Wednesday, March 19, 2008

Konflik PT Arara Abadi-Masyarakat, Perseteruan Akibat Lemahnya Penegakan Hukum

http://www.metroriau.com/?q=node/2165
http://serikat-tani-riau.blogspot.com/2008/03/konflik-pt-arara-abadi-masyarakat_18.html

Berita soal perambahan kawasan Hutan Tanaman Industri (HTI) milik PT Arara Abadi menjadi areal perkebunan yang dikelola secara terorganisir di Kabupaten Bengkalis, jadi topik yang cukup hangat dibicarakan.

Menuju kawasan HTI di Desa Tasik Serai Timur, Kecamatan Pinggir, Kabupaten Bengkalis, tidaklah susah. Sebab, kawasan tersebut tidak pernah sepi dari aktivitas. Lalu lintas dan bisingnya deru truk pengangkut sawit milik PT ADEI menjadi sebagian kecil pemandangan yang
menggambarkan hiruk pikuknya kehidupan di areal yang jauh dari pemukiman penduduk itu.

Bayangan akan hijau dan teduhnya pepohonan sama sekali tak tergambarkan di kawasan hutan areal HTI itu. Di Dusun Tasik Serai Timur, tepatnya di sepanjang Km 42 hingga Km 47 Areal Distrik Duri II misalnya. Sekitar 800 hektar habis dibabat untuk dijadikan areal perkebunan sawit. Di lokasi ini juga terlihat sebuah perkampungan, layaknya perkampungan Transmigrasi.

Menurut pemegang izin Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri (HPHTI), PT Arara Abadi, dulunya di sepanjang jalan kawasan HTI ini, tampak rindang dengan tanaman eucalyptus yang berumur 2 hingga 3 tahun. Namun, sejak isu kemiskinan dan tanah ulayat dicuatkan ke permukaan, perlahan tapi pasti pepohonan yang berada di atasnya satu persatu ditebangi.

Informasi tentang pembabatan itu ada benarnya. Hal itu mulai terlihat saat memasuki kawasan HPHTI PT Arara Abadi yang berbatasan dengan perkebunan sawit milik PT Adei. Sebuah pos pengaman yang dibuat dari kontainer nampak masih berdiri kokoh. Pos ini dulunya ditempati oleh petugas PT Arara Abadi. Namun setelah terjadi penyerangan dan dibakar oleh massa yang bersenjatakan parang, pos yang sempat di pos line oleh polisi ini akhirnya dibiarkan kosong melompong.

Hingga Sabtu (15/03/2008), aktivitas penebangan pohon-pohon eucalyptus oleh kelompok masyarakat yang di back up Serikat Tani Riau (STR), sebuah organisasi yang massa, masih berlangsung di areal HTI ini. Dan tanpa ragu juga mereka mendirikan pondok-pondok yang tiangnya dibuat dari batang-batang eucalyptus. Pondok-pondok yang masih berbentuk kerangka ini didirikan di pinggir-pinggir jalan utama dengan jarak 300 meter.

Layaknya sebuah perkampungan Transmigrasi, untuk bisa masuk ke kawasan perkampungan ini, kita harus melewati pos penjagaan yang dilengkapi portal yang bahannya diambil dari pohon eucalyptus. Setidaknya ada dua portal dan satu gapura besar yang dijaga beberapa orang pria.

“Untuk mengamankan lokasi itu, mereka membentuk Satgas berbaret merah. Satgas untuk setiap saat berpatroli layaknya aparat keamanan,” ucap sumber kepada wartawan.

Melihat pemandangan yang cukup menarik ini, saat itu ada keinginan untuk memasuki kawasan perkampungan di areal HTI milik PT Arara Abadi ini. Namun, dengan berbagai mempertimbangkan, diantaranya adalah konflik antara penyuplai bahan baku bagi PT Indah Kiat Pulp and Paper masih memanas, akhirnya rencana itu dibatalkan.

“Mobil Ranger seperti ini sudah mereka cap sebagai milik perusahaan. Sebaiknya, kita tidak usah masuk ke perkampungan itu,” kata sumber yang menuturkan perkataan rekannya yang ikut menelusuri perkampungan itu dari jarak sekitar 500 meter.

Berdasarkan laporan PT Arara Abadi, total areal HTI yang sudah disulap menjadi perkampungan dan perkebunan sawit itu luasnya mencapai sekitar 800 hektar. Perusahaan ini memperkirakan perambahan itu akan berlangsung seiring dengan dicuatkannya isu-isu tanah ulayat, izin pengelolaan yang sudah habis, serta isu kemiskinan oleh kelompok-kelompok yang memiliki kepentingan.

