Thursday, March 5, 2009

Kajian Umum Pangan

GAMBAR jalanan rusak di sekitar areal persawahan Kobak Gabus, Desa Medan Karya, Kecamatan Tirtajaya, Karawang, Jawa Barat. Pembenahan infrastruktur perhubungan maupun sarana pendukung lainnya patut menjadi perhatian penting demi meningkatkan kualitet produksi pertanian rakyat.

-----

Penelitian Awal Komite Pimpinan Pusat Serikat Tani Nasional 2009

Pangan adalah masalah kunci bagi umat manusia dalam melangsungkan hidupnya. Selama kunci ini belum terpecahkan, maka kehidupan manusia juga belum terjamin kelangsungannya.

Jaman dahulu orang menentukan tempat hidup berdasarkan ketersediaan sumber pangan di suatu wilayah. Apabila tempat tersebut tidak dapat menyediakan pangan, mereka akan berpindah ke tempat yang memungkinkan sumber pangan untuk melanjutkan hidupnya. Tahapan selanjutnya, ketika peradaban berkembang dan kebutuhan hidup semakin beragam, seseorang yang memiliki bahan pangan akan menukarkan bagian yang dimilikinya untuk mendapatkan barang keperluan hidupnya. Itulah masa di mana penduduk bumi belum sepadat sekarang dan kehidupan masyarakat masih dalam corak yang sederhana.

Seiring perkembangan ekonomi dan politik umat manusia, kini pangan menghadapi persoalan yang kompleks. Pangan telah melampaui batas wilayah dan negara, dalam satu sistem distribusi yang luas dan timpang. Orang yang hidup di daerah kering dan saat kemarau buminya sulit menghasilkan makanan, atau orang yang tingal jauh dari sumber pangan, tetap memungkinkan untuk mengaskses makanan berkat adanya sistem distribusi dan perdagangan yang berkembang. Pangan menjadi komoditi paling besar dan luas dalam sistem pasar (liberalisasi), serta paling intensif diperdagangkan. Ketika alam dipandang sebagai sumber daya ekonomi dan pangan menjelma komodoti, maka akses pangan menjadi jalur yang memunculkan kontradiksi kepentingan yang kian tajam.

Pada akhir September 2006 Indonesia kembali akan mengimpor beras sejumlah 210.000 ton. Meski beberapa pihak menyatakan jumlah tersebut kecil, tak diragukan lagi, impor adalah tindakan yang menistakan petani dan menghancurkan dunia pertanian jika stok beras sesungguhnya masih berada di level aman.

Tapi, dengan pertumbuhan penduduk mencapai 2,7 juta jiwa per tahun, jika diasumsikan konsumsi beras per kapita penduduk Indonesia di masa akan datang sama dengan konsumsi per kapita tahun 2004 sebesar 136 kg, Indonesia akan membutuhkan tambahan pasokan beras 360.000 ton setiap tahunnya. Dengan demikian, sebagai contoh, pada tahun 2010 Indonesia akan membutuhkan suplai beras 1,4 juta ton lebih banyak dari kebutuhan saat ini. Dengan asumsi pertumbuhan produktivitas padi 2 % per tahun dan faktor lainnya tetap, pada tahun itu hanya dihasilkan tambahan produksi 800.000 ton lebih besar dari saat ini. Jadi, pada tahun itu kita akan kekurangan beras sekitar 600.000 ton.

I. Krisis Pangan Dalam Negeri

Pertama, dalam sepuluh tahun terakhir tidak terdapat peningkatan luas panen padi yang signifikan. Yang terjadi adalah sebaliknya, konversi lahan pertanian pangan menjadi lahan non-pertanian, baik yang terjadi dengan proses jual-beli maupun dengn jalan paksaan (menggusur/land-grabbing).

Penelitian yang dilakukan Serikat Tani Nasional di awal 2009 mengandung asumsi dasar bahwa saat ini terjadi peningkatan jumlah petani tak bertanah secara luar biasa karena mengecilnya rata-rata penguasaan lahan pertanian keluarga petani.

