Kertajati-Majalengka. Pesawahan terhampar datar, dan kalau malam, gelap membuat pesawahan tampak seperti televisi layar datar yang tidak menyala dalam posisi ditidurkan. Cabe tumbuh di situ, padi, juga buah mangga. Sawah tadah hujan memang. Genset menyedot air, dan sumur bor yang jumlahnya sedikit. Kalau banyak sumur bor, takut menyedot persediaan air buat rumah-rumah yang menggerombol sekepal demi sekepal. Rumah-rumah dikepung sawah, dan penghuninya bangga tinggal di situ sebagai petani yang membuat bunga berkembang tepat pada musimnya. Tersenyum bangga, ketika tempatnya disebut salah satu lumbung padi Majalengka. Mereka kelihatan mengerti telah berkontribusi dalam upaya memenuhi kesediaan pangan tidak hanya bagi keluarganya. Dalam benak mereka muncul ingatan soal kehidupan dulu, ketika bertani di awal-awal, dan belum terlalu bisa mencukupi kehidupan keluarga. Mereka telah hidup dari nol di sana. Listrik telah mereka usahakan datang. Tahun 1994, tiangnya terpancang. Untuk itu sudah berapa uang kolektif yang dikeluarkan buat bayaran resmi sekaligus tidak resmi. Lumpur di jalan yang mereka lalui tidak selutut lagi, sudah aspal di jalan, sekalipun banyak lubang. Kota tempat mereka tinggal telah mencitrakan diri sebagai kota agamis dan agraris. Mereka semakin merasa betah di sana, sebab sawah tidak hanya dipahami dari sekedar tempat padi tumbuh saja.
Tetapi pemerintah daerah dan provinsi berkehendak lain dengan kehendak petani yang ingin terus bertani di situ. Telah ada penelitian katanya, soal penelitian itu makan uang, terang lagi. Penelitian itu diadakan di Bandara Husen Sastra Negara, Ciparay-Bandung, Kalijati-Subang, Pengging-Cirebon, Jonggol, Sukani-Jatiwangi-Majalengka. Singkatnya Kertajati dipilih. Rencana pembangunan jalan tol CISAMDAWU konon jadi pertimbangan. Di sana Pemerintah Provinsi Jawa Barat bermimpi menegakan Bandara Internasional Jawa Barat. Jawa Barat tidak lagi punya itu, sebab Bandara Internasional Soekarno-Hatta jadi milik Banten.
Sekali lagi katanya, kata Pemerintah Provinsi Jawa Barat, membangun Bandara Internasional Jawa Barat itu mendesak bagi Jawa Barat, demi peningkatan arus barang dan jasa ke luar negeri yang potensi katanya cukup besar di Jawa Barat. Sebab Jawa Barat kata Pemerintah Provinsi Jawa Barat, sudah sedemikian termarginalkan dalam hal sarana pelabuhan dan bandara. Fasilitas milik DKI dan Banten yang sering digunakan. Dan Pemerintah Provinsi Jawa Barat ingin punya sendiri. Kata Pemerintah Provinsi Jawa Barat (dengan sedikit dramatisasi dari penulis): Sudah cukup! Menggunakan Tanjung Priok untuk pelabuhan, dan Cengkareng untuk bandara. Dan itu membuat membuat pengiriman barang ke Jawa Barat jadi makan 8 jam.
Penelitian yang makan duit negera sebesar 2 milyar pun menyatakan Majalengka sebagai pemenang. Kertajati dipilih sebagai tempat buat landasan pesawat sesuai standar Fatergion Civil Aviation Organization. Investor dari Inggris, Malaysia, Singapur, Brunei, dan Jepang mau ikutan dalam proyek itu, tentu investor lokal diajak, dan pemerintah daerah kebagian, tapi pembagian keuntungannya tidak seperti yang diusulkan Soekarno: Indonesia 60% dalam dollar, dan kalian asing 40% dalam rupiah (dramatisir berikutnya dari penulis). Sialnya, petani di sana berkehendak lain dengan kehendak pemerintah provinsi-daerah, dan investor. Kehendak itu: mereka ingin terus bertani di sana, sebab dipindahkan dari sana, berarti hidup dari nol. Dan warga Jatigede yang dipindahkan ke Kertajati pun jadi pelajaran bagi mereka. Dulu mereka hidup di tempat yang banyak air, sekarang dipindahkan ke tempat yang kurang air.
