http://www.riauterkini.com/hukum.php?arr=16974
Sabtu, 15 Desember 2007 18:43
Kendati sudah dialokasikan dana untuk penyelesaian konflik senilai Rp 9 miliar di APBD Riau 2007, namun konflik STR-PT Arara Abadi tak kunjung selesai. Pemprov dideadline berikan solusi hingga pertengahan Januari 2008.
Riauterkini-PEKANBARU-Sejak Mei 2007 lalu, saat warga 3 kabupaten melakukan demo besar-besaran dengan massa sebanyak 2000 orang, pemprov Riau berjanji segera menyelesaikan konflik antara warga dengan PT AA. Namun hingga kini, konflik tetap berjalan dan perebutan lahan terus berlangsung dan semakin meluas.
Untuk itu, Ketua Umum Komite Pengurus Pusat Serikat Tani Riau, Riza Suhelmi kepada Riauterkini sabtu (15/12) memberikan waktu (deadline) kepada Pemprov Riau untuk segera menyelesaikan konflik hingga pertengahan Januari 2008 mendatang.
"Kita memberikan batas waktu kepada pemprov Riau hingga pertengahan januari 2008 untuk menyelesaikan konflik. Jika tidak juga dapat diselesaikan kendati sudah dialokasikan Rp 9 miliar untuk membentuk tim penyelesaian konflik, kami akan melakukan class action sekaligus akan memogilisasi massa secara besar-besaran untuk mendesak penyelesaian konflik," ungkapnya.
Ia juga mempertanyakan alokasi dana anggaran penyelesaian konflik sebesar Rp 9 miliar. Menurutnya, dana tersebut disebutkan oleh Nasrun Effendi dan Herliyan Saleh saat menemui 2000 warga yang mendemo kantor gubernur Mei lalu.
"Waktu menemui warga, Nasrun Effendi dan Herliyan Saleh berjanji mengalokasikan anggaran APBD 2007 sebesar Rp 9 miliar untuk membentuk tim guna menyelesaikan konflik warga-Arara Abadi Mei 2007 lalu dihadapan 2000 warga 3 kabupaten (Kampar, Bengkalis dan Siak). Namun kenyataannya hingga kini tidak ada solusi bagi penyelesaian konflik. Lantas uangnya digunakan untuk apa," ungkap Riza mempertanyakan.
Kalau memang alokasi anggaran utu digunakan sebaik-baiknya untuk penyeleaian konflik, pasti saat ini masalahnya selesai. Karena dengan anggaran itu pemerintah sudah menurunkan tim untuk melakukan pemetaan dalam penentuan tapal batas antara lahan milik warga dengan lahan milik PT AA. Namun menurutnya, kondisi di lapangan semakin parah. Warga sudah ingin mengelola lahan ulayat. Sementara PT AA sendiri tidak mau melepas.
Jika PT AA memiliki SK Menhut no.743/1996, Riza menyatakan bahwa dasar warga sangat kuat. Karena selain terdapat pekampungan di kawasan perijinan PT AA, warga memiliki surat dari kerajaan Siak untuk masyarakat Sakai. Kemudian juga ada surat dari pihak PT Chevron Pacifik Indonesia bahwa di kawasan perijinannya, PT CPI memberikan hak kepada warga mengelola lahan di permukaan. Karena CPI sendiri lebih fokus ke sumber daya minyak bumi di bawah permukaan tanah.
Selain itu, tambah Riza, warga juga memiliki SKGR tahun 1980-an dan sudah menetap di kawasan areal perijinan PT AA sejak tahun 1940-an. Jadi menurutnya, warga jelas memiliki hak atas tanah ulayat yang masuk di kawasan HTI-nya PT AA.
"Dalam SK Menhut No.743 itu disebutkan bahwa paling lambat 2 tahun pemegang ijin harus menginclafkan kawasan perkampungan, ladang dan kebun masyarakat dari kawasan HTI pemegang perijinan. Namun mengapa PT AA tidak memiliki itikad baik untuk inclafing lahan warga hingga berlarut-larut selama satu dasawarsa," ungkapnya.***(H-we)