Pada tahun 1983 rata-rata kepemilikan sejumlah 0,93 ha, dan menjadi 0,83 ha pada tahun 1993. Di luar pulau Jawa menurun dari 1,38 ha menjadi 1,19 ha, dan di Pulau Jawa menurun dari 0,58 ha menjadi 0,47 ha, dan sekarang angka ini diperkirakan merosot menjadi 0,3 Ha. Sementara sebagian besar keluarga petani (43%) merupakan kelompok petani tunakisma atau petani miskin yang memiliki lahan pertanian kurang dari 0,1 ha.

Berdasarkan data BPN (Badan Pertanahan Nasional) telah terjadi alih fungsi lahan pertanian di Pulau Jawa untuk permukiman dan industri antara tahun 1994-1999, seluas 81.176 ha terdiri dari permukiman seluas 33.429 hektar dan industri seluas 47.747 ha. Alih fungsi tanah pertanian tersebut yang terluas di Jawa Barat (79,41%), Jawa Timur (17,01%), Jawa Tengah (2,69%), dan Daerah Istimewa Yogyakarta (0,89 %).

Besar kemungkinan kecenderungan ini terus berlanjut karena usaha perluasan selalu menghadapi persoalan pelik. Secara umum, padi akan bagus hasilnya jika ditanam di Pulau Jawa dan Bali. Rata-rata produksi padi di dua pulau ini paling tinggi dibandingkan dengan pulau lain, mencapai lebih dari 5 ton per hektar. Sementara rata-rata produksi di pulau lain 2-5 ton per hektar (Badan Pusat Statistik, 2005). Namun, ekspansi areal persawahan di Pulau Jawa dan Bali harus berkompetisi dengan kepentingan lain, seperti perumahan dan industri. Dalam kompetisi ini, kepentingan penggunaan lahan untuk sawah hampir pasti tersisih, terutama karena pertimbangan untung-rugi. Maka, yang terjadi bukanlah ekspansi, melainkan alih fungsi lahan sawah ke nonsawah.

Adapun di luar Jawa, usaha untuk mengembangkan areal tanam padi telah dilakukan sejak lebih dari tiga puluh tahun lalu, mulai dari proyek rice estate di Palembang hingga proyek lahan gambut sejuta hektar di Kalimantan. Sebagaimana diketahui, semua usaha tersebut gagal total. Ini menunjukkan betapa muskilnya mengembangkan areal sawah baru di luar Pulau Jawa.

Kedua, pertumbuhan produktivitas padi cukup rendah, kurang dari 2 % per tahun dalam 15 tahun terakhir (International Rice Research Institute, 2005). Meski hampir semua teknologi yang ada di dunia sudah diterapkan dan diadopsi oleh Indonesia, yang membuat usaha tani padi di Indonesia menjadi terefisien di Asia Tenggara dan lebih produktif dibandingkan dengan produksi rata-rata Asia bukan pekerjaan mudah untuk meningkatkan produktivitas padi ini. Apalagi jika mengingat efisiensi lahan sawah, terutama di Jawa, sudah mendekati jenuh dan keletihan (soil fatique).

Ketiga, sulit diharapkan adanya terobosan teknologi yang tepat guna dalam waktu dekat. Padi hibrida yang direncanakan menjadi andalan untuk menggenjot produksi juga masih penuh kontroversi. Butuh waktu lama untuk mengetahui apakah padi hibrida ini dapat memenuhi seluruh persyaratan teknis dan ekonomis agar bisa ditanam di Indonesia.

