Monday, December 24, 2007

Pandangan STR Terhadap Kondisi Agraria di Riau

Serikat Tani Riau memandang bahwa kenyataan-kenyataan ekonomi negara kita masih terbelenggu oleh ketergantungan yang sangat besar dari pemodal asing. Secara kasat mata bisa kita lihat bersama penguasaan seluruh aset kekayaan alam negara kita – terutama di sektor tambang - oleh perusahaan-perusahaan asing yang berkepentingan mengeruk keuntungan dari kekayaan alam INDONESIA.

Lahan Luas untuk Pemilik Modal dan Konflik Agraria di Riau

Di Riau, rezim Orde Baru membangun jaringan kekuasaan ekonominya di bawah kangkangan kapitalisme global dengan memberikan + 580.000 ha (Separuhnya diperuntukkan bagi HPH/TI PT. Arara Abadi, seluas hampir 300.000 ha) perkebunan pulp kepada 2 perusahaan dan diperkirakan memboyong 20 juta meter kubik kayu per tahunnya, atau setara dengan 91% dari total penebangan semua industri berbasis kayu di Indonesia.

Sementara itu, menurut laporan Human Rigth Wacth tahun 2003 lalu, untuk PT. Caltex Pasifix Indonesia (CPI) atau PT. Chevron Pasific Indonesia (CPI) saja mendapatkan jatah seluas + 3,2 juta ha atau sekitar 32.000 KM. Lalu, 6 juta ha HPH di Riau merupakan milik kaum elit di luar Riau. Jika ditotalkan keseluruhannya, maka peruntukan lahan bagi perkebunan/industri kehutanan skala besar di Riau seluas 9,5 juta ha.

Kebijakan inilah kemudian yang ditengarai menyebabkan bencana dimana-mana, mulai dari bencana asap, banjir, konflik tanah, kemiskinan, dan lain sebagainya.

Bencana asap misalnya, menurut Walhi Riau bersama LSM lingkungan lainnya bahwa periode Juli-Agustus 2006 telah teridentifikasi bahwa kebakaran terjadi di kawasan Hutan Tanaman Industri (HTI), Hutan Produksi (HPH), dan perkebunan Sawit di seluruh Riau, dengan rincian luasan terbakar HTI 47.186 ha, perkebunan Sawit 42.094 ha, HPH 39.055 ha, kawasan Gambut 91.198 ha, dan kawasan non-Gambut 82.503 ha. Inilah kemudian yang menjadi indikasi penyebab 12.000 orang terkena ISPA (Infeksi Saluran Pernafasan), 3.000 orang terkena iritasi mata, 10.000 orang terkena diare dan mencret (Catatan Akhir Tahun 2006 JIKALAHARI).

Ini tentunya belum termasuk kepada kerugian yang diderita oleh rakyat akibat banjir – diantaranya disebebkan oleh terlampau luasnya tanaman monokultur skala besar - yang menurut buku hitam WALHI Riau, pada tahun 2003 saja sebesar Rp. 793,3 milyar. Dan di tahun 2006, menurut Riau Pos dari akibat banjir yang melanda 3 kecamatan di kabupaten Kampar; Tambang, Tapung Hilir, dan Kampar Kiri mendera 3.000 jiwa lebih dan sedikitnya 50 orang meninggal dunia. Sementara itu belum lagi tanaman rakyat yang rusak. Ini tentunya tidak termasuk data kerugian akibat banjir yang menjarahi daerah Rokan Hulu, Pekanbaru, Kuansing, Bengkalis, dan lain-lain

