Saturday, August 25, 2007

Mengkritisi Kesepakatan Bersama Antara Badan Pertanahan Nasional dengan Kepolisisan RI

Pada hari Rabu, 14 Maret 2007 yang lalu, Kepala BPN RI dan Kapolri menandatangani kesepakatan bersama No : 3/SKB/BPN/2007 No. Pol : B/576/III/2007 tentang Penanganan Masalah Pertanahan.

Berdasarkan diskusi yang dilangsungkan pada hari Jamuat, 24 Agustus 2007 di kantor Konsulat Konsorsium Pembaruan Agraria, Jakarta ditemukan beberapa ttik kritis atas dokumen tersebut.

Beberapa KESIMPULAN:

Pasal 1 dari ayat 1-3: MoU ini merupakan langkah yang semata-mata menguatkan pemahaman sisi normative persoalan tanah dari kedua belah pihak. sehingga, mengancam petani yang telah melakukan pendudukan pada tanah-tanah perkebunan dan tanah lainnya yang belum mendapatkan status hukum untuk dikriminalisasi. Dalam penyelesaiannya, juga menutup peran masyarakat sebab MoU ini hanya mengembangkan komunikasi dua arah dalam penyelesaian konflik.

Pasal 4: BPN akan mengembangkan pengamanan swakarsa yang dibantu oleh Polri. Belum jelas apa yang dimaksud dengan pengamanan ini. Namun dipercaya oleh peserta diskusi bahwa yang dimaksud dengan pengamanan swakarsa ini adalah dukungan BPN dalam mengembangkan pengamanan swakarsa dalam tubuh perkebunan.

Pasal 5 Ayat 3: BPN menjalankan MoU ini adalah bentuk persiapan legal BPN untuk mendorong lahirnya UU Pertanahan. Sehingga, kebijakan nasional BPN sesungguhnya adalah mendorong lahirnya UU Pertanahan.

Pasal 5 ayat 4: Dalam operasionalnya MoU ini akan menyelesaikan sertifikasi tanah yang merupakan asset Polri. Padahal, selama ini konflik antara masyarakat dengan institusi Polri bukan sedikit. Sehingga, konflik rakyat yang selama ini tanahnya dirampas untuk penggunaan asset polri sudah pasti akan mengalami kekalahan.

Pasal 6 ayat 1-3: Laporan-laporan masyarakat kepada BPN untuk menyelesaikan sengketa tanah akan dilanjutkan oleh BPN kepada Polri. Sehingga, Polri dapat mengambil tindakan hukum. Tentusaja, BPN dipandang tengah menyiapkan upaya-upaya menyelesaikan sengketa tanah dengan melihat aspek hukum normative semata. Sementera pihak BPN juga membantu penyidikan. Padahal, dalam setiap kasus-kasus tanah BPN juga adalah lembaga yang selama ini menjadi bagian atau pihak yang turut menyumbang dalam setiap konflik. Sehingga, usaha-usaha ini akanmenyulitkan pihak korban dalam mengungkap kasus sebenarnya.

Pasal 8 ayat 1: BPN dan Polri akan membentuk Team Adhoc Penyelesaian Tanah di tingkat pusat hingga Kota/Kabupaten. Aturan pembentukan ini secara teknis akan diatur oleh Kepala BPN. Namun, melihat telah dibentuknya team tersebut di wilayah-wilayah seperti telah dirilis media massa. Maka,sesungguhnya Kepala BPN telah membuat aturan teknis tersebut yang dalam aplikasinya tidak melibatkan masyarakat. Padahal, konflik tanah selama ini telah dipahami sebagai sebuah konflik yang harus dilihat dalam multiaspek.

Pasal 8 ayat 2: dalam menentukan ketentuan-ketentuan tersebut akan dibentuk Forum Konsultasi dan Komunikasi Pertanahan dari tingkat pusat dan daerah. Ini adalah forum yang cenderung menguatkan pihak BPN dan Polri dalam menjalankan fungsi-fungsi dalam pasal 6 semata.

MoU ini adalah kelanjutan dari MoU tiga tahun sebelumnya. Sehingga, perlu diketahui laporan-laporan dan keberhasilan dari proses sebelumnya. Karena selama ini tidak nampak keberhasilan penyelesaian sengketa tanah yang mengedepankan hak-hak korban khususnya rakyat dan kaum tani tak bertanah. Jadi sebenarnya MoU ini tidak layak dilanjutkan.

Dengan demikian, hal tersebut dinilai menjauhkan proses penyelesaian konflik agraria sebagai bagian proses utama dari Pembaruan Agraria

Jakarta, 24 Agustus 2007

Serikat Tani Nasional, Aliansi Petani Indonesia, Petani Mandiri, FPPI, SMI, KPA, Raca Institute, Serikat Hijau Indonesia danWalhi.