Lantas mereka pun belajar dari warga pasar tradisional Kadipaten, tempat mereka belanja. Belajar dari usaha warga pasar tradisional Kadipaten yang menentang pusat pembelanjaan dibangun di gigir pasar tradisional. Pusat pembelanjaan itu bernama Surya, dan warga pasar tradisional menentang ketika Surya itu tegak. Petani Kertajati pun mengerti, bahwa mereka mesti menentang Bandara Udara Internasional Jawa Barat, ketika jauh-jauh hari, sebelum pembebasan. Atau kerepotan. Sesudah Amdal dibikin tepatnya mereka mengorganisir diri.
Mulanya keheranan sedikit demi sedikit diakumulasikan petani-petani itu. Pertama, sampel wawancara tim Amdal yang hanya dilakukan 20 orang saja. Kedua, peneliti Amdal hanya beberapa hari saja melakukan penelitian, padahal seharusnya empat bulan menurut surat tugas. Ketiga, pernyataan yang berupa tanda tangan 11 kuwu (Kepala Desa) dan camat yang menyatakan masyarakat siap mendukung, membebaskan tanah, rumah dan lain-lain untuk pembangunan Bandara Internasional Jawa Barat, padahal tidak ada musyawarah dengan masyarakat berkenaan soal itu. Keempat, tim Amdal mencatat dalam hasil Amdalnya bahwa tanah di Kertajati tidak produktif. Menuliskan dengan waktu tanam sekali dalam setahun dengan hasil rata-rata 1 hektar sama dengan 6 kwintal gabah kering (anehnya pemerintah daerah tidak keberatan dengan hasil Amdal yang melaporkan begitu, sekalipun mereka tahu itu artinya mereka gagal menjadi kota agraris yang seperti mereka gembor-gemborkan. Bupati pun menandatangani hasil Amdalnya dengan mudah). Padahal faktanya di Kertajati dalam 1 hektar menghasilkan 6 ton padi kering siap giling. Dinas Pertanian Kabupaten dan Badan Pusat Statistik Kabupaten Majalengka malah melaporkan bahwa luas tanam di Kertajati 9441 hektar, luas panen 9060 hektar, hasil produksi 47.428 ton, dengan rata-rata produksi 52, 35 kuintal.
Petani pun lekas mengorganisir diri ketika di TVRI bupati mereka membuat pernyataan lagi bahwa mereka telah siap dipindahkan. Aksi pertama ke DPRD II Majalengka. Seperti biasa Bupati tidak mau menemui., ia memang terkenal begitu, malah yang biasa menghadapi aksi tidak lain Pemuda Pancasila yang jumlahnya hampir melebihi jumlah polisi yang dikeluarkan. Bupati hanya berjanji datang ke Kertajati, desa Sukamulya. Dan janji itu tidak ditepati.
Belum punya nama mulanya ketika aksi di Majalengka, lalu merasa punya nama ketika hendak aksi ke Jakarta, mereka menamai diri Forum Komunikasi Rakyat Bersatu Menolak BIJB (Bandara Udara Internasional Jawa Barat). Di bale desa mereka biasa berkumpul, ketika di rumah tidak lagi muat. Mereka memang merasa mesti mengepalkan tangan terang-terangan.
Dan mesti selesai panen untuk bisa pergi ke Jakarta, hasil panen pun mengongkosi mereka pergi. Maunya nemui Komisi V DPR RI malah ketemu Fraksi PDI P. Padahal kontak petani di Jakarta sudah mengabari Komisi V tidak bisa ditemui, untuk ditemui mesti menempuh cara yang naudzubillah himindzalik birokratisnya. Tetapi petani terkesan grasa-grusu bagi mereka yang tidak hapal alasan mereka untuk lekas-lekas aksi ke Jakarta. Keadaaan mereka setiap hari tertekan dengan pemberitaan koran yang menyatakan sawah mereka tidak produktif, dan tersiksa dengan pernyataan pejabat yang sampai ke telinga mereka. Salah satu pernyataan yang mengganggu itu adalah pernyataan bupati pada rapat koordinasi gubernur dengan komisi V DPR RI, yaitu : “bahwa kami masyarakat Majalengka yang jumlahnya sekian juta orang sangat menantikan pembangunan BIJB (Bandara Udara Internasional Jawa Barat) dan mendukung proyek tersebut untuk segera dibangun.” Beberapa dari mereka malah jadi dalam keadaan ingin memukuli Tim Amdal yang melaporkan tanahnya tidak produktif. ”lamun ka dieu deui mun teu ditenggeulan ku warga,” begitu kata celutukan salah satu mereka.