Kendati Kondisi Hutan Alam Riau sudah dalam keadaan kritis tahun 2004, namun ternyata eksploitasi hutan alam tetap berlangsung pesat sepanjang tahun 2005, baik yang dilakukan oleh Penebang liar (Illegal Logging) maupun oleh pemegang izin konsesi (Legal Logging). Keduanya sama-sama memberikan andil besar terhadap hilangnya tutupan hutan alam di Riau yang mengakibatkan Bencana Banjir dan Kabut Asap terjadi secara rutin pada tahun 2005. Pada akhir Tahun 2004 JIKALAHARI mencatat tutupan hutan alam Riau hanya tersisa seluas 3,21 juta hektar atau 35 % dari 8,98 juta hektar total luas daratan Provinsi Riau. Penurunan Luas Hutan Alam di Riau terjadi secara Drastis dari tahun 1984 ke tahun 2005 yaitu seluas 3 juta hektar, penurunan tertinggi terjadi antara tahun 1999 ke tahun 2000 yaitu seluas 840 ribu hektar. Berarti jika dirata-ratakan per tahun hutan alam Riau hilang seluas 150 ribu hektar.

Aktifitas Eksploitasi ini dipastikan akan terus berlanjut sepanjang tahun 2006 karena di atas Hutan Alam yang tersisa sebagian besar sudah dikuasai Perusahaan besar swasta bidang Perkebunan dan Hutan Tanaman Industri (HTI). Hasil analisis JIKALAHARI menemukan bahwa seluas 789.703 hektar dari Hutan Alam yang tersisa tahun 2004 sudah dikuasai untuk dieksplotasi oleh 2 group Perusahaan Bubur Kertas Riau yaitu APRIL (Asia Pacific Resources International Ltd.) Induk PT. RAPP (Riau Andalan Pulp and Paper) seluas 278.371 hektar dan APP (Asia Pulp And Paper) Induk PT. IKPP (Indah Kiat Pulp and Paper) seluas 511.331 hektar beserta Perusahaan mitranya, dan seluas 390.471 hektar telah dikuasai oleh Perusahaan Perkebunan. Ini belum termasuk 19 Perusahaan HPH yang sekarang masih menguasai 834.249 hektar Hutan Alam dan Aktifitas Penebangan Liar yang sudah masuk dalam Kawasan Lindung

Pada tanggal 14 Juni 2005 Pemerintah Pusat melalui Menteri Kehutanan M.S. Ka’ban telah membuat target pembangunan Hutan Tanaman Industri (HTI) di Indonesia hingga mencapai 5 Juta hektar HTI pada tahun 2009. Sementara hingga saat ini telah ada seluas 2,16 juta Hektar HTI yang sudah dibangun, berarti masih akan ada seluas 2,84 juta Hektar lagi HTI yang akan dibangun hingga tahun 2009. Untuk kontek Riau, Kebijakan ini patut dipertanyakan signifikansinya terhadap upaya penyelamatan Hutan Alam yang tersisa, karena keberadaan 2 Pabrik bubur Kertas (APRIL/RAPP dan APP/IKPP Group) di Riau yang mempunyai kapasitas produksi 4 Juta Ton per tahun dalam prakteknya tidak pernah serius menanam HTI untuk memenuhi kebutuhan Bahan Baku yang telah mencapai 18 juta meter kubik per tahun. Saat ini saja kedua Perusahaan Bubur Kertas dan mitranya telah mengantongi izin seluas masing-masing 1.137.028 Hektar untuk APP dan 681.778 Hektar untuk APRIL, sementara operasional kedua perusahaan ini sudah begitu lama (23 tahun IKPP dan 12 tahun RAPP) namun anehnya HTI yang berhasil mereka bangun baru mampu 30 % dari total kebutuhan kapasitas Industri terpasangnya 4 juta ton per tahun. Hal ini berarti kedua perusahaan ini bisa dikatakan gagal/tidak serius, dan hanya mau mengeksploitasi Hutan Alam untuk memenuhi kebutuhan bahan bakunya. Tidak hanya itu, kedua perusahaan ini juga kerap menghalalkan segala cara untuk mendapatkan kayu alam, dan terus mengajukan izin perluasan konsesi di atas Hutan Alam. APRIL misalnya, saat ini masih terus giat melobby Pemerintah untuk dapat menguasai Hutan Alam Gambut Dalam di Semenanjung Kampar dan Pulau Padang seluas 215.790 ha untuk dieksploitasi Kayu Alamnya.

