Sunday, November 18, 2007

Pilgub dan Imperialisme

Majalengka. Kota ketiga di suatu dunia ketiga bernama Indonesia. Kota yang notabene bagian dari Jawa Barat, kini, dipenuhi wajah-wajah yang mencalonkan diri di Pilihan Gubernur Jawa Barat 2008. Poster-poster berwajah cagub dan cawagub meramaikan jalan yang sudah ramai oleh spanduk, billboard iklan.

Sudah tersiar nama-nama yang mencalonkan diri di Pilgub Jabar 2008 itu: UU Rukmana, Danny Setiawan, Dadang Garnadi, Indra Hutabarat, Andri, Ramito, Irianto MS Syaifiuddin, Tuty Hayati Anwar, Muh. Nugraha, Dede Macan Efendi, MQ Iswara, Amung Ma’mun, Rudy Gunawan, Rudi Harsa Tanaya, Agum Gumelar, Nu’man Abdul Hakim.

Dan di Majalengka wajah yang sudah diiklankan dalam poster dan billboard barulah Rudi Harsa Tanaya, dan Tuty Hayati Anwar serta Danny Setiawan yang disandingkan dalam satu spanduk dan billboard. Poster Tuty Hayati Anwar dan Danny Setiawan lebih banyak (baik dari jumlah dan corak desain) dari yang Rudi Harsa Tanaya miliki di kota Majalengka, dan poster mereka memiliki gambar latar yang bermacam, salah satunya bergambar pesawat boeing, seperti yang diduga itu ada kaitannya dengan pembangunan Bandara Internasional Jawa Barat. Tuty Hayati Anwar adalah bupati Majalengka, dan Danny Setiawan adalah Gubernur Jawa Barat. Keduanya menandatangani Amdal untuk pembangunan Bandara Internasional Jawa Barat.

Data pemilih Pilgub juga hampir terkumpul seluruhnya. Dan dari beberapa angka jumlah pemilih itu adalah mereka yang mengorganisir diri di Kertajati, petani yang menentang pembangunan Bandara Internasional Jawa Barat.

Bandara Internasional Jawa Barat hendak dibangun ketika produk Danone di dalam jangkauan tangan khalayak, bersama produk Bayer. Kedua itu hampir bersebelahan dengan cabe dari Kertajati, dan kol dari Maja. KFC dekat sekali, tidak perlu menaiki pesawat untuk sampai pada haribaannya. Genteng Jatiwangi ada yang dibandrolin US dollar. Poster artis Korea di dinding bilik anak muda di suatu desa di dunia ketiga. Foto kekerasan Junta Militer Myanmar pada biksu yang menentang kenaikan bbm 500% bisa dilihat di warnet, dan juga bisa ditemukan tulisan soal Haur Koneng dalam Bahasa Belanda.

Dunia telah datar, seru orang-orang, komoditas, informasi, dan modal bisa bebas berselancar. KFC bisa bebas datang ke mana saja, bersama Malboro. Bebas berlarian sepanjang inchi yang ada. Reebok berloncatan ke mana saja, tidak hanya bermaksud mencari buruh murah, juga pasarnya. Bahkan bisa hadir ke pojokan suatu kota ketiga di suatu dunia ketiga, kalau di sana hitung-hitungan laba-rugi berlaku. Starbucks bisa masuk Majalengka seperti dodol Garut bisa masuk.

Tapi bukan datar yang dimaksud datar yang dipercayai dulu oleh mereka bahwa dunia itu datar dengan ujung-ujungnya jurang yang dalam, sehingga tidak perlu berlayar dengan kapal mencari dunia baru, sebab akan terperosok. Dan saat itu, mempercayai bumi itu bulat adalah bidah. Maka yang berlayar itu, mengarungi lautan, dan menemukan tanah baru itu adalah pahlawan karena mematahkan kepercayaan terlembagakan bahwa bumi itu datar dan ujung-ujungnya jurang, tapi tidak jadi pahlawan pada detik berikutnya, ketika para pelayar itu menjajah dengan semangatnya yang terkenal itu: gospel, glory, gold, gold, dan gold.