Corong-corong masjid telah digunakan untuk membewarakan pertemuan membicarakan rencana penolakan Bandara Internasional Jawa Barat. Ceramah pun tak sungkan bicara itu. Mereka terus ingin bertani di sini, tidak hanya memenuhi ketersediaan pangan yang bukan hanya untuk keluarganya. Impor beras bukankah selalu oligopoli?
Rendeng (musim hujan) nanti padi berlimpah. Hujan jadi berkah. Tapi koran boleh memberitakan sebaliknya, meniru mulut penguasa yang bicara dalam pidato resmi dan tak resmi, soal rakyat yang ikhlas dikorbankan demi proyekan dan siap di buang ke Lemah Sugih (apa kau mengingatnya tempat itu? Kecamatan di pojokan Selatan Majalengka yang memiliki peristiwa yang bernama Haur Koneng).
Di sawah tadah hujan itu. Rendeng nanti mereka bungah. Hasil panen, labanya bisa dibelanjakan, tidak hanya untuk sekedar buat membiayai sekolah. Ya rendeng nanti mereka semakin punya alasan untuk mengulang aksi 27 Agustus 2007 di Senayan. Ada hasil panen buat memenuhi segala kebutuhan mengorganisir diri buat menentang Bandara Internasional Jawa Barat.
Senayan 27 Agustus 2007, di tempat itulah, petani yang mengorganisir diri itu sempat menerbangkan pesawat-pesawatan kertas. Dan aksi simbolis itu boleh diartikan sebagai pesan yang bunyinya: tanahku produktif, tempat setidak produktif-produktifnya adalah tempat dibuat kebijakan yang menguntungkan selain rakyat saja. Dan pesawat-pesawatan kertas itu mendarat di tempat itu. Petani yang mengorganisir itu memang berkehendak pesawat tidak mau didaratkan di tempatnya. Tidak mau cabe, padi, buah mangga diganti landasan. Dan kehendak itu sudah kuat. Lalu akankah BPN akan jadi menolak konversi lahan pertanian yang terus berkurang? Dan lalu akankah Komisi V akan menyetujui alokasi dana dari APBN untuk pembangunan Bandara Internasional Jawa Barat? Petani yang mengorganisir diri di Kertajati itu menyaksikan pemerintahnya berpihak pada siapa.
Dasar-Dasar Pemikiran Penolakan.
Tim AMDAL telah merekayasa data. Disebutkan oleh tim tersebut bahwa lualitas tanah di Kertajati tidak subur. Dengan waktu tanam sekali setahun didapatkan hasil produksi 1 ha = 6 kw gabah kering siap giling. Dalam kenyataannya, 1 ha = 6 ton padi kering siap giling. Rekayasa data hasil produksi pertanian juga disampaikan oleh Dinas Pertanian kab. Majalengka dan Badan Pusat Statistik setempat yang menyebutkan bahwa pada tahun 2005 di Kec. Kertajati terdapat 9441 ha areal persawahan dengan 9060 ha areal panen. Dari luasan tersebut, produksi gabah kering giling hanya 47428 ton yang setara dengan 52,35 kw/ha. Dalam melakukan penelitian di lapangan, tim AMDAL hanya melakukan wawancara terhadap 20 orang petani saja selama beberapa hari. Padahal menurut masyarakat Kertajati, sebagaimana sesuai dengan surat tugas, tim AMDAL seharusnya melakukan selama 4 bulan lamanya.
Pemerintahan Kab. Majalengka tidak pernah membuka dialog dengan masyarakat untuk mendapatkan informasi dan sosilisasi tentang keberadaan bandara tersebut. Kebohongan public juga dilakukan oleh 11 orang Kuwu [lurah] dan Camat Kertajati menyatakan klaim atas nama masyrakat yang siap mendukung dan membebaskan tanah, rumah, lading dan lain-lain untuk pembangunan bandara.
Mengingat, upaya pemerintah yang berniat melaksanakan revitalisasi pertanian, perikanan dengan memprioritaskan program lahan-lahan produktif untuk pertanian sebagai sector unggulan serta rancangan undang-undang tentang lahan pertanian abadi, adalah keliru membangun BIJB di atas 5000 ha lahan produktif petani Kertajati. Di sisi lain, waduk Jatigede di Kab. Sumedang yang telah mulai dibangun akan membantu mempermudah petani Kertajati memperoleh air bagi usaha pernaian mereka. Produksi pertanian jauh lebih optimal dibandingkan sebelumnya.
Disusun oleh Faisal N Faridduddin Jl. Brawijaya 71 Kadipaten-Majalengka 45452, jaringan Serikat Tani Nasional di Kab. Majalengka Prop. Jawa Barat.