Praktek haram penghancuran hutan Indonesia sudah saatnya dihentikan! Pemerintah harus tegas melakukan terobosan untuk lakukan tindakan jeda tebang (moratorium logging) selama 15 tahun. Artinya, selama kurun waktu 15 tahun tak ada lagi izin konsesi dan konversi kawasan hutan baru baik untuk kepentingan perkebunan besar, HTI, HPH ataupun pertambangan besar. Sementara untuk konsesi yang telah dikeluarkan, pemerintah wajib lakukan audit menyeluruh. Izin pengambilan kayu diperbolehkan hanya untuk kepentingan non-ekspor (dalam negeri).
KAPHI mendesak Presiden RI, jajaran POLRI, kejaksaan dan kehakiman untuk tak ragu-ragu menangkap pelaku penghancuran hutan Indonesia yang berkedok izin konsesi kehutanan, lalu diadili dan dihukum seberat-beratnya. Kasus bebasnya Adelin Lis di PN Medan bukti lemahnya penegakkan hukum kita jika berhadap-hadapan dengan cukong utama pelaku penghancuran hutan.
Praktek penghancuran hutan atas nama HPH dan HTI seperti yang dilakukan oleh RAPP (Riau Andalan Pulp & Paper) milik taipan Sukanto Tanoto di Riau saatnya disudahi. Sukanto Tanoto harus segera ditangkap dan diadili.
Mengapa Sukanto Tanoto?
Industri Pulp dan Kertas yang dibangun Sukanto Tanoto selama ini dijalankan secara tidak berkelanjutan (sustainable). Bahan baku yang selama ini digunakan oleh industri ini sebagian besar berasal dari hutan alam dan hanya bagian kecil saja yang berasal dari kebun HTI mereka sendiri. Kapasitas pabrik pulp dan kertas RAPP milik Sukanto Tanoto tercatat 2 juta ton per tahun. Pabrik ini membutuhkan suplai kayu sebanyak 12 juta ton (kayu tegakan) per tahunnya yang bisa dipenuhi bila mereka memanen dari kebun HTI mereka ditambah dari mitra mereka dengan luasan 66.667 hektar per tahun. Dengan total HTI sebesar 315.000 hektar dan produktivitas per hektar 30 m3, maka RAPP masih harus menyediakan 85.002 hektar lagi untuk menutupi kekurangan bahan baku yang mencapai 400.002 ha dalam masa daur produksi 6 tahun. Ini bila penanaman HTI RAPP mencapai 100%, kenyataannya realisasi tanam RAPP sangat kecil, hanya 35% saja, sehingga tidak mungkin mampu memenuhi sumber bahan bakunya dari HTI mereka dan mitranya. Tentu pertanyaan yang timbul kemudian ialah: bila tidak dari HTI mereka dan mitranya, lalu dari mana RAPP mendapatkan sumber kayunya?
Dalam membangun industrinya, Sukanto Tanoto memanfaatkan lembaga keuangan yang dimilikinya sendiri (UNIBANK). Saat krisis moneter terjadi (1997), kerajaan bisnis Raja Garuda Mas (RGM) induk dari RAPP yang dimiliki oleh Sukanto Tanoto tersangkut hutang sebesar US$ 1.14 milyar akibat penyalahgunaan dan pelanggaran peraturan perbankan yang dia lakukan melalui bank miliknya (UNIBANK). Menggunungnya utang tidak menyurutkan langkah Sukanto Tanoto untuk terus melakukan perluasan dan penambahan kapasitas industrinya. Dengan manisnya Sukanto Tanoto menyiasati hukum di Indonesia sehingga sebagian besar hutang yang dia miliki harus ditanggung oleh negara (ingat kasus BLBI). Dengan demikian jelaslah bahwa Sukanto Tanoto telah melakukan kejahatan perbankan dan kejahatan lingkungan hidup yang telah mendatangkan kerugian bagi negara. Kejahatan yang memiliki dampak jangka panjang yang berimplikasi terhadap keselamatan dan keberlangsungan hidup rakyat banyak.
Jakarta, 22 November 2007
Komite Aksi Penghancuran Hutan Indonesia (KAPHI):
WALHI Eknas, AJI Jakarta, Green Press, WALHI DKI Jakarta, Sawit Watch, LSADI, Sahabat WALHI,
Sarekat Hijau Indonesia, EPW Jakarta, KpSHK, STN, AMAN, Konsorsium Pembaruan Agraria, Green Student Movement, HuMA, FPPI, JIKALAHARI Riau
Gambar diambil dari http://selamatkanhutan.blogspot.com/2007/11/kantor-rapp-didemo-aktifis-lingkungan.html