GAMBAR bukti fisik yang masih banyak terdapat di areal perkebunan kelapa sawit milik PT. Smart Corporation Kebun Padang Halaban berupa pemakaman masyarakat. Salah satunya seperti terdapat di Dusun Pondok Lawas Desa Sukadame, Panigoran, Labuhan Batu
Terkait Sengketa Tanah KTPH-S VS PT. Smart Corporation.
Labuhanbatu, Pindo.
Menanggapi berbagai pemberitaan miring terkait sengketa tanah antara masyarakat Kelompok Tani Padang Halaban Sekitarnya (KTPH-S) Kecamatan Aek Kuo dengan PT. Smart Corporation Kebun Padang Halaban yang banyak dilangsir media massa terbitan medan dengan menyebutkan bahwa Rakyat KTPH-S tidak dapat menunjukkan bukti kepemilikan mereka atas gugatan perdata sengketa tanah dengan PT. Smart Corporation.
Realitas ini jelas tidak benar karena tidak berdasarkan kompirmasi dan investigasi yang akurat wartawan yang memberitakan persoalan tersebut kepada pengurus KTPH-S, seperti yang diatur dalam KEJ maupun UU No. 14 Tahun 1999 tentang Pers, demikian dikatakan Sekretaris Umum KTPH-S Maulana Syafi’i, SH.I kepada wartawan di kantornya, Senin (3/8).
Lebih lanjut dijelaskan Maulana, bahwa sejak didaftarkannya gugatan perdata mengenai kepemilikan tanah rakyat KTPH-S yang saat ini dikuasai dan diusahai oleh PT. Smart Corporation Tbk Padang Halaban ke pengadilan negeri Rantauparapat pada tanggal 18 mei 2009 lalu dengan Register perkara no. 08/Pdt.G/2009/PN-Rap, hingga kini proses hukumnya baru akan menyelesaikan proses mediasi antara pihak-pihak.
Hal ini sesuai dengan aturan dari Mahkamah Agung RI bahwa proses mediasi dalam sidang gugatan perdata ditempuh selama kurun waktu 41 hari, selama kurung waktu tersebut hakim mediasi yang menyidangkan kasus ini sebagai mediator, harus menyampaikan saran dan pertimbangan ataupun himbauan kepada masing-masing pihak untuk menempuh perdamaian dan bila perdamaian tidak terjadi dari masing-masing pihak maka sidang gugatan perdatanya akan dikembalikan kepada majelis hakim yang mengadili perkara tersebut untuk dilanjutkan pada sidang-sidang berikutnya hingga mencapai sebuah keputusan yang berkekuatan hukum tetap.
“Jadi jelas, sangat tidak benar sekali pemberitaan di beberapa media massa lokal yang menyatakan, bahwa tuntutan masyarakat KTPH-S tidak berdasarkan alas bukti kepemilikan atas tanah rakyat, sementara proses hukum di Pengadilan negeri Rantauprapat baru akan penyelesaian massa akhir sidang mediasi. Sidang belum mengarah kepada menghadirkan saksi-saksi ataupun bukti-bukti. Untuk diketahui publik, bahwa rakyat KTPH-S telah siapkan saksi-saksi dan bukti-bukti yang sangat mendukung tuntutannya. Kita lihat saja nanti saat sidang pembuktian”, pungkas maulana.
Selain pemberitaan miring seputar bukti-bukti yang dimiliki rakyat KTPH-S disebut-sebut tidak jelas, dalam koran lokal lainnya diberitakan bahwa tanah yang kini dipersengketakan oleh rakyat KTPH-S adalah tanah milik keluarga/keturunan kerajaan aek kuo ataupun keluarga Sulaiman Munthe.
“Pernyataan itu sungguh menggelikan sekali bagi saya, pasalnya Wakil Ketua Pengadilan Negeri Rantauprapat, Ellyta Ginting, SH, LL.N pada kesempatan gelar perkara di polres labuhanbatu beberapa waktu lalu, terkait permasalahan serupa ini dengan tegas menyatakan, bahwa kasus tanah ulayat/tanah kerajaan tidak ditemukan di Kabupaten Labuhanbatu, hal ini dikarenakan daerah Kabupaten Labuhanbatu pada umumnya dalah bekas kawasan perkebunan asing”, urai maulana.
