GAMBAR areal konsesi perkebunan kelapa sawit milik PT. SMART Tbk. Sampai dengan tahun 2006 tercatat menguasai 118 ribu hektar untuk kebun kelapa sawit.
-------
Akhirnya, Senin 20 April 2009 lalu terjadilah untuk yang pertama kalinya upaya mediasi multi-pihak itu. Melalui undangan kedua Kepala Kanwil Badan Pertanahan Nasional Sumatera Utara [BPN SU] bernomor 570-500 tanggal 15 April 2009, terjadilah pertemuan yang bertujuan menangani masalah sengketa tanah Kelompok Tani Padang Halaban Sekitarnya [KTPH-S] dan PT. SMART Tbk.
Namun pertemuan yang diadakan di aula Kanwil BPN SU deadlock dan tidak memberikan hasil sebagaimana yang diharapkan petani korban.
KTPHS sangat menyesalkannya. Demikian tutur Maulana Syafi’i, SHI selaku salah satu juru bicara KTPHS. Ia hadir bersama jajaran pengurus KTPHS lainnya, Hadi Sudaryanto dan Sumardi Syam. Dalam pertemuan tersebut tidak terdapat kesepahaman bersama tentang skema penyelesaian konflik.
Kembalikan Tanah Yang Dirampas
Pertemuan dipimpin oleh Kepala Seksi Pengkajian dan Penanganan Perkara Pertanahan Kanwil BPN SU sebagai mediator bagi kedua pihak yang bersengketa. Ia didampingi Kepala Seksi Pengkajian dan Penanganan Sengketa Dan Konflik Pertanahan Kanwil BPN SU dan Kepala Seksi Pengkajian dan Penanganan Sengketa Pertanahan BPN Kab. Labuhanbatu
KTPHS mengawali dengan paparan tentang perampasan tanah garapan petani/masyarakat seluas + 3000 Ha pada tahun 1969-1970 tanpa ganti rugi. Tanah tersibut dikelola oleh 2040 KK. Kini, tanah garapan tersebut berstatus areal konsesi Hak Guna Usaha yang dikelola PT. SMART Coorporation. Di dalamnya masih banyak terdapat bukti-bukti fisik peninggalan masyarakat. Saat perampasan terjadi hingga sebelum reformasi 1998, masyarakat dilanda ketakutan untuk mengajukan tuntutan atas tindak ketidak-adilan tersebut. Oleh karena itu, KTPHS menuntut agar seluruh tanah yang dirampas agar dikembalikan.
Melalui desakan KTPHS beberapa tahun belakangan ini, Pemerintah Kab. Labuhan Batu telah membentuk tim penyelesaian sengketa untuk menyelesaikan hal tersebut. Anggota tim tersebut meliputi BPN Kab. Labuhan Batu dan beberapa instansi yang terkait di dalamnya.
Akan tetapi, resume yang dikeluarkan oleh tim penyelesaian sengketa serta penelitian lapangan yang dilakukannya diselenggarakan tanpa keterlibatan KTPHS selaku. Dengan demikian, KTPHS menilai bahwa informasi dan rekomendasi tim kurang mendapatkan legitimasi dari pihak masyarakat korban konflik agrarian.
PT. SMART Menjawab
Pada tahun 1969-1970 perusahaan yang mengelola di atas tanah yang disengketakan KTPHS adalah PT. Sungkama Padang Halaban, bukan manajemen PT. Smart Coorporation. Barulah pada tahun 1983-1999 PT. Smart Coorporation melakukan pengelolaan manajemen pada kebun Padang Halaban. Melalui ketiga orang juru bicaranya, Hermansyah Usman, Prasetyohadi dan Mahidin Simbolon, PT. SMART mengakui bahwa sebelum tahun 1999 mereka tidak pernah mendengar tentang persoalan sengketa tanah.
Sejak tahun 1999 munculah tuntutan-tuntutan masyarakat. PT. SMART merasa telah menanggapinya dengan mengadakan pertemuan dan musyawarah untuk mencari solusi penyelesaiannya,baik di tingkat Kabupaten Labuhan Batu maupun di tingkat Provinsi Sumatera Utara.
Salah satu upaya PT. SMART adalah mendorong dibentuknya tim penyelesaian sengketa tanah Kabupaten Labuhanbatu dan pada tahun 2002. Kini, tim tersebut telah menyelesaikan tugasnya dengan mengeluarkan kesimpulan berupa resume.
