Sunday, December 23, 2007

Tentang Rencana Pengadaan Lahan Pertanian Abadi oleh Pemerintah RI

Saat ini pemerintah melalui Departemen Pertanian (Deptan) tengah menggodok RUU Pengelolaan Lahan Pertanian abadi. Konsultasi publik di beberapa wilayah sedang dilakukan. Sejalan dengan hal ini, DPR RI juga telah memprioritaskan RUU ini kedalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas).Dalam RUU ini pemerintah berangkat pada pemahaman bahwa konversi tanah pertanian telah mencapai tahap yang mengkhawatirkan bahkan telah mencapai 150.000 ha/tahun (Soehartanto: 2005). Konversi ini utamanya disebabkan oleh sistem ekonomi nasional kita yang mendudukan posisi ekonomi pertanian pangan kita yang tidak menguntungkan jika dibandingkan sektor ekonomi lainnya seperti perdagangan, industri dan perumahan.

Dengan titik tolak pandangan seperti ini tentusaja sangat penting dan logis untuk segera melindungi lahan-lahan pertanian pangan kita melalui penetapan kawasan lahan pertanian pangan abadi yang dilarang untuk dikonversi. Penetapan areal lahan abadi pertanian pangan ini akan disesuaikan pada rencana tata ruang wilayah di tingkat provinsi dan kabupaten. Sementara, bagi para pemilik lahan ini akan diberikan berbagai kemudahan insentif fiskal berupa penghapusan pajak, sertifikasi gratis, dan serangkaian insentif lainnya (Pasal 15).

Serikat Tani Nasional berpandangan bahwa,

Penetapan lahan abadi pertanian oleh pemerintah selaras dengan dijalankannya program pembaruan agraria. Subjek utama pengelola lahan abadi pertanian adalah kalangan buruh tani tak bertanah dan petani miskin, bukan golongan investor korporasi pertanian pangan. Hal ini dikandung maksud agar penetapan lahan abadi pertanian membuka jalan bagi buruh tani dan petani miskin memperoleh lahan pertanian dengan luasan lahan yang secara ekonomis dapat menguntungkan sebagai basis mengurangi peningkatan kesejahteraan.

Usaha pertanian yang diselenggarakan di lahan abadi pertanian sebaiknya dikelola melalui badan usaha bersama milik petani dan badan usaha bersama milik desa yang diwadahi dalam bentuk ekonomi koperasi. Hal ini dimaksudkan demi meningkatkan produksi pangan dan kapasitas petani dalam menghadapi pasar agar kelak di kemudian hari mampu ditumbuhkan indutralisasi pertanian verkelanjutan yang dimiliki petani sejak dari benih hingga pemasaran. Patut disertakan menjadi bagian penting bahwa negara/pemerintah perlu :

  1. Menjaminkan adanya kredit usaha [modal produksi], sarana produksi pertanian [pupuk, bibit, penanggulangan hama terpadu, irigasi/pengairan] yang murah, tersedia dan tidak merusak lingkungan serta mengadakan penyuluhan-penyuluhan pertanian untuk membantu para petani memecahkan masalah-masalah teknis yang dihadapinya.
  2. Melindungi perdagangan hasil produksi agar tercipta pasar adil dengan menjauhkan para tengkulak dari kaum tani, menghapuskan sistem riba/ijon/tebas dan sistem sewa tanah dalam usaha pertanian di lahan abad abadi pertanian tersebut.

Lahan pertanian abadi dilarang dikonversi untuk tujuan apapun. Larangan konversi termasuk larangan peralihan lahan dari petani korporasi pertanian pangan, kecuali kepada badan usaha koperasi yang benar-benar dimiliki oleh kalangan petani dan desa.

Yang terakhir, RUU ini mestilah mengaitkan diri dengan semangat yang ada dalam UUPA 1960, UU Penetepan Batas Minimum dan Maksimum Luas Tanah Pertanian yang disesuaikan dengan keadaan sekarang, dan tentu saja UU Pokok Bagi Hasil.

Jakarta, 04 Oktober 2007