Menanggapi hal ini, Kuasa Hukum rakyat KTPH-S, Emmy Sihombing, SH & Associates kepada wartawan mengatakan, pemberitaan miring yang sering dilangsir oleh media massa lokal umumnya mengkerdilkan perjuangan rakyat KTPH-S. Padahal sesungguhnya bukti-bukti yang dimiliki oleh rakyat KTPH-S dalam menuntut pengembalian tanah mereka yang telah digusur oleh PT. Plantagen AG di tahun 1969/1970 adalah disertai bukti-bukti otentik yang dapat dimenangkan hukum. Bukti-bukti tersebut diantaranya adalah KTPPT/KRPT, surat keterangan tanah yang dikeluarkan kepala desa serta didukung dengan bukti-bukti fisik berupa pemakaman masyarakat yang terdapat di di hampir seluruh divisi dalam areal perkebunan kelapa sawit milik PT. Smart Corporation kebun padang halaban.
“Bukti-bukti otentik yang dimiliki oleh rakyat KTPH-S sangat kuat sekali, bukti-bukti KTPPT/KRPT tersebut telah teruji kekuatannya di mata hukum sebagai alas hak atas tanah yang benar dan diakui undang-undang. Seperti Kasus sengketa tanah seluas 46, 11 Ha antara masyarakat Mabar yang diketuai Tugimin, dkk. dengan PT. KIM dan Eks. PTPN IX, dimana alat bukti rakyat mabar berupa KTPPT/KRPT tersebut telah dimenangkan oleh Mahkamah Agung (MA) RI dengan dikeluarkannya Putusan Mahkamah Agung dalam perkara Peninjauan Kembali Perdata No. 94/PK/PDT/2004”, tegas Boru Hombing ini.
Dalam putusannya tersebut MA menyatakan antara lain, mengabulkan gugatan para penggugat untuk sebagian dan menyatakan para penggugat adalah para penggarap yang sah dan mantan buruh perkebunan TMA (Tembakau Maskapai Aresboro), tambah Emmy Sihombing.
“Oleh karenanya Saya sangat kecewa setelah membaca pemberitaan di koran lokal yang mengatakan bahwa tuntutan masyarakat KTPH-S obscuur lebel, padahal proses persidangan di PN baru sidang mediasi dan belum mengarah kepada pokok perkara, kenapa begitu cepatnya wartawan koran lokal yang bersangkutan membuat dan menerbitkan pemberitaan yang justru kelak akan menjerat lehernya sendiri”, tungkas Emmy Sihombing.
Sementara itu, menyikapi permasalahan sengketa tanah antara rakyat KTPH-S dengan PT. Smart Corporation Padang Halaban yang sudah timbul belasan tahun lalu, Komisioner Komnas HAM RI, Jony Nelson Simanjuntak, kepada wartawan baru-baru ini mengatakan, persoalan sengketa tanah rakyat yang berkepanjangan dan hingga kini belum dapat diselesaikan oleh pemerintah (BPN-red) adalah imbas dari gejolak politik yang terjadi di masa silam saat awal rezim orde baru menguasai negeri ini disekitar periode tahun 1965 hingga 1970.
“Kekuasaan orde baru yang otoriter telah menyebabkan kesengsaraan rakyat yang berkepanjangan dan di periode tahun 1965 hingga 1970, hampir di seluruh wilayah di NKRI telah terjadi perampasan hak ats tanah rakyat yang dilakukan oleh pemerintah di satu pihak dan pengusaha di lain pihak yang menginginkan NKRI dikuasai oleh kaum kapiltalis dan imprealisme modern”, pungkas Jony.
Untuk persoalan kasus tanah rakyat ini, ujar Jony, pihaknya telah melayangkan surat kepada kepala kepolisian republik indonesia yang diteruskan ke Poldasu dan Polres Labuhanbatu dengan harapan agar pihak kepolisian di negeri ini dapat bersikap netral atas persoalan tanah yang berkepanjangan ini. Di satu sisi pihak perusahaan saat ini telah memiliki sertifikat HGU dan di sisi lain rakyat KTPH-S juga memiliki alat bukti kepemilikan yang cukup kuat di mata hukum dan cukup kuat pula untuk membatalkan sertifikat HGU milik perusahaan yang indikasinya HGU tersebut dikeluarkan oleh institusi pemerintah (BPN-red) tanpa prosedur yang benar yang diatur dalam undang-undang aaupun aturan mengenai penguasaan tanah oleh perkebunan, jelasnya. (MS)
Labuhanbatu, 3 Agustus 2009
Pengirim Berita,
Maulana Syafi’i, SH.I - Sekretaris Umum KTPH-S