Sehingga tak heran, selama 30 menit menelusuri jalan menuju camp PT Arara Abadi, yang terlihat adalah pekerja-pekerja yang tengah membabat pohon, pembersihan dan penyemprotan lahan untuk dijadikan areal perkebunan sawit. Di lokasi ini juga dapat ditemukan truk-truk pengangkut pupuk untuk dibagi-bagikan kepada para pekerja. Padahal, lokasi yang mereka kerjakan masih berstatus quo.

Kepastian Hukum

Investasi sangat penting untuk menggerakkan perekonomian nasional sekaligus daerah yang pada gilirannya akan mampu menciptakan kesejahteraan bangsa. Otonomi daerah menjadi momentum berharga untuk membuktikan diri bahwa daerah memiliki kemampuan tangguh dalam mengelola potensi ekonominya. Kunci keberhasilan dalam menarik investor adalah adanya kepastian hukum.

Disadari, kehadiran perusahaan HPH yang mengelola dan mengusahakan areal hutan telah membawa kontribusi yang nyata bagi jalannya Pembangunan Nasional. Tegakan hutan yang pada awalnya tidak bernilai ekonomis, setelah dipanen, diolah, dan diekspor ternyata mendatangkan devisa yang cukup besar.

Selain itu, pengenaan berbagai iuran dan pungutan kehutanan (DR, IHH) terhadap setiap meter kubik log yang dihasilkan, telah berperan besar dalam mewujudkan program rehabilitasi kawasan hutan non-produktif, pembangunan hutan baru, maupun pembangunan wilayah setempat.

Dari segi penciptaan lapangan kerja, perusahaan HPH maupun industri pengolahnya juga telah memberi andil dalam menekan tingkat pengangguran, baik melalui penciptaan lapangan kerja maupun kesempatan berusaha hasil multiplier effect yang ditimbulkan.

Sayangnya, kebijakan pemerintah yang bertujuan untuk mempercepat pembangunan HTI dengan menarik investor untuk menanamkan modalnya di Indonesia, dalam praktik dapat menjadi kontra produktif. Karena kebijakan yang tidak konsisten dan tata kelola pemerintahan yang bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik, yang bisa menyebabkan iklim usaha tidak kondusif.

Di Riau, diakui atau tidak, isu kemiskinan dan tanah ulayat seringkali menjadi sandungan masuknya investasi. Sikap pemerintah daerah kurang tegas yang lebih banyak diam, dan tidak adanya jaminan keamanan dan kepastian hukum menimbulkan ketidakpercayaan investor. PT Arara Abadi mungkin bisa menjadi salah satu contoh korban ketidakpastian hukum akibat ketidaktegasan pemerintah dan aparat penegak hukum di negeri ini.

Tak salah jika kemudian muncul anggapan, iklim investasi di Indonesia dinilai sebagai salah satu yang terburuk di dunia. Dan tak salah pula, Indonesia sekarang ini sudah bukan menjadi tujuan utama bagi investor asing. Para investor yang sudah mengenal Indonesia pun malah cenderung menghindari negeri ini.

Kondisi ini diperparah oleh korupsi yang merebak di mana-mana, di berbagai level. Sebagai gambaran, untuk memperlancarkan proses perizinan, seorang investor terpaksa harus menyerahkan sejumlah uang. Bahkan tidak jarang, setelah menerima uang, permintaan investor tidak segera diselesaikan. Regulasi di Indonesia hingga saat ini memang dinilai masih sangat lemah.

Kelemahan regulasi ini nyaris mencakup semua aspek. Regulasi yang lemah menyebabkan ketakpastian hukum dan menyebabkan pungutan liar, merebaknya tindak korupsi, perampasan lahan dengan mengatasnamakan tanah ulayat, kemiskinan dan isu-isu yang tidak populis lainnya.

Namun sayangnya, kepastian hukum hingga sekarang masih juga belum terbenahi dengan baik yang pada akhirnya justru sangat menghambat masuknya investasi. Selain itu, konsepsi Ketahanan Nasional dengan mengutamakan keseimbangan antara pengaturan dan penyelenggaraan keamanan di satu pihak dan kesejahteraan masyarakat di lain pihak, juga masih terabaikan. (tamat/adlis)