http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0712/19/daerah/4090527.htm
Nusantara
Rabu, 19 Desember 2007
Tanah Air
Irma Tambunan
Udara dalam rumah panggung milik Hasan terasa sesak. Asap kemenyan berpendar memenuhi ruangan, sementara sebagian orang terus menyanyi, menari, sambil mengelilingi Susi yang menggendong bayinya, Mima (3). Selama tiga malam berturut-turut, pesta adat digelar untuk memohon kesembuhan Mima.
Masyarakat suku anak dalam atau orang rimba menyebut tradisi ini besale, ritual pengobatan tradisional yang dipimpin dukun, untuk mengusir roh jahat yang dipercaya bisa menyebabkan orang jatuh sakit.
Mima, bayi yang mereka kasihi itu, sudah sebulan sakit parah. Ia menderita diare dan muntah-muntah, bahkan sempat pingsan selama satu minggu. Orangtuanya kebingungan untuk menyembuhkan si anak bungsu karena obat-obatan yang selama ini mereka gunakan, yaitu air rebusan pasak bumi, tidak mempan menyembuhkannya.
Amid, kepala adat yang juga kakek Mima, berembuk dengan sejumlah warga. Mereka sepakat melaksanakan tradisi besale. Hanya selang dua hari, besale digelar dalam sebuah rumah panggung yang baru selesai dibangun bersama.
Cukup rumit persiapannya. Sembilan rumah-rumahan dari bambu berisi berbagai jenis makanan disiapkan lengkap dengan kemenyan dan bunga-bungaan, yang dipasang di langit-langit rumah milik Hasan, paman Mima. Ini menjadi sesaji, selain lilin lebah, ketan, berondong padi, telur, ayam, dan dupa.
Ruangan itu sangat ramai dan sedikit sesak. Sekitar 50 orang memenuhinya sejak pukul 23.00. Mereka tidak beranjak pulang sampai seluruh prosesi besale selesai esok paginya, sekitar pukul 06.00.
Di luar dari berbagai persiapannya dibutuhkan setidaknya tujuh jam untuk satu kali pelaksanaan besale. Dalam kunjungan ke komunitas orang rimba di Sungai Bahar, Batanghari, Jambi, awal November lalu, Kompas merekam ada lima prosesi doa, yang kemudian berakhir dengan makan bersama pada sekitar pukul 06.00.
Besale dimulai dengan tari-tarian mengelilingi Mima yang berada dalam dekapan Susi. Mereka berdua duduk di tengah-tengah ruangan. Persis di atas mereka tergantung sebuah rumah-rumahan atau balai dari bambu berisikan makan-makanan.
Tiga pemimpin besale atau disebut datuk alias dukun mengawali tarian sambil mengelilingi Mima. Mereka mengucapkan doa-doa dalam bahasa rimba yang sulit diikuti, maupun dimengerti, sesekali mereka menyentuh dan mencium anak itu untuk menunjukkan rasa sayangnya.
"Doa-doa ini hanya dapat dinyanyikan serius, tidak bisa begitu saja diucapkan. Namun, artinya dapat saya katakan, kami sedang mengundang nenek moyang hadir di sini untuk membantu kesembuhan cucu kami," ujar Amid.
Sebagian besar tradisi orang rimba ini memang sangat dekat dengan mistik. Pada prosesi awal, misalnya, selama dua jam lebih mereka mengundang kehadiran roh nenek moyang dengan nyanyi-nyanyian dan tari-tarian. Alat musik tabuhan terus mengiringi lantunan suara nyaring mereka.
Suasana riuh ini baru mereda setelah tiga datuk berkain dan bersorban putih duduk bersila. Mereka membeberkan sumber penyakit yang dialami Mima. Salah satu datuk mengatakan, Mima sakit karena selama ini kurang mendapat perlakuan baik dari orangtuanya. Makanan yang diberikan kepadanya sangat tidak memadai. Kondisi yang tidak berpihak kepada Mima ini berlangsung cukup lama sehingga menyebabkan Mima sakit.
Prosesi kemudian dilanjutkan kembali oleh tarian-tarian, dengan lilin menyala di sekeliling mereka. Padi yang telah dibakar disebarkan ke semua orang. Sejumlah balai berisi makanan, seperti balai kurung, balai mun, balai angin, balai pengasuh, dan balai pengadapan, diturunkan dari ikatannya di langit-langit ruangan.
