Wednesday, September 5, 2007
Padi Hibrida - Bila Harus Bergantung, Mana Untung?
http://www.kompas.co.id/
Berita Utama
Rabu, 05 September 2007
YUNI IKAWATI
Bila Indonesia ingin menjadi negara yang makmur, sejahterakanlah petani yang mencakup 70 persen populasi di negeri ini. Sayangnya, kondisi sebaliknyalah yang terjadi. Mereka belum pernah terentaskan dari kelas ekonomi terbawah meski bangsa ini telah menginjak usia 62 tahun kemerdekaan.
Bagi mereka saat ini, panen padi agar cukup untuk kebutuhan sehari-hari saja sudah sulit terpenuhi.
Namun, di pundak petani yang tak berdaya itu tersangkut beban begitu berat, yaitu memenuhi target meningkatkan produksi beras 2 juta ton per tahun, setara dengan 6,4 persen tahun ini dan 5 persen sampai tahun 2009.
Peningkatan produksi padi dalam tingkat yang berarti sulit dicapai hampir 20 tahun lalu. Hal ini ditunjukkan oleh terjadi pelandaian produksi padi sejak awal tahun 1990-an, yang hanya naik 0,2 persen hingga tahun 2004. Terus menyusutnya lahan subur di Jawa menjadi salah satu kendala petani sekarang.
Gangguan hama dan cuaca yang menyebabkan kekeringan dan banjir menjadi masalah besar lain akhir-akhir ini.
Arli Nurdin, petani penggarap dari Kecamatan Legon Kulon, Subang, misalnya, mengeluh kesulitan air karena sejak Juni tak hujan dan tidak ada air di Kali Cipunegara yang bisa dipompa untuk mengaliri 1 hektar (ha) sawahnya. Dalam hal benih padi, petani kebanjiran pasokan.
Menurut Mohamad Yamin Samaullah, Kepala Bidang Kerja Sama Penelitian dan Pendayagunaan Hasil Penelitian Balai Besar Penelitian Padi (BB Padi), pihaknya telah meluncurkan 190 lebih varietas padi unggul.
Meski begitu banyak varietas unggul yang diluncurkan, hal itu dirasa masih kurang karena masalah pelandaian (leveling off) tingkat produksi belum teratasi.
Upaya mengintroduksi padi hibrida, menurut Yamin, dilakukan sejak 2002 dengan meluncurkan padi Maro dan Lokan hasil pengembangan di Balai Besar Penelitian Padi Sukamandi.
"Kini di Indonesia telah dilepas 31 varietas padi hibrida, enam di antaranya hasil rakitan BB Padi. Pusat penelitian padi tersebut tahun ini meluncurkan Hipa5 Ceva dan Hipa6 Jete. Varietas itu hak pemanfaatannya telah dialihkan kepada pihak ketiga," jelas Yamin.
Sebagian besar varietas padi itu dihasilkan 11 perusahaan benih swasta, di antaranya perusahaan joint venture dengan perusahaan multinasional. Masuknya perusahaan asing membuka kemungkinan introduksi varietas padi asing Miki dari Jepang, Longping Pusaka (China), dan PP (Amerika Serikat).
Dalam hal pengembangan padi hibrida hingga ke tahap komersial, China tergolong paling awal melakukannya. Perakitannya pertama kali tahun 1974 di bawah pimpinan Yuan Long Ping, Bapak Padi Hibrida. Padi hibrida kemudian masuk ke tahap komersial 1976, dengan pelepasan varietas padi hibrida yang diberi nama Nam You 2 dan Nam You 3.
Padi hibrida selanjutnya diuji coba untuk daerah tropis sejak 1979. Ada lebih dari 20 negara mengembangkan teknologi ini untuk kawasan tropis meskipun penanaman di kawasan tropis tidak sesukses di Negeri Tirai Bambu.
Produktivitas padi hibrida di China tertinggi 15,2 ton per hektar di tingkat penelitian dan 8,5-10,5 ton/ha, dan di tingkat petani rata-rata nasional 6,9 ton/ha atau 27,8 persen lebih tinggi dibandingkan dengan varietas biasa dengan produktivitas rata-rata 5,4 ton/ha. Perkembangan padi hibrida di China didukung oleh ketersediaan berbagai varietas unggul hibrida tak kurang dari 250 varietas dengan produktivitas 20-30 persen lebih daripada varietas inhibrida.
Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Achmad Suryana mengatakan, varietas yang dihasilkan BB Padi mempunyai tingkat heterosis 15-20 persen lebih tinggi dibandingkan dengan varietas IR64. Namun, varietas itu masih memiliki beberapa kelemahan terutama Maro dan Rokan. Keduanya rentan terhadap wereng batang coklat, hawar daun bakteri, dan tungro sehingga daerah pengembangannya terbatas.
Meski disebut-sebut memiliki tingkat produktivitas lebih baik dibandingkan dengan varietas inhibrida, Riza V Tjahjadi dari BioTani Indonesia melihat sejauh ini respons petani terhadap padi hibrida pasif. Pasalnya, tingkat produksi padi hibrida rata-rata 6,6 ton/ha, lebih rendah daripada produksi padi konvensional 7-8 ton/ha. "Selain peka terhadap hama, padi hibrida yang ada dipasaran kurang enak."
Menurut Arli, petani di Jawa Barat khususnya di Subang termasuk yang tidak tertarik membudidayakannya. Panen padi hibrida di Pusakanegara, bulan Maret lalu, misalnya, lebih rendah dibandingkan dengan padi Ciherang yang biasa ditanamnya. Hanya sekitar 5 ton/ha dan kualitasnya kurang bagus. "Padi Ciherang bisa 7-10 ton per hektar," urai Arli.
Ada sejumlah faktor padi hibrida tidak menarik bagi petani. Harga benih padi hibrida mahal, bisa enam kali lipat. Petani harus membeli benih baru setiap tanam karena benih hasil panen sebelumnya tidak dapat dipakai. Produksi benih rumit dan memerlukan areal tanam khusus.
Melihat sederet hambatan itu, introduksi padi hibrida tampaknya belum tepat waktu. Bagi petani, persoalannya jelas: bagaimana bisa untung. Meski begitu, pemerintah tetap akan mengembangkan padi hibrida. Tahun 2007 target penanamannya di sembilan provinsi seluas 135.000 hektar. Apakah program ini dapat mengatasi pelandaian produksi padi dan mengurangi impor beras? Kita lihat saja.