Keempat, sejumlah daerah sentra produksi padi dilanda bencana yang berujung pusonya padi. Perubahan ikim sangat mempengaruhi usaha tani. Bila pada masa sebelumnya produksi beras utama dihasilkan pada empat bulan panen raya (Februari-Mei), yang mencapai 60-65 persen dari total produksi nasional. Produksi berikutnya dihasilkan pada musim panen gadu pertama (Juni-September) dengan produksi 25-30 persen. Sisanya dihasilkan pada musim panen Oktober-Januari. Kini, irama tanam dan panen bagi petani serba tak menentu.

II. Pemerintah Melakukan Impor Beras; Jalan keluar Tambal Sulam

Di tengah dilema pangan nasional, impor beras adalah jalan yang diambil oleh kalangan pemerintahan. Persetujuan impor beras kepada Perum Bulog yang tertuang dalam surat Menteri Perdagangan Nomor 760/M-DAG/9/2006 juga menyebutkan kepastian kedatangan beras impor di pelabuhan tujuan beserta informasi jumlah dan kapal pengangkutnya harus dilaporkan kepada Ditjen Bea Cukai, Departemen Keuangan yang ditembuskan pada Ditjen Perdagangan Luar Negeri, Depdag, sepekan sebelum impor dilakukan.

Sepuluh kota/pelabuhan masuk beras impor tersebut adalah Lhokseumawe, NAD (18 ribu ton); Belawan, Sumatera Utara (22 ribu ton); Dumai, Riau (16 ribu ton), Padang (Teluk Bayur), Sumatera Utara (12 ribu ton); Ciwandan, Banten (untuk Bengkulu, Lampung dan Kalimantan totalnya 52 ribu ton); Balikpapan, Kalimantan Timur (14 ribu ton); Kupang, NTB (34 ribu ton); Bitung, Sulawesi Utara (24 ribu ton); Sorong, Irian Jaya Barat (12 ribu ton); dan Jayapura, Papua (6.000 ton).

III. Memulihkan Pangan Nasional; Sebuah Rekomendasi

Kaum tani adalah populasi yang terbesar di Indonesia. Menurut data Bappenas, melalui Survey Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) tahun 2003, jumlah petani diperkirakan mencapai 44,5 juta jiwa. Dengan jumlah ini, kaum tani adalah kekuatan produktif yang paling besar dibanding buruh manufaktur (12 juta jiwa), buruh niaga (19,4 juta jiwa), jasa (11,3 juta jiwa), dan sektor lainnya (11,8 juta jiwa). Namun kenyataan di lapangan, setelah 60 tahun republik ini merdeka, menunjukkan bagaimana sektor pertanian diperas, dipinggirkan, dijadikan tumbal pembangunan, dan dimiskinkan secara ekonomi dan dimandulkan kekuatannya secara politik.

Dalam pandangan Serikat Tani Nasional, untuk mencapai apa yang dimaksud kedaulatan petani sebagai prasyarat ketahanan pangan nasional mengandung 3 pokok pikiran sebagai jalan keluar kebijakan mengurus pertanian nasional,
  1. Pertama, pelaksanaan landreform sejati sebagai akar penguasaan alat produksi (tanah) yang kian hari kian sempit mengerogoti lahan petani. Dalam pengertian lain, suatu program nasional untuk mengangkat petani miskin dan buruh tani menjadi petani menengah yang lebih sejahtera dengan penguasaan tanah yang mencukupi syarat-syarat melangsungkan kehidupan sebagai keluarga petani.
  2. Kedua, pembenahan budidaya tanaman pertanian untuk mewujudkan sistem pertanian yang berdikari dan lestari.
  3. Ketiga, menggalakkan program diversifikasi pangan berbasis sistem budaya pangan lokal.
Serikat Tani Nasioanl juga menilai bahwa impor beras justru memiliki mata rantai negatif yang panjang: larinya devisa, disinsentif terhadap petani, mubazirnya sumberdaya domestik dan yang lain.

Sebetulnya, masalah ini bisa selesai apabila Perum Bulog menyerap beras sesuai target dengan harga berapa pun. Tapi karena dituntut untung, Perum Bulog lebih mengedepankan aspek bisnis.