Gold 3 kali itu menurut John A. Hobson yang menjelaskan motivasi dari imperialisme itu, tetapi John A. Hobson berbeda pendapat dengan Lenin. Menurut John A. Hobson, imperialisme adalah bukan dari kemajuan kapitalisme. Sedangkan Lenin berbicara lain. Menurutnya, imperialisme adalah puncak tertinggi dari kapitalisme. Sebut saja upaya mempercanggih kapitalisme.

Mulanya mungkin dengan menekan pemerintah untuk mengeluarkan armada perang milik negara untuk pelesiran membawa senjata ke tempat yang penuh sumber bahan mentah, dan merampas semua yang ada pada atas tanah dan yang terkandung di dalamnya. Sebab itu lebih menguntungkan daripada memperoleh bahan mentah melalui kompetisi di pasar bebas. Kapitalisme monopoli memang pemberhentian berikutnya, sesudah kapitalisme kompetisi pasar bebas. Dan upaya mempercanggih kapitalisme itu tidak akan pernah berhenti.

Masa kolonialisme ekspansi sangat fisikly sekali. Namun sesudah Perang Dunia ke II ekspansi lewat teori dan ideologi. Keduanya sama mencengkeramnya, tapi yang kedua susah disadarinya, apalagi kalau kapitalisme memperbaiki diri sehingga berwajah manusiawi. Bisa punya CSR atau menyetujui MDGS.

Hulu dan hilir tersambung, sehingga dunia terasa pekarangan sendiri bagi pemilik modal, batas negara tidak menjadi pagar. Semua saling mendekat, terjangkau, selayaknya kampung. Modal pun bisa disimpan di mana saja. Lantas dunia ini pantas lebih dari sekedar dikatakan kampung global. Tetapi pusat dan pinggiran masih ada.

Kapitalisme memang membutuhkan penaklukan ruang sehingga terkesan dunia terlipat, biar muat dalam genggaman tangan mereka untuk bisa dimasukan ke saku mereka. Yasraf Amir Piliang mengatakan itu: dunia telah dilipat, sebab ruang mesti ditaklukan oleh kaum monopolis untuk meningkatkan tempo konsumsi, produksi, demi perluasan dan pelanggengan penguasaan sistem politik dan sumber ekonomi, serta penguasaan kesadaran massa rakyat serta ingatan kolektifnya.

Bandara Internasional Jawa Barat berada dalam logika ini. Tetapi beberapa mempercayai dunia telah menjadi indah ketika menjadi datar dan berhasil dilipat. Kalau gak percaya coba tanyakan pada band indie Bandung atau Jakarta yang musiknya bisa di dengar di Jerman setelah di download dari internet.

Tapi tetapi sekali lagi tetapi, seperti imperialisme dulu, imperialisme kini juga serupa melahirkan banyak orang yang bernasib seperti Saijah yang kehilangan kerbaunya, dan mesti menjual keris peninggalan keluarga pada babah untuk bisa beli kerbau lagi, dan dirampas lagi. Tapi kini bukan hanya kerbau yang dirampas, tanah, sawah, tambang, tenaga manusia, atau apasajalah yang investor inginkan, hampir semua yang dipunyai, bahkan pemerintah tidak bisa mencegah. Dan itu sah dilakukan atas nama perdagangan bebas. Pantas pemerintah dan investornya tidak mau tahu soal nyeri atau tidaknya petani Kertajati kehilangan sawah dan rumah.

Dunia tidak cuma jadi datar, tapi juga pusat pembelanjaan raksasa berukuran raksasa, yang datar tentunya. Dunia yang telah dilipat itu dipenuhi rak-rak yang berisi pajangan berupa sawah, tenaga manusia, tambang, negara dari dunia ketiga, dan segala rupa. Semua dijual murah, sekalipun begitu tetap saja tidak terbeli oleh kaum tanpa subsidi. Yang mampu membeli tentu kaum bermodal besar, yang sialnya tidak hanya mau membeli isi rak-rak di pusat pembelanjaan yang bernama dunia itu, tapi juga ingin membeli dunia itu sendiri, sebagai pusat pembelanjaan.

Membeli itu, mumpung dunia berhasil dilipat. Dan tidak ada yang bisa menghadang upaya itu. Massa sekalipun tidak diperkenankan menghadang, di hari hulu hilir mesti tersambung seperti lorong-lorong yang menyambungkan satu rak dengan rak lain di dalam pusat pembelanjaan, dan yang menyambungkan tidak cukup display, tv, billboard, internet. Itu alat-alat purba juga masih diperlukan: bandara, pelabuhan, barak, dan semua alat lainnya untuk semakin memperkuat tertancapnya kuku imperialisme.