Delegasi BPN Kab. Labuhan Batu yang hadir dalam pertemuan mediasi tersebut membenarkan pernytaan PT. SMART. Menurutnya, resume telah diputuskan berdasar pada data yang dimiliki.
Menanggapi keinginan KTPHS, PT. SMART tidak punya hak untuk melepaskan tanah seluas yang dituntut oleh masyarakat. Untuk itu PT. SMART memilih penyelesaian konflik agrarian tersebut dilakukan melalui jalur peradilan.
Setengah Feodal Sebagai Basis PT. SMART Tbk
Sistem setengah feodal muncul akibat dominasi imperialisme dalam masyarakat feodal lama. Imperialisme tidak menghancurkan masyarakat feodal lama menjadi sistem kapitalisme karena imperialisme hanya membutuhkan bahan mentah yang melimpah, tenaga produksi yang murah dan luasnya pasar bagi produk mereka.
Basis sosial ekonomi mencukupi kebutuhan sendiri dalam system feudal memang telah digantikan dengan ekonomi yang berbasis pada uang pada system setengah feodal. Produksi pertanian dan perkebunan di era setengah feudal di arahkan sebagai komoditas perdagangan untuk memenuhi permintaan pasar. Oleh karenanya diperlukan produksi pertanian/perkebunan skala besar untuk mencapai hasil ekonomis bagi pemenuhan kebutuhan pasar, khususnya permintaan di luar negeri.
Demikian juga dengan PT. SMART Tbk. Ia adalah salah satu perusahaan public terbesar di Negara ini yang berbasis pada produksi kelapa sawit yang meliputi pembenihan, perkebunan dan pengolahan kelapa sawit, pabrikan penyulingan CPO, pabrikan margarine dan minyak goreng serta transportasi dan pendistribusian produk ke pasar luar negeri. Tak kurang, bursa efek di Jakarta dan Surabaya juga turut mencatatkan penjualan sahamnya kepada public.
Hingga tahun 2007, PT. SMART Tbk memiliki konsesi HGU untuk perkebunan seluas 118.000 ha di Sumatera dan Kalimantan. Sekitar 78% diantaranya telah beroperasi. Perusahaan ini juga mengoperasikan Sembilan pabrik kelapa sawit untuk memproses CPO dengan kapasitas produksi 485 ton per jam dan 2 pabrik pemroses Kernel Crushing dengan kapasitas 730 tons per hari. Selain itu, ia juga memiliki dua buah pabrik minyak goreng dan margarine.
Merk dagang terkenal minyak goreng produksi PT. SMART adalah Filma dan Kunci Mas dua merek minyak goreng terkemuka di Indonesia. Untuk produk margarin, PT. SMART memproduksi Palmboom® dan juga Filma® sebagai merek baru yang diluncurkan pada pertengahan
tahun 2005. Selain itu, perusahaan yang didirikan sejak tahun 1962 ini juga memproduksi produk-produk lainnya dengan merk terkemuka di luar Indonesia, seperti Golden Fiesta di Filipina.
Serikat Tani Nasional menilai bahwa berkembangnya PT. SMART tak bisa dilepaskan dari praktek monopoli atas tanah, suatu ciri penting system setengah feudal. Karena perusahaan ini membutuhkan tanah yang sangat luas untuk memperbesar produksi tandan buah segar kelapa sawit. Hal ini dapat disimpulkan bahwa memperluasan wilayah kelola perkebunan-perkebunan kelapa sawit adalah kunci utama kemajuan perusahaan tersebut. Ratusan ribu hektar tanah harus dikuasai untuk mendapatkan hasil tandan buah segar yang menguntungkan.
Hal inilah yang rentan menimbulkan konflik social dengan petani/masyarakat. Kejadian yang dialami KTPHS memperkuat analisis bahwa perampasan tanah adalah tindakan salah satu upaya kalangan perusahaan perkebunan untuk memperluas kekuasaan feudal dan mempertinggi keuntungannya. Sudah barang tentu, Negara melalui Badan Pertanahan Nasional turut bertanggung jawab atas mudahnya mengeluarkan izin konsesi HGU.
Tentu tidaklah mungkin PT. SMART Tbk melepaskan 3000 ha dengan sukarela kepada KTPHS.