Menurut JIKALAHARI pada tahun 2001-2003 APP dan APRIL juga memanfaatkan secara maksimal kewenangan Kepala Daerah dalam mengeluarkan izin HTI atau IUPHHK-HT dengan menggunakan mitra-mitranya untuk mendapatkan izin eksploitasi Hutan Alam. Bahkan hingga dicabutnya kewenangan Kepala Daerah pada awal 2002 melalui Kepmenhut 541/KPTS-II/2002 tanggal 21 Februari dan diperkuat dengan PP 34 tahun 2002 tanggal 8 juni 2002, mitra-mitra APP dan APRIL tetap mendapatkan izin-izin baru di atas Hutan Alam. JIKALAHARI mencatat ada 34 IUPHHK-HT yang masih dikeluarkan 4 bupati (Inhil, Inhu, Siak dan Pelalawan) dan Gubernur Riau sampai awal 2003. Izin ini jelas telah cacat Hukum, namun baik APP dan APRIL yang menerima kayunya maupun Kepala Daerah yang mengeluarkan Izin seolah-olah tutup mata, penebangan kayu alam terus berlanjut. Hingga pada tanggal 15 Januari 2005 Menteri Kehutanan M.S. Ka’ban mengeluarkan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.03/Menhut-II/2005 dan diteruskan dengan surat edaran ke Gubernur se Indonesia tanggal 25 Februari 2005 yang pada intinya menegaskan bahwa semua IPHHK-HT yang pernah dikeluarkan Kepala Daerah akan dilakukan Verifikasi mengingat kewenangan Kepala Daerah telah dicabut. Menjelang akhir tahun 2005 tim verifikasi bentukan Menteri Kehutanan ini dikabarkan telah turun ke kabupaten Pelalawan, namun apakah hasil verifikasinya menyatakan 21 IUPHHK-HT cacat hukum atau tidak hingga kini belum jelas.

Secara logis, sempitnya lahan produksi, yang mengakibatkan rakyat tidak sanggup lagi mempertahankan hidup secara layak. Rakyat Sialang Rimbun misalnya, hanya mampu mengonsumsi Ubi untuk makanan sehari-harinya, dan sedikit saja dari mereka yang sanggup membeli beras. Inilah hasil dari istilah Pembangunanisme kapitalisme-neoliberal yang dikoar-koarkan pemerintahan SBY-Kalla serta ditindaklanjuti oleh Rusli Zainal. Program-program palsu, lips servis, entah apalagi namanya. Pembangunan yang bisa dikatakan tidak mampu mengaliri sebagian desa di kecamatan Pinggir dengan listrik.

Sempitnya lahan pertanian yang mengakibatkan rendahnya pendapatan rakyat, seperti yang sudah kami tegaskan diatas, adalah hasil perasan dari kebijakan pemberian izin pengelolaan hutan/perkebunan secara besar-besaran, seperti PT. Arara Abadi, yang dalam catatan Human Rigth Wacth sudah banyak memakan korban. Mulai di kabupaten Pelalawan, Kampar, Siak, hingga Bengkalis.

Inilah kemudian yang melahirkan bentuk-bentuk perlawanan rakyat petani berbagai tempat di Riau. Untuk kasus PT. Arara abadi misalnya, sudah banyak korban yang berjatuhan seperti bentrokan antara rakyat angkasa, Balam Merah di Kabupaten Pelalawan dengan perusahaan yang merupakan bagian dari Sinar Mas Group (SMG) itu tahun 2001, kasus Mandiangin (Kab. Siak) tahun 2003, kasus kec. Pinggir (kab. Bengkalis) tahun 2005-2006, kasus Tapung (kab. Kampar) 2006, terbaru adalah kasus di Pinang Sebatang dan sei. Mandau (Akhir tahun 2006). Hal yang paling memiriskan dari kesimpulan pemerintahan di propinsi Riau adalah, selalu mengambil kebijakan stanvas bagi setiap kasus yang ada, bukan malah mengumpulkan data-data tersebut bagi alasan pencabutan SK Gubernur yang pernah dikeluarkan pada 9 Februari 1990.

