http://www.sinarharapan.co.id/berita/0902/23/sh01.html
Oleh
Effatha Tamburian
Jakarta – Tingginya harga beras di pasaran internasional di tahun 2008, telah mendorong petani lebih bersemangat meningkatkan produksi padi, sehingga produksi beras nasional melimpah atau melebihi kebutuhan nasional.
Namun, pencapaian surplus atau swasembada beras tersebut belum dapat menyejahterakan petani, karena lahan pertanian pangan makin sempit.
Pakar dan praktisi pertanian Siswono Yudo Husodo mengatakan hal itu ketika dihubungi SH, Senin (23/2).
Dia mengakui program pemerintah juga baik, tetapi peningkatan produksi beras itu lebih dirangsang oleh harga beras internasional yang membaik. Jadi, peningkatan produksi beras itu bukan karena program pemerintah semata, melainkan karena harga beras mahal.
Siswono mencatat, tingginya harga beras internasional mencapai puncaknya pada Juni-Juli 2008, yaitu mencapai US$ 800 per ton, atau naik lima kali lipat selama delapan tahun, yaitu US$ 165 per ton pada 2000 lalu. Sementara itu, lanjutnya, harga gabah kering giling (GKG) mencapai Rp 2.600-2.700 per kilogram.
Meski demikian, sangat disayangkan karena petani justru tidak menikmati dampak surplus beras tersebut. Karena lahan pertanian semakin sempit, di sisi lain revitalisasi pertanian dan reforma agraria dijanjikan yang dicanangkan pemerintah tidak jalan. Dampaknya petani tetap miskin.
Serap Gabah Petani
Peningkatan produksi tersebut, tandasnya, akan terus berlangsung selama harga gabah cukup tinggi. Bahkan, pada 2009 mendatang, Indonesia berpotensi menjadi eksportir beras. Untuk itu, Siswono menekankan pentingnya Perum Bulog tetap menyerap gabah petani dalam jumlah yang banyak untuk disimpan pada musim paceklik dan untuk raskin.
Siswono mencontohkan operasi pasar dengan menurunkan harga beras yang pernah dilaksanakan pemerintah pada saat harga beras naik beberapa waktu lalu, justru membuat petani tidak terangsang untuk berproduksi.
”Kalau harga jelek, petani tidak mau tanam padi dan kita akan kekurangan. Sebaliknya pada Juni 2008 lalu, saat harga internasional baik, hal itu dapat merangsang areal tanam padi menjadi lebih luas,” kata Siswono.
Dirinya mencatat produksi beras tahun 2008 sebanyak 60 juta ton GKG, atau setara 37,5 juta ton beras, sedangkan konsumsi beras dalam negeri dan industri sebanyak 35,5 juta ton. Maka, jumlah kelebihan atau surplus beras sekitar 2 juta ton.
Saat dihubungi terpisah, Ketua Umum Serikat Petani Indonesia (SPI) Henry Saragih mengatakan, pemerintah terlalu cepat mengklaim telah terjadi surplus beras karena pada 2005-2007 impor beras masih tinggi. Bahkan pada 2007, impor beras merupakan yang tertinggi, mencapai 1,5 juta ton. ”Memang, pada 2008, dikatakan sudah tidak ada impor lagi. Namun, SPI menduga surplus beras juga mengandung tumpukan beras impor dari tahun-tahun sebelumnya,” ungkapnya.
Hal tersebut, tegas Henry, disebabkan kehidupan petani tidak makin baik dan substitusi lahan pertanian pangan ke lahan perkebunan atau transportasi sepanjang tahun makin luas, yaitu mencapai 10.000-40.000 hektare per tahunnya. Terutama di luar Jawa, lahan yang menjadi perkebunan kelapa sawit makin luas.
”Sementara luasnya makin menyempit, bagaimana dikatakan surplus beras. Parahnya lagi, banjir sering menimpa sejak akhir 2007 hingga sepanjang tahun 2008,” jelasnya.
Tidak Sebanding Laju Inflasi
Di samping itu, Henry mencatat nilai tukar petani (NTP) sebagai tolok ukur tingkat kesejahteraan petani, pada 2008 lalu justru terjadi penurunan, khususnya di tanaman pangan padi. Kalaupun meningkat, kenaikannya berasal dari NTP peternakan dan perkebunan.
Hal itu, tandas Henry, diakibatkan peningkatan harga pembelian pemerintah (HPP) gabah dan beras yang tidak sebanding dengan laju inflasi, di mana laju inflasi 11,68 persen, selalu jauh lebih besar dari peningkatan HPP yang hanya 9 persen.
”Akhir 2008, walaupun pemerintah telah menurunkan harga BBM sebanyak dua kali, tapi tidak berdampak pada petani. Seharusnya, pemerintah lebih menyampaikan soal kesejahteraan petani dibanding surplus atau ekspor beras,” tegasnya.
Terkait ekspor beras, Henry menekankan sudah sejak 2005 Indonesia melaksanakan ekspor beras kualitas super, seperti Pandan Wangi, Cianjur, Padi Mulia, dan Aromatik, dengan volume rata-rata 120.000-140.000 per tahun, meskipun impor beras untuk kualitas menengah ke bawah tetap dilakukan.
”Ekspor beras bukan suatu hal yang baru. Sekarang, apakah kehidupan petani membaik? Yang terjadi justru petani tetap miskin,” tandasnya.
Ketua Umum Serikat Tani Nasional (STN) Donny Pradana menegaskan, surplus beras yang didengungkan pemerintahan Yudhoyono-Kalla dan para menterinya pada kenyataan sangat disangsikan. Hal tersebut disebabkan saat ini makin banyak rumah tangga petani miskin sehingga tidak bisa berproduksi lagi.
Menurutnya, sejak sensus 2004, jumlah rumah tangga petani miskin meningkat tajam, apalagi kondisi ekonomi bangsa juga makin buruk. ”Jumlah petani tidak berlahan meningkat dan harga kebutuhan pokok juga makin naik,” ujar Donny.
Ia mensinyalir surplus beras yang terjadi berasal dari beras impor atau yang didatangkan dari luar Indonesia. Kecukupan pangan dan ketersediaan beras tersebut, lanjutnya, disuplai oleh impor beras yang tidak terdeteksi oleh bea dan cukai. ”Hipotesa kami seperti itu karena petani Indonesia banyak yang tidak berlahan dan biaya produksi makin besar dan mahal,” ungkap Donny.
Dirinya menekankan, yang diperlukan bangsa ini tidak hanya swasembada beras dan kecukupan pangan, tetapi kedaulatan pangan, di mana petani bisa berproduksi untuk dirinya sendiri dan masyarakat.