GAMBAR tanaman padi ladang yang menguning milik petani penggarap di Kutatandingan. Di antara tanaman padi terdapatlah ratusan bibit jeunjing/sengon dan mindi yang ditanam Perhutani dengan jarak tanam 2 x 3 meter. Bibit tersebut ditandai dengan ajir/bambu tegak yang tertutup plastik hitam di atasnya.
-------
KARAWANG. Sejak awal musim hujan yang lalu hingga sekarang, Atan Nurmana jaya [39] dan kelompok petani penggarap Kutatandingan tengah berada dalam kebimbangan. Meraka bertanya-tanya dalam benaknya, seriuskah KPH Perum Perhutani bagian hutan Ciampel dan Pangkalan melakukan pemeliharaan tanamannya?
Akhir November tahun lalu, sejumlah petugas Perum Perhutani memaksa penanaman ribuan tanaman kayu berjenis jeunjing/sengon [Paraserianthes falcataria] dan mindi [Melia azzedarah] di tengah-tengah areal peladangan milik Kang Atan dan kawan-kawannya. Berdasarkan penuturan Perhutani, areal penanaman tersebut termasuk dalam Petak 39 bagian hutan Teluk Jambe [Baca Perhutani Memaksa Menanam].
Kini sejumlah jeunjing/sengon dan mindi itu tak terawat. Bibit yang sudah ditanam dibiarkan teronggok tak terurus. Di sana-sini nampak rumput liar melilitinya. “Tak seorangpun dari petugas Perhutani yang memelihara”, tambah Kang Atan.
“Kamipun juga tak merasa memiliki tanaman itu. Karena sedari awal, Perhutani tak mengajak kami berunding dan mendengarkan kami”, lanjut salah satu pimpinan kelompok tani penggarap itu. Oleh karenanya, para petani penggarap tersebut tetap melanjutkan usaha peladangan di sela-sela tanaman Perhutani. “Namun, kami tetap melakukan konsolidasi untuk menghadapi hal-hal yang mengancam kelangsungan garapan di sini. Jika Perhutani tetap berkeras pada kami, kami telah menyiapkan diri untuk perjuangan”, tambahnya.
ia dan kawan-kawannya mengerti persis bahwa status hukum areal yang meraka garap adalah kawasan hutan produksi yang dikelola Perhutani .Meskipun kini tersebut telah ditelantarkan Perhutani sejak pemanenan kayu jati di tahun 1997-1998, namun status sebagai kawasan hutan yang ditetapkan oleh Menteri Kehutanan adalah tetap di mata hukum.
Jadi, organisasi massa legal petani yang beranggotakan Kang Atan dan kawan-kawannya tengah menyiapkan diri untuk perjuangan reform social-ekonomi untuk menurunkan sewa tanah. Salah satu caranya adalah mendesak pada KPH Perum Perhutani setempat agar menyelenggarakan pembagian hasil yang adil atas tanaman jeunjing/sengon dan mindi. Selain itu, jarak tanam antar jeunjing/sengon atau mindi patut diperlebar menjadi 4 x 12 meter untuk keleluasaan usaha pertanian tanaman semusim bagi petani penggarap.
Sementara di sisi lain, kebijakan Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat [PHBM] telah dialamatkan oleh pimpinan Perum Perhutani sebagai jalan tengah mengatasi sengketa dengan masyarakat yang hidup di sekitar/dalam kawasan hutan. Kebijakan bernomor : 136/KPTS/DIR/2001 memiliki semangat untuk membangun kemitraan dengan masyarakat dalam pengelolaan hutan.
Benarkah demikian?
Ibarat pepatah yang menyatakan jauh panggang dari api, kenyataan tersebut berbeda di lapangan. Paling tidak, apa yang tengah di alami oleh Kang Atan dan kawan-kawannya menunjukkan kenyataan tersebut.
Patut diduga kuat bahwa PHBM memungkinkan terjadinya mobilisasi tenaga kerja murah. Tenaga kerja ini ditujukan untuk usaha produksi di atas lahan yang dikelola Perum Perhutani. Sebagai gantinya, tenaga kerja diupah lewat bagi hasil pada saat pemanenan tanaman kayu beberapa tahun mendatang dan izin menggarap usaha pertanian di sela-sela tanaman Perhutani, tanpa merusaknya.