http://serikat-tani-riau.blogspot.com/2008/03/konflik-pt-arara-abadi-masyarakat.html
http://www.metroriau.com/?q=node/2113
Sekitar 800 hektar lahan di kawasan Hutan Tanaman Industri (HTI) yang hak pengelolaannya diberikan kepada PT Arara Abadi (AA), kini berubah menjadi areal perkebunan sawit dan perkampungan. Jangankan perusahaan pemasok bahan baku bagi PT Indah Kiat Pulp and Paper (IKPP) ini, pemerintah pun tak mampu mengamankan investasi miliaran rupiah itu akibat kuatnya tekanan dari kelompok massa yang terorganisir dan mengusung isu tanah ulayat.
Sebagai perusahaan yang diberi hak pengelolaan sesuai Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK), Rancangan Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP) untuk wilayah Bengkalis dan Kampar (sebelum pemekaran, red), PT Arara Abadi telah mengawali kegiatannya di wilayah ini sejak tahun 1991. Investasi bernilai miliaran rupiah di kawasan seluas 299.975 hektar itu, didasarkan kepada Izin No. 743/Kpts-II/1996 yang berlaku surut.
Pemberian Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri (HPHTI) di wilayah Bengkalis dan Kampar yang meliputi Desa Tarik Serai, Pinggir, Tasir Serai Timur, Melibur, Minas, Desa Mandiangin, Pinang Sebatang Barat, Koto Garo dan Pantai Cermin oleh pemerintah tentu memiliki alasan yang kuat. Salah satunya adalah, menciptakan lapangan pekerjaan bagi masyarakat, serta mendatangkan devisa bagi negara. “Saat ini ada sekitar 15.000 tenaga kerja yang ditampung PT Arara Abadi dan IKPP atau rekanan perusahaan,” kata Musherizal Yatim kepada Metro Riau.
Sesuai izin yang diberikan pemerintah, di lokasi ini PT Arara Abadi hanya diberi kewenangan atas pengelolaan kawasan hutan, bukan untuk memilikinya. “Tanah itu milik negara, bukan milik perusahaan yang mengantongi izin Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri dari pemerintah,” kata Yuwilis SH MH, kuasa hukum PT Arara Abadi.
Meski telah mendatangkan devisa yang begitu besar bagi negara, daerah atau masyarakat, namun perjalanan PT Arara Abadi di Riau tidaklah berjalan mulus. Dari tahun ke tahun, anak perusahaan Sinar Mas Group ini selalu mendapat tekanan dari masyarakat yang mengklaim sebagai warga tempatan, dan berhak atas tanah yang dikelola perusahaan ini. Celakanya, pemerintah ataupun aparat keamanan seperti kehabisan akal dan kehilangan power. Alhasil, sengketa pun tak pernah berujung, seperti yang saat ini terjadi di wilayah Tasik Serai, Pinggir dan Tasik Serai Timur.
Sikap pemerintah yang lamban menyelesaikan konflik antara PT Arara Abadi dengan masyarakat yang terus membabat tanaman eucalyptus, acasia dan crasicarpa di areal seluas ribuan hektar itu, dikhawatirkan akan menjadi bom waktu yang sewaktu-waktu dapat meledak.
Namun soal ini langsung dibantah para pejabat PT Arara Abadi atau PT Indah Kiat Pulp and Paper (IKPP). Manager Humas PT Indah Kiat Pulp and Paper, Nasaruddin menegaskan mereka tidak akan menempuh tindakan yang bertentangan dengan hukum. Meskipun saat ini perusahaan sudah mengalami kerugian hingga Rp10 miliar sejak pencaplokan itu terjadi.
Kuasa Hukum PT Arara Abadi, Yuwilis SH MH juga mengungkapkan hal yang sama. Menurutnya, perusahaan PT Arara Abadi tidak akan melakukan tindakan yang dapat merugikan kedua belah pihak tersebut. “Kita tidak akan melakukan cara-cara seperti itu,” katanya saat diminta tanggapan atas kemungkinan dilakukannya upaya kekerasan untuk merebut lahan yang sudah diambil kelompok masyarakat tersebut.
Sikap perusahaan yang lebih banyak menunggu, meski harus menelan kerugian yang cukup banyak itu dinilai banyak pihak sebagai langkah bagus. Namun, tanpa ada kepastian hukum dari pemerintah, langkah ini terkesan sia-sia.
Sebagai bukti, hingga kini tidak ada langkah kongkrit yang dilakukan aparat kepolisian, pemerintah provinsi dan pemerintah pusat untuk mengamankan investasi yang ditanamkan perusahaan ini di kawasan tersebut. Hal itu tercermin dari tidak adanya tindakan nyata dari laporan PT Arara Abadi ke Polsek Pinggir bernomor 192/VII/2007/Yanmas, menyusul perusakan tanaman Eculyptus di KM 42 hingga KM 46 Areal HPHTI Distrik Duri II yang terjadi Selasa (17/07/2007), atau Polres Bengkalis dan Polda Riau.
Melihat situasi yang semakin tidak terkendali ini, wajar saja jika kemudian perusahaan meminta perlindungan dan penegak hukum kepada Presiden, Menteri Kehutanan dan Kapolri. Menurut Yuwilis, langkah ini diambil PT Arara Abadi sebagai upaya persuasif untuk menyelesaikan persoalan tersebut, serta mengamankan investasi yang sudah ditanamkan pihak perusahaan. “Kita akan menempuh upaya hukum untuk menuntaskan masalah tersebut,” katanya. (bersambung).(adlis)