaha Perkebunan atau GPP Jawa Barat dan Banten, serta Serikat Pekerja Perkebunan PT Perkebunan Nusantara VIII menolak konsep bagi-bagi lahan yang digagas pemerintah. Konsep itu dinilai tidak menyelesaikan masalah, tetapi malah menambah masalah.
Ketua GPP Jabar-Banten Dede Suganda Adiwinata, Selasa (5/6), menyatakan prihatin dengan upaya reformasi agraria yang dilakukan pemerintah.
Pasalnya, konsep bagi-bagi lahan yang dicanangkan malah akan menimbulkan konflik antara perusahaan perkebunan dan masyarakat serta petani di sekitarnya.
Sementara itu, menurut perwakilan Serikat Pekerja Perkebunan PT Perkebunan Nusantara (PTPN) VIII Slamet BS, bagi-bagi lahan dalam rencana reformasi agraria yang ditetapkan pemerintah merupakan bentuk penjarahan yang dilegalkan.
Sebab, dalam kenyataannya, relatif banyak lahan hak guna usaha (HGU) milik perkebunan yang dijarah warga sekitar. Akibatnya, muncul sengketa antara perusahaan perkebunan dan masyarakat sehingga lahan tidak dapat difungsikan kembali.
"Harus ada kejelasan dari pemerintah mengenai konsep lahan telantar dan yang dikuasai petani. Pasalnya, banyak lahan PTPN VIII yang diduduki dan dikuasai rakyat, seperti lahan di Gunung Mas seluas 640 hektar," kata Slamet. Revitalisasi lahan
Menanggapi pernyataan Kepala Dinas Perkebunan Jabar sebelumnya tentang tiga opsi yang disampaikan Gubernur Jabar tentang revitalisasi lahan perkebunan, Serikat Pekerja Perkebunan PTPN meminta pemerintah harus tegas mengenai hal itu.
Pemerintah, kata Slamet, perlu menentukan bentuk-bentuk dukungan yang efektif terhadap pembangunan perkebunan, seperti kemudahan perizinan atau keringanan pembayaran pinjaman dan pajaknya.
Sebab, hal terpenting dalam reformasi agraria, menurut Slamet, adalah memberi ruang usaha bagi masyarakat, bukan membagikan lahan bersertifikat.
Slamet menambahkan, upaya yang bisa dilakukan untuk merevitalisasi lahan adalah dengan program kemitraan antara pengusaha perkebunan besar dan masyarakat sekitarnya. Bentuknya, pemanfaatan lahan, bukan pemilikan lahan.
Lahan dikelola bersama agar menghasilkan tanaman perkebunan yang produktif. Cara lain, melalui program kemitraan bina lingkungan (PKBL).
Pemerintah, menurut Dede, seyogianya memfasilitasi PTPN dan perusahaan perkebunan swasta dalam penyediaan teknologi, pengawasan pembinaan, dan kebijakan yang mempermudah usaha perkebunan.
Pengusaha perkebunan, kata Dede, membutuhkan jaminan kepastian hukum dan usaha. "Pengusaha itu butuh jaminan keamanan, kepastian supremasi hukum, kebijakan yang konsisten, serta hubungan yang harmonis. Kalau tidak diperhatikan, investor luar negeri bakal takut berinvestasi di sektor perkebunan," ujar Dede. (THT)