Dan kemudian, tahun 1996 Menteri Kehutanan pada tanggal 25 November 1996 mengeluarkan surat Pemberian Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri seluas 299.975 ha di Riau kepada PT. Arara Abadi. Surat tersebut bernomor 743/kpts-II/1996 - di Jakarta, isinya menyebutkan bahwa, surat tersebut merupakan surat balasan perusahaan tersebut mengenai permohonan penyediaan lahan untuk perkebunan yang dikirimkan kepada Gubernur Riau pada 7 Oktober 1989 bernomor 57/AIP/UM/-DL/X/89. Hal inilah kemudian yang menjadi dasar konflik agraria antara rakyat dengan perusahaan. Konflik yang memakan tanah adat, ulayat, perkebunan rakyat, bahkan hingga kepada samarnya batas desa, kampong, pekuburan, dan lain sebagainya.

Konflik Antara Masyarakat Riau di beberapa Kabupaten dengan PT. Arara Abadi; Sebuah Catatan Penting

Menurut data yang disampaikan oleh Human Rigth Watch pada 20 Februari 2001 lalu, bahwa Asia Pulp & Paper dari Sinar Mas Group telah memimpin pertumbuhan yang luar biasa ini sebagai produsen terbesar di Indonesia, menghasilkan setengah dari seluruh produksi pulp dan seperempat dari kertas di negara ini. Dengan total kapasitas pulp saat ini sebesar 2,3 juta metrik ton dan kapasitas pengemasan sebesar 5,7 juta metrik ton, Indonesia menempati urutan pertama di antara negara-negara Asia selain Jepang, dan urutan kesepuluh dalam produksi dunia, setelah raksasa-raksasa seperti International Paper, Enso, Georgia Pacific dan UPM Kymmene. Berkantor pusat di Singapura, saat ini APP memiliki 16 fasilitas pabrik di Indonesia dan Cina dan memasarkan produknya di lebih dari 65 negara di enam benua. Pabrik APP Indah Kiat di Perawang, Riau, adalah salah satu dari dua pabrik kertas terbesar di dunia. Indah Kiat sendiri memiliki kapasitas produksi sebesar 2 juta ton pulp dan 1,5 juta ton kertas per tahun, yang telah meningkat pesat dari hanya 120.000 ton pada tahun 1989.

Serat kayu untuk pabrik Indah Kiat dipasok oleh Arara Abadi, yang adalah anak perusahaan Sinar Mas Group, konglomerat yang memiliki APP. Arara Abadi adalah salah satu perkebunan kayu pulp terbesar di Indonesia, yang menguasai konsesi 300.000 hektar di Riau. Peralihan hak atas lahan masyarakat tanpa proses seharusnya atau tanpa ganti rugi yang adil dan tepat waktu merupakan faktor utama yang mendorong perselisihan dan kekerasan antara Arara Abadi dan masyarakat sekitarnya.

Peraturan pemerintah provinsi yang dibuat bahkan pada saat awal pengembangan konsesi perkebunan mengharuskan lahan yang digunakan untuk usahatani masyarakat dan produksi karet dikeluarkan dari areal kerja HTI. Tahun lalu, sebuah survei telah dilaksanakan di kecamatan Bunut (Kabupaten Pelalawan, di mana desa Betung, Angkasa dan Belam Merah berada. Lihat Peta B) oleh tim gabungan yang terdiri dari berbagai pihak yang berkepentingan, termasuk perwakilan dari pemerintah lokal, berbagai LSM, para pemimpin masyarakat lokal, dan Arara Abadi, untuk menentukan luas lahan di dalam kawasan HTI yang diklaim oleh masyarakat lokal. Meskipun areal yang diteliti hanya sebagian kecil saja dari kawasan milik Arara Abadi, survei tersebut menemukan kira-kira 20.000 hektar lahan yang diklaim oleh masyarakat. Fakta bahwa survei kepemilikan lahan secara sistematis dan menyeluruh belum pernah dilakukan merupakan indikasi kegagalan pemerintah dalam menegakkan hak-hak asasi: hukum Indonesia mengharuskan lahan yang diklaim pihak ketiga dikeluarkan dari konsesi hutan.