Pemerintah pusat sampai pemerintah daerahnya mesti berminat dengan perluasan dan pelanggengan monopoli itu, dan tidak mengapa mereka kebagian sedikit laba dari yang kapitalis pusat dapatkan, sebab mereka membutuhkan sejumlah uang dan komisi itu untuk ikutan pemilu, pilkada yang menghabiskan banyak uang buat kampanye dan money politic-nya.

Apa saya bicara terlalu cepat?

•••

Petani Kertajati yang mengorganisir diri menentang BIJB (Bandara Internasional Jawa Barat) itu mengetahui akan ada pelaksanaan Pilgub Jabar, calon-calonnya juga.

Di bale desa Sukamulya, mereka sempat membicarakan itu, beberapa kali, sebelum keberangkatan aksi ke Jakarta, hendak menemui Komisi 5 DPR RI, tanggal 27 Agustus 2007, dan gagal menemui, terbentur birokrasinya polah Komisi 5. Di bale desa, petani yang mengorganisir diri itu menyatakan tidak akan memilih cagub dan cawagub yang akan mengkonversi lahan sawah mereka menjadi Bandara Internasional demi memenuhi kebijakan neoliberal yang menuntut pemerintahan di dunia ketiga untuk mengintregrasikan dan mengkonversikan ekonomi nasional ke dalam sistem ekonomi yang berorientasi ekspor, meskipun kebijakan itu mengorbankan lingkungan dan sistem sosial. Dr. Mansor Fakih, mengatakan begitu.

Mereka mengerti bahwa Pilgub nanti tidaklah pantas sekedar mengganti birokrasi korporasi global saja. Pilgub dua putaran sungguh makan uang. Rakyat sudah kerepotan dengan pencabutan subsidi bbm, dengan privatisasi ber-eufimisme, sehingga privatisasi kampus jadi otonomi kampus, privatisasi puskesmas dan rumah sakit menjadi puskemas dan rumah sakit mandiri.

Pantas petani yang mengorganisir diri menentang BIJB itu tidak percaya pada tujuan pembangunan BIJB yang akan meningkatkan kesejahteraan rakyat itu. Itu gombal berikutnya, sebab pada pelaksanaannya demi membangun BIJB, pemerintah telah melakukan kecurangan.
  1. Sampel wawancara tim Amdal yang hanya dilakukan 20 orang saja.
  2. Peneliti Amdal hanya beberapa hari saja melakukan penelitian, padahal seharusnya empat bulan menurut surat tugas.
  3. Pernyataan yang berupa tanda tangan 11 kuwu (Kepala Desa) dan camat yang menyatakan masyarakat siap mendukung, membebaskan tanah, rumah dan lain-lain untuk pembangunan Bandara Udara Internasional Jawa Barat, padahal tidak ada musyawarah dengan masyarakat berkenaan soal itu.
  4. Tim Amdal mencatat dalam hasil Amdalnya bahwa tanah di Kertajati tidak produktif. Menuliskan dengan waktu tanam sekali dalam setahun dengan hasil rata-rata 1 hektar sama dengan 6 kwintal gabah kering (anehnya pemerintah daerah tidak keberatan dengan hasil Amdal yang melaporkan begitu, sekalipun mereka tahu itu artinya mereka gagal menjadi kota agraris yang seperti mereka gembor-gemborkan. Bupati pun menandatangani hasil Amdalnya dengan mudah). Padahal faktanya di Kertajati dalam 1 hektar menghasilkan 6 ton padi kering siap giling. Dinas Pertanian Kabupaten dan Badan Pusat Statistik Kabupaten Majalengka malah melaporkan bahwa luas tanam di Kertajati 9441 hektar, luas panen 9060 hektar, hasil produksi 47.428 ton, dengan rata-rata produksi 52, 35 kuintal.
Jadi di bale desa, petani Kertajati yang menentang Bandara Internasional Jawa Barat mengeluarkan kriteria gubernur Jawa Barat berikutnya: anti neoliberalisme.


Ditulis oleh Faisal N Faridduddin, Jl. Brawijaya 71 Kadipaten-Majalengka 45452, jaringan STN di Kab. Majalengka Jawa Barat.