Dalam pertemuan tersebut terjadi perdebatan yang cukup alot antara KTB dengan PT Sipef. Perdebatan dipicu atas pengakuan PT Sipef yang mengklaim lahan seluas 712 Ha (lahan sengketa) yang berada didalam areal HGU PT Sipef.
Sedikit kami gambarkan kronologis sengketa ini, bahwa pada tahun 1956, rakyat Desa Menanti sudah mengusahai lahan sengketa tersebut dengan menanami tanaman-tanaman produkstif seperti Karet, Kelapa Sawit dan tanaman Palawija lainnya. Rakyat membuka lahan pertanian karena perkebunan nenas Sisumut Belanda yang bangkrut sehingga tanah tersebut terlantar dan kemudian di kelola oleh penduduk.
Paska tragedi berdarah G 30 S, ditandai dengan kemunculan rezim militeristik Suharto (Orde Baru), maka penyelewengan atas semangat Reforma Agraria (UUPA thn 1960) diberlakukan dengan pemberian HGU kepada perusahaan (PT Sipef) dengan cara paksa dan intimidasi kepada Rakyat tanpa mengindahkan proses Musyawarah dalam mencapai mufakat seperti yang diamanatkan UUPA. Tanah yang dalam semangat UUPA mempunyai fungsi sosial dilecehkan dengan diberikannya tanah kepada perusahaan, yang menjadikan tanah tidak labi memiliki fungsi sosial melainkan fungsi kapital.
“Pada tahun 1971-an SIPEF dan Pemkab. Labuhan Batu memerintahkan kami petani untuk segera meninggalkan lahan pertanian kami dengan alasan lahan yang telah kami usahakan termasuk dalam HGU PT. SIPEF” kata Pak Sabar (delegasi dari KTB). Pak Sabar melanjutkan “Perlu dijelaskan bahwa, perintah meninggalkan lahan pertanian disertai dengan intimidasi: barang siapa yang tidak bersedia diganti rugi yang tidak sesuai dan tidak mau meninggalkan lokasi dapat dikategorikan PKI yang saat itu tabu dan menakutkan rakyat, Sebagai bukti bahwa lahan terebut dulunya pernah menjadi lahan pertanian masyarakat, sampai saat ini dilahan tersebut masih terdapat pohon kelapa dan beberapa durian.
Sampai dengan saat ini, pihak masyarakat tak gencar-gencarnya mengkritisi pihak PT Sipef yang berkolaborasi dengan Pemkab Labuhan batu serta BPN Labuhan Batu yang mengeluarkan izin HGU kepada PT Sipef yang menurut masyarakat sangat bertentangan dengan UU Pokok Agraria tahun 1960, dimana UUPA sendiri menjelaskan bahwa tanah memiliki fungsi social, serta pengadaan izin HGU dll harus diselesaikan dengan cara musyawarah dan mufakat. Proses itulah yang tidak pernah di indahkan oleh PT SIPEF. “Malahan PT Sipef dan Pemkab labuhan Batu melakukan cara-cara intimidasi dan pemaksaan terhadap masyarakat untuk menandatangani
Namun Sipef tetap bersikeras dengan tawarannya yang dua minggu tersebut, dengan alas an agenda bisnis. Kemudian DPRD labuhan Batu dan KTB menyepakati tawaran tersebut, setelah terjadi dialog yang cukup panas. (Randy S).