Catatan Arara Abadi menunjukkan bahwa 113.595 hektar lahan konsesinya telah dikalim oleh masyarakat lokal. Walaupun perusahaan ini menegaskan bahwa setengah dari kasus-kasus ini telah diselesaikan, mereka mengakui bahwa 57.000 hektar masih dalam sengketa. Akan tetapi, perusahaan ini tidak memberi rincian yang terkait dengan penyelesaian yang dilakukan atau lokasi lahan yang dituntut, sehingga tidak mungkin melakukan pemeriksaan silang tentang kemungkinan klaim-klaim ini saling tumpang tindih dengan yang ditemukan oleh tim gabungan tersebut.

Seperti polisi provinsi, para pejabat APP bersikeras bahwa Arara Abadi telah menerima konsesi yang sah dari pemerintah Indonesia. Selain itu karena penduduk lokal tidak memiliki surat kepemilikan resmi atas lahan tersebut, maka mereka tidak mempunyai hak yang sah. Direktur Arara Abadi mengakui bahwa hampir semua masalah keamanan mereka bukan bersumber dari "penebangan liar" seperti yang berulang-ulang ditegaskan oleh berbagai perwakilan, tetapi dari berbagai tuntutan hak atas lahan tradisional oleh masyarakat lokal.

Sebenarnya, hampir semua masalah keamanan kami berasal dari masyarakat lokal. Mereka memiliki hak ulayat. Reformasi telah membangkitkan rasa kepemilikan dan keberanian masyarakat dalam mengajukan tuntutan meskipun mereka tidak mempunyai dokumen resmi. Kadang-kadang pemerintah mengirim seorang penengah (mediator), tetapi ganti ruginya sering terlalu mahal.

Komentar ini mengungkapkan beberapa hal. Pertama, mereka menjelaskan bahwa istilah "penebangan liar" yang tidak tepat sering digunakan untuk mengaburkan tuntutan hak atas lahan masyarakat dan membuat keluhan-keluhan sah dan perlu dinegoisasikan menjadi seperti kegiatan kriminal. Hal ini merupakan faktor yang mendorong konflik-konflik di Angkasa/Belam Merah dan Mandiangin yang diuraikan di bawa. Kedua, pengamatan bahwa reformasi telah membuat masyarakat menjadi "lebih berani" dalam mendesakkan tuntutan mereka merupakan tanda betapa besarnya rasa takut masyarakat akibat diintimidasi di masa lampau. Ketiga, komentar pejabat tersebut menegaskan status kelas dua hak masyarakat asli, meskipun diakui oleh undang-undang. Pejabat Arara Abadi tersebut jelas menyadari bahwa masyarakat mempunyai hak ulayat, tetapi secara tidak langsung menyatakan bahwa akhirnya biaya ganti rugilah yang menentukan apakah hak-hak ini akan diakui atau tidak.

Walaupun Indonesia mengakui hak ulayat dalam undang-undangnya, proses resmi bagi masyarakat lokal untuk mengajukan tuntutan atas lahan belum ada. Berhadapan dengan staf perusahaan dan pegawai pemerintahan lokal yang tidak responsif dan tidak dapat diminta pertanggung gugatannya, masyarakat mungkin mencoba mengajukan kasusnya ke pengadilan. Namuan praktik korupsi dan penyuapan yang harus dilakukan menyebabkan cara ini menjadi tidak praktis bagi masyarakat lokal yang miskin dalam usaha mencari keadilan. Bahkan, perusahaan-perusahaan mengeluh bahwa pengadilan yang korup kadang-kadang meminta mereka memberi ganti rugi kepada penuntut yang tidak sah. Dalam ulasannya pada bulan Juni tahun 2002 mengenai sistem pengadilan di Indonesia, seorang Utusan Khusus tentang Kemandirian Hakim dan Pengacara (Special Rapporteur on the Independence of Judges and Lawyers) dengan terkejut menyimpulkan bahwa ia "tidak menyadari betapa korupsi sudah sedemikian merasuk ke semua sendi." Penilaian ini dikuatkan oleh laporan penelitian yang rinci tentang sistem pengadilan yang disusun oleh Indonesian Corruption Watch. LSM independen ini mendokumentasikan korupsi dan penerimaan suap di semua tingkat proses pengadilan

Karena tidak memperoleh surat kepemilikan dan sistem peradilan yang ada tidak menolong mereka, masyarakat lokal mempunyai beberapa cara untuk membuat pengaduan mereka didengar, dan pengaduan secara informal yang disampaikan ke para pejabat lokal sering dibubarkan oleh pihak yang berwajib, sehingga masyarakat lokal menjadi lebih tersingkir. Seperti yang dikatakan secara terbuka oleh pejabat polisi provinsi,

Ya, mungkin kadang-kadang lahan disita tanpa diberi ganti rugi. Tetapi jika mereka tidak mempunyai surat-surat bukti kepemilikan, maka mereka tidak mempunyai hak sama sekali. Kebanyakan mereka tidak mempunyai surat bukti kepemilikan. Apa bukti tuntutan mereka? Jadi mereka tidak berhak atas apapun.

Lahan Arara Abadi yang luas tidak saja dirampas dari penguasaan lokal. Hutan alamnya juga dibabat habis, yang sebelumnya digunakan secara tradisional oleh masyarakat sekitar untuk usahatani lokal dan pengumpulan hasil hutan, termasuk pohon madu yang berharga secara ekonomi dan budaya yang terdapat di hutan alam, yang kepemilikannya diwariskan dari generasi ke generasi. Kebun buah-buahan dan pohon karet masyarakat juga dibabat. Lahan luas yang dikuasai untuk HTI pulp, digabung dengan konsesi-konsesi yang luas milik perkebunan pulp terbesar kedua di Indonesia, ditambah dengan konsesi-konsesi penebangan dan perkebunan kelapa sawit-menyisakan sedikit lahan yang dapat digunakan untuk memperoleh sumber penghidupan tradisional yang bergantung pada hutan (Peta B menunjukkan seluruh wilayah konsesi).

Peraturan pemerintah mengharuskan semua lokasi dan ladang desa dihilangkan dari wilayah kerja HTI, dan penanaman tidak diizinkan dalam jarak 1,5 km dari desa-desa atau jalan. Namun demikian, pohon-pohon akasia sudah biasa ditanam hingga ke pinggir jalan, dan di beberapa desa, hingga ke pintu dapur rumah-rumah penduduk desa. Seorang pria mengeluh, "Kalau kami ingin membangun kakus, kami harus menebang pohon akasia."

Kenyataannya, perluasan APP/Sinar Mas Group yang dibiayai dari hutang telah menghasilkan pasokan serat kayu yang melampaui pasokan kayu dari perkebunan akasia dan hutan alam yang tersedia dalam konsesi Arara Abadi. Akibatnya APP/SMG harus membeli dari hutan alam tebang habis di luar wilayah konsesinya yang sudah sangat luas. APP/SMG mengakui ketergantungannya pada pembukaan hutan alam untuk memenuhi kebutuhan pabrik: angka-angka yang dilaporkan APP/SMG kepada Human Rights Watch menunjukkan bahwa saat ini pabrik APP, PT Indah Kiat, di Perawang mengunakan kayu seperti itu untuk memenuhi 65 persen dari kebutuhan kayunya-dari total 9,8 juta ton per tahun-saat ini, dari jumlah itu, 25 persen berasal dari luar wilayah konsesinya (meskipun kritikus menyatakan angka itu mendekati 50 persen).