Riuh kembali ditutup oleh keheningan. Datuk pun membeberkan bahwa Mima dapat sembuh, tetapi ada syaratnya. Satu minggu setelah Mima sembuh, semua warga rimba setempat harus menggelar pesta sebagai tanda syukur, sedangkan sembilan balai berisi makanan yang digantung di langit-langit rumah harus dinikmati bersama oleh semua warga. Dan yang terakhir, kedua orangtua wajib merawat Mima dengan sebaik-baiknya, tanpa perlakuan yang kasar.
Tak terasa, sang fajar mulai datang. Mereka menutup seluruh prosesi itu dengan ucapan syukur, makan bersama.
Tidak mudah
Masyarakat rimba di Sungai Bahar adalah kaum yang terusir dari hutan yang selama ini mereka sebut "rumah". Seingat Amid yang kini berusia sekitar 70 tahun, sejak tahun 1990-an ia dan rombongannya sudah tiga kali bermigrasi yang disebabkan oleh pembukaan hutan menjadi kebun sawit. Amid awalnya tinggal di hutan daerah Markanding. Lalu, karena wilayah itu akan dibangun kebun sawit oleh PT Perkebunan Negara, mereka ditawari program transmigrasi sosial ke Dusun Sungai Dayoh. Mereka akan dipekerjakan sebagai buruh plasma.
"Kami menolak tawaran itu karena kami ini orang-orang yang tinggal dalam hutan, bukan di dusun," tuturnya.
Dari situlah keberadaan Amid dan masyarakat rimba semakin terimpit. Ketika PT Asiatic membuka lahan sawit baru, Amid dan warganya terpaksa kembali terusir, dan mencari hunian lain yang masih berupa hutan.
Tak terasa hutan mereka terus ditebangi pohon-pohonnya oleh para pembalak liar. Perambahan juga kian meluas. Ini mengakibatkan sumber-sumber makanan orang rimba kian sulit didapat. "Kalau dulu kami makan ayam atau rusa, tidak susah. Ada banyak rusa dalam rimba. Tapi sekarang, makanan sulit didapat. Kami sering kelaparan," tuturnya.
Perubahan alam akibat ulah manusia membuat kehidupan orang rimba kian sulit. Menurut Amid, orang rimba mati karena sakit dan kelaparan sudah kerap terjadi. "Dokter keliling tidak pernah kemari. Kami pun takut dicucuk jarum suntik. Kami lebih pilih obat akar-akaran atau daun-daun pahit dari hutan," tuturnya.
Ketika obat-obatan tradisional tidak mempan menyembuhkan penyakit, orang rimba masih memiliki pengharapan terakhir, yaitu besale. Mereka percaya bahwa alam semesta memiliki banyak jenis roh yang melindungi manusia. Untuk itu, manusia harus menghormati roh, dan tidak merusak unsur-unsur alam, seperti hutan, sungai, dan bumi.
Gelisah
Akan tetapi juga muncul kegelisahan, bahwa tradisi yang telah mengakar sepanjang hidup mereka kini menjadi tradisi yang makin sulit dilaksanakan. Pasalnya, untuk menjalankan tradisi ini, dibutuhkan berbagai sesaji yang kini semuanya tak mudah didapatkan di dalam hutan. Orang rimba harus mengeluarkan uang yang mereka sendiri sulit mendapatkannya, untuk belanja di pasar.
"Untung saja masih ada keluarga yang mau menolong, memberikan kami uang untuk beli sesaji. Kalau tidak, susah payah betul untuk melaksanakan besale ini," tutur Susi, ibu Mima.
Entah sampai kapan tradisi ini dapat bertahan, di tengah keterimpitan hidup orang rimba.
Catatan :
Masyarakat Suku Anak Dalam di Sungai Bahar tengah berjuang bersama Komite Pimpinan Pusat Serikat Tani Nasional dan LSM SETARA di Jambi untuk mendapatkan kembali hak atas tanah mereka seluas 2000 - an hektar yang hingga dewasa ini diusahai oleh PT. Asiatic Persada, anak perusahaan WILMAR Groups Malaysia.
Pihak Kantor Wilayah Badan pertanahan Nasional Propinsi Jambi tengah mengadakan penelitian guna menyimpulkan keberadaan hak atas tanah di lokasi tersebut.