Saat ini, konsesi Arara Abadi meliputi 6 kabupaten. Pada saat dikeluarkan di akhir tahun 1980-an, HTI ini merupakan salah satu yang terbesar di Indonesia. Akan tetapi, pada bulan Oktober tahun 2001, Arara Abadi mengumumkan keinginannya untuk memperluas areal operasinya sebesar dua-pertiga, yang berarti tambahan penebangan seluas 190.000 hektar hutan alam dalam lima tahun berikutnya untuk memasok kapasitas pabrik Indah Kiat Riau yang diperbesar. Perluasan ini akan dilaksanakan melalui "usaha bersama" dengan rekan-rekan yang tidak ditentukan dan di bawah persyaratan yang tidak ditentukan. Lagipula, untuk memenuhi peningkatan kebutuhan akibat peningkatan kapasitas produksi, APP/Sinar Mas Group berencana untuk melipatduakan luas hutan alam yang akan dibabat dalam lima tahun mendatang.

Sekarang ini, insentif ekonomi menjadi tidak layak bagi APP dan pabrik-pabrik pulp di seluruh Indonesia untuk melanjutkan perluasan kapasitas yang berlebihan dan ketergantungan terhadap pembabatan hutan alam, dan tekanan keuangan yang kuat akibat biaya pabrik yang sangat besar dan hutang yang berasal dari kelompok kreditor (saat ini sebagian di antaranya menuntut APP untuk membayar kembali melalui proses litigasi) untuk melanjutkan penghematan dan meningkatkan produksi, tanpa memperhatikan konsekuensi terhadap hak-hak asasi dan lingkungan. Insentif seperti ini, terutama di saat peraturan yang efektif masih tetap tidak ada, akan tetap mengancam hak-hak asasi anggota masyarakat lokal. (untuk lebih jelas mengenai data-data sementara sengketa agraria antara rakyat dengan PT. Arara Abadi, silahkan melihat bundle yang telah kami siapkan. Bahan ini terdapat pada daerah Siak, Bengkalis, dan Kampar).

Dari itu, upaya penangan konflik agrarian yang Serikat Tani Riau mendesak perjuangan untuk :

  1. Ukur ulang seluruh areal HPH/TI, HGU milik perusahaan swasta/pemerintah yang berkonflik dengan rakyat. Pengukuran ulang ini mesti melibatkan masyarakat korban konflik. Untuk Riau, pada tanggal 1 Mei 2007 lalu, Pemerintahan Riau melalui asistennya – Nasrun Efendi – telah mengatakan menganggarkan dana 9 Milyar Rupiah untuk pelaksanaan pengukuran ulang tersebut dan berjanji akan menyeleaikannya hingga akhir tahun 2007.
  2. Cabut – minimal tinjau ulang – Izin HPH/TI, HGU bagi perusahaan yang melakkan pelanggaran (seperti illegal loging, tidak menepati batas waktu inclaving, dl). Karena ditengarai, hal inilah yang menyebabkan konflik berkepanjangan. Misalnya saja, PT. Arara Abdi menurut SK Menhut 743/kpts-II/1996 diberikan waktu untuk melakuakan penyelesaian inclaving 2 tahun setelah SK dikeluarkan. Namun hingga sekarang masih diindikasikan banyak wilayah yang belum mereka inclav, sehinga menyebabkan terjadinya sengketa agraria.
  3. Pemerintah Daerah segera membuat Perda tentang Hak Ulayat dan Adat di Riau. Hal ini dikarekan masyarakat Riau mengakui Lembaga Adat Melayu Riau sebagai sandaran adat di Bumi Lancang Kuning ini.
  4. Tunda Revisi RTRWP Riau sebelum konflik agraria diselesaikan
Catatan :

Pandangan Serikat Tani Riau ini disarikan dari surat yang ditujukan untuk Panitia Ad Hoc II Dewan Perwakilan Daerah RI [PAH II DPD RI] dalam pertemuan pada 26 September 2007 lalu di Ruang Kenanga Kantor Gubernur Riau. Adapun pokok pembahasannya adalah seputar konflik agraria dan